47 : Kencana Selatan

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Deva kini beranjak dari duduknya, ia pergi sambil membawa tas miliknya. "Duluan, ya." Nada dan Kevin menganggukkan kepala, setelah itu mereka saling bertatapan, lalu membuang muka.

"Sejauh apa yang kamu lihat?" tanya Kevin.

"Awal mula kamu sama Dara deket."

"Udah?"

"Tapi ada sedikit hal yang agak mengganggu," ucap Nada.

"Apa?"

"Kenapa--kamu ngesave foto-foto aku dari akun sosial medianya Melodi?"

Yah, begitulah. Tentunya Nada melihat kejadian-kejadian dari awal detik ia menyentuh Kevin, hingga pertemuan pria itu dengan Dara, tak terkecuali kelakuan-kelakuan Kevin yang aneh semenjak mengenal Nada, seperti mengambil foto-foto Nada, hingga mencuri-curi pandang ketika rapat Tantra berlangsung.

Keringat bercucuran dari wajah pria tampan itu. Ia berusaha mencari alasan untuk menghindar. "Aku koleksi foto anak-anak Tantra," ucap Kevin.

"Enggak tuh. Cuma aku," balas Nada.

"Mungkin ada yang kamu lewatkan?"

"Enggak ada. Satu pun eggak ada tuh. Cuma foto aku."

"Enggak ada, Nada."

Nada menjulurkan tangannya. "Coba aku liat?"

"Liat apa si, Nad? Eggak ada."

Kevin dan Nada saling melempar tatapan pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas meja. Dengan cepat Nada ingin meraihnya, tetapi Kevin lebih cepat. "Ini privasi, Nad!"

Nada menatap mata Kevin yang tampaknya tak senang dengan sikap Nada. "Kalo bener ada fotoku, itu juga privasi." Nada beranjak dari duduknya, dan hendak mengambil tasnya, tetapi Kevin menarik tangan Nada sambil memberikan ponsel miliknya. "Maaf." Hanya itu yang terucap dari mulut Kevin.

Nada mengambil ponsel Kevin, lalu membukanya. Ia tak perlu bertanya perihal sandi pola layar milik Kevin, karena Nada tahu semuanya melalui psikometrinya barusan. Sementara Nada melihat isi ponsel Kevin, pria itu justru duduk termenung. Ia tak berani menatap Nada.

"Nih." Nada mengembalikan ponsel Kevin, lalu berjalan keluar ruangan. Meninggalkan Kevin yang duduk di sofa seorang diri. Kini pria itu melihat isi galerinya. benar saja, semua foto-foto Nada yang ia simpan hilang begitu saja. Kevin menghela napas.

Sebuah chat Whatsapp masuk ke ponselnya. Kevin langsung membuka chat tersebut. Chat itu berisi sebuah foto. Sebuah foto yang mengukir senyum di wajah Kevin, di tambah sebuah chat yang berisi. 'Kalo mau fotoku bilang. Aku bisa kasih yang bagus. Jangan diambil dari instagram. Apa lagi punya Melodi! Dia itu iseng, pasti akunya jelek'

Di sisi lain, Nada pergi bukan untuk pulang ke rumah, melainkan berjalan menuju rumah Kirana. Tentu saja, untuk mengetahui kebenaran, ia harus mengintip masa lalu gadis tersebut.

***

Nada kini berada di rumah Kirana, ia membunyikan bel rumah itu. Tak berselang lama, mucul seorang wanita dari balik pintu.

"Permisi, Kirananya ada?"

"Tunggu sebentar ya." Wanita itu masuk kembali ke dalam rumah. Nada menatap ke arah lantai dua, di sana Kirana sedang menatapnya juga dari balik jendela.

"Masuk aja. Kamar Kirana ada di lantai atas," ucap Wanita itu pada Nada.

Nada melempar senyum pada wanita itu sambil berjalan masuk. "Terima kasih." Ia berjalan dan menaiki tangga hingga berada di depan kamar Kirana. Tiba-tiba pintu itu terbuka dengan sendirinya. Kirana membuka pintu menggunakan telekinesis, ia masih berdiri di depan jendela sambil membelakangi Nada.

Tak ada kata yang terucap di antara mereka. "Kamu ngapain ke sini?" Hingga Kirana membuka obrolan.

"Kamu enggak apa-apa? Aku denger, kamu enggak masuk sekolah beberapa hari ini."

"Kamu pernah ke kebun binatang? Pernah lihat singa jalan-jalan di luar kandangnya?" Nada hanya menggelengkan kepalanya. "Aku itu monster, Nad. Kamu lihat sendiri, kan? Aku hampir ngebunuh kamu. Chandra korbannya, dia terluka parah gara-gara aku. Kamu pikir, aku enggak takut dengan kemampuan ini?" Kirana terlihat getir. Matanya berkaca-kaca.

"Jangan memandang diri kamu seperti itu. Aku pernah ada di titik itu. Ketika menganggap diri aku--enggak berguna. Mungkin kasus kita berbeda, tapi aku tau rasanya." Nada mendekati Kirana dan menatapnya dalam-dalam.

"Apa kamu pernah nyakitin orang lain?"

Nada mengingat Harits. "Pernah, dan mungkin orang itu benci banget sama aku sekarang. Bahkan chatku enggak pernah dibales, dan telponku enggak pernah diangkat. Padahal aku cuma mau minta maaf."

"Gara-gara aku , Chandra berbaring di rumah sakit. Dia itu kuat, tapi dia enggak ngelawan balik. Dan mungkin, secara enggak sadar, aku juga yang udah bunuh Dara." Kirana meneteskan air matanya.

Nada melepas sarung tangan hitamnya, lalu mengusap air mata Kirana. "Aku percaya, itu bukan kamu." Ia menyelinap untuk mengintip masa lalu gadis itu.

***

Saat ini, bulan sepenuhnya berkuasa terhadap bumi, ia dan para prajurit bintang, dengan gagahnya mengepung langit bumi. Rava dan Deva baru saja tiba di rumah sakit. Mereka berjalan masuk ke kamar Chandra, terlihat Chandra yang sedang duduk ditemani Nada.

"Kevin mana?" tanya Rava.

Nada menunjuk ke arah belakang Rava dan Deva, membuat kedua pria mirip itu menoleh. Kevin berdiri di belakang mereka, ia baru saja tiba bersamaan dengan Deva dan Rava.

"Ada hal penting yang harus disampaikan," tutur Chandra. Ia menatap Nada dan mengisyaratkannya untuk buka bicara.

"Kirana pernah bilang, bahwa, ada orang misterius yang ngikutin dia," ucap Nada. "Dara menganggap itu hanya delusi semata, dan Kevin pun enggak bisa nemuin orang itu dengan kemampuan pelacaknya." Semua saling beradu tatap mendengar itu semua. "Satu hal yang pasti. Apa yang Kirana ucapkan, benar apa adanya. Seseorang ngikutin dia."

"Dari mana kamu tau?" tanya Kevin.

Nada hanya menunjukkan tangan kanannya, mengisyaratkan ia berhasil mengintip masa lalu Kirana. "Sejujurnya, Kirana sering ketemu sama cowok asing, orang itu orang yang baik kelihatannya. Aku pun enggak bisa memastikan, apakah orang ini adalah orang yang ngikutin Kirana atau bukan, karena waktu aku lihat si penguntit ini, dia itu pakai hoodie hitam, jadi enggak jelas rupanya."

"Kamu yakin? Bisa aja yang kamu lihat itu halusinasi dari Kirana?" timpal Deva.

"Enggak." Chandra membalas ucapan Deva. "Psikometri itu terjadi seperti kita menonton adegan. Kita adalah penonton, bukan aktor utama. Pengguna psikometri tidak melihat sesuatu berdasarkan sudut pandang tokoh utama. Jadi kalo Kirana berhalusinasi, Nada harusnya melihat dia sendirian, tapi masalahnya di sini adalah, ada orang misterius yang mungkin aja terlibat, yang berarti itu bukan delusi."

"Seperti apa wujud si berengsek itu?" Rava tampak berbeda. Pria yang biasanya terlihat ceria itu, kini menjadi sosok yang terlihat agak menakutkan. Bahkan terlihat jelas, kantung hitam di bawah matanya.

"Entah, orang ini asing. Aku pun belum pernah lihat dia. Yang jelas, ketika aku lihat dia, dia ngelihat balik sambil tersenyum ke arah aku. Karena merasa takut, aku keluar dari mode psikometri."

"Itu orang yang sama dengan yang ngikutin Kirana?" sambung Rava.

"Jujur aku enggak tahu, tapi kemungkinan besar. Iya." Nada tampak memikirkan segala kemungkinan. "Orang yang ditemui Kirana itu pake jaket bomber warna krem, sementara yang ngikutin dia itu pake hoodie hitam, tapi enggak nutup kemungkinan orang ini punya banyak jaket, mengingat postur dan tinggi kedua orang ini sama. Bisa jadi mereka memang orang yang sama."

"Orang itu--ngelihat ke arah kamu?" tanya Chandra.

"Iya."

"Yakin bukan ke orang lain? Normalnya dia enggak akan bisa lihat kamu, kan?"

"Normalnya begitu, dan ini pun baru terjadi kali ini aja. Aku yakin enggak ada siapa-siapa di sekitar aku, kecuali dia dan Kirana. Orang itu cuma muncul ketika Kirana sendirian." Nada tiba-tiba saja memegangi kepalanya, hidungnya mengeluarkan darah. Samar-samar ia mengingat sesuatu. "Kencana Selatan." Semua menatapnya dengan heran. Nada membersihkan darahnya, lalu menatap seluruh anak Tantra. "Jaket bombernya punya tulisan Kencana Selatan di bagian belakang."

"Menyebar," titah Chandra. "Cari seluruh informasi tentang orang dengan jaket bomber krem bertuliskan Kencana Selatan." Tantra memulai penyelidikan. Berkat Nada, mereka menemukan secuil harapan.

Ketika Nada hendak berjalan pergi, Chandra memanggilnya. "Hei, jangan terlibat apa pun, jangan terlalu memaksakan diri. Bisa jadi, orang itu bener-bener ngeliat kamu waktu dalam mode psikometri."

Nada hanya mengacungkan jempolnya, dan berjalan pergi. Sejujurnya Chandra khawatir pada Nada, tetapi tak sebesar ia mengkhawatirkan Kirana. Chandra, biarpun ia terlihat dingin, tetapi memiliki empati yang cukup tinggi.

***

"Nada, itu sarapannya dimakan! Jangan bengong mulu," ucap Melodi.

"Maaf, aku lagi enggak fokus."

"Kamu kenapa sih? Ada masalah apa sih?"

"Konflik internal Tantra," jawab Nada.

"Tantra, ya?" Melodi tampak tidak bersemangat. "Kamu ngapain aja sama Deva?"

"Hah?! Aku aja jarang ngobrol sama Deva. Kamu jangan cemburu dong."

"Aku penasaran sama aktivitas kalian tau!"

"Nada, Melodi, ayo berangkat! Ini malah ngobrol, udah ditungguin juga sama Ayahnya!" Aqilla tiba-tiba saja datang sambil membawa sapu lidi.

"Kabur! Ada monster sapu lidi!" Melodi berlari sambil terkekeh. Ia mengambil tasnya yang berada di meja ruang tamu, lalu langsung menuju mobil diikuti Nada.

"Heran itu anak dua, seneng banget bikin ayahnya terlambat mulu akhir-akhir ini."

Tak lama setelah Nada dan Melodi pergi, Aqilla mengantar Vian ke sekolahnya. Hari ini tampak aneh, Vian merasakan hawa yang tak mengenakan dari gedung SMA, hal itu membuatnya merinding.

"Kekeke." Seta menyeringai ke arah Vian yang baru saja ditinggal oleh bundanya. "Kau juga merasakannya, ya?" Mereka berdua menatap ke arah gedung SMA. Raut wajah Seta berubah, ia tampaknya juga tak senang dengan aura misterius ini. "Cih, aroma penyihir."

Saat ini, Raja sedang tak berada di singgasananya. Tanpa kehadiran Surya, Dharmawangsa benar-benar terasa mencekam. Bukan hanya dua bocil itu. Deva yang sedang duduk di kelasnya juga ikut merinding. Kevin terus menatap ke arah Kirana yang hari ini baru mulai masuk kembali. Lalu Rava yang baru saja turun dari kendaraannya pun merasakan aura yang tak sedap. Bukan hanya mereka. Gemma dan Dirga, dua kepala sekolah itu juga merasakan hal yang sama mengerikannya.

Suara lonceng samar-samar terdengar. Entah datang dari mana, yang jelas, suara itu dibawa oleh angin yang berhembus cukup kencang pagi ini. Tatapan Kirana kosong, ia beranjak dari duduknya, lalu berjalan keluar kelas, padahal sebentar lagi jam pelajaran akan dimulai. Menyadari itu, Kevin pun beranjak, ia berjalan mengikuti Kirana.

Kirana berjalan menuju atap. Dan sepertinya, suara lonceng itu pun berasal dari atap. Kevin terus mengikuti Kirana, hingga gadis itu menoleh dan mengarahkan tangannya pada Kevin. Dalam waktu yang cepat, Kevin terpental ke tembok karena telekinesis Kirana. Kevin berusaha bergerak, tetapi tubuhnya menolak, seperti ada dorongan yang sangat kuat menahannya. Kirana lanjut berjalan, dan membuka pintu rooftop, ia berjalan keluar, lalu menutup pintunya kembali.

Kevin terjatuh, ia segera berlari mengejar Kirana, tetapi pintu itu terkunci. "Kirana!" Pria itu mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Nada, tetapi panggilannya diabaikan. Hingga beberapa panggilan, barulah Nada mengangkatnya.

"Kenapa, Kev?"

"Nada! Waktu kamu ngintip masa lalu Kirana, kamu pernah denger suara lonceng?"

"Lonceng?" Nada memicingkan matanya dari sisi yang lain.

"Iya, lonceng."

Nada berusaha mengingatnya. "Samar-samar kayaknya pernah. Malam itu agak dingin berangin, kayaknya sih ada suara lonceng, tapi enggak terlalu jelas."

"Kapan kamu denger itu?!"

 "Waktu malem-malem Kirana merasa diikuti, sama ...." Nada menghentikan ucapannya.

"Sama apa, Nad?"

"Waktu Dara meninggal," jawab Nada. "Kamu kenapa, Kev?"

Kevin mematikan panggilan itu dan berusaha membuka pintu. Dengan seluruh kekuatannya, Kevin menendang pintu atap hingga terbuka. Namun, tak ada siapa pun di sana. Hanya ada jaket bomber krem yang tergeletak di lantai atap, dan goresan darah di lantai yang membentuk sebuah tulisan. 'Dunia akan lebih baik tanpa kehadiran monster'

Kevin berusaha mencari Kirana, tetapi tak ia temukan di mana pun kehadiran gadis itu. Kevin berjalan ke ujung atap, ia mengintip ke arah bawah. Matanya terbelalak mendapati Kirana yang berlumuran darah di bawah sana. Banyak orang yang kini mengelilinginya sambil menatap gadis itu. Keadaan SMA Dharmawangsa menjadi panik. Seluruh guru SMA keluar dan berusaha menenagkan murid lainnya. Kevin terdiam seribu bahasa. Wajahnya tak memiliki ekspresi, tetapi ia air matanya berlinang.

Deva terdiam ketika sosok Kirana terjun dan lewat di jendela sampingnya. Ia berharap itu hanyalah halusinasinya saja. Namun, sepertinya mendengar teriakan orang-orang di luar kelas--hal itu adalah sebuah kenyataan, bukan halusinasi. Deva tak berani menatap ke lantai bawah.

Sementara Rava yang baru saja tiba di sekolah, dikejutkan dengan sosok wanita pujaannya yang terkapar di lantai berlumuran darah. Rava berlutut, kakinya lemas tak mampu menopang tubuhnya.

Gemma dan Dirga terlambat bergerak. Mereka terlalu meremehkan aura mencekam barusan. Tak ada yang sadar, jika aura itu berasal dari kebencian Kirana terhadap dirinya sendiri. Gadis itu akhirnya sadar, bahwa dialah yang membunuh Dara, dan mengakibatkan Chandra terluka parah. Kirana menganggap bahwa dirinya monster berbahaya yang kehadirannya hanya mampu menyakiti orang-orang di sekitarnya. Hingga ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top