46 : Kematian Dara

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Aurelia Dara Puspita. Gadis manis itu menyukai seorang lelaki yang pendiam, dengan tatapan yang dingin dan tegas, serta hawa yang misterius. Kevin Wijayakusuma namanya, laki-laki tertampan di jajaran para lelaki di sekolah. Best of the best, between on the best.

Tak ada seorang pun yang pernah dekat dengan Kevin, Ia terlalu garang untuk diajak berteman. Tatapannya membunuh nyali siapa pun yang berusaha mendekat. Kecuali Dara. Gadis itu getol sekali menggoda Kevin dengan cara mengganggunya terus menerus. Bahkan berani duduk di kursi yang selalu kosong di samping Kevin.

Tusukan manja menggunakan mata pensil, memasukkan penghapus ke dalam kerah seragamnya, serta rambutnya yang kerap diacak-acak. Kevin mendapatkan perlakuan itu hampir setiap hari dari Dara. Namun, ia sama sekali tak merespon, seolah, itu bukanlah sesuatu yang berarti, meskipun pada awalnya, Kevin cukup terganggu dengan hal-hal itu.

Hal itu terjadi terus, menerus. Hingga pada suatu hari, Dara tak masuk sekolah beberapa hari karena sakit. Tentu saja, ketidak hadiran Dara berdampak pada Kevin. Lelaki itu terus menatap kursi kosong yang berada di sebelahnya. Sejujurnya, ia mulai menyukai diganggu oleh gadis yang biasa duduk di sampingnya. Hingga, Kevin memutuskan untuk menjenguk Dara di rumahnya. Bermodalkan klervoyans, Kevin mencari tahu sendiri lokasi rumah Dara.

"Kevin, mau ke mana?" sapa seorang gadis ketika Kevin hendak keluar gerbang sekolah. Namun, Kevin tak merespon, ia berjalan mengabaikan gadis itu. Kevin sadar, gadis itu mengikuti, tetapi ia tak peduli dan melanjutkan langkahnya menuju rumah Dara.

Langkahnya menuntun Kevin ke sebuah rumah yang tak terlalu besar, tetapi cukup elegan dipandang. Baru saja berniat untuk mengucap salam, Dara keluar dari rumah itu. Sejujurnya ia kaget melihat Kevin sedang berdiri di depan rumahnya. Apa lagi bersama seorang gadis cantik, yang ia tahu merupakan wakil ketua OSIS, Kirana Bhayangkari.

"Kevin, Kirana ... kalian ngapain?"

"Gimana keadaan kamu?"

Tentu saja, satu pertanyaan itu merubah banyak hal. Baik Dara, maupun Kirana menatap Kevin yang hampir tak pernah berbicara. Kini menanyakan kabar seseorang.

Dara tersenyum. "Baik. Palingan besok juga udah mulai masuk. Kamu apa kabar?"

Kevin tak mejawab. Ia memutar tubuhnya, dan berjalan pergi. Hal itu membuat Dara mengerutkan dahinya.

Namun, Kevin menghentikan langkahnya, kemudian menoleh dengan senyum yang mungkin pertama kali ia tunjukkan di depan orang lain. "Sampai jumpa besok."

Kirana kenal Kevin lebih dari siapa pun, mengingat rumah mereka dekat, dan orang tua mereka cukup akrab sedari mereka kecil. Bahkan untuk Kirana sekali pun, hal ini merupakan sesuatu yang baru.

***

Hari pun berganti, seperti biasa, Dara selalu mengganggu Kevin. Namun, hari ini ada yang berbeda, wanita itu memberikan sebuah gantungan kunci berbentuk hati pada Kevin.

"Apa ini?" tanya Kevin sambil menatap gantungan tersebut.

"I love you." Dara terkekeh, seolah-olah itu hanyalah candaan.

Namun, Kevin menangkapnya bukan sebuah candaan. Ya, dia memang seperti itu, kaku.

"I love you too."

Wajah konyol Dara seketika berubah. Ia menatap tajam ke arah Kevin yang baru saja membalas leluconnya, tetapi ia tahu, Kevin bukan seorang yang memiliki humor seperti itu.

"Kamu--belajar bercanda?" tanya Dara.

Kevin tak menjawab, ia hanya menangkap punggung tangan milik Dara, lalu menggenggamnya erat. Tentu saja dengan senyumnya yang langka.

Hari itu, kelasnya menjadi saksi. Kedua orang itu resmi berpacaran. Di mana ada Dara, di situ ada Kevin. Tentu saja, hal itu terdengar di telinga Kirana.

"Kalian pacaran?" tanya Kirana pada Kevin dan Dara. "Cieee, selamat ya."

Entah, sejak saat itu. Kirana dan Dara bersahabat. Pada satu hari, Kirana dan Dara membuat janji untuk bertemu di danau kampus ITB. Dipertemuan itu, Kirana memberitahu Dara, bahwa Kevin memiliki kemampuan unik. Ia mampu menemukan lokasi orang lain, atau benda apa pun, tanpa harus mencarinya.

"Kalo gitu, Kevin keren, dong?"

"Kamu enggak nganggap kalo Kevin itu aneh?" tanya Kirana balik.

Dara hanya menggeleng. "Aku pun juga orang yang unik. Percaya enggak percaya, aku bisa ngomong sama hewan."

Kirana memicingkan matanya. "Serius?"

"Banyak yang anggap aku itu aneh. Cuma Kevin yang enggak pernah lihat aku dengan tatapan aneh kayak gitu."

Kirana berusaha meraih sebuah batu yang jauh dari tempatnya berpijak. Sementara Dara hanya menatapnya dengan heran. "Kamu ngapain?"

Batu itu bergerak, dan melesat ke arah Kirana. Segera ia menangkap batu itu, dan memperlihatkannya pada Dara. "Aku bisa telekinesis."

"Keren!" Dara sangat terkagum-kagum dengan kemampuan Kirana.

"Keren? Kamu enggak takut?"

Dara menggeleng. "Itu keren!" Jawaban darinya membuat Kirana tersenyum.

Sejak saat itu, mereka bertiga selalu bersama, meskipun hadirnya Kirana hanya menjadi nyamuk di antara mereka. Namun, tak ada masalah sejauh ini.

***

Hingga perasaan itu timbul, sebuah rasa cemburu ketika melihat Kevin dan Dara terus bermesraan. Dan lagi, mereka berada dalam kelas yang sama, bahkan duduk semeja.

Aku yang kenal Kevin lebih dulu. Kenapa harus Dara yang jadian sama Kevin?

Perasaan itu terus bergejolak dalam dirinya. Membuat mood Kirana sering berubah dengan sangat ekstrim. Dari tertawa, tiba-tiba menangis. Dari diam, menjadi marah. Entah, psikisnya mulai terguncang karena pikirannya sendiri.

Sejujurnya sudah dari kecil Kirana menyukai Kevin. Ia selalu bermain dengan Kevin ketika kecil dahulu. Kevin mengetahui kemampuan Kirana, begitu pun sebaliknya.

Pada suatu malam yang sepi dan sunyi, Kirana pulang terlambat akibat rapat OSIS. Diperjalanan pulang, ia merasa diikuti oleh seseorang, hingga membuatnya mempercepat langkahnya. Hingga tanpa sadar, ia menabrak seseorang hingga mereka terjatuh berdua.

"Kirana?"

"Dara, kamu ngapain?"

"Aku habis beli makanan buat adik-adik aku. Kamu sendiri, dari mana? Kok masih pake seragam sekolah?"

"Nanti aja kita bicarain lagi, sekarang aku harus pergi." Kirana berjalan dengan langkah yang tidak normal. Dara cukup khawatir dengan hal itu.

"Kirana kenapa, ya?" gumam Dara.

Kirana merasa panik, bahkan ia lupa jalan menuju rumahnya sendiri. Perasaan was-wasnya membuat ia ketakutan setengah mati. Sebuah tangan menepuk pundaknya.

"Hey, kamu enggak apa-apa? Aku khawatir." Dara rupanya mengikuti Kirana yang terlihat resah.

Kirana memicingkan matanya. "Kamu, ya, orangnya?"

"Aku? Kenapa?" Tentu saja Dara merasa heran.

"Kamu, kan, yang selama ini ngikutin aku?"

"Enggak, tuh, baru sekarnag aja. Gara-gara khawatir sama kamu."

Kirana tersenyum kecut. "Khawatir?" Ia mulai tertawa. "Bahkan kamu enggak punya rasa bersalah ngerebut Kevin dari aku, kan?"

"Kevin? Kevin enggak pernah cerita tentang kamu. Aku enggak tahu ada hubungan apa di antara kalian. Yang aku tahu, Kevin suka aku, aku suka dia."

Dara sedang menatap Kirana dengan pandangan yang bertanya-tanya, penuh dengan rasa bingung. Sementara di mata Kirana, Dara sedang tertawa terbahak-bahak. Ada yang salah dengan pikirannya.

"Jangan ketawa," ucap Kirana dengan pandangan yang tajam.

"Ketawa apa sih? Aku enggak keta ...." Belum sempat Dara menyelesaikan ucapannya. Sebuah benda menghantam kepalanya dari belakang. "Aduh." Dara memekik sambil memegangi kepalanya. Telapak tangannya merasakan sesuatu yang basah dan kental.

Sementara Kirana menatap seorang pria dengan pakaian serba hitam sedang berdiri di belakang Dara. "Siapa kamu?!" Sontak membuat Dara menatap ke arah belakang, tetapi tak ia temukan siapa pun di belakang dirinya.

Kirana membantu Dara untuk berdiri, kemudian ia membopong Dara bergerak sejauh mungkin dari orang yang ia lihat. "Kita harus lari, sebelum dia mulai bergerak."

"Siapa? Aku enggak lihat siapa-siapa. Kamu kenapa sih?"

"Nanti aja kita omongin. Sekarang, kita harus kabur ke tempat yang aman." Kirana terus membawa Dara ke rumah sakit yang tak jauh dari posisi mereka.

Bagi Dara, Kirana adalah orang yang menggerakkan benda tersebut dengan telekinesisnya, hingga membuat kepalanya terluka. Namun, perlahan, Dara mulai menarik kesimpulan, bahwa Kirana sedang berhalusinasi. Ia takut pada dirinya sendiri.

***

Setelah kejadian itu, semua kembali normal. Kirana tak pernah berhalusinasi lagi hingga mereka duduk di kursi SMA kelas satu. Namun, Dara tak pernah memberitahukan siapa pun perihal halusinasi yang dialami oleh Kirana. Ia sempat menutupi kejadian yang menimpanya, dan menyetujui segala ucapan Kirana yang melihat ada seseorang memukul kepalanya hingga berdarah.

Secara kebetulan, Kevin, Dara, dan Kirana masuk ke sekolah yang sama dengan Surya, Rava, dan juga Deva yang baru saja pindah ke Bandung beberapa minggu lalu. Ketika dalam wujud Chandra, Yudistira itu mampu mengendus orang lain yang memiliki cakra terbuka, atau istilah lainnya indera keenam. Begitulah Chandra menemukan Kevin dan kedua dayang-dayangnya.

Indera keenam bukan melulu bicara tentang mata batin yang dapat melihat makhluk tak kasat mata. Dalam makna lain, adalah kemampuan tersembunyi yang manusia miliki.

Hari itu akhirnya tiba, di mana mereka semua sepakat untuk membuat regu supranatural bernama Tantra. Dara berkata, bahwa kekuatan ada untuk melindungi yang lemah. Ia berkata seperti itu, karena ingin menyelamatkan orang lain, termasuk Kirana yang ia ketahui memiliki beberapa penyakit psikologi.

Kevin dan Dara. Kemesraan mereka semakin hari semakin bertambah. Sesekali, Rava menyadari, ketika Kevin dan Dara sedang bermesraan, ada sebuah pergerakan benda-benda yang tak terlalu disadari oleh orang lain. Tentu saja, hal itu ia ketahui akibat menguping isi pikiran Kirana yang terbakar api cemburu. Semejak itu, Rava selalu memperhatikan gerak-gerik Kirana.

Gejolak yang perlahan membakar habis akal sehat Kirana, akhirnya memunculkan sebuah delusi berkepanjangan. Ia selalu merasa resah, terkadang Kirana merasa seseorang selalu mengikutinya lagi. Menyadari tingkah Kirana, Dara mencoba melakukan pendekatan, tanpa ia ketahui, bahwa dirinyalah sumber kecemasan Kirana.

Siang itu cukup terik. Kirana dan Dara berdua di dalam markas Tantra. "Kamu mau soda?" Dara mengambil beberapa soda kalengan dari dalam kulkas mini. "Panas-panas gini seger loh minum soda."

Ketika sedang meminum soda tersebut, tiba-tiba saja kaleng soda yang dipegang oleh Dara remuk. Sontak membuat Dara menatap Kirana.

"Kamu merasa menang karena punya Kevin?"

Dara memicingkan matanya. Kesalahan terbesarnya adalah, tidak pernah memberitahu siapa pun tentang penyakit psikis Kirana.

"Kamu ngomong apa sih? Sejujurnya, kalo emang merasa terganggu dengan aku dan Kevin, aku bisa kok enggak terlalu menampilkan hubungan kami di depan kamu."

"Kevin itu punyaku."

"Kirana. Kevin itu pacarku. Kita pernah bahas ini dulu. Kalo kamu suka sama dia, harusnya kamu bilang, tapi kamu enggak pernah bilang tentang perasaan kamu ke dia, kan?"

Kirana tersenyum menatap Dara. "Kamu enggak suka, kan? Setiap kali kalian jalan, aku selalu ikut. Iya, kan? Makanya, kamu ngikutin aku terus kalo aku sendirian. Kamu bikin teror buat aku, kan?"

"Kamu berhalusinasi, Na. Enggak ada yang ngikutin kamu. Baik aku, atau siapa pun. Waktu itu juga. Enggak ada yang mukul aku. Itu kamu. Telekinesis kamu yang menghantam kepala aku." Dara beranjak dari duduknya, ia berjalan ke arah pintu. "Kamu butuh waktu buat nenangin diri kayaknya."

Namun, pintu terkunci dengan sendirinya. "Kamu mau kabur? Kamu takut, kan, sama aku?"

Dara menoleh ke arah Kirana. Kini gadis itu sedang menyeringai ke arahnya. Suara pisau yang keluar dari tempatnya, membuat Dara mulai berkeringat. "Na, kendaliin diri kamu, Na. Inget, kekuatan ada untuk melindungi yang lemah. Bukan untuk menyakiti."

"Kamu ngomong apa sih?" Kirana tampak normal kembali. Emosinya yang meluap seketika menghilang.

Ia menatap ke arah pisau-pisau yang melayang mengacung ke arah Dara. "Dara! Awas! Dia muncul lagi!" Lagi-lagi, Kirana menatap orang yang sebenarnya hanyalah delusinya semata.

"Apa pun itu. Itu bukan orang, Na. Itu adalah kekuatan kamu sendiri! Kendaliin itu, Na!"

Satu pisau melesat menancap di bahu Dara. Ketika Dara hendak berteriak, sebuah kaleng minuman soda melesat menyumpal mulutnya.

"Dara!" ketika Kirana hendak menolong Dara. Salah satu pisaunya melesat ke arah dirinya sendiri, dan melukai lengannya. "Aw," pekiknya menahan perih.

Kini sosok Dara melayang, kaleng itu semakin dalam menyumpal mulutnya, hingga membuat Dara menangis, karena pinggir bibirnya tergores kaleng yang tak lagi bagus kondisinya.

Tiba-tiba saja, Dara terlempar hingga kepalanya membentur tembok. Darah segar mengalir dari bahu dan kepalanya. Hal itu terjadi berulang-ulang, kepala Dara terbentur beberapa kali, hingga membuatnya tak sadarkan diri. Kirana berteriak sekeras mungkin untuk meminta pertolongan.

Ketika pintu terbuka, kaca jendela pecah begitu saja. Surya dan Deva menatap Kirana yang sedang menangis sambil memegangi lengannya yang berdarah. Kirana berlari ke arah Dara yang tak sadarkan diri dengan luka yang cukup parah.

"Orang itu kabur lewat jendela!" ucap Kirana sambil memeluk Dara.

Deva sontak mengenakan Tumenggung dan hendak mengejar pelakunya, tetapi Surya menahannya. "Prioritas utama ada di Dara. Bawa dia ke rumah sakit terdekat, cepat!"

Secara mendadak Deva berada di samping Dara dan Kirana, lalu menggendong Dara. Kedua orang itu menghilang dari pandangan Surya, dan juga Kirana. Tak lama, Kevin datang menyusul bersama Rava. Ia melihat bercak darah di mana-mana. "Mana Dara?" tanya Kevin.

"Deva membawa Dara, mereka menuju rumah sakit terdekat," jawab Surya. "Dara, terluka parah."

Tanpa kata, Kevin segera berlari menuju motornya, dan langsung menyusul Deva. Sementara Rava berusaha menenangkan Kirana. Dan Surya mempelajari kerusakan yang ada di markas, ia berusaha mempelajari setiap detail sekecil apa pun.

***

Kevin yang baru saja tiba di rumah sakit, melihat Deva yang sedang duduk di depan ruang operasi. "Dev, gimana keadaan Dara?"

Kevin menatap Deva, tanpa tahu jawaban pria itu, tentu saja Kevin paham. Bahwa Dara tidak baik-baik saja, melihat banyaknya darah yang mengotori pakaian Deva.

Mereka berdua menunggu, hingga Rava, Kirana, dan Surya datang menyusul. "Gimana keadaan Dara?" tanya Kirana.

"Siapa yang udah bikin Dara sampai begitu?" tanya Kevin yang terlihat marah.

"Aku enggak lihat jelas orangnya. Dia orang yang pernah mukul kepala Dara sampai berdarah," jawab Kirana.

Mereka semu menatap ke arah pintu yang terbuka. Seorang dokter keluar dari kamar operasi. "Gimana keadaan Dara, Dok?" tanya Kevin.

"Kami sudah berusaha sebaik mungkin ...."

Ah, kalimat itu akhirnya keluar, kaliamat yang selalu muncul di televisi. Sebuah pengumuman, bahwasanya pasien telah meninggal dunia.

Semua anggota Tantra tertunduk, Kevin pun berlutut. Kakinya tak mampu menopang dirinya untuk berdiri. Seperti, ia telah kehilangan separuh nyawanya.

Hari itu Dara tewas akibat kehilangan banyak darah. Luka di kepalanya cukup fatal, bahunya pun cukup dalam menerima tusukan pisau, dan juga mulutnya yang robek akibat kaleng minuman bersoda.

"Aku akan mencari orang itu. Aku enggak bisa maafin dia." Kirana tampak menahan emosinya. Ia tak menyadari apa yang telah ia perbuat.

Kevin tak bisa berkata-kata. Ia pun ingin mencari dalang di balik kematian kekasihinya.

***

Entah sudah berapa hari berlalu semenjak kematian Dara. Hari itu, Surya duduk bermeditasi. Ia berbicara dengan kembaran satu tubuhnya, Chandra.

"Enggak ada sidik jari orang lain di dalam sana. Bahkan kaleng yang menyumpal mulut Dara sampe robek pun enggak ada sidik jari orang lain, selain dirinya sendiri."

"Apa maksud lu, ini adalah bunuh diri?" tanya Surya.

"Seharusnya, Kirana menghentikan itu, jika ini adalah percobaan bunuh diri," sanggah Chandra.

"Maksud lu?"

"Telekinesis. Kirana bisa menggerakkan benda-benda di sekitarnya tanpa menyentuhnya, kan?" tanya Chandra.

"Maksud lu--Kirana yang bunuh Dara?"

"Maybe yes, maybe no." Chandra kini beranjak dari duduknya. "Kita akan segera tahu. Apakah dia pelakunya, atau ada orang lain yang memang punya kemampuan di luar nalar kita."

Chandra memanggil Kirana ke markas. Mereka kini hanya berdua di dalam ruangan. Chandra menatap Kirana dengan mata birunya. "Jawab semua pertanyaanku dengan jujur." Kirana mengangguk dengan tatapan kosong.

"Apa yang kamu dan Dara lakukan hari itu?"

"Kami bertengkar. Dara merebut Kevin dari aku. Dia pun terus mengolok-ngolok aku, entah dengan tujuan apa."

Dara memprovokasi Kirana?

"Jadi, itu alasan kamu membunuh Dara?"

Kirana menggeleng. "Aku memang kesal pada Dara, tetapi bukan aku pembunuhnya. Orang itu muncul entah dari mana, dan melemparkan pisau ke arah Dara, dan juga aku. Orang itu melempar Dara, dan membenturkan kepalanya hingga berdarah. Aku ketakutan dan berteriak sekeras mungkin untuk mencari pertolongan."

"Siapa orang itu?"

"Tidak tahu."

"Apa motifnya?"

"Tidak tahu."

"Bagaimana ciri-cirinya?"

"Tidak tahu."

Chandra tak menemukan petunjuk apa pun. "Oke, terakhir. Kamu pernah menyinggung tentang orang itu. Kamu bilang, sebelumnya, dia pernah nyerang Dara?"

"Iya. Dia selalu mengawasiku. Dia datang di saat keadaan sepi. Aku pikir, orang itu Dara, tapi malam itu, Dara dipukul olehnya hingga kepalanya berdarah."

"Apa orang itu punya kemampuan aneh seperti kita?"

"Tidak tahu."

"Oke. Ketika kamu sadar, kamu enggak akan pernah inget dengan sesi tanya jawab ini. Sekarang, kamu boleh sadar."

Kirana menatap Chandra dengan heran. "Kenapa aku dipanggil ke sini sendirian?" tanya Kirana.

"Mulai saat ini, hati-hati, oke. Kita enggak tahu, kapan musuh datang lagi. Kamu pernah ketemu sama dia, jadi besar kemungkinan kamu menjadi incaran dia lagi."

Kirana hanya mengangguk. "Terimakasih perhatiannya. Aku selalu waspada terhadap hal sekecil apa pun kok."

"Yaudah, cuma itu aja. Kamu boleh pulang."

Kirana keluar dari ruangan, sementara Chandra duduk sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa. Tak lama berselang, Kevin masuk ke dalam markas. "Gua denger semua, tentang percakapan kalian."

"Oh. Bagus dong," balas Chandra. "Jadi enggak perlu nuduh Kirana lagi, kan?"

"Malam itu, gua janjian sama Dara di supermarket. Dara sekalian beli makanan buat keluarganya, tapi malam itu, Dara enggak muncul, dan akhirnya gua putuskan buat mencari dia menggunakan klervoyans.

Chandra hanya duduk sambil mendengarkan cerita Kevin.

"Pipa itu melayang menghantam kepala Dara. Enggak ada siapa pun. Cuma ada, Kirana, Dara, dan gua yang kehadirannya enggak mereka sadari."

"Jadi, maksud lu, Kirana yang nyerang Dara?"

"Entah, Kirana berteriak histeris waktu itu. Dia takut dengan sesuatu yang mungkin gua enggak sadari, kemudian dia membantu Dara ke rumah sakit. Gua menyusuri semua jalan, dan enggak menemukan orang yang mencurigakan."

"Jadi, mungkin aja ini ada kaitannya dengan makhluk astral?" tanya Chandra.

Kevin hanya mengangkat bahunya. "Entah. Yang jelas, gua berusaha percaya, bahwa itu bukan Kirana. Karena Kirana berusaha untuk menolong Dara, dan dia terlihat ketakutan akan sesuatu."

Chandra menghela napas. "Oke, kita akan cari tahu sampai masalah ini selesai. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan. Kita akan cari pelakunya. Permbicaraan selesai."

.

.

.

TBC


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top