42 : Retrokognision

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Dirga menatap Kei dengan raut wajah yang tak bisa digambarkan oleh kata-kata. Yang jelas, matanya sembab, seperti habis menangis. Dirga seperti melimpahkan pertanyaan Melodi pada Kei yang baru saja kembali dari tempat perkara kejadian. Kei hanya menggeleng sambil perlahan menutup matanya. Setetes air menetes dari sela-sela netranya.

Ledakan yang terjadi di acara konser Aqilla berhasil didentifikasi. Itu adalah sebuah bom. Seseorang sengaja meledakkan gedung acara itu bersamaan dengan semua orang di dalamnya, entah motifnya apa. Tak ada yang selamat dalam insiden ledakan itu, tak terkecuali seluruh keluarga Melodi. Menyisakan seorang gadis yang kini sebatang kara tanpa keluarga.

Mendengar kabar bahwa keluarganya kini telah tiada, Melodi menjadi lemas. Hidungnya mengeluarkan darah, dan ia terkapar begitu saja di kasur tak sadarkan diri.

* * *

"Mel, Mel." Seorang pria memanggil namanya. "Melodi! Hallo, ada orang?"

"Oh, hai, hallo ...." Melodi seperti orang ling-lung, kini ia menoleh sambil memegangi kepalanya yang masih terasa pusing. "Agil? Ngapain?" ucapnya heran menatap Agil dan rekan-rekan bandnya. Melodi juga refleks menatap sekellilingnya tak kalah heran, saat ini ia berada di Bandung Indie Festival.

"Ngapain?" Agil memicingkan matanya menatap Melodi. "Ngebandlah, emang mau ngapain lagi? Menanam jagung di kebun kita?"

"Hah?" Melodi semakin heran menatap mereka semua. Kini ia menoleh ke arah jam tangan berwarna putih di tangan kanannya. Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, dan tanggalnya menunjukkan hari yang seharusnya sudah ia lalui kemarin. "Ini hari apa?" tanya Melodi.

"Sabtu. Lu kenapa sih, Mel?" tanya Agil semakin heran. "Laper lu? Ayok deh makan siang dulu deh."

"Bukannya minggu?" Keadaan semakin akward karena pertanyaan-pertanyaan Melodi. Bukannya apa-apa, Melodi merasakan sebuah de javu yang sangat gila.

"Wah, mabok eceng gondok dia," ledek Agil. "Hari ini sabtu, besok baru minggu."

"Enggak, enggak mungkin ...." Melodi berjalan mundur sambil menggelengkan kepalanya. Ia segera berlari menuju parkiran, meninggalkan teman-temannya yang berteriak memanggil namanya. 

Melodi mengambil vespa kuningnya, dan segera melaju dengan kecepatan penuh, ia menuju gedung konser yang seharusnya saat ini hangus terbakar setelah insiden bom kemarin. Namun, ia terbelalak mendapati gedung itu yang masih terlihat baik-baik saja. Melodi segera masuk ke area gedung, lalu mencari keberadaan Nada dan Aqilla.

Air matanya mengalir, ketika menatap Aqilla yang sedang makan siang bersama Nada di taman dekat gerbang utama. "Melodi? Kamu enggak jadi tampil?" tanya Aqilla yang menatap putrinya berdiri tak jauh di depannya. Gadis itu berlari ke Aqilla.

Melodi tak menjawab, ia melompat memeluk Aqilla hingga mereka berdua terjatuh bersama. Aqilla hendak bertanya, tetapi melihat Melodi menangis sehebat itu. Pada akhirnya, Aqilla memilih diam dan membiarkan Melodi memeluk dirinya, setidaknya hingga sedihnya berlalu.

Kini mereka bertiga duduk berjejer. Aqilla membawakan satu nasi kotak lagi untuk putrinya. "Nih makan dulu. Abis itu cerita, kamu kenapa?"

"BOM! Gedung ini bakalan meledak, bun!" ucap Melodi.

Aqilla memicingkan matanya. "Kamu kenapa sih?"

Melodi menceritakan tentang sebuah bom yang meledak dan membuat seluruh orang yang berada di dalam gedung meninggal, tetapi Aqilla tidak percaya dan malah memarahinya. Menurut Aqilla, Melodi sedang dalam masa-masa yang sulit, mengingat ia harus memilih salah satu jalan bercabang yang berada di hadapannya.

Waktu istirahat habis, Aqilla dan Nada beranjak dari duduknya. "Kamu enggak ke festival indie? Ada sesuatu yang mau kamu capai, kan?" Melodi tak menjawab pertanyyan itu, dan memilih untuk duduk tanpa berani menatap kedua mata bundanya. 

Aqilla dan Nada kembali masuk ke dalam, dan meninggalkan Melodi sendirian yang sedang menangis. "Bunda, Melo enggak apa-apa?" tanya Nada yang khawatir.

"Nanti juga dia ceria lagi. Melodi lagi banyak masalah, tapi enggak seharusnya dia nakut-nakutin kalo ada bom di gedung ini," tutur Aqilla. "Apa lagi tanpa bukti. Dia kan anaknya iseng."

Melodi yang kalang-kabut, akhirnya memutuskan untuk pulang dan meminta bantuan Faris. Tentu saja Faris akan sekuat tenaga membantu untuk menyelamatkan Nada.

"Kamu dapet info dari mana?" tanya Faris setelah mendengar cerita Melodi.

"Aku enggak tahu pasti, tapi tuh ...."

"Enggak tahu pasti?" Faris memicingkan matanya sambil memotong ucapan Melodi. Ia menghela napas dan menepuk pundak Melodi. "Terus bisa tahu dari mana kalo ada bom?"

"Enggak tahu, Ris. Semua terjadi gitu aja, dan--aku kembali ke sini. Aku kembali ke waktu di mana semua itu belum terjadi."

Faris hanya menggelengkan kepalanya. "Oke, nanti kalo aku sampe sana, aku coba cari," ucapnya sambil meledek.

Melodi yang geram akhirnya mengeluarkan kartu asnya. Ia menelpon Deva, ia menceritakan semua yang ia alami, tak terkecuali kejadian aneh yang ia alami.

"Maaf, Mel. Aku ada urusan hari ini," ucap Deva.

"Dev, kamu ngerti enggak sih apa yang aku omongin dari tadi? Ini urgent banget dan menyangkut nyawa manusia!"

Deva dan anggota Tantra akan mengadakan rapat hari ini. Tentu saja, beberapa kali, Melodi menjadi penghalang karena kerap meminta tolong di waktu yang sama. Sejujurnya, Deva sudah mendapat peringatan dari Chandra perihal kedisiplinan. 

"Aduh, Mel--enggak bisa. Maaf." Deva memutus panggilan secara sepihak. Ia menggelengkan kepalanya dan mulai terlihat getir.

"Asmara remaja." Tirta terkekeh. Ia sedang duduk bersama Dirga yang terlihat tak kalah getir dengan wajah putranya. "Kenapa Melodi, Dev?" tanya Tirta tersenyum.

"Au tuh. Katanya ada bom di acara konser ibunya. Katanya juga, entah gimana caranya, dia balik lagi ke sehari sebelum kejadian," jawab Deva. "Dia banyak alasannya kalo lagi butuh."

Dirga merubah raut wajahnya, begitu juga dengan Tirta, mereka saling bertatapan. "Jika benar ada bom di sana ...." Dirga berbisik sambil menatap wajah Tirta dengan sorot mata yang tajam. "Itu penyebab kematian Tama di dalam mimpi gua ...."

Tanpa kata, Tirta segera berlari masuk ke dalam mobilnya dan pergi begitu saja meninggalkan Dirga dan Deva. Deva yang menatap ayah dan pamannya menjadi curiga, apakah ada kaitannya dengan apa yang Melodi ucapkan barusan? Melihat Tirta yang sigap ketika mendengar kata 'bom', Deva menjadi khawatir.

* * *

Di sisi lain, Tara yang mendengar percakapan Melodi dan Deva ditelpon, segera berlari mencari bocah bermata satu yang ia tahu dapat membantunya. Tak butuh waktu lama untuk mencari Seta, kini Tara menemukan bocah itu yang terlihat sedang asik bermain sebuah permainan di arcade game. Bocah itu membuat rugi tempat bermain yang ia datangi dengan memenangkan semua hadiahnya.

'Hei, gua butuh bantuan!'

"Hai kucing," ledek Seta. "Guk-guk-guk kekeke."

'Tama, Aqilla, dan keluarganya dalam bahaya!'

"Yah, itu urusan mereka." Seta terlihat tak peduli.

'Sebuah bom akan meledak dan membunuh mereka semua!'

"Takdirnya begitu, ya mati. Enggak bisa diapa-apain lagi kekeke." Namun, secara tiba-tiba, Seta mengerutkan dahinya menatap Noir. "Gimana caranya lu tau bahwa ada bom di tempat itu?"

'Melodi--dia juga indigo.'

"Menarik ... katakan, apa kemampuan anak itu? Prekognision?" Seta meninggalkan permainnya dan berjongkok di depan kucing hitam itu.

Tara menyeringai. 'Tolong mereka, dan gua bakal kasih tau seluruh informasi yang gua ketahui.'

"Ah, males." Seta kembali memasang wajah datar.

'Satu hal yang pasti. Melodi lebih menarik daripada monster kecil kita.'

"Itu baru kesepakatan yang bagus. Gua coba cari tahu apa yang terjadi di sana." Seta berubah menjadi kepulan asap berwarna merah ketika tak ada siapa pun yang melihatnya. "Sebaiknya lu enggak berbohong tentang kemampuan Melodi, atau lu bakalan mampus."

* * *

Melodi yang kehabisan akal, kini kembali menuju gedung konser. Ia, tanpa bantuan orang lain akan mencari bom itu dan menyelesaikan masalah ini sendirian. Waktunya tak banyak, hanya sekitar enam jam lagi.

Di sisi lain, Deva datang terlambat ke rapat Tantra. Ia membawa sebuah buku, dan meletakkannya di atas meja rapat. Semua mata menatapnya.

"Dari mana?" tanya Surya yang sedang berdiri di hadapannya.

"Mencari tahu sesuatu yang gila," jawab Deva sambil menunjuk buku itu menggunakan matanya. Surya membuka buku itu dan mendapati halaman yang telah ditandai. "Retrokognition?" Ia memicingkan matanya menatap Deva.

"Orang yang memiliki kemampuan ini sebenarnya dapat mengubah masa lalu. Tapi sangat jarang orang yang dapat mengasah kemampuannya hingga ke tingkatan tersebut ...," ucap Surya membaca buku halaman itu. Matanya kini menatap Deva, lalu kembali membaca. "Kebanyakan dari mereka hanya mampu melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu."

"Aku tahu salah satu orang yang memiliki kemampuannya dapat kembali ke masa lalu," tutur Deva yang diam-diam mencari tahu tentang time traveller berdasarkan cerita dari Melodi beberapa menit yang lalu. "Aku butuh bantuan kalian semua." Deva menceritakan seluruh informasi yang ia dapatkan.

* * *

Satu setengah jam telah berlalu. Melodi yang sudah berkeringat, tak dapat menemukan bom itu di sudut mana pun di dalam gedung ini. Ia mulai putus asa dan ingin menangis, tetapi ketika air matanya hendak terjatuh, jari lembut itu menghapus air matanya.

"Kalo ada aku, kamu enggak boleh sedih lagi. Aku akan ngusir sedih kamu sampe dia capek dan enggak akan balik lagi." Deva tiba-tiba muncul di hadapannya. "Berapa waktu yang kita punya?"

"Deva ... kamu percaya sama apa yang aku bilang?" ucap Melodi yang semakin berkaca-kaca.

"Kalo aku enggak percaya, aku enggak akan ada di sini sekarang. Aku juga bawa bala bantuan." Dari markas Tantra, bocah itu melesat menggunakan Tumenggung, hingga menemukan Melodi. "Berapa jam lagi, waktu kita?"

Melodi menatap jam tangannya. "Empat setengah jam."

"Kevin, waktu kita dua jam buat nemuin bom itu," tutur Deva. Ia mengenakan earphone di telinganya. "Sisir seluruh wilayah yang gua tandain di maps." Sebelum menemui Melodi, Deva mengirim lokasinya pada Kevin. Dua jam adalah waktu untuk Kevin menemukan bom itu menggunakan klervoyans miliknya. Sementara sisa waktunya digunakan untuk menunggu polisi, atau menjinakan bom tersebut jika perlu. Surya, Kirana, dan Rava sedang menuju lokasi.

"Oke, dimengerti." Kevin memejamkan matanya dan mulai memindahkan pengelihatannya ke area gedung. Ia menyisir tiap lantai tanpa terlewati.

Sejujurnya gedung ini cukup luas, dan lagi Kevin cukup kelelahan dalam pengaplikasian kemampuannya, sehingga membuat pencarian ini agak lambat.

Surya dan yang lainnya akhirnya sampai di tempat, mereka segera berpencar untuk membantu Kevin. "Rava, kalo ada orang yang mencurigakan, baca pikirannya. Siapa tahu dia terorisnya," ucap Surya.

"Oke."

Kini mereka benar-benar berpencar. Rava mencari tanda-tanda orang yang mencurigakan, Kirana bergabung bersama Deva, dan Surya mencari di tempat-tempat yang tak terpikirkan oleh banyak orang. Musuh mereka adalah waktu.

"Kev, gimana? Waktu kita enggak banyak," ucap Deva.

"Sabar, pak. Ini lagi dicari," balas Kevin.

"Cari keseluk-beluk gedung ini."

"Itu yang gua lakuin daritadi! Sabar." Kevin mulai merasa emosi karena Deva memberikan press padanya.

Mereka terus mencari hingga keputus asaan menyelimuti mereka semua, hingga Kevin datang diwaktu yang sudah diujung tanduk. "Ketemu," ucap Kevin. "Total ada enam bom di tempat yang berbeda-beda. Tiga di area konser, dan sisanya di titik ini, ini, dan ini." Kevin memberikan titik poin pada peta yang ia kirimkan ke grup Whatsapp Tantra.

"Detail di area konser. Dua di kursi penonton, satu di bawah panggung."

"Deva, Melodi, dan Kirana urus yang di dalam. Gua sama Rava urus sisanya," tutur Surya.

Di sisa waktu dua setengah jam ini, mereka berusaha untuk menemukan bom yang dimaksud oleh Kevin.

"Deva, ngambil yang dibawah panggugung gimana caranya?" tanya Melodi. Deva hanya tersenyum. "Jangan dipikirin, itu tugas Kirana," jawabnya. Deva dan Melodi kini fokus pada tugas mereka masing-masing.

Sementara itu, Kirana yang menyelinap masuk ke dalam backstage, kini memfokuskan diri dan berusaha merasakan sesuatu yang berada di bawah panggung konser. Kirana merupakan gadis yang mampu menggunakan telekinesis, ia mampu menggerakkan benda tanpa menyentuhnya. Kirana berusaha untuk mengambil bom tersebut dengan kemampuannya. Ia menggerakkan bom itu hingga kini berada di hadapannya. Bom itu berada di dalam sebuah tas, Kirana berlari membawanya ke tempat Surya.

Sementara Melodi dan Deva juga menemukan apa yang mereka cari. Ketika mereka berdua berkumpul, rupanya Rava dan Surya sedang berdiri menatap Tirta. Kini keenam bom tersebut sudah mereka dapatkan.

Tirta sudah meringkus teroris yang berada di belakang ini semua. Menurut yang ia baca dari pikiran orang tersebut, tempat ini sudah dipasangi tujuh bom waktu.

"Tujuh?!" Melodi tampak panik mendengar masih ada satu bom lagi, dan mereka belum menemukan itu. Bahkan bom itu luput dari pengelihatan Kevin.

"Kevin sudah berusaha keras mencari keenam bom ini. Waktu kita tidak banyak, ada satu bom lagi yang harus kita cari!" ucap Surya.

Tirta mengangkut keenam bom itu. "Paman akan bawa ini ke tim penjinak bom yang juga baru saja tiba." Ia menatap Rava. "Bisa ayah percayakan padamu, nak?"

Rava menatap Tirta dengan sorot mata yang tajam. Ia sesekali melirik ke arah Kirana. "Kau bisa mengandalkan putramu," ucapnya tegas pada Tirta.

"Oke. Jangan buang waktu. Berpencar!"

Selagi mereka semua berpencar, Tirta memerintahkan petugas gedung untuk mengevakuasi dan menghentikan acara, tetapi koneksi sambungan dan sinyal di dalam gedung tiba-tiba saja menghilang. Listrik juga mendadak padam, membuat pintu otomatis yang tertutup menjadi tak bisa dibuka, sehingga orang-orang yang kini berada di dalam area konser tak dapat keluar.

* * *

Seorang pria duduk di atas gedung sambil menatap pemandangan di bawahnya. Suara tepuk tangan terdengar hingga membuatnya menoleh, seorang anak kecil menyeringai menatapnya.

"Well--orang-orang yang bertanggung jawab atas projek suratma, kini berniat untuk membantai warga umum?" tutur Seta si anak dajjal. "Pengendalian pikiran untuk membuat kambing hitam menggunakan orang lain sebagai pelaku teror, menghancurkan sinyal, dan--memadamkan listrik. Bukan pekerjaan manusia normal, kan? Apa yang sebenarnya kalian sedang lakukan, hah?"

"Siapa kau?" Orang itu menatap tajam ke arah Seta, berusaha memberikan tekanan.

"Projek Suratma kekeke." Seta terkekeh sambil menunjuk mata kirinya. "Mata itu adalah milikku. Setidaknya, hormati mayatku dan biarkan ia tidur nyenyak, paman."

Pria itu tertawa mendengar ocehan Seta. "Bocah gila."

"Jangan tertawa. Kau pernah menonton detektif Conan? Seorang dewasa yang terjebak dalam tubuh anak kecil?" Seta membuka mata kirinya yang tertutup. "Anggap aku adalah Edogawa Conan, dan orang yang kalian gali kuburannya, lalu diambil matanya, adalah Sinichi Kudo." Ia menyeringai dengan mata kiri berwarna merah menyala.

"Mata itu?" Pria itu tampak terkejut mendapati mata suratma di mata kiri Seta. Dewa kematian kecil itu mampu menyembunyikan dan memunculkan kemampuannya seenak jidat, mengingat ketika pekan olahraga, matanya terlihat normal. Semua berada di dalam genggamannya.

"Ya, ini adalah mata Suratma. Seharusnya kau tau siapa aku, kan?" Sosok Seta menghilang dari pandangannya menjadi kepulan asap merah, kini seorang pemuda merangkulnya dari belakang. "Zahran Utomo, tetapi teman-temanku memanggilku Uchul. Ingat namaku baik-baik." Uchul yang kembali ke sosok aslinya, kini mencengkeram bahu pria yang menjadi dalang di balik teror bom ini.

"Bom terakhir ada di tubuhmu, kan? Kekeke Aku ambil ya." Uchul mengambil bom terakhir. Kini ia kembali ke wujud Seta dan berjalan meninggalkan bekas darah yang menggenangi atap gedung. Tak ada seorang pun di sana selain Seta yang sedang berjalan sambil menyeringai. Ia menjilat sedikit noda darah yang mengotori pinggiran bibirnya. "Selamat menempuh dunia baru kekeke."

Seta menatap bom itu, ia mempercepat aliran waktunya hingga tersisa waktu lima menit lagi. Kini ia menghilang, dan muncul kembali tak jauh dari Melodi dan Deva yang sibuk mencari keberadaan bom terakhir di dalam sebuah ruangan. Bocah itu menyeringai dan meletakkan bom tersebut di tempat yang mudah terlihat, kemudian menghilang menjadi asap merah. Melodi yang menyadari keberadaan benda tersebut, langsung memungutnya, tetapi wajahnya pucat menatap timer yang berada di bom itu. "Deva! Yang ini bomnya tinggal lima menit kurang!" teriak Melodi yang panik.

Deva merebut bom itu dan hendak keluar, tetapi pintu yang beberapa menit lalu mereka lewati, tiba-tiba saja tertutup secara misterius. Mencoba membuka pintu tersebut tak membuahkan hasil.

Waktu tak mungkin berhenti, dia adalah hal yang paling egois di dunia. Kini Melodi menyeka keringat di keningnya yang sebesar-besar biji jagung.

Tangan Deva berdarah mencoba memukul jendela agar terbuka, ia juga berusaha menendang dan mendobrak pintu, tetapi entah kenapa, pintu dan jendela di ruang itu sangat aneh dan tak mau terbuka, meski pun dipaksa sekuat tenaga.

Ketika waktu tepat di angka satu menit, anak dajjal itu menyeringai dan membuka pintu ruangan itu, membuat Deva dan Melodi saling bertatapan.

"Melodi, di mana ada tanah kosong di sekitar sini? Bom ini pasti meledak, kita harus membuangnya di tempat yang tidak ada orang!" teriak Deva.

"Enggak jauh di samping gedung ini adala tanah kosong, tapi seenggaknya butuh waktu lebih dari satu menit kalo mau ke sana." Melodi lagi-lagi meneteskan air matanya.

Deva menggeleng. "Sorry, mate. I have no choice ...." Deva mengeluarkan sebuah topeng jawa. "Angkat wajahmu, Tumenggung." Ia mengenakan topeng itu di depan Melodi. Sebenarnya, Deva juga tak yakin dengan waktunya, apakah ia mampu untuk tepat waktu membuang benda itu ke tempat yang lebih aman, tetapi Deva harus mencobanya, atau bom itu malah akan meledak di depan Melodi. Tentang peraturan Tantra, kini ia tak peduli, saat ini bom itu mengancam gadis pujaannya.

"Mel ... tentang sesuatu yang pernah aku mau tanyain ke kamu. Sebenernya aku suka sama kamu, kalo aku berhasil selamat, tolong kasih jawaban, ya."

"Deva, kamu enggak akan sempet!" Melodi menggenggam tangan Deva, tetapi Deva melepasnya.

"Sampai berjumpa lagi ...." Dalam hitungan detik, sosoknya menghilang begitu saja dari pandangan Melodi.

"Dev?" Melodi berusaha mencari keberadaan Deva. "Deva?!" Namun, sosok pemuda itu benar-benar lenyap bak di telan bumi.

Deva berlari dengan mode Tumenggung. Ia menatap waktu di bom itu yang tinggal sepuluh detik lagi. "Anjirlah, kebanyakan ngomong gua tadi! Mampus dah." Namun, ia masih berusaha, setidaknya untuk keluar dari gedung ini.

Tumenggung terlepas dari wajah Deva. Agha muncul di hadapannya dan mencengkeram lehernya.

"Berengsek! Jangan sekarang!" Deva melotot menatap Agha yang menyorot matanya dengan tajam. Agha merebut bom itu dari tangan Deva.

"Kita selesain urusan kita nanti! Sekarang lepasin gua dan jangan rebut bom yang mau meledak itu! Atau kita bakal mampus berdua!"

Agha hanya diam menatapnya dengan tatapan penuh dendam, hingga bom itu meledak dan mengeluarkan suara yang nyaring. Deva tak mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Kini kobaran api membakar tanah berkabut itu hingga membuat langitnya yang berwarna merah, menjadi selaras dengan warna tanahnya.

Deva menatap tangan Agha yang tak lagi memegang bom. Bocah mata suratma itu memindahkan bom tersebut tepat waktu ke Alam Suratma. Agha melepaskan cengkeramannya, dan berjalan mundur ketika melihat Melodi berlari ke arah mereka.

Gadis itu memeluk Deva sambil menangis. "Deva!" Ia tak mampu berkata-kata. Deva membelai lembut rambut panjang itu. "Jangan nangis, semua udah selesai. Semua udah selesai."

Deva menatap Agha yang sedang memperhatikan mereka berdua. Kini pengguna mata suratma itu membalik tubuhnya dan meninggalkan mereka berdua di sana.

Deva sering bertengkar dengan Agha di sekolah. Memang, Chandra telah menghapus memorinya, tentang kejadian projek suratma beberapa bulan lalu, tetapi entah kenapa, Deva tak senang melihat Agha, begitu pun sebaliknya. Seakan ada sesuatu yang membuat mereka saling tak membenci.

Melodi yang terisak, tiba-tiba merasa pusing. Ia melepas pelukannya, dan tak sadarkan diri dalam pangkuan Deva. 

* * *

"Deva!" Melodi membuka matanya sambil berteriak memanggil nama Deva. Ia terperangah menatap Dirga dan juga Deva yang sedang berdiri disampingnya. Melodi kini sedang berbaring di kasur rumah sakit. Ia tersenyum getir. "Cuma--mimpi, ya?" Air matanya mengalir deras mengingat bahwa ia harus kembali ke realita, bahwa keluarganya telah pergi.

Seorang pria masuk ke dalam kamar Melodi, ia memberikan bungkusan pada Dirga. "Ini makanan buat lu, maaf ngerepotin."

"Yaudah kalo gitu." Dirga mengambil bungkusan itu. "Gua tinggal dulu ya, Tam." Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Deva yang terdiam menatap Melodi. "Sekalian, titip Deva." Kini Dirga berjalan keluar dari kamar itu.

Tama terhentak ketika Melodi tiba-tiba saja menerjangnya. Gadis itu tak tahu apa yang terjadi, ia menangis sejadi-jadinya ketika melihat sosok Tama.

"Ayah ... hueeeee." Ia menangis sekeras yang ia bisa. Baginya, kini tak ada yang lebih berharga daripada keluarga.

Melihat itu, Deva sadar akan dirinya. Ia memang ingin berbicara dengan Melodi, tetapi pemuda itu mengurungkan niatnya dan berjalan pergi.

"Deva, tunggu!"

Deva membalik tubuhnya kembali, Melodi melompat memeluk Deva hingga mereka berdua terjatuh. "Maafin aku, udah nyeret kamu ke dalam bahaya ...," ucapnya lirih. "Tentang pertanyaan kamu sebelumnya, aku akan kasih jawaban. Aku juga," ucap Melodi berusaha tersenyum.

Deva memicingkan matanya. "Juga--apa?"

"Juga suka ...."

"Kamu mimpi apa barusan?" ucap Deva memotong.

Wajah Melodi sekarang terlihat seperti seekor keledai. Ia masih tersenyum, tetapi berusaha berdiri dan membantu Deva berdiri, ia menuntun Deva keluar ruangan. "Bye." Lalu menutup kembali ruangannya. Tama menatap putrinya.

"Apa? Apa liat-liat, hah?"

Tama hanya menggeleng, ia seakan melihat kemarah Aqilla di hadapannya. Dan itu membuatnya takut.

Entah, sulit untuk dijelaskan. Melodi merasa ada yang tak beres dengan dirinya. Mungkin, ia berhasil merubah masa depan berdasarkan masa lalu yang ia datangi, tetapi sejarahnya berubah tak seperti apa yang ia alami. Contohnya saja tentang kejadian kali ini. Bukan Agha, Deva, Melodi, atau anak Tantra yang menjadi pahlawan, melainkan seorang dewa kematian yang membabat habis bom tersebut demi sebuah kesepakatan.

"Jadi--apa kemampuan Melodi?" tagihnya pada seekor kucing.

'Dia itu seorang Retrokognision. Melodi adalah seorang time traveller yang bisa mengunjungi masa lalu, dan merubah masa depan.'

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top