41 : Tanda Kematian

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Dirga terbangun dari tidurnya dengan napas tak beraturan. Keringat bercucuran membasahi tempat tidurnya. Ia memegang kepalanya sambil mengatur napas.

"Kamu kenapa?" tanya Mila yang belum tidur malam ini. Ia sibuk mengurus pelanggan di online shop miliknya.

"Just a--bad dream," tutur Dirga sambil beranjak dari tempat tidurnya. Ia berjalan dan hendak keluar untuk mengambil segelas air. Namun, karena kepalanya pusing, kakinya menabrak pinggiran lemari, hingga membuat pria itu berjongkok sambil kesakitan. Dari lemari yang bergoyang, barang-barang di atas lemari berjatuhan termasuk satu dek kartu tarot milik Dirga yang sudah berdebu.

Kartu-kartu itu terjatuh dan keluar dari tempatnya. Semua kartu jatuh dalam keadaan tertutup, kecuali satu kartu. Kartu nomor tiga belas, kematian. "Shit ... its a nightmare ...," gumam Dirga lirih sambil menatap kartu itu.

Terkadang, bukan hanya pengelihatan, kemampuan yang Dirga miliki, tetapi juga melalui sebuah pertanda. Ya, pertanda kejadian yang akan segera terjadi, mereka muncul begitu saja secara mendadak. Dirga terbangun akibat memimpikan Tama yang berada di dalam keranda mayat.

.

.

.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Melodi baru saja masuk ke dalam rumah, dengan tas gitar di punggungnya. Aqilla sedang duduk di sofa, sambil menatap layar ponselnya. "Abis dari mana? Kok baru pulang? Cowok jaket hitam tadi siapa?" tanya Aqilla tanpa menatapnya. Sebelum Melodi masuk, Aqilla sempat mengintip putrinya dari dalam rumah.

"Hp aku mati, jadi enggak bisa ngabarin kalo ada latihan sama band di luar sekolah. Yang tadi namanya Agil, dia basis band aku, dan ya--tadi nganterin aku karena udah jam segini dan enggak ada angkutan umum."

"Kabarin pake hp temen kamu enggak bisa?" balas Aqilla ketus.

"Enggak hapal nomornya hehe." Melodi memasang senyum ala-alanya.

Aqilla hanya menggelengkan kepala dengan wajah kecewanya. "Kamu tahu kan, kalo anak perempuan itu enggak baik pulang malem-malem?"

"Aku cuma latihan, karena besok tampil di Bandung Indie Festival, Bun," jawab Melodi. "Selama ini juga jarang pulang malem, kan? Paling kalo ada perform doang."

"Bukan itu masalahnya ... bunda udah bilang, kan? Dari medical check up terakhir kamu, dokter juga udah bilang, kan? Kamu lupa? Apa sengaja mau ngehancurin karir kamu sendiri?" Aqilla beranjak dan berjalan ke arah Melodi. "Pita suara kamu enggak akan bisa bertahan dalam jangka panjang, kalo kamu terus nyanyi kayak sekarang, Melo."

"Bun, Melo itu yang paling tahu tentang kondisi Melo sendiri," balas Melo.

"Scream? Really?" Aqilla memicingkan matanya. "Kamu harus pilih, mau ada di dunia underground kamu itu yang nyanyinya scream, atau mau nyanyi pop dengan suara kamu yang bagus. Kamu enggak bisa terus-terusan nyanyi dengan dua style begitu, Melo ... itu ngebebanin pita suara kamu."

"Melodi bakal pikirin itu setelah perform besok."

"Besok banget?" tanya Aqilla. "Besok kamu enggak hadir di acara bunda dan ngelihat penampilan Nada?"

"Melodi jam delapan udah selesai kok. Kebetulan tempatnya enggak jauh, dan Melodi janji setengah sembilan udah sampe gedungnya. Acara penutupnya jam sembilan, kan?"

"Ini penampilan pertama Nada. Dia pasti gugup, kamu enggak mau ada di samping dia sampe waktunya dia naik ke atas panggung?"

"Melo seneng Nada bisa satu panggung sama, bunda. Melo juga bahagia karena Nada akhirnya debut di acara sebesar itu." Melodi berjalan melewati Aqilla. "Tapi Melodi juga punya sesuatu yang mau Melodi capai. Dan kebetulan jadwalnya hampir bentrok, tapi Melodi janji, Melo bakal dateng sebelum Nada naik ke panggung, dan ngasih dia semangat di belakang panggung." Melodi pergi meninggalkan Aqilla.

Ketika Melodi hendak membuka pintu kamarnya, langkahnya terhenti karena memikirkan Nada. Memikirkan apakah ia gugup? Untuk memastikannya, Melodi memutar tubuhnya dan membuka pintu kamar Nada.

"Kamu ngapain?" tanya Melodi menatap Nada yang terlihat panik di depan cermin, seperti--ia sedang melakukan sesuatu dan hampir ketahuan.

Nada hanya tersenyum, dengan senyumnya yang terlihat aneh. "Enggak. Enggak ngapa-ngapain."

"Oke. Aku percaya." Melodi masuk ke dalam kamar Nada dengan wajah datar. "Cie, besok bakal nyanyi di panggung." Seketika itu, senyumnya yang sempat menghilang, kini kembali.

"Aku kok takut, ya ...," ucap Nada lirih sambil menatap lantai kamar dan menggoyang-goyangkan kakinya yang menggantung tak menyentuh lantai. "Rasanya mau mundur aja ...."

"Yah elah, si lebay. Wajar kalo gugup, tapi kamu pasti bisa kok! Anggap semua orang itu batu."

"Melo begitu? Waktu pertama kali naik panggung, nganggap semua orang batu?"

Melodi menggeleng. "Aku nganggap mereka semua ikan." Ia mengenggam tangan Nada. "Aku menganggap diri aku nyanyi sendirian di pinggir kolam yang banyak ikannya."

Nada tersenyum mendengar itu.

"Pokoknya kamu pasti bisa!" Melodi beranjak dari duduknya, dan hendak pergi keluar.

"Makasih ya ... kamu selalu ada di samping aku selama ini," ucap Nada.

"Iyalah, orang kita satu rumah terus, dan satu kamar terus. Baru kali ini, kan? Kita pisah kamar. Wajar kalo aku ada terus di samping kamu." Ia keluar dan menutup pintu kamar Nada, lalu masuk ke dalam kamarnya.

Setelah Melodi keluar, Nada mengambil kembali hp nya yang ia sengaja jatuhkan dari atas meja karena panik. "Sial, layarku retak gara-gara Melodi. Lagi asik main tik-tok padahal. Jangan sampe dia tahu."

'Maaf Nada. Besok kamu harus berlajar menghadapi masalah kamu sendiri. Aku datang agak terlambat.'

Setelah meletakkan barang-barangnya, Melodi kembali turun membawa handuknya untuk mandi. Ketika baru memasuki kamar mandi, ia batuk-batuk tak karuan, hingga ketika ia menutup mulutnya, ada bercak darah di telapak tangannya. Perlahan pandangannya kabur, dan satu tangannya bersandar, menopang tubuhnya di dinding kamar mandi. Sepertinya benar kata bunda dan juga dokter, bahwa ia tak bisa terus-terusan bernyanyi seperti sekarang. Yang mana ketika di depan semua orang ia terlihat memukau dengan suara indahnya, dan tanpa banyak orang tahu, Melodi menyimpan sisi kelam yang gahar dengan teriakannya.

"Harus pilih salah satu, ya?" Melodi tersenyum getir.

* * *

Sabtu pagi. Normalnya, gadis itu selalu berada di halaman untuk menyirami dan merawat tanaman-tanamannya, tetapi sudah beberapa weekend ini, ia tak pernah berada di halaman.

"Faris, maaf ngerepotin kamu," ucap Nada yang berdiri di depan Faris dengan pakaian yang rapi, tak seperti biasanya, style berkebun dengan kaos lengan buntung dan celana pendek, serta topi jeraminya.

"Santai aja. Eh, ngomong-ngomong kamu udah sarapan?"

Nada menggeleng. "Aku tahu, kamu pasti bawain aku sarapan, kan?" ucapnya yang terlalu percaya diri dengan senyum anehnya.

Faris hanya terkekeh mendengar itu dan menunjukkan dua porsi bubur ayam. "Jadi, udah sarapan belum?"

"Belum! Tadi kan udah dijawab pake gelengan kepala, ih."

"Nah, gitu dong. Harus jelas."

Mereka berdua berjalan ke pinggir kolam, dan menghabiskan bubur ayam bawaan Faris berdua. "Kamu nanti jangan dateng, ya!" ucap Nada.

Faris tiba-tiba tersedak mendengar itu. "Lah, ngapa?" Sambil menatap Nada dengan tatapannya yang galau.

"Pokoknya, kalo kamu dateng aku marah!" Nada memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan malunya. Rasa-rasanya, jika ada Faris, ia tak fokus bernyanyi, dan malah menjadi gugup total. Sudah beberapa kali terbukti ketika berlatih dengan Melodi.

"Yaudah, aku enggak dateng," balas Faris sambil tersenyum.

Namun, Nada malah menoleh ke arahnya dengan tatapan yang kesal. "Ih, jahat." Begitu ucapnya pada Faris. 

"Lah? Maunya gimana?" ucap Faris bingung.

"Enggak tau."

"Aku dateng apa enggak?" tanya Faris.

"Terserah." Jawaban klasik seorang gadis yang terlihat kehilangan moodnya.

'Allahuakbar, ini orang ....'

* * *

Di sisi lain, Melodi berjalan membawa tas gitarnya. Kali ini, tas itu tak membungkus gitar akustik yang biasa ia bawa, tetapi Fender Stratocaster berwarna hitam, sahabat kelamnya sedari mengenal dunia underground.

"Jam setengah sembilan kamu harus udah sampe, ya! Temuin Nada dulu sebelum naik panggung. Jangan sampai karena rasa gugupnya, Nada justru enggak mengeluarkan kemampuan terbaiknya, dan nantinya malah berakibat ke mentalnya," ucap Aqilla ketika melihat Melodi turun dengan tas gitarnya.

"Oke, Bunda," balas Melodi sambil tersenyum. Hari ini, ia membawa motor vespa kuning milik Aqilla.

Band Melodi yang akan tampil pada kesempatan kali ini bernama Wicked Sick. Aqilla tahu hal itu, tetapi yang sempat terlintas di benak Aqilla adalah band sejenis Paramore yang merupakan band indie dengan vocalist seorang wanita, bukan yang--screamo. Ketika mengetahui kebenarannya, Aqilla memperotes Melodi, hingga suatu hari, tak sengaja Melodi memuntahkan darah dan sempat tak bisa berbicara selama beberapa hari, ketika ia masih tinggal di Jakarta.

Melodi bukanlah orang yang terfokus pada satu band, melainkan menjadi personil di beberapa band, termasuk band sekolah, dan band akustik yang baru saja ia bentuk bersama Deva.

Wicked Sick sendiri terdiri dari empat orang. Melodi yang bernyanyi sambil bermain gitar lead, Agil yang bermain bass, Reno dengan gitar rythem, dan Albert sebagai drummer. Mereka tak seperti anak punk, atau orang-orang yang terlihat jahat. Hmm ... hanya orang-orang normal yang menyukai aliran keras.

Sebelum perform, mereka melancarkan permainan mereka terlebih dahulu pagi ini, dengan membawakan beberapa lagu.

"Guys, nanti gue pamit duluan ya. Setengah sembilan ada acara dan harus udah sampe di TKP," ucap Melodi pada anggota band.

"Oke, santai aja, Mel." Teman-temannya tak ada yang melarang, semua tak keberatan dengan hal itu.

Mereka berlatih kurang lebih selama dua jam. Setelah makan siang, mereka berempat berangkat ke tempat acara berlangsung. Sebenarnya mereka tampil di acara sejenis jakcloth yang digelar di Jakarta. Event tahunan yang banyak di tunggu oleh penggila clothing dan apparel lokal, banyak yang di tawarkan di event tahunan ini, dari berbagai diskon dan sale yg di beri oleh semua brand-brand lokal Indonesia, ada juga guest star yang tidak kalah keren.

Dalam Event ini juga terdapat stage music dan juga turut mengundang band-band lokal maupun Internasional. Event ini juga diikuti oleh 300 brand fashion lokal yang pastinya membuat bingung para pembeli karena banyaknya model-model fashion ya yang tentunya dengan sale yang gila-gilaan.

Wicked Sick memang bukan guest star, tetapi mereka menjadi salah satu band yang dinanti-nanti kehadirannya oleh sejumlah penikmat musik metal. Di sana Melodi berkeliling untuk membeli beberapa kaos sambil menunggu giliran bandnya untuk tampil. Sementara anggota yang lain ada yang menonton acara musik, ada yang menghampiri temannya dari grup band yang berbeda, dan ada juga yang berkeliling hanya untuk melihat-lihat.

Hingga, tak terasa giliran Melodi dan kawan-kawan untuk naik ke atas panggung. Mereka hanya akan membawakan dua lagu saja. Wicked Sick membawakan satu lagu cover, dan satunya lagu karangan mereka sendiri. Tak ada kendala dalam perform mereka, malah bisa dibilang sukses besar dan mungkin, kedepannya nama mereka akan semakin besar setelah event ini berakhir.

Melodi menatap jam tangan miliknya yang tepat menunjukkan pukul delapan malam. Ia tersenyum, lalu berpamitan dengan teman-temannya.

Ketika memasuki area parkir untuk mengambil motor, Melodi tiba-tiba saja memegang tenggorokannya yang tiba-tiba terasa sakit. Ia memekik dan mencoba meludah. Benar saja, ludahnya berwarna merah, sepertinya ia mengalami kerusakan akibat penampilannya tadi. Mungkin karena sakit yang ia rasakan, Melodi mulai meringis dan menitihkan air mata.

* * *

Di sisi lain, Nada sedang menatap jam dinding yang tergantung di ruang make up, waktu menunjukkan pukul setengah sembilan malam. 'Melodi ke mana sih?!'

"Nada, udah siap? Lima menit lagi kamu tampil ya," ucap seorang dari divisi acara.

Nada terlihat getir. Aqilla tak mungkin menenangkannya, karena ia berada di atas panggung. Tama dan Vian berada di kursi penonton bersama dengan Faris, menyisakan satu kursi kosong milik Melodi.

Nada gemetar, ia tampak pucat. Namun, Nada mengingat perkataan Melodi, bahwa ia hanya perlu menganggap semua orang itu batu. Nada memejamkan mata dan mencoba untuk tenang. Ia mengambil napas secara teratur dan mengeluarkannya melalui mulut.

"Nada, yuk. Giliran kamu." Gadis dari divisi acara itu tersenyum melihat Nada. "Semangat, ya! Kamu pasti bisa." Ucapannya menjadi pengganti dari Melodi yang seharusnya berkata demikian.

Nada berjalan dari backstage ke atas panggung. Tepuk tangan yang meriah dan sorak-sorak dari penonton membuat lututnya gemetar.

'Rame banget, mampus.'

Melihat putrinya tampak gugup, Aqilla mencoba untuk sedikit mencairkan suasana dengan perkenalan singkat tentang Nada. Aqilla, Nada dan MC saling berbincang singkat di atas panggung, sebelum memulai lagu penutup.

Sementara itu, Melodi baru saja sampai di parkiran utama dan hendak berlari ketika turun dari motornya, tetapi langkahnya tertatih karena tubuhnya yang mendadak meriang. Ia juga memikirkan Nada sepanjang perjalanannya tadi. Melodi mengendarai motor dengan wajah yang pucat.

'Biar pun harus mati, aku mau liat penampilan Nada.' Begitu pikirnya sambil terus berjalan.

Melodi memekik ketika mendengar suara ledakan yang sangat keras. Perlahan teriakan mulai terdengar di mana-mana. Melodi mempercepat langkahnya keluar dari parkiran.

"Oh-my-god!" teriaknya ketika melihat gedung acara yang penuh dengan kobaran api. "Ayah! Bunda! Nada! Vian!" Ia berlari hendak ke dalam gedung, tetapi banyak orang yang menahannya agar tak mendekati gedung yang terbakar.

"Jangan ke sana, dek. Bahaya!" ucap orang-orang sambil memegangi Melodi yang histeris. Melodi kini terduduk lemas, ia menangis sejadi-jadinya. Tak ada seorang pun yang keluar dari gedung itu. Melodi yang merasa shock berat, akhirnya tak sadarkan diri.

* * *

Terik matahari menembus tirai jendela dan memaksa Melodi untuk terbangun. Ia membuka mata dan mulai mengingat apa yang sedang terjadi. Melodi menatap Dirga yang sedang tertidur duduk di kursi sebelah kasurnya. Ia kini berada di salah satu kamar rumah sakit.

Pintu terbuka, membangunkan Dirga dari tidurnya. Sosok itu adalah seorang polisi dengan pangkat yang sepertinya tinggi. Ia membawa anaknya yang mengenakan seragam sekolah Dharmawangsa.

"Om Dirga ...," panggil Melodi lirih. Suaranya hampir habis, tetapi beruntung masih dapat keluar, meskipun serak. "Ayah, Bunda, Nada, dan Vian gimana?"

Dirga menatap temannya dengan raut wajah yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Yang jelas, matanya sembab, seperti habis menangis. Dirga seperti melimpahkan pertanyaan Melodi pada Kei yang baru saja kembali dari tempat perkara kejadian. Kei hanya menggeleng sambil perlahan menutup matanya. Setetes air menetes dari sela-sela netranya.

Ledakan yang terjadi di acara konser Aqilla berhasil didentifikasi. Itu adalah sebuah bom. Seseorang sengaja untuk meledakkan gedung acara itu bersamaan dengan semua orang di dalamnya, entah motifnya apa. Tak ada yang selamat dalam insiden ledakan itu, tak terkecuali seluruh keluarga Melodi. Menyisakan seorang gadis yang kini sebatang kara tanpa keluarga.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top