40 : Raungan Sang Naga

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Pekan olahraga Dharmawansa merupakan ajang untuk mencari bibit-bibit muda atlet untuk ajang nasional. Murid yang memiliki skill bagus dari tiap-tiap kelas akan dikumpulkan. Mereka akan dipanggil nantinya untuk mewakili Dharmawangsa dalam kejuaraan nasional.

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, selain perlombaan, Dharmawangsa juga menggelar sebuah festival bazar untuk semakin memeriahkan event tersebut. Tiap-tiap kelas membuka stand dan menjual sesuatu yang unik dan berbeda dari kelas lainnya.

Pagi ini, Vian baru saja selesai berpakaian. Tentu saja, Aqilla yang turut andil untuk merapikan pakaian putra kecilnya. Hari ini, bocah tampan itu mengenakan kaos olahraga berwarna putih dominan dan sedikit warna biru. "Sarapan dulu sana," tutur Aqilla.

Vian berjalan menuju meja makan, tetapi ketika melihat Noir, ia menghampirinya dan mengelus-elus kepalanya. "Selamat pagi, Tara," ucapnya tak biasa dengan nada ramah, tetapi tetap dengan wajah yang datar.

'Bisa tidak, jangan memanggilku begitu?'

Vian hanya mengangguk. "Oke. Noir."

Sebenarnya Tara cukup terkejut. Bahkan bocah ini mengerti bahasa kucing.

'Hoi, bocah! Kamu bisa bahasa kucing?'

Lagi-lagi Vian mengangguk. Sebenarnya Vian tak mengerti bahasa kucing. Hanya saja Tara adalah arwah manusia yang merasuki tubuh kucing. Melalui sentuhan, Vian mampu menganalisa dan mengerti seluk-beluk suatu objek hingga atom-atom terdalamnya. Karena itu, ia mampu membaca masa lalu Tara dengan psikometri bawaannya.

"Vian! Kok malah main kucing sih?" Aqilla menatap jam dinding. "Ini udah jam berapa. Makan dulu sana."

Vian beranjak dari duduknya dan berlari kabur ke meja makan dengan tangan yang dilebarkan seperti pesawat terbang. Sesampainya di meja makan, ia makan dengan tergesa-gesa, hingga beberapa nasi menempel di pinggiran mulutnya.

Setelah makan, Vian duduk sambil menatap Aqilla yang sedang membantunya memasang sepatu olahraga barunya. "Yuk berangkat." Aqilla beranjak dan menuju vespa kuningnya. Vian kini sudah siap dengan segala persiapannya, tak lupa raket kesayangannya.

* * *

Deva dan anggota OSIS lainnya sedang mempersiapkan tempat-tempat dan seluruh kebutuhan yang diperlukan untuk acara kegiatan. Mereka sebenarnya sudah mempersiapkan segalanya ketika weekend kemarin, pagi ini mereka hanya mengecek kembali jika ada kekurangan.

Sementara itu, di atap, Surya sedang menatap anak-anak OSIS yang sedang bekerja. Ia suka berada di atap karena dapat mengawasi segalanya dari sana. Pintu atap terbuka, membuat Surya menoleh. Gemma muncul bersama si anak baru, Agha Wardana, pemilik mata suratma. Surya hanya melirik sebentar, kemudian menoleh kembali ke anak-anak OSIS.

Gemma menghampiri Surya. "Hari ini, dia akan bersamamu. Jangan lepaskan pandanganmu, biar bagaimana pun juga, dia tetap berbahaya mengingat belum mampu menguasai kekuatannya ...," bisik Gemma. Gemma lalu menepuk bahu Surya. "Saya tinggal anak ini di sini. Tolong urus dia." Kemudian ia berjalan meninggalkan Surya dan Agha.

Agha berjalan ke sisi yang berlainan dengan Surya. Ia duduk bersandar di dinding sambil menatap langit. Tak ada kata yang terucap di antara mereka.

Belum juga lama berselang setelah Gemma pergi, pintu terbuka kembali, kali ini giliran putrinya yang datang. "Kasur, acara beberapa menit lagi dimulai."

"Oke, nanti kakak nyusul, kamu duluan aja," balas Surya.

"Hmm ... oh iya, ini aku bawain sarapan." Dewi berjalan mendekat pada Surya.

Surya menatap kotak nasi yang dibawa oleh Dewi, ternyata itu adalah masakan rumah, ia kembali menatap Dewi. "Kamu sendiri udah makan? Itu sarapan kamu, kan?"

"Aku udah makan kok."

"Jangan bohong, kakak jago nebak kebohongan orang, loh. Dan enggak ada manusia yang suka dibohongi."

"Iya, iya, maaf. Ini emang sarapanku, tapi aku enggak laper."

"Sama. Kalo gitu, kamu kasih aja orang yang lagi duduk di belakang."

Dewi menatap ke arah yang berlainan, ia baru sadar bahwa ada orang lain yang berada di sana. "Itu siapa, Kak?"

"Namanya Agha. Kalo kamu enggak laper, kasih dia aja."

Dewi cemberut mendengar itu, rasanya ia kecewa karena masakan yang ia buat untuk Surya, lagi-lagi ditolak. Ia menatap getir kotak nasi itu, Dewi tak ingin memberikannya pada siapa pun, kecuali Surya. Dan tentunya Surya menyadari itu, ia kemudian menghela napas. "Kalo boleh, bagi sesuap aja," ucapnya pada Dewi.

"Mana kenyang sesuap, kak."

"Dibilang enggak laper, tapi mau cobain. Boleh?" Surya tersenyum pada Dewi.

Dewi membalas senyum dan dan langsung membuka kotak nasi miliknya. Ia menyendok nasi dan lauknya, lalu mengarahkan sendok itu ke mulut Surya. "Ini kak, coba buka mulutnya aaaaa."

"Aaaaaa." Surya membuka mulutnya. Makanan itu masuk ke dalam mulutnya. Ia mengunyahnya dan segera menelan makanan itu. "Enak. Siapa yang masak?"

"Ibu," jawab Dewi berbohong.

"Ibu kamu pinter masak. Beruntung kepala sekolah punya istri kayak dia. Kamu juga beruntung karena bisa makan masakan dia setiap hari," balas Surya.

Wajah Dewi memerah. "Yaudah, kak. Dewi turun duluan ya. Lain kali Dewi bilang Ibu buat masakin khusus buat Kasur ya!"

Surya hanya mengangguk. Kemudian Dewi pergi. Agha yang sedari tadi menatap mereka, tiba-tiba mengingat sosok Melodi.

"Oi, nomor 66," tutur Surya. "Ayo turun. Hari ini gua penanggung jawab lu." Ia berjalan ke arah pintu, begitu pun dengan Agha.

Pagi ini diawali dengan upacara kecil dan sambutan dari kepala sekolah, juga ketua OSIS. Setelah itu kegiatan pekan olahraga mulai berlangsung.

Kevin merupakan kapten basket SMA Dharmawangsa, sudah pasti dia akan bermain basket untuk kelasnya. Sementara Deva dan Rava akan mewakili kelas mereka dalam olahraga futsal. Kirana merupakan atlet terkuat tenis meja. Dan Surya, merupakan dewa catur, sekaligus pemain tunggal bulu tangkis untuk kelasnya, selain itu Surya juga ikut serta dalam olahraga voli. Tentunya jadwalnya sudah diatur agar tidak bertabrakan. Dan untuk catur, sebenarnya ia bertukar posisi dengan Chandra.

* * *

Sementara itu di SD. Vian akan segera bertanding dengan kelas lain. Meski pun berada dalam kelas yang sama dengan Seta, Vian juga bisa menjadi lawan Seta, mengingat mereka mengikuti lomba bulu tangkis perorangan.

"Jangan sampai kalah, miracle boy! Kekeke." Seta memasuki lapangan dan mulai bertanding dengan para anak SD keroco. Sementara Vian sibuk mengamati permainan Seta.

"Jangan khawatir rekan! Kamu pasti bisa ngalahin dia," ucap Feri.

"Seandainya itu Feri, yang kakinya sembuh--pasti bisa menang, kan lawan Seta?" tanya Vian.

"Pasti! Dia itu cuma bisa menang lawan anak-anak keroco!" Veri mengajak Vian untuk bersalaman. "Aku dukung Vian!" Vian menyambut salaman itu.

"Aku juga dukung Vian!" Dinda berlari dan mencubit pipi Vian. "Vian harus menang!"

"Heeee! Kamu kan dari kelas lain?" ucap seorang anak cewek dari kelas Vian. "Dukung aja kelas kamu sendiri!"

"Aku cuma mau dukung Vian! Weeee." Dinda memeletkan lidahnya meledek anak cewek itu.

"Vian enggak butuh dukungan kamu!" Anak cewek itu menjadi sewot.

"Makasih, Dinda." Vian yang tak pernah bicara selain dengan Feri dan Seta, tiba-tiba berbicara pada seorang anak cewek dan membalas Dinda dengan mencubit pipinya. "Kamu ikut lomba apa?"

"Aku enggak ikut apa-apa biar bisa nonton Vian main," jawab Dinda. "Semangat!"

"Oi, miracle play boy. Sekarang giliranmu." Seta yang baru saja selesai, langsung duduk sambil meminum susu kotak miliknya. Kali ini giliran Vian bermain, cowok tampan itu segera memasuki lapangan.

Sorak-sorak anak-anak cewek memenuhi ruangan gor, menjadi pusat perhatian beberapa kelas dan juga anak-anak SMP. Mengingat gor SD menyatu dengan SMP.

"Meriah sekali rupanya, bung." Surya berjalan masuk sambil memperhatikan anak cowok yang menjadi pusat sorotan. "Apakah tampangnya bakal sejalan sama kemampuannya?" Ia duduk bersama Agha dan mengamati pertandingan yang mencolok itu.

Pertandingan dimulai, Vian benar-benar sudah berkembang pesat dan membantai lawannya tanpa skor. Ia bisa menggunakan pukulan menukik seperti Feri.

"Jago juga dia, masih SD bisa smash," ucap Agha.

Surya menoleh ke arah Agha. Baru kali ini ia mendapati orang itu berbicara.

Pertandingan selanjutnya berlangsung hingga Seta kembali memasuki lapangan. Seperti Vian, Seta juga menjadi sumber perhatian Surya. Bocah itu lebih garang dari Vian.

"Dia kayak lu, pake penutup mata. Dan cuma pake satu matanya, dia unggul tanpa kemasukan angka. Kalo anak itu ketemu sama si ganteng, mana yang bakal menang?" Surya mengajak Agha untuk bertaruh.

"Gua bertaruh buat anak mata satu." Agha melihat sebuah kemiripan dengan Seta, ia memegang Seta untuk menjuarai kompetisi ini. "Kalo gitu, gua megang si ganteng," balas Surya.

* * *

Beberapa hari berlalu, Surya yang berkeliling untuk mencari bakat muda, kini berfokus pada Vian dan Seta. Mereka yang paling mencolok, seorang wonderkid. Hingga tiba saatnya partai final tiba di hari sabtu ini. Ya, Dharmawangsa sengaja memilih hari sabtu sebagai partai final, karena dengan begitu pihak keluarga bisa hadir untuk meramaikan acara dan menonton putra-putrinya yang melaju ke final bertanding.

Tama dan Melodi hadir untuk menonton pertandingan Vian, sementara Aqilla dan Nada pergi ke studio untuk rehearsal. Seta menatap Tama sambil menyeringai. 'Tragis, orang tua datang untuk melihat anaknya dihancurkan kekeke.'

Seta memasuki lapangan dengan raket merahnya yang bertuliskan burn baby burn di batangnya. Sementara Vian sedang melakukan ritualnya, yaitu melakukan tos dengan Feri. "Kalahkan raja terakhirnya, Vian!" Vian hanya membalas ucapan Feri dengan anggukan kepala.

Kini dua pemain yang memiliki rekor belum pernah kemasukan angka akhirnya bertemu. Seta menyeringai menatap Vian, sementara Vian dengan sorot mata yang dingin memandang Seta. Aura panas dan dingin beradu dalam lapangan, membuat hawa di sekitar mereka berubah. Surya bersemangat melihat ini. "Kalo si mata satu itu menang, gua traktir lu makan!" ucapnya pada Agha.

Seta melakukan sevis pertama, ia memukul bola. Dalam waku yang singkat, bola itu berbalik ke arhanya dengan sangat cepat. Waktu seolah melambat untuk Seta, ia melirik bola yang kini telah menyentuh areanya. Vian menjadi orang pertama yang mendapatkan skor dari bocah iblis itu. Sorak-sorak penonton membanjiri area gor.

"Si berengsek ini sudah menjadi monster rupanya kekeke." Seta mengambil bola dan memberikannya pada Vian.

Vian segera melakukan servis, tetapi hal yang sama terjadi. Dalam sekejap, bola sudah berada di areanya. Seta menjadi orang pertama yang berhasil mencuri poin dari Vian. Bocah iblis itu mengarahkan raketnya pada Vian. "Darah dibayar darah, nyawa dibayar nyawa, angka dibayar angka kekeke."

Tama memicingkan matanya menatap Seta. 'kekeke?' Mengingatkannya pada sosok Uchul. Selain matanya, rupanya sifat dan tawanya begitu mirip. Ya, tanpa dia tahu, itu memang orang yang sama, hanya saja berbeda penampilan.

Pertandingan berlangsung sengit, tetapi sepertinya Vian perlahan mulai tertinggal hingga Seta memenangkan babak pertama. Berlanjut kebabak kedua, sepertinya Vian mulai turun mesin, dan tertinggal dari Seta.

"Anak itu pasti menang," ucap Agha pada Surya.

Ah, udah selesai, ya?

Memasuki match point babak kedua yang merupakan babak terakhir. Satu angka lagi bagi Seta, maka game over untuk Vian.

"VIAAAAAAN!"

Keadaan mendadak hening setelah teriakan itu. Seluruh mata tertuju pada anak di kursi roda. Feri mengepalkan tangannya dan menatap Vian dengan sorot mata yang sangat tajam. "JANGAN MENYERAH!"

Vian yang mulanya terlihat sangat lelah dan kehilangan semangat, kini menggenggam erat raketnya kembali dan menatap Seta dengan tatapan di awal permainan. Sejenak Vian memejamkan matanya, lalu menatap bola yang berada di tangan Seta dengan fokus yang tinggi. Bola matanya kini berwarna hitam pekat tanpa sedikit pun cahaya.

Seta menyeringai, ia mulai memukul bola dan memberikan Vian bola yang sulit. Vian berhasil membalikkan bola tersebut, tetapi melambung menjadi makanan untuk Seta. Seta agak berlari dan melompat menyambut bola, ia menyabet bola sekeras mungkin dengan tujuan mengakhiri permainan. 'Game over, boy.'

Vian menggunakan tangan kanan, oleh karena itu, Seta menghajar sisi kirinya yang menjadi sisi lemah Vian. Bocah itu seakan mati langkah dan membiarkan bola melewatinya hingga sejajar dengan dadanya. Permainan akan segera berakhir mengingat bola sedang melesat ke arah lantai lapangan.

Dengan refleks dewa, Vian memutar tubuhnya dan mengembalikan bola tanpa melihatnya. Seta dan seluruh orang terbelalak melihat aksi itu. Seta lagi-lagi memberikan pukulan telak, dan kali ini Vian mengembalikannya dengan backhand, teknik yang belum pernah ia gunakan sebelumnya.

Refleks segila itu, dan lagi--gerakan backhand barusan ....

Seta agak merinding. Ia membayangkan sedang berhadapan dengan Tara.

Sambil bermain, Vian terus membaca. Ia menganalisa setiap masa lau yang ia lihat. Permainan Feri ketika ia belum duduk di kursi roda. Gerakan Tara ketika ia sedang bertarung. Semua menjadi satu kesatuan. Ya, Vian mampu meniru kemampuan seseorang berdasarkan masa lalu yang pernah ia lihat.

"Kurang ajar!" Seta kini terlihat kelelahan.

Vian bergerak dengan kecepatan yang tidak normal dan terus menerus memberikan bola tanggung pada Seta agar ia selalu memberikan smash, sehingga otot di lengan bocah iblis itu keletihan. Membunuh lawannya secara perlahan adalah kegemaran Tara ketika sedang bermain-main. Vian menyeringai seperti Tara ketika melepaskan aura membunuh.

Vian tampaknya bosan, ia segera melepaskan pukulan menukik ke sudut yang sulit untuk Seta, Hingga akhirnya mampu membalikan keadaan dan menang di babak kedua ini. Dengan skor imbang 1-1, akhirnya mereka melaju ke babak terakhir sebagai penentuan.

Raungan saga naga membangkitkan kemampuan tersembunyi monster kecil itu. Kini dengan kemampuan bermain Feri ditambah refleks cepat Tara, Vian menjadi tak terkalahkan di atas lapangan. Dan yang membagongkan adalah, Vian selalu mengnicar sisi buta Seta. Ya, ia mengincar sisi kiri yang hanya dapat sedikit vision.

"Baiklah, jika kau ingin serius, monster kecil." Sebelum babak ketiga dimulai, Seta melepaskan penutup matanya.

Dirga yang juga menonton pertandingan itu kini menatap mata Seta yang rupanya bukan merupakan mata suratma. Ia pikir, Seta adalah Uchul, dengan segala yang terjadi. Begitu pun dengan Tama.

Namun, dari sekian banyaknya penonton, hanya Surya yang menyadari sesuatu ketika Seta menutup kedua matanya sambil menempelkan seluruh jari-jari kanan dan kirinya.  "Ajna?"

"Kau ingin serius? Akan kuberikan keseriusan itu kekeke." Tak ada seringai di wajah Seta. "Ajna."

Memasuki babak ketiga. Seta dengan ajnanya dan Vian dengan analisanya akan mengakhiri babak ini dengan penuh kegilaan ini.

Bola dimulai dari Vian, ia hendak memukul bola dengan pelan, tetapi ancang-ancangnya hanya tipuan, Vian memberikan bola jauh pada Seta. Seta sudah memprediksi itu dan bergerak sesaat sebelum Vian bergerak. Ia mengembalikan bola pada Vian.

Permainan berjalan sengit seperti babak pertama, di mana mereka berdua saling bertukar skor. Hingga match poin untuk Seta. Ia memberikan bola pendek, sehingga Vian terpaksa harus membalasnya dengan bola jauh. Rupanya Seta sudah menunggu momen itu. Ia merendahkan tubuhnya sambil mengembalikan seringainya yang sempat menghilang. "Agni ...." Ia melompat dan memberikan pukulan menukik bagaikan meteor.

Vian dengan seluruh keterampilannya berhasil mengembalikan bola itu, tetapi lagi-lagi ia memberikan makanan untuk Seta. Seta menggunakan agni berlari menyambut bola sambil melompat, ia hendak melepaskan pukulan terkuatnya. Vian sudah bersiap dan mundur ke pusat areanya, tetapi dalam posisi melayang, Seta terkekeh sambil menyentuh bola dengan pelan, membuat bola bergerak pelan di depan net Vian, iblis gila itu memberikan sebuah tipuan. Vian berusaha mengejar, tetapi langkahnya mati, ia tak dapat mengejar bola itu. Dengan segenap semangatnya, Vian melompat untuk mengembalikan bola, tetapi ketika bola mengenai raketnya, bola tersebut menembus raket Vian yang sudah berlubang akibat menahan bola berlapis atma api yang sebelumnya dilepaskan Seta, hingga jatuh ke lantai. Permainan berakhir, Seta keluar sebagai pemenang.

Melawan anak kecil saja aku hampir mati kelelahan kekeke.

Seluruh penonton bertepuk tangan untuk pertandingan yang luar biasa. Tepuk tangan itu bukan untuk Seta, melainakn untuk menyemangati Vian yang sedang menangis di lapangan.

"Hueeeee."

Melodi berjalan agak cepat menuju lapangan dan berusaha menenangkan adiknya. "Udah jangan nangis, kamu mainnya hebat kok, tapi musuh kamu lebih hebat. Besok kamu harus latihan lagi biar bisa menang ya, semangat Vian!"

Melihat Melodi, Agha langsung berdiri, tetapi Surya menarik tangannya ketika Agha hendak berjalan menghampiri gadis itu. "Lu enggak akan ke mana-mana. Duduk." Mengingat posisinya, Agha kembali duduk sambil terus memandang Melodi.

Surya tampak sedang mencatat sesuatu, kemudian ia beranjak setelah catatannya selesai. "Ayo, kita kembali." Ia dan Agha berjalan kembali ke gedung SMA. Agha terus menatap ke arah Melodi. Merasa diperhatikan, Melodi menoleh ke arah Agha, mata mereka sempat berpandangan, tetapi Melodi langsung memuang muka ke arah lain.

Pekan olahraga akhirnya berakhir. Surya mendapakan beberapa nama yang memiliki potensi besar. Dari semua itu, yang paling berpotensi adalah Seta dan Vian dari jenjang SD.

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top