44 : Badai Besar
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.
Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.
.
.
.
Hari mulai gelap, cuaca kurang bersahabat belakangan hari ini. Bahkan sekarang mereka semua tertahan oleh hujan badai, disertai angin kencang dan petir yang mengamuk. Semua mata tertuju pada satu titik, menatap punggung Chandra yang sedang menulis di papan tulis kapur.
Deva dan Nada mempromosikan Tantra untuk merekrut Melodi. Dia salah satu dari segelintir orang yang memiliki retrokognision di dunia. Memang, dari sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh Chandra, berdasarkan data lapangan yang diperoleh oleh kepolisian, ketika insiden temuan bom. Melodi menjawabnya dengan sangat akurat. Membuktikan bahwa gadis itu memang berada di sana saat kejadian berlangsung.
"Well, kita harus membantu Melodi untuk mengarahkan bakatnya ke arah yang benar," tutur Chandra. Deva dan Nada tersenyum mendengar itu. Dari semua anggota Tantra, hanya Kevin yang terlihat murung. Bukan karena ia tak setuju, tetapi ada sesuatu yang mengganggunya beberapa hari terakhir ini. Ia tampak lebih pendiam dari biasanya.
"Kev, Kevin."
Panggilan itu membuyarkan Kevin dari lamunannya, kini ia menatap Nada. "Apa?"
"Kamu sakit? Setiap pertemuan, kamu kayaknya ngelamun terus? Atau, ada masalah?" tanya Nada.
Kevin hanya menggeleng, tanpa berkomentar. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah pintu. "Mau cari angin sebentar," ucapnya sambil pergi berlalu.
"Rava ... Kevin kenapa?" bisik Kirana pada Rava, ia pikir Rava tahu kenapa Kevin sering melamun belakangan ini, mengingat Rava mampu membaca pikiran.
"Enggak tau," jawab Rava singkat.
"Rav, please ...." Kirana memohon. "Aku khawatir."
Rava menghela napas. "Dari semua orang yang ada di sini, cuma Kevin yang enggak pernah mikirin apa-apa ketika dia masuk ke ruangan ini. Entah, dia emang seorang jenius yang bahkan bisa ngelabuhin telinga ini." Rava menunjuk telinganya. "Dan seandainya pun, aku tahu tentang isi pikiran dia. Aku enggak akan kasih tahu siapa-siapa, karena itu adalah privasi dia."
Nada tiba-tiba bangun, dan berjalan keluar. Ia menghampiri Kevin yang sedang berdiri mematung menatap hujan di teras balkon. Sesekali Kevin melirik ke arahnya, kemudian kembali menatap lurus kosong ke depan.
"Kita temen, kan?" tanya Nada mendadak. "Atau--keluarga?"
Guratan-guratan itu membentuk sebuah kurva. "Keluarga, ya?" Ia tersenyum getir mendengar ucapan Nada.
'Ah--masalah keluarga, ya?' batin Nada. Sebuah trik licik dari kembarannya, ketika Melodi bertanya pada Nada saat Nada sedang tertimpa masalah. Melodi sering melempar beberapa kata, dan ketika Nada mengulang sebuah kata yang Melodi lontarkan, kemungkinan besar itu adalah penyebabnya.
"Lihat Kevin yang pendiem, jadi semakin pendiem itu aneh," ucap Nada sambil ikut menatap hujan. "Enggak apa-apa kalo enggak mau cerita, tapi kalo seandainya butuh telinga, aku siap dengerin."
Kevin membalik tubuhnya, kini ia bersandar pada dinding kayu setinggi punggungnya yang berada di belakangnya, sambil menatap Nada. "Kalo aku butuh bahu?" Nada tak berkomentar, ia hanya mengangkat sebelah bahunya yang paling dekat dengan Kevin. "Sayangnya saat ini aku enggak butuh apa-apa, karena emang enggak ada apa-apa," lanjut Kevin.
"Hmm ... oke. Aku cuma berusaha membantu." Nada melangkahkan kakinya. "Mungkin, kamu butuh waktu sendiri."
Namun, Kevin menangkap tangan mungil itu. "Sayangnya aku enggak mau sendiri." Kini tatapannya berubah. Matanya sayu menatap lantai.
Nada kembali ke posisinya. "Hmm ... oke. Aku temenin." Tak ada kata yang terucap di antara mereka selama beberapa menit. Mereka hanya saling memandangi air Tuhan yang turun ke Bumi dalam diam.
"Aku suka hujan," ucap Kevin mendadak, membuat Nada menoleh padanya.
"Alasannya?"
"Rahasia." Lagi-lagi senyum pemuda itu terlihat getir.
"Kalo aku enggak suka hujan," timpal Nada.
"Karena?"
"Rahasia." Nada tersenyum sambil memasang wajah menyebalkannya. "Kedudukan imbang, Bung!"
Kevin akhirnya tertawa, ia menggelengkan kepalanya. "Senjata makan tuan."
"Karena hujan selalu berpotensi membawa petir," sambung Nada.
Kevin menatap Nada. "Kamu takut petir?" Sementara Nada hanya mengangguk. Mendengar itu, Kevin menatap langit. "Dan saat ini, petir bertahta di langit. Kamu enggak takut? Harusnya kamu sembunyi, kalo takut, kan?"
"Takut," jawab Nada singkat. "Tapi aku belajar, bahwa ada yang lebih menakutkan dari petir."
"Apa?"
"Meninggalkan seorang teman yang terluka sendirian." Wajahnya yang semakin aneh membuat Kevin ingin tertawa, tetapi Kevin mencoba menahannya.
"Emangnya siapa yang terluka?" Kevin kembali tertawa.
"Kev ...." Nada membalik tubuhnya, ia bersandar pada dinding balkon. "Kamu bukan pemain opera yang baik. Kamu emang pinter, ganteng, tinggi, dan bisa segala hal, tapi kamu enggak lihai menyembunyikan apa yang kamu lagi rasain."
Nada ingat betul sosok Harits. Pemuda bertopi aneh itu sangat pandai dalam memainkan ekspresinya. Jika Harits adalah seorang pemain opera yang sangat baik, dengan berbagai topengnya. Kevin sebaliknya, ia tak pandai menyembunyikan wajah aslinya.
Sebenarnya, dari tadi, Kirana mengintip dan menguping pembicaraan mereka berdua dari celah pintu yang terbuka, tetapi kini ia menutup pintu dan kembali duduk dengan wajah yang murung. Gadis itu membenamkan kepalanya di antara siku-sikunya yang terlipat di atas meja. Di tengah dinginnya hujan, api itu justru berkobar.
Di tengah suasana itu, suara aneh membuat Kevin dan Nada menoleh ke dinding kayu yang menjadi sandaran mereka. Kayu itu terlalu tua untuk menopang dua orang sekaligus, kayu yang berada di belakang Nada hancur. Kevin berusaha menangkap Nada agar tidak terjatuh, mengingat mereka berada di lantai dua.
Kevin berhasil menangkap tangan itu, tetapi karena licin, sarung tangan Nada terlepas. Kevin melompat untuk menangkap Nada. Mereka berdua terjatuh dari lantai dua.
* * *
Nada membuka matanya. Kini ia sedang duduk di sebuah bioskop. Mengingat apa yang terjadi, Nada segera celingak-celinguk menatap sekitarnya. 'Psikometri?'
Sebuah cuplikan muncul di layar lebar. Seorang anak kecil yang tinggal di sebuah rumah besar. Sepertinya, rumah itu terlihat familiar untuk Nada. "Kevin?" Ya, itu adalah rumah Kevin Wijayakusuma.
Tak seperti anak lain, Kevin kecil hanya bisa menatap anak-anak itu bermain di lapangan. Sementara ia, terpenjara di dalam pagar rumahnya sendiri.
"Kevin, ayo masuk. Waktunya les piano," ucap Ibunya.
Dari kecil Kevin mendapatkan banyak les private. Mulai dari pembelajaran akademik, basket, hingga musik. Seperti tuan muda, ia memiliki segala hal yang anak lain inginkan di usianya.
Scene berganti secara mendadak. Kevin berdiri di depan seorang pria. "Papa mau pergi lagi?" tanya Kevin kecil dengan polosnya, ketika melihat ayahnya berpakaian rapi.
"Papa pasti pulang sebelum ulang tahun kamu, nak," balas pria itu. "Kamu harus bisa jaga mama, ya!"
"Oke! Kevin akan jaga mama dan semua orang di rumah," balas Kevin sambil memperlihatkan otot-ototnya yang sebenarnya tidak ada.
Musim terus berganti, Ayahnya tak menepati janjinya. Kevin selalu menunggu, setidaknya ia ingin ayahnya berbagi waktu dengannya, seperti anak-anak lain. Minimal, ketika mengambil raport, ayahnya datang. Namun, hal itu hanyalah sebuah mimpi belaka. Nyatanya ayahnya lebih memilih memenuhi panggilan pekerjaan di luar kota dan juga luar negeri, ketimbang membersamainya.
Hari ulang tahun Kevin tinggal sebentar lagi. Bahkan, di usianya yang menuju dewasa, ia tak pernah berhenti berharap. Berharap Ayahnya datang untuk memberikan satu hari, untuk menemani Kevin di hari ulang tahunnya. Hal itu yang membuatnya terlihat getir belakangan ini.
Ayah Kevin memiliki tanggung jawab yang besar. Ia adalah salah satu perwira tertinggi di kepolisian khusus bagian anti sihir dan ilmu hitam, Dharma. Bahkan, sejak masih muda ayahnya sudah mendedikasikan dirinya untuk negara. Ia membuang masa mudanya demi menolong orang-orang yang terkena kasus seperti santet dan guna-guna.
Dari seluruh anggota Dharma, hanya ayahnya yang dikirim ke Saudi untuk bergabung dengan pasukan utama anti sihir dan ilmu hitam berskala dunia. Wajar, jika pria yang menjadi ayah dari Kevin Wijayakusuma itu selalu berada di luar rumah. Tugasnya sangat berat, bahkan jika dibandingkan dengan sekelas anggota Dharma seperti Tirta, Septa, Dirga, Gemma, dan Kei sekali pun.
Sejak kecil, Kevin tumbuh tanpa sosok lelaki yang disebut dengan Ayah. Paling-paling hanya sekitar tiga hari, waktu yang paling lama orang itu berada di rumah bersama keluarga. Dan esoknya, ia pergi lagi tanpa waktu yang tak diketahui.
Tak ada yang tahu, pria tampan bernama Kevin itu hanyalah seorang pria kecil yang kesepian. Raganya memang tumbuh dewasa, tetapi jiwanya masihlah anak-anak yang sedang menunggu kepulangan ayahnya.
Tiba-tiba saja layar lebar di hadapan Nada meredup, beriringan dengan suara lirih yang terdengar di telinganya.
"Nad, Nada! Hey!"
Nada membuka matanya, tubuhnya dalam dekapan Kevin, tangan kanan Kevin menjadi bantalan di kepalanya, sementara satu tangannya mendekap erat tangan Kevin yang menganggur. Mereka berdua kini sedang berbaring di lumpur. "Kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Kevin cemas.
Rasanya seperti sudah berhari-hari, tetapi nyatanya Nada baru kehilangan beberapa detik dalam hidupnya untuk melihat semua cuplikan hidup, pria yang kini berada di hadapannya. Gadis itu kini memegangi kepalanya yang sedikit bejol. "Enggak apa-apa kok, cuma pusing aja. Dan--aw." Sepertinya kakinya terkilir akibat jatuh barusan.
"Nada! Kevin!" Deva dan Rava berlari menuruni tangga dan menolong mereka berdua. Nada mengalami keseleo di engkel kaki, sementara Kevin mengalami patah tulang di bagian tangan kanan, akibat jatuh sambil menopang tubuh Nada dengan tangannya.
Mereka berdua dirangkul, dan segera dibawa pulang dengan paksa oleh Deva dan Rava. Sementara Kirana hanya mampu melihat itu semua tanpa berbuat apa-apa. Chandra menyadari arti dari raut wajah Kirana. Kini perasaannya sungguh tak enak. Entah, hanya perasaan Chandra saja, ia merasakan badai besar akan segera datang.
* * *
Beberapa hari berlalu setelah insiden drama jatuh dari lantai dua. Kevin dan Nada sudah pulih, mereka tampak semakin akrab, membuat kecemburuan terukir di wajah Kirana. Jelas, sangat jelas terukir.
Hingga hari ini tiba, kini genap tujuh belas usia pemuda tampan itu. Memang, setiap tahun Kirana selalu memberikan Kevin kado, mengingat mereka berteman dari kecil. Namun, tahun ini berbeda. Kirana bukanlah orang pertama yang memberikan kado ulang tahun pada Kevin, melainkan Nada. Mungkin--Nada hanya ingin menolong Kevin dari rasa kesepiannya, yang merindukan sosok ayah. Ia memberikan papan skateboard pada Kevin.
"Dari mana kamu tahu, kalo aku suka main skate?"
"Dari sini." Nada memamerkan tangannya yang berbalut sarung tangan hitam.
"Curang! Tukang ngintip masa lalu orang!" ledek Kevin sambil tertawa. "Pantes tau-tauan ulang tahun aku. Padahal yang biasanya tau cuma Kirana."
"Suka enggak sama kadonya?" Nada tersenyum.
"Suka, tapi maaf ... papan ini bukan favoritku. Aku punya satu di rumah, papan punya papaku dulu waktu masih muda."
Chandra yang terdiam, telinganya menangkap sesuatu. Sesuatu yang bergetar, sontak matanya mencari keberadaan sesuatu itu.
Semua mata tertuju pada sebuah gelas yang terjatuh dari atas kulkas dan pecah begitu saja. Beberapa benda lain tampak bergerak juga. "Gempa?!" Deva memicingkan matanya, lalu beranjak dari duduknya ,dan berlari keluar untuk memastikan.
Sementara Rava menatap tangan Kirana yang sedang meremas sebuah kotak hadiah hingga hancur, sambil Kirana menatap ke arah Nada penuh dengan kecemburuan. "Na?" panggil Rava secara halus.
"DIAM!" teriak Kirana.
Papan skateboard milik kevin tiba-tiba saja terlempar ke dinding hingga patah menjadi dua. Chandra sontak menatap ke arah dapur mereka yang berada di ruangan itu juga, mengingat markas mereka hanya sebatas kamar serbaguna, dengan dapur dan kamar mandi dalam. Pisau, pisau dan benda tajam lainnya bergerak dan mengarah pada Nada.
"Kirana!" teriak Chandra dengan nada murka. Pimpinan Tantra itu melesat dan menjatuhkan Nada hingga kepalanya terbentur lantai. Setidaknya hanya sebatas benjol ringan yang membekas di kepala Nada, tak seperti Chandra yang tertusuk tiga bilah pisau di bagian bahunya. Darah mengalir membasahi seragam putihnya.
"Chan!" Setelah menatap Chandra yang tertusuk pisau, kini Kevin menatap ke arah Kirana. "Kirana! Kamu gila, ya? Mau bunuh orang?"
"Kirana, tenang. Kevin dan Nada cuma temenan, oke ...."
Mendengar ucapan Rava, Kevin menatap ke arahnya. "Hah?" Ia menatap Rava dengan tatapan bingung.
"Lu seharusnya tau, Kirana itu suka sama lu. Tolonglah hargai dia, seenggaknya jangan terlalu deket sama cewek lain di depan dia," ucap Rava.
"Itu kan hak gua. Mau deket sama siapa, dan mau ngobrol sama siapa. Lagi juga dia enggak pernah ngajak gua ngobrol sejak ngungkapin perasaan dia ke gua, Rav. Lu enggak berhak ngomong kayak gitu ke gua."
"Ini ada apa sih?" Nada tampak bingung dengan semua keadaan ini.
"Nad, kamu juga. Kan kamu sukanya sama Faris, jangan terlalu deket sama Kevin."
"Aku cuma mau bantu dia. Kalian enggak lihat, selama beberapa hari ini Kevin sering ngelamun? Aku cuma berusaha peduli sama orang yang terlihat membutuhkan aku," balas Nada. "Dan, kok kamu tahu tentang Faris? Kamu baca pikiran aku, ya? Dan, kamu sebar privasi aku di sini?"
"Faris? Cowok yang tinggi itu? Yang biasa suka ke rumah kamu? Itu bukannya pacar Melodi?" Kevin memicingkan matanya.
"Melodi itu sukanya sama Deva," jawab Nada.
"Terus, Faris itu--pacar kamu?" tanya Kevin lagi penasaran. Tampaknya ia cemburu.
Melihat suasana yang jadi semakin tak karuan, membuat Kirana semakin depresi. Ia berteriak sambil menggerakkan benda secara random. Kaca-kaca pecah begitu saja. Semua orang bersembunyi di balik meja dan kursi. Beruntung Deva berada di luar ruangan karena terkunci. Kirana yang mengunci pintu, ia menggeser slot pintu dengan telekinesisnya.
"Kirana! Apaan sih!" Kevin mulai berteriak pada Kirana.
"Kenapa sih, kalo aku yang ngajak ngomong, kamu selalu diem dan terlihat menghindar? Tapi giliran Nada--kamu bisa ketawa-tawa? Kita udah sama-sama dari kecil, Vin. Kamu pernah bilang, kalo aku itu, temen pertama kamu, kan?"
"Itu dulu. Semua udah enggak sama, Na," balas Kevin.
"Iya, sejak Dara meninggal, kamu berubah ...."
Ekspresi Kevin berubah ketika Kirana menyebut nama Dara. "Cukup! Jangan bawa-bawa Dara!"
"Selama ini, aku nunggu kamu dengan harapan kamu berubah kayak dulu lagi. Aku-aku ... aku berusaha semampu aku buat balikin kamu jadi Kevin yang ceria lagi."
Kevin menatap Rava yang sedang mencabut pisau dari bahu Chandra, kini pemuda berambut agak berombak itu sedang meringis kesakitan akibat luka yang cukup dalam ia terima. Kevin menggeleng. "Aku yang berharap kamu berubah," balas Kevin. Kini matanya berpindah pada Nada. "Kamu hampir ngulang kesalahan kamu, Na." Lalu berpindah menatap Kirana.
"Kamu juga berpikir kalo aku itu pembunuh Dara? Kamu bilang kita akan bersama-sama buktiin kalo itu bukan aku? Kamu bilang, kita akan cari pelakunya sama-sama?"
Kevin berjalan ke arah Kirana. "Lihat tempat ini sekarang." Ia menatap Kirana dalam-dalam. "Aku berusaha percaya kalo itu bukan kamu, tapi apa? Sekarang dengan mata kepalaku sendiri, aku lihat kamu mau ngelukain Nada."
Kirana menatap markas Tantra yang berantakan. Semua barang tergeletak di lantai seperti kapal pecah. Beberapa gelas, piring, dan juga kaca-kaca jendela pecah. Bahkan kini, ia menatap Chandra yang tertatih berjalan keluar sambil meninggalkan jejak darah, dibantu oleh Rava dan Nada.
"Kalo enggak ada Chandra, kamu udah bunuh orang, Na! Selain Dara, kamu juga bunuh Nada ...." Kevin mendekatkan wajahnya pada telinga Kirana. "Kenapa aku berubah, adalah karena aku takut. Aku takut sama kamu, dan ngejauh karena aku merasa kemampuan kamu terlalu berbahaya, seakan kamu bisa ngelukain siapa aja, kapan aja, di mana aja, sesuka kamu. Kamu selalu merebut apa yang aku suka, dan kamu enggak suka ...."
"Kevin!" Chandra menghentikan langkahnya dan menatap Kevin seolah berkata 'jangan diterusin'.
Kirana tak berkomentar, air matanya terus mengucur deras. Gadis itu berlari keluar melewati Chandra, Nada, Rava, dan Deva yang dari tadi terkunci di luar.
"Na, Kirana ...." Rava memberikan Chandra pada Deva, lalu mengejar Kirana. Sementara Kevin kembali duduk di kursi sambil mengepalkan tangannya. Ia memejamkan matanya sambil menghirup napas dalam-dalam.
Hanya Nada yang tak tahu apa pun. Memang, sepintas ia mengetahui tentang Dara, lewat barang yang pernah ia kembalikan ke rumah Kevin dulu. Namun, Nada masih tak memiliki informasi apa pun tentang Dara, dan semua perkataan Kevin barusan.
Dara, gadis itu merupakan cikal-bakal terbentuknya Tantra dan filosofinya. Bahwa kekuatan ada untuk melindungi yang lemah, dan juga merangkul orang-orang yang memiliki kemampuan berbeda, untuk dibimbing ke arah yang benar.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top