43 : Yang Tumbuh, Tanpa Disirami

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Akibat alasan keamanan, konser Aqilla ditunda selama satu minggu penuh. Beberapa bom yang ditemukan oleh seorang anak kecil menjadi penyebab utamanya. Kini Melodi sedang berada di kamar Nada untuk menemaninya. Besok malam adalah acaranya, kali ini ia ingin berada di sisi Nada hingga akhir. Lagi pula, Melodi sudah dikeluarkan dari grup bandnya akibat pergi begitu saja disaat mereka harusnya naik panggung di hari itu.

"Nada ... aku mau cerita, tapi enggak mau ngomong."

Nada memasang wajah begonya menatap Melodi yang tak kalah bego. "Terus?"

Melodi memberikan kode menatap tangan Nada. Menyadari itu, Nada menatap Melodi dalam-dalam. "Serius?"

"Kamu harus lihat sendiri. Aku enggak mau dianggap gila, dan aku pun enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi," jawab Melodi.

Nada melepas sarung tangannya dan mulai menyentuh punggung tangan Melodi. Sekelibat memori terlintas di benaknya, memori yang baru pertama kali ia lihat, di mana waktu berputar ke arah sebaliknya ketika Melodi kembali ke masa lalu untuk menyelamatkan banyak nyawa, termasuk Nada dan keluarganya tentunya.

Nada mengeluarkan sedikit darah dari hidungnya. Ketika Melodi melakukan gerakan mendadak dan melepaskan dirinya dari tangan Nada, seketika itu juga, kesadaran Nada kembali. Ia membersihkan hidungnya, lalu menatap Melodi dengan bangga.

"Kamu iri sama aku yang punya psikometri, kan?" tanya Nada. "Dan--apa yang kamu lakuin kemarinan itu bener-bener keren! Jauh lebih keren dari psikometri."

"Sejujurnya, aku enggak tahu apa yang terjadi," balas Melodi dengan tatapan sendu.

"Retrokogision!" Nada tampak antusias. "Aku pernah baca tentang macem-macem kemampuan anak indigo waktu belajar tentang psikometri, dan ini salah satunya. Seseorang yang bisa kembali ke masa lalu, tapi dari beberapa kasus yang aku baca, yang sampe bisa ngerubah masa depan itu hampir enggak ada. Dan kamu salah satunya!"

"Really? Sekeren itu?" Hidung Melodi kembang kempis mendengarnya. "Tapi aku enggak tahu cara gunain kemampuan ini. Kayak--semua terjadi secara aku enggak sadar, Nad. Aku pusing dan tiba-tiba pingsan, terus pas sadar lagi, aku kembali ke masa lalu. Begitu pun ketika aku balik lagi ke masa ini."

"Ada satu orang yang seharusnya tahu tentang ini, ayo kita tanya dia."

"Siapa?" Melodi memicingkan matanya.

"Sebentar lagi kamu juga tahu." Nada menyeringai menatap Melodi.

* * *

Kini Tama menatap kedua putrinya yang mengganggunya bekerja di dalam studio. Anak-anak jahanam itu membuat Tama tak konsen bekerja. Mereka bermain gitar dan berteriak-teriak untuk membuyarkan konsentrasi ayahnya.

"Kerjaan--atau anak? Pilih?" ucap Nada.

Tama mematikan monitor komputernya sambil tersenyum pada Melodi dan Nada, dengan senyum yang memaksa. "Kalian," jawabnya singkat.

"Ada sesuatu yang ayah harus tau, dan ini penting! Kalo enggak penting, kita enggak akan ganggu ayah kerja, karena udah pasti uang jajan kita selama beberapa hari bakalan dipotong. Dan karena ayah udah tau, bahwa kita rela dipotong uang jajannya demi hal ini. Ayah harus tau bahwa ini bener-bener penting!" ucap Nada berputar-putar. "Melodi udah tau tentang psikometri kita ...," lanjutnya lirih.

"Nada ...." Tama menatapnya dengan wajah datar.

"Tunggu dulu! Itu bukan kabar utamanya. Aku mau mastiin sesuatu dulu," ucap Nada.

Tama menunggu, seolah berkata 'apa?'

"Bunda punya kemampuan psikis?"

Tama hanya menggeleng.

"Kakek? Nenek?" Nada mengerutkan dahinya.

"Enggak. Cuma ayah aja. Kenapa?"

"Selain psikometri ... ayah punya kemampuan lain?" Nada memicingkan matanya. "Retrokognision, misalnya?"

"Retrokognision?" Tama memicingkan matanya, seolah tak tahu tentang apa itu retrokognision.

Melodi mengambil tangan Tama dan melepas sarung tangannya, ia menempelkan telapak tangannya di telapak tangan Tama. Sekelibat ingatan mengalir dalam pikiran Tama, tentang semua kejadian yang dialami oleh Melodi, terutama beberapa hari terakhir.

"Ayah pernah lihat hal kayak gitu sebelumnya?" tanya Nada ketika Tama sudah selesai melihat kenangan Melodi.

Tama menggeleng sambil mengenakan sarung tangannya kembali. "Ini pertama kalinya ngelihat yang kayak gini lewat psikometri." Ia menatap kedua putrinya bergantian. "Tapi bukan bener-bener yang pertama kalinya secara langsung."

"Maksud--ayah?" Nada mengerutkan dahinya, sambil satu alisnya naik ke atas.

"Pertama kali ayah ngalamin hal serupa, waktu dulu kuliah di Jogja," jawab Tama. "Waktu itu ayah diajak Andis buat uji nyali, ngetes rumor kebenaran tentang hantu penunggu jalanan deket kampus dia."

"A-ayah berani?" tanya Melodi yang ketakutan, ia menduga akan ada sebuah cerita horor yang ia dengar malam hari ini.

Tama hanya mengangkat bahu, mengingat ia sebenarnya juga penakut. "Suatu ketika, ayah merasa pusing dan memutuskan untuk memejamkan mata sebentar sambil memijat kening ayah. Hingga ayah membuka mata kembali, dan keadaan berubah. Yang harusnya saat itu malam, kini berubah menjadi sore hari. Andis juga menghilang, dan tata letak, serta beberapa toko di sana tampak berbeda."

Melodi dan Nada tampak mendengarkan dengan saksama. Tama melanjutkan ceritanya. "Ayah melihat seorang nenek-nenek, dan dia tampak ragu menyebrang jalan. Entah--sore itu, nenek ini mengalami kecelakaan dan meninggal. Arwahnya gentayangan di sana, berharap ada seseorang yang membantunya menyebrang jalan. Lalu, tiba-tiba aja, ayah kembali ke keadaan semula, terus ayah coba ngomong sama Andis, dan ternyata berhasil. Ketika Andis membantu arwah nenek itu, dia bisa tenang."

"Ayah, udah ah! Melo takut nih ...." Melodi memang penakut tingkat akut. Baru mendengar cerita begitu saja ia bergidik ngeri.

"Intinya di sini ada sebuah perbedaan. Yang ayah alami enggak beda jauh sama psikometri. Cuma bedanya, ayah bisa gunain psikometri secara aktif. Ketika psikometri aktif, ayah seakan lagi nonton film aja gitu, tentang masa lalu objek yang ayah sentuh. Sementara, ketika momen yang ayah ceritain berlangsung, ayah bisa jalan, dan merasakan keadaan, serta suasana saat itu terjadi. Bedanya, Melodi bisa berinteraksi sama orang-orang di sana, ayah enggak bisa. Jadi ayah enggak bisa menyimpulkan bahwa ayah seorang retrokognision atau bukan, karena memang hampir enggak pernah kejadian, dan enggak bisa memanfaatkannya secara sadar. Beda sama psikometri."

Ya, setidaknya Nada dan Melo tahu, bahwa Tama pernah mengalami hal itu, dan bisa saja kemampuan itu adalah sesuatu yang tertidur dan kini terbangun, tetapi dengan wujud yang berbeda. Yang jelas, jika Nada mewarisi psikometri, bukannya tak mungkin Melodi memiliki retrokognision yang bahkan Tama sendiri tak sadari.

* * *

Cangkir putih itu berisi kopi hangat, Deva sedang duduk di teras rumah Tama, ditemani oleh Aqilla. "Nanti bunda berangkat duluan bareng om Tama, Vian, dan Nada. Kamu nyusul sama Melodi ya."

"Siap, Bunda!" jawab Deva sambil menyematkan senyum.

Melodi yang baru saja keluar rumah, langsung masuk ke dalam begitu melihat Deva di teras rumahnya. Ia menabrak bahu Nada hingga membuat Nada memekik.

"Kenapa sih tuh orang? Jutek banget," gumam Nada menatap Melodi yang kabur naik ke atas. Ketika keluar rumah, ia melihat Deva sedang duduk di kursi. "Kalian berantem?" tanya Nada pada Deva.

"Aku pun bingung. Kemarin sempet di usir di rumah sakit."

"Oh, itu alasannya kamu selalu muncul setiap hari?"

"Nada!" Aqilla memelototi putrinya.

"Enggak apa-apa, bunda. Nanti juga baikan sendiri," ucap Deva sambil terkekeh.

"Yaudah kalo gitu, bunda berangkat dulu ya." Aqilla beranjak dari duduknya dan berjalan menuju mobil yang sudah berisi dua lelaki tampannya.

"Aku juga berangkat dulu ya, titip Melodi." Nada tersenyum pada Deva dengan senyum yang menyembunyikan banyak arti. Sejujurnya, Nada tahu, apa yang diucapkan Deva ketika bom terakhir hampir meledak. Begitu mobil mereka bergerak keluar rumah, sebuah chat masuk keponsel Deva.

Kamu ngapain sih? Pulang sana.

Deva mulai membalas. Seenggaknya, kalo aku ada salah tolong dikasih tau, apa salahku? Aku minta maaf banget, plis jangan marah.

Tak ada balasan dari Melodi, Deva kembali memberikan pesan. Oke. Aku pulang, kamu berangkat sendiri enggak apa-apa? Sejujurnya aku khawatir, tapi kalo kamu merasa lebih baik tanpa aku, yaudah, aku pergi. Dan sejujurnya juga, aku jadi kepikiran terus dan merasa enggak nyaman, aku jadi enggak konsen ngapa-ngapain.

Sambil berbaring, Melodi membaca pesan Deva. "Enggak konsen ngapa-ngapain? Ih, nanti naik motornya enggak konsen gimana? Gila tuh orang!" Gadis itu berlari turun mengejar Deva.

Deva menghabiskan kopinya dan segera beranjak dari duduknya, tetapi ketika ia hendak berjalan pergi. Melodi muncul dari pintu. "Heh! Mau ke mana? Sini masuk," ucapnya pada Deva dengan nada yang ketus.

Sambil menatap Melodi, Deva masuk  dan duduk di ruang tamu, sementara Melodi duduk di hadapannya. Jarak mereka terpisah oleh sebuah meja yang berbentuk persegi panjang. Tak ada kata yang terucap di antara mereka, hanya diam dan sesekali mencuri-curi pandang.

Telinga Melodi agak bergetar mendengar suara yang berasal dari perut Deva, ia hendak tertawa, tetapi setengah mampus menahannya. 'Jangan ketawa plis, jangan ketawa. Harga diri ini.' Batinnya yang mengingat ia sedang marah, lucu saja jika tiba-tiba humornya hanya sebatas suara perut lelaki yang membuatnya marah.

"Mau makan apa?" tanya Melodi ketus.

"Eh? Enggak kok ...."

"Udah makan belum?" Melodi memotong ucapan Deva yang tampaknya belum selesai.

"Udah."

"Aku enggak suka dibohongin!"

"Udah, kemaren," sambung Deva.

"Hari ini?"

"Belum."

"Mau makan apa?" tanya Melodi lagi dengan tatapan membunuh.

Deva meneguk ludah. "Apa aja, aku fleksibel."

"Tunggu sini, dan jangan bergerak." Melodi beranjak dari duduknya dan berjalan ke dapur, ia tampaknya memasak sesuatu untuk Deva, mengingat tak ada makanan di rumahnya, sementara ada seorang tamu di sana. Sangat tidak sopan membiarkan seorang tamu kelaparan saat berkunjung.

Beberapa menit berlalu, Melodi datang membawa satu porsi nasi dan tumis daging asap pedas. Ia memberikannya pada Deva. "Di makan dulu." Kemudian ia menatap jam dinding. "Kita santai dulu, nanti abis ashar baru jalan."

Deva mengangguk. Ia menatap makanan yang dibuat oleh Melodi dan langsung menyantapnya. Matanya tak bisa berbohong, ia tampak terkejut dengan masakan Melodi. Deva melahapnya dengan rakus, tak peduli dengan gadis yang ada di hadapannya.

"Deva! Makannya pelan-pelan ih. Nanti kamu keselek!"

Deva sejenak menghentikan kunyahannya. "Aku enggak tau lagi. Ini enak banget dan nagih. Suatu hari nanti, kamu harus masakin ini terus buat aku. Sumpah, enak parah! Enggak bohong."

Wajah Melodi memerah. "Itu, kan--semua orang juga bisa bikinnya."

"Iya, semua orang bisa, tapi cuma yang ini nih ... cuma yang buatan kamu favoritku."

Tak ada wanita yang tak senang bila masakannya dipuji, apa lagi hingga seperti itu. Melodi tersenyum. Menyadari itu, Deva menyadari cara untuk berbaikan.

"Kamu ikut les masak? Atau apa gitu?"

"Enggak pernah, cuma nyoba-nyoba aja."

Lelaki itu beranjak dari duduknya dan kini berjalan ke arah Melodi. "Sumpah, enak banget. Kamu harus coba." Ia menyendok sesuap nasi dan lauknya, kemudian mengarahkannya ke mulut Melodi. "Cobain deh."

"Ih, apaan sih! Kan aku yang masak itu, masa aku cobain lagi."

"Udah, coba dulu. Mana sini aaaaaaaaaa."

"Aaaaaaa." Makanan itu, kini masuk ke dalam mulutnya.

"Ih iya! Kok enak? Biasanya biasa aja?" Gadis itu yang justru kaget sendiri. Memang, ia tak mencoba masakannya karena kesal dengan Deva beberapa saat lalu. Jadi hanya memasak tanpa memikirkan takaran bumbunya. Tentang ia sudah mencobanya tadi, hanyalah kebohongan.

Melodi menatap masakannya sendiri dengan wajah mupeng. Ia merasa itu masakan pertama dan terakhirnya yang mampu selezat itu.

"Aku udah kenyang, jadi kamu yang abisin aja ya?"

"E-emang boleh?" tanya Melodi yang mendadak kelaparan.

"Bolehlah, kan emang dari kamu." Deva kemudian menyuapi Melodi hingga piringnya bersih. "Beruntung deh pemilik hati kamu, kenyang dimasakin makanan seenak ini terus."

"Dev--seharusnya sekarang, aku udah punya pacar. Beberapa hari lalu, dia ngungkapin perasaan dia ke aku, dan aku udah jawab perasaan dia," ucap Melodi secara mendadak.

Deva terkejut, tetapi berusaha menahan raut wajahnya agar terkesan biasa saja. "Dan--apa yang terjadi?"

Melodi hanya menggeleng. "Entah, dia lupa ingatan kali. Tiba-tiba dia pergi gitu aja, seakan enggak pernah berucap bahwa dia suka sama aku."

"Aku enggak tau harus bilang apa sih, tapi kamu juga suka sama dia?"

Melodi hanya mengangguk.

"Enggak logis ya, lagi patah hati curhat ke orang yang lagi patah hati juga," ucap Deva. "Bukannya nemu solusi, yang ada malah mojok berdua, sambil nangis."

"Kamu patah hati?" Melodi memicingkan matanya.

"Entah, cuma perasaan. Banyak cewek-cewek yang ngejar aku di sekolah," ucap Deva.

"Aku juga. Banyak yang naksir aku dari kecil," balas Melodi.

"Tapi baru pertama kali aku suka sama orang ... dan merasa hancur sekarang," ucap mereka bersamaan.

Deva dan Melodi saling melempar tatapan. "Emangnya kamu suka sama siapa sih?" Melodi tampak penasaran. 'Apa yang kemarin itu--bohong?'

"Rahasia. Dia punya cowok lain," jawab Deva.

"Ih, mulai nyebelin!"

"Kamu suka sama siapa? Coba, mau ngaku enggak? Kalo kamu ngaku, aku juga ngaku," balas Deva.

"Sama kamu!" ucap Melodi sambil menatap Deva.

"Hah?!"

Kemudian gadis itu terkekeh. "Percaya?"

"Ya, enggak sih. Kaget aja." Deva menggelengkan kepala sambil ikut terkekeh.

"Ada banyak hal yang mau aku ceritain ke kamu, Dev, tapi kayaknya enggak bisa sekarang. Kamu bisa-bisa anggap aku gila."

"Oke. Aku kenal kamu, dan aku tahu kamu. Aku diem bukan berarti aku enggak peduli, tapi aku menunggu. Menunggu kamu siap untuk menceritakan masalah kamu. Kalo kamu butuh pendengar, aku selalu ada buat kamu."

"Terimakasih." Melodi melempar senyum pada Deva.

Setelah itu, mereka sibuk berbincang dan ketika adzan ashar berkumandang, mereka bersiap-siap untuk menuju gedung konser Aqilla.

* * *

Jarum jam terus berputar, tiap putarannya memberikan tekanan pada Nada yang sudah bersiap du ruang make up.

"Nada!" Melodi masuk ke sana dan berjalan ke arah Nada.

"Melo! Aku takut ...."

Melodi memeluk Nada. "Dont' be affraid, sweetheart. I'll be there for you."

"Thank you, honey ...."

"Anggap semua orang itu rumput. Dan kamu adalah satu-satunya orang yang berdiri tegak di hamparan padang rumput yang luas, di temani hembusan angin yang syahdu," ucap Melodi.

Nada hanya mengangguk, dan mencoba memberanikan dirinya.

"Aku liat kamu dari kursi penonton. Kalo kamu gugup, liat aku aja, oke?"

"Oke."

"Bagus. Kalo gitu, aku pergi dulu. Semangat!" Melodi berjalan keluar kembali menuju kursinya.

Tama, Vian, Melodi, Faris dan Deva. Mereka duduk di kursi VIP yang berada di paling depan. Kini tiba saatnya penutup acara konser ini. Sebuah lagu dari singel Andrea Bocelli yang bertajuk Con te partirò. Yang dirilis ulang oleh Sarah Brightman dalam album Hymm, dengan judul Time to Say Goodbye.

Nada kini naik ke atas panggung menggunakan gaun berwarna kuning. Ia cantik dan elegan dengan sarung tangan hitam sepanjang sikunya. Nada tapak mengambil napas, lalu membuangnya secara beraturan. Aqilla menatap putrinya yang kelihatan gugup. Sedikit intermeso antara Aqilla, MC, dan juga Nada di atas panggung, untuk mencairkan suasana agar Nada lebih rileks.

"Kenapa kamu memilih warna kuning untuk dress kamu?" tanya MC pada Nada. "Padahal di sosial media, kayaknya kamu itu dark banget kelihatannya. Dan sekarang, di panggung ini, kamu tampil ceria dengan warna kuning."

"Selain bunda, ada seseorang yang suka banget sama warna kuning. Sejujurnya, dia idola aku. Dan alasan aku kenapa berada di panggung ini, adalah support dari dia," jawab Nada sambil menatap Melodi di kursi VIP. "Kalo ditanya siapa yang menjadi sumber inspirasi aku, dia orangnya. Makanya aku pake dress punya dia, biar ketularan percaya dirinya hehehe. Lagu ini aku persembahkan untuk kembaran aku, Melodi." Melodi tak bisa berbohong, kini matanya berkaca-kaca menahan haru.

Instrumen mulai terdengar, Aqilla memulai lagu ini dengan memukau. Namun, ketika pada giliran Nada, ia juga tampil apik hingga membuat Melodi menangis.

"Ayah. Itu Nada, yah. Nada keren banget, parah!" Melodi mengeluarkan air mata bahagia ketika melihat Nada bernyanyi sambil tersenyum di atas panggung. Nada tampak cantik seperti kupu-kupu yang baru saja keluar dari kepompongnya, ia terlihat bahagia di atas panggung.

Melodi ingat betul, tatapan dingin Nada ketika sebuah tembok besar berdiri di antara mereka. Iri, tak ada rasa yang lebih besar dari perasaan iri pada saat itu. Namun, kali ini tembok itu telah runtuh. Mungkin, dari sejak di perut Aqilla, ini pertama kalinya Melodi melihat Nada sebahagia itu. Mereka anak kemar, ketika satu orang bahagia, yang lain ikut merasakan. Sebuah--telepati, mungkin?

Melodi menjadi orang pertama yang berdiri sambil memberikan tepuk tangan, ketika lagu itu selesai. Ia menangis dan memeluk Tama sekencang-kencangnya. "Ayah, Nada bahagia banget. Melodi seneng! Padahal dia yang tampil, tapi aku yang bangga! Apa karena muka kita sama?"

"Mel, Melodi ...." Tama memanggilnya, membuat Melodi menoleh ke arah belakang.

"Kenapa, yah?" ucapnya sambil sesekali menarik ingusnya yang meler.

"Itu--bukan ayah." Tama menunjuk Deva yang hampir kehabisan oksigen karena di dekap terlalu erat. Wajahnya memerah, begitu juga dengan Melodi yang ikut memerah, ia melepaskan pelukannya dan kabur begitu saja meninggalkan kursi penonton.

'Ih, sumpah! Bego banget, saking senengnya sampe lupa posisi ayah dan malah meluk si kampret!'

"Melodi!" Deva mengejarnya.

'Duh, dia ke sini dong.'

"Kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Deva.

"Aku yang harusnya bilang gitu. Kamu enggak apa-apa? Maaf, aku kira kamu ayahku. Aku kalo gemes emang begitu, maaf ya."

"Bagus deh kalo enggak apa-apa. Aku khawatir aja, kamu lari keluar begitu aja."

'Khawatir?' Melodi tersenyum getir.

"Dev. Sebenernya--ada enggak sih yang mau kamu ucapin ke aku gitu?"

Deva tampak berpikir. "Apa ya ... mungkin--selamat. Gimana ya maksudnya, ya, selamat aja gitu karena penampilan Nada sukses dan itu buat kamu bahagia."

Melodi menghela napas, ia kemudian berjalan begitu saja meninggalkan Deva, tetapi kali ini Deva meraih lengannya. "Mel, tunggu. Kamu kenapa sih?"

"Kenapa?!" Melodi agak menaikkan nadanya.

"Seharusnya di tempat ini ada bom dan meledak. Duar! Semua orang meninggal. Aku kehilangan keluargaku. Dan--ternyata aku seorang retrokognision yang bisa kembali ke masa lalu, meski pun aku enggak tahu gimana caranya, semua terjadi begitu aja. Aku kembali ke hari di mana ledakan belum terjadi. Kita--aku dan kamu, Dev, mencari bom itu sama temen-temen kamu yang aneh. Kirana yang bisa bikin benda bergerak sendiri, Kevin yang enggak tahu di mana, tapi bisa nemuin keenam bom itu, dan kamu yang punya topeng aneh dan tiba-tiba ilang begitu aja. Kamu bilang sama aku, kalo kamu suka sama aku. Terus kamu ilang pake topeng kamu sambil itu bawa bom yang sebentar lagi mau meledak. Kamu bilang, kalo kalo selamat, kamu minta jawaban aku. Kamu tau rasanya perasaan aku yang takut kehilangan kamu?! Tau enggak?! Jawab?! Dan ketika kamu selamat, aku nangis karena--enggak tau lagi. Aku merasa kamu keren, dan kita bisa selamatin ratusan orang yang ada di gedung ini, dev, tapi ketika aku kembali dan jawab perasaan kamu. Kamu enggak tau apa-apa. Kamu enggak tau apa-apa, Deva. Yang aku alamin itu bukan mimpi, bukan juga halusinasi. Tapi aku merasa bahwa lebih baik kalo itu adalah mimpi, lebih baik kalo itu adalah halusinasi! Sebab sekarang, aku merasa bodoh nunggu kamu minta maaf karena buat aku nangis gara-gara hal yang kamu pun sebenernya enggak tahu. Aku-aku ...."

Ucapan Melodi berhenti, ketika tubuh lelaki itu mendekapnya erat. "Kamu enggak gila. Aku percaya apa yang kamu bilang. Maaf karena aku bukan Deva yang ada di masa lalu itu, dan maaf karena aku terlalu pengecut buat ngungkapin ini semua. Yang harus kamu tahu--kamu orang pertama yang bikin aku patah hati. Dan yang bodohnya lagi ... aku sendiri yang mematahkan perasaanku sendiri, ya aku di masa lalu yang kamu sebut tadi. Mungkin agak sedikit terlambat, tapi aku suka sama kamu, beneran suka sama kamu, Melodi. Saat ini, aku bener-bener takut kalo ada cowok lain yang lebih baik dari aku dan bisa buat kamu jatuh hati."

"Eh jangan diganggu! Jangan diganggu!" Tiba-tiba saja Nada lewat bersama rombongan. Melihat itu semua, Tama, Aqilla, Vian, dan Faris berjalan seolah tak melihat apa pun. "Anggap cuma rumput. Dua helai rumput yang tumbuh di tanah gersang. Yang tumbuh tanpa disirami."

Melodi tak peduli. Ia menyandarkan kepalanya pada dada bidang pria di hadapannya. "Maaf kalo terkesan maksa. Aku cuma enggak ngerti sama perasaan aku sendiri. Aku takut kalo ternyata aku cuma suka secara sepihak. Aku juga suka kamu."

Deva melepaskan Melodi, lalu menggandengnya. "Yaudah, bukan tipeku juga sih galau-galau begini. Dari pada galau, kita keliling Bandung yuk?"

Melodi tersenyum menatap Deva diikuti anggukan kepala. Mereka berdua tak ikut rombonogan pulang. Melodi dan Deva memilih untuk berkeliling kota Bandung. Menikmati Bandung malam, bermaindikan cahaya bulan.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top