4 : Supermom

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.


.

.

.

Udara minggu pagi, memang adalah udara yang terbaik di dunia. Karbondioksida yang diekstrak oleh tumbuhan-tumbuhan di pekarangan rumah, diubah menjadi oksigen terbaik yang Bunda Aqilla hirup pagi itu, sambil memperhatikan putra bungsunya yang sedang bermain di dalam pekarangan rumah bersama tiga orang temannya.

Ikhsan namanya, anak yang nakal dan menjadi pemimpin di antara Vian dan Ilham. Mereka bermain petak umpet, Ilham yang jaga sedangkan Vian dan Ikhsan bersembunyi. Ikhsan bersembunyi di semak-semak dekat tempat bunda Aqilla sedang duduk.

Aqilla memperhatikan anak-anak yang sedang bersembunyi, ia menatap Ikhsan.

Lucunya anak-anak ini, batinnya sambil menyematkan senyum.

Ikhsan melihat ke arah Aqilla yang sedang duduk sambil tersenyum memandangnya, wajahnya memerah. Aqilla memang wanita yang cantik, bahkan pesonanya membuat anak kecil itu menjadi baper.

Mamanya, Vian cantik. Dia liatin aku terus, batinnya.

Ilham menyadari bahwa ada seseorang yang bersembunyi di semak-semak, ia mencari tahu siapakah orang itu.

"Ikhsan, ketemu," ucapnya sambil berlari.

Karena Ikhsan sudah ditemukan, sekarang ia tinggal mencari Vian. Ia pergi meninggalkan Ikhsan. Ikhsan juga pergi, ia menghampiri Nada yang sedang merawat tanaman-tanamannya. Ikhsan menatap Nada sambil celingak-celinguk mencari sesuatu, Nada menyadari itu dan bertanya. "Cari apa?"

"Bunga yang paling cantik," jawabnya.

Nada memberikan setangkai bunga tulip pada Ikhsan, "ini aja nih," ucapnya sambil memberikan bunga itu.

Ikhsan mengambil bunga itu, "terimakasih." Ikhsan berlari meninggalkan Nada.

Ikhsan menghampiri Aqilla yang sedang duduk, "Bunda," panggilnya.

Aqilla menoleh ke arah Ikhsan, "ya, Nak. Ada apa?"

"Sendirian aja?" tanya bocah itu.

"Kenapa? Kamu mau nemenin?"

Ikhsan mengangguk, ia memberikan bunga tulip yang Nada berikan.

"Ini, buat, Bunda."

"Wah--terimakasih ya, Ikhsan." Aqilla mengambil bunga itu.

Akhirnya pencarian panjang Ilham berbuah hasil, ia berhasil menemukan Vian.

"San, ayo main lagi, kamu yang jaga," ucap Ilham.

"Aku lanjut main lagi ya, Bunda," Ikhsan pergi meninggalkan Aqilla dan kembali bermain.

Lucunya si Ikhsan. Aqilla tersenyum sambil menatap bunga tulip itu.

Sementara itu Ikhsan yang berkumpul dengan Vian dan Ilham, bertanya pada Vian.

"Vian, Bunda, udah punya pacar?" ucapnya dengan cengir yang menunjukan gigi ompongnya.

Vian tampak berpikir untuk beberapa saat, "enggak punya tuh, kayaknya," jawabnya singkat.

Apakah ini takdir, batin bocah ompong itu.

Sementara itu Melodi keluar dari pintu, ia sudah lengkap dengan pakaian yang rapi.

"Mau kemana kamu?" tanya Aqilla.

"Mau main, Bun," jawab Melodi.

"Nada ga diajak?"

Melodi hanya melirik ke tas gitar yang ia bawa. Dan Aqilla mengerti bahwa Melodi ingin bermain musik, tak mungkin ia mengajak Nada yang tak tertarik pada musik.

"Yaudah, hati-hati ya, jangan pulang sore-sore."

"Malem berarti ya hehehe canda," ucap Melodi sambil mencium tangan Aqilla.

"Ih! Ini anak."

Nada hanya memperhatikan Melodi yang baru saja seminggu tinggal di Bandung, tetapi sudah mendapatkan banyak teman, bahkan ia menghabiskan weekend pertamanya bersama teman-teman barunya. Jujur, Nada agak kesepian.

Aqilla menghampiri Nada, "ngemall yuk." Ajak Aqilla.

"Ciwalk?"tanya Nada.

Aqilla hanya mengangguk.

"Kita ngapain di mall?" tanya Nada lagi.

"Nonton bioskop yuk, abis itu cari makan." Aqilla menunggu jawaban dari Nada. Sebenarnya ia hanya ingin Nada merasa tak kesepian, mungkin Nada juga ingin pergi keluar.

"Ayuk deh," ucap Nada sambil tersenyum.

Aqilla dan Nada bersiap-siap, mereka mandi dan berdandan cukup lama.

"Tama, jaga rumah ya! Jangan lupa Vian diurusin," ucap Aqilla.

Tama hanya mengacungkan jempolnya tanpa berkata apa-apa.

Aqilla menyalakan mobil, Nada duduk di depan, tepat di sebelah Aqilla. Mereka berdua menikmati perjalanan dengan ditemani oleh lagu ever enough milik a rocket to the moon. Ibu dan anak itu menikmati setiap pemandangan yang mereka lalui, Bandung tak kalah macet dengan Jakarta. Daerah Cihampelas merupakan salah satu destinasi bagi para wisatawan yang berkunjung.

"Lagunya enak," tutur Nada.

"Bunda bisa main gitarnya?" lanjutnya lagi.

"Bisa dong," jawab Aqilla sambil tersenyum pada putrinya

Namun, jawaban itu malah membuat raut wajah Nada jadi semakin kusut. Melodi memang berbakat, ia menurunkan bakat Aqilla sebagai seorang musisi. Permainan gitarnya sangat bagus, ia juga bagus dalam bernyanyi. Sedangkan ... Nada?

"Kamu kenapa sih? Dari pagi mukanya udah kusut gitu," celetuk Aqilla yang merasa khawatir dengan putrinya yang satu ini. Tak seperti Melodi, Nada selalu mengalami kesulitan, ia tahu bahwa sebenarnya Nada merasa iri pada kembarannya.

"Kenapa ya, Bun?" perkataan Nada berhenti, ia menatap ke luar mobil.

"Cuma, Nada ... yang ga bisa main musik di keluarga?" cetusnya.

"Nada--" Nada menoleh ke arah Aqilla yang sedang menyetir mobil.

"Setiap manusia itu ... punya kemampuan yang berbeda, karena manusia itu makhluk yang unik," tutur Aqilla.

"Secara kebetulan, Ayah itu bisa main piano dan gitar, suaranya juga lumayan enak didenger. Tapi apakah, Ayah seorang musisi? Apa, Ayah sering main musik di depan kita? Ayah itu lebih berbakat di bidang design."

"Ayah itu, super hero, Bun--"

"Dia bisa segalanya ... sedangkan aku ... ga ada, aku ga bisa apa-apa," ucapnya merasa tak percaya diri.

"Bahkan, aku merasa, Ayah juga bisa melihat masa lalu. Karena dia selalu tau masalah anak-anaknya," lanjut Nada.

Yaaaa ... emang bisa sih, maaf ya, Bunda ga bisa cerita tentang kemampuan, Ayah kamu yang seorang psikometri.

"Bukannya ga ada, Nada--"

"Tapi, belum ketemu."

Aqilla memarkirkan mobilnya yang kini telah sampai di parkiran Mall Ciwalk. Setelah itu mereka turun dari mobil. Aqilla menggandeng tangan anaknya.

"Ayo, kita cari sama-sama," ucap Aqilla sambil tersenyum pada putrinya.

"Bantu, Nada ya, Bunda," balas Nada sambil tersenyum pada Aqilla dan menggenggam erat tangan ibunya bak seorang anak kecil yang takut kehilangan orang tuanya.

Mereka berjalan mengelilingi mall dan masuk ke dalam sebuah toko.

"Mau ngapain ke sini, Bun?" tanya Nada yang baru saja masuk ke dalam sebuah toko kamera.

"Waktu, Ayah dan Bunda kuliah dulu, kita ikut komunitas fotografi. Mungkin, kamu seorang fotografer." Aqilla mengambil sebuah kamera dan bertanya tentang spesifikasinya kepada penjaga toko.

"Kamera kan mahal, Bun--gimana kalo, Nada juga ga berbakat ...," ucapnya lirih.

"Bakat itu bukan patokan untuk seseorang bisa, Nada," balas Aqilla.

"Kita ga akan tahu, kalo ga dicoba." Aqilla telah memilih sebuah kamera dengan spesifikasi yang cukup bagus.

"Ada yang lebih penting dari sekedar bakat, yaitu usaha," tutur Bunda.

Sebenarnya Nada sudah lama ingin memiliki kamera, ia ingin mengabadikan setiap keindahan alam yang tuhan ciptakan. Bukan hanya melihat, ia ingin menghentikan waktu dengan cara mengabadikan setiap momen itu.

"Terimakasih ya, Bunda." Peluk Nada dengan rasa terimakasih yang sangat besar pada Aqilla yang seakan mulai tertular Tama, seakan ia bisa membaca isi hati anaknya dan mengabulkan satu permintaan yang selalu tertahan di benaknya. Tak seperti Melodi, Nada enggan untuk meminta sesuatu pada orang tuanya, ia jarang membicarakan hal-hal yang ia sukai atau hal-hal yang ia tak sukai, ia selalu diam dan menanggung semuanya sendiri.

Persis seorang Retsa Pratama yang pendiam pada masanya.

.

.

.

A Rocket To The Moon - Ever Enough

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top