45 : Pria Dengan Senyuman
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.
Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.
.
.
.
Dua hari berlalu setelah insiden Kirana yang mengamuk. Kini Surya duduk menatap keluar jendela, jarum infus masih tertancap di tangannya. Ia kehabisan banyak darah, akibat beberapa tusukan pisau pada bahunya.
"Wah, wah, wah. Jendralnya tumbang," ucap seorang lelaki yang bersandar di samping pintu.
Surya menoleh dan menatap orang itu, lalu memalingkan kembali wajahnya menatap keluar jendela. "Jauh-jauh dari Jakarta, cuma buat ngomong begitu?"
Lelaki itu memiliki senyum yang kurang menyenangkan. "Ayolah, jangan galak begitu." Kini ia duduk di pinggiran kasur Surya.
"Jadi--ngapain di Bandung? Enggak mungkin, kan, cuma buat jenguk gua?"
"Yah, sebenernya mau ikut sama orang tua aja yang lagi tugas ke Bandung. Eh, kebetulan ada Yudistira yang terluka." Orang itu ikut menatap keluar jendela. "Tapi, ya--siapa yang nyangka. Pelakunya justru anak Tantra sendiri."
"Ini konflik internal, sebaiknya lu enggak usah ikut campur." Surya berusaha memperingati orang itu. Meskipun tak menatapnya, Surya cukup mampu menekan orang itu dengan suaranya yang tegas.
"Bukannya yang ikut campur itu kalian?" balas orang itu. "Melulu ngurusin dan mempersalahkan apa yang kami lakukan? Bagaimana cara kami menolong orang lain."
Kini Surya menatap orang itu.
"Kekuatan ada untuk melindungi yang lemah." Orang itu terkekeh sambil mengucapkan jargon dari Tantra. "Sur, manusia itu enggak selemah yang lu pikirin. Mereka kuat dengan caranya masing-masing. Dan kami--Simfoni Hitam pun begitu. Kami melayani orang-orang yang emang enggak mampu untuk mengatasi masalah mereka sendiri, karena keterbatasan antara mereka sebagai manusia biasa dan para arwah yang mengamuk. Kami ini para pelayan Tuhan."
"Dan meminta bayaran?"
"Ya, bayaran," jawab orang itu pada Surya. "Kita coba lihat ini secara logika. Mereka butuh pertolongan, kita butuh uang. Untuk apa uang? Ongkos, makan, biaya ritual, tenaga, dan banyak hal. Tanpa uang, bisa apa kita? Toh, mereka punya pilihan. Sedikit mengeluarkan uang, lalu masalah paranormal di rumahnya selesai, atau--menyimpan uang tersebut, dan memilih dihantui. Itu pilihan, dan mereka memilih untuk mengeluarkan uang."
"Menolong sesama itu enggak memandang materi."
"Nah! Itu sebabnya, kalian enggak profesional. Nyerang anggota sendiri, really? Apa ada jaminan, orang itu enggak bakal nyerang orang lain di jalan?"
"Cukup. Pembicaraan kita selesai. Gua mau istirahat."
Orang itu hanya tersenyum menatap Surya. "Dude, kalo Tantra mau berkembang, lu harus ubah pola pikir lu."
Suara pintu terbuka. Surya dan orang itu menatap ke arah pintu. Agha masuk membawa bungkusan pelastik.
"Oke, kita lanjutkan ini lain waktu." Orang itu beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah Agha sambil tersenyum. "Jangan lama-lama, dia mau istirahat." Agha hanya menatap orang itu hingga ia keluar pintu.
"Siapa yang tadi?" tanya Agha.
Sejujurnya, Agha jarang berbicara, tetapi aura orang barusan memancing rasa penasarannya.
"Lu pernah ketemu sama orang tuanya. Gua yakin, lu enggak seneng sama orang tuanya karena senyumnya yang terlihat licik. Dan yang barusan tadi, itu anaknya."
Agha masih terdiam, ia tak mampu mencerna seluruh ucapan Surya.
"Rizwana ... pimpinan Simfoni Hitam, anak dari Septaraja. Jangan tatap matanya kalo lagi ngobrol sama dia. Atau, lu bakalan selesai."
"Septaraja. Yah, orang itu menyebalkan. Aku tidak bisa berbohong dihadapannya." Agha sungguh tak menyukai senyum kedua orang itu.
***
Di sisi lain, Rava tak pernah bosan untuk mengunjungi rumah Kirana, meskipun ia kerap ditolak. Kirana tak ingin bertemu dengan siapa pun. Bahkan ia tak masuk sekolah selama dua hari ini.
"Maaf, ya, Nak Rava. Kirananya belum mau ketemu sama orang lain."
"Oh, enggak apa-apa, Bu. Saya cuma khawatir aja sama Kirana," balas Rava. "Kalo gitu saya pamit dulu, permisi." Rava berjalan ke arah motornya. Ia langsung kembali ke rumahnya.
Dari balik jendela kamarnya yang terletak di lantai dua, Kirana menatap Rava yang pergi. Kemudian ia merebahkan dirinya sambil menangis, Kirana menyesali apa yang ia perbuat. Namun, begitulah ia yang seorang bipolar. Emosinya bisa meledak kapan pun. Ia mulai takut dengan dirinya sendiri.
Setengah jam berlalu, kini gadis itu beranjak dari tidurnya, lalu mengenakan sweater berwarna hitam, dan pergi keluar rumah.
Kirana pergi ke danau yang berada di kampus ITB rupanya, ia duduk sambil menikmati semilir angin sore. Tenang rasanya, ia melupakan seluruh masalahnya sejenak.
"Mau ice cream?"
Kirana menoleh ke arah seorang pria yang duduk di sampingnya. Ia tersenyum sambil memberikan Kirana ice cream rasa vanilla.
"Asli, jangan takut. Aku bukan orang jahat, aku juga bukan orang Bandung, cuma orang yang kebetulan lagi di Bandung aja, dan kebetulan juga lagi main ke calon kampus."
"Calon kampus?" tanya Kirana.
"Aku masih kelas tiga SMA." Ia menyematkan senyum pada Kirana. "Dan punya minat masuk ke ITB."
"Kita seangkatan," balas Kirana sambil mengambil ice cream tersebut. "Makasih ice cream nya."
"Rizwana ...," tutur orang asing itu memperkenalkan diri.
"Kirana."
"Nama yang cantik." Rizwana beranjak dari duduknya. "Aku harap kita bisa ketemu lagi."
"Udah mau pergi?"
Rizwana menatap jam tangan miliknya. "Ya, enggak sadar udah jam segini. Aku pergi dulu. Sampai bertemu kembali."
Kirana tak menjawab. Ia hanya duduk sambil memakan ice cream vanilla pemberian Rizwana.
***
Sementara itu, Nada, Deva, dan Kevin sedang berkumpul di markas utama. "Sebenernya, Kirana itu kenapa sih?" tanya Nada. "Dan--Dara itu siapa?"
"Pada awalnya, aku, Chandra, dan Rava itu anak pindahan. Kita persis sama, Nad, dulu anak Jakarta. Kita melabeli diri kita sebagai Mantra," celetuk Deva. "Sementara Kevin, Kirana, dan Dara itu asli Bandung. Jadi kita enggak mungkin pake nama Mantra sebagai tim. Dan akhirnya terbentuklah Tantra."
"Aku tahu kalo soal kamu dari Jakarta," balas Nada. "Kalian dulu berteman dekat sama Harits."
"Harits, ya ... si berengsek itu."
"Dia enggak berengsek! Jangan panggil Harits begitu." Nada terlihat emosi ketika Deva menyebut Harits berengsek.
"Bukan waktunya berdebat. Kita balik ke poin utama." Deva kembali menatap Kevin. "Perlu cerita, atau kasih tau Nada dari masa lalu lu sendiri?"
Kevin memberikan tangannya. Ia mengisyaratkan pada Nada dan juga Deva. 'Terserah'
Sementara Deva memberikan kode dengan matanya pada Nada, untuk menyentuh tangan Kevin.
"Bener enggak apa-apa?" tanya Nada.
"Kamu mau tahu, kan?" balas Kevin. "Silakan, sebelum aku berubah pikiran."
Nada melepas sarung tangan hitamnya, lalu menyentuh tangan Kevin. Sekelibat sinematik mulai menampilkan memori-memori masa lalu Kevin.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top