39 : Cinta, Ya?
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.
Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.
.
.
.
Suasana makan malam kali ini begitu hangat, Aqilla dan Tama akhirnya hadir mengisi bangku yang sudah kosong beberapa hari itu. Namun, setelah makan, Nada langsung naik ke atas setelah mencuci piringnya sendiri.
"Tumben, biasanya kamu duluan yang selesai dan kabur ke atas?" tanya Aqilla pada Melodi.
Melodi tersenyum. "Ya mungkin dia lagi ada kesibukan kali, jadinya cepet-cepet."
Aqilla hanya mengangguk sambil menghabiskan makanannya. Tak berselang lama, ponsel Melodi bergetar, sebuah pesan masuk dari Nada.
"Bunda, sebenernya Nada punya kejutan buat Bunda. Coba abis makan, Bunda naik ke kamar Nada deh."
"Ada apa sih? Kok pake kejutan segala? Kan Bunda enggak lagi ulang tahun."
"Ada deh pokoknya." Melodi tertawa kecil, hal itu membuat Aqilla menjadi penasaran. Belakangan ini putri kembarnya terasa dingin, mereka seperti memiliki konflik, tetapi Aqilla sekarang tak khawatir, sepertinya Melodi dan Nada berhasil menyelesaikan masalah mereka sendiri.
Seusai makan, Aqilla berjalan naik menuju kamar Nada. Ketika wanita itu membuka pintu, terlihat Nada yang sedang duduk tiba-tiba beranjak dari duduknya. Ia mengenakan dress berwarna hitam. Malam ini Nada begitu cantik. Sebelum Aqilla mengomentari hal itu, tiba-tiba saja terdengar suara instrumental dari ponsel Nada.
https://youtu.be/ZT-rdjv8wgQ
Gadis itu menyanyikan lagu Time to Say Goodbye, lagu yang menjadi penutup di acara konser Aqilla.
Aqilla terdiam seribu bahasa menatap penampilan putri pemalunya. Gadis itu kini bagaikan kupu-kupu yang keluar dari kepompongnya, membuat Aqilla terpana, hingga matanya berkaca-kaca. Suara Nada membuatnya terharu. Indah, membuatnya tersenyum.
Setelah Nada selesai, Aqilla berjalan ke arah Nada, sementara Nada berlari memeluk Aqilla sambil menangis. "Nada bisa nyanyi, kan, Bunda?" tuturnya lirih.
"Kamu selalu bisa bikin mood Bunda naik, Bunda selalu bangga sama Nada." Nada memang kurang dalam bidang akademik dan beberapa passion yang dekat dengan keluarganya, yaitu musik, tetapi tanpa sadar, personalnya yang halus dan juga berbakti pada kedua orang tua, sudah membuat Aqilla bangga. Ketimbang Melodi yang lebih sering di luar, Nada lebih sering menghabiskan waktu di rumah membantu Aqilla.
Tama, adalah orang yang malas. Namun, jika ia serius dalam hal yang ia inginkan, maka dalam waktu singkat, Tama mampu menguasai hal itu hanya dengan beberapa kali mencobanya. Nada memang tak berbakat seperti Aqilla, tetapi faktanya, dia adalah gadis yang paling mirip dengan Tama. Tentu saja selain psikometri, Nada juga memiliki sifat yang sama, jika bersungguh-sungguh. Kini terbukti, dalam waktu singkat, Nada mampu menguasai seriosa.
Lantas, mengapa selama ini Nada tak pernah bisa mengimbangi Melodi dalam berbagai bidang? Ya, itu karena rasa insecure yang terpendam dan mindset, bahwa Melodi bisa segalanya, sementara ia tak bisa apa pun. Hal itu membuat kemampuannya terkunci, tanpa sadar Nada membatasi kemampuannya sendiri. Hingga kemarin pertengkarannya dengan Melodi, membuat Nada bisa berdamai dengan dirinya sendiri dan membuka rantai yang selama ini membelenggunya.
Nada dan Aqilla turun dengan mata yang masih berkaca-kaca. Melodi menatap Nada sambil menaikan satu alisnya. Nada hanya tersenyum sambil mengacungkan jempol andalannya. Melodi segera beranjak dan memeluk Nada. Sementara Tama dan Vian, ia tak mengerti apa pun, dan tetap berusaha untuk stay cool.
"Bunda itu nge share story di instagram pake fitur teman dekat. Kalian tau? Cuma kalian berdua, yang bunda centang," ucap Aqilla.
"Hah?!" Melodi terkejut. "Jadi sayembara itu palsu?"
"Bunda memutuskan buat nyanyi sendirian di panggung, sampe akhir." Aqilla membuat Nada dan Melodi murung ketika mendengar kenyataan itu. "Itu, kalo di antara kalian enggak ada yang mau menyambut postingan Bunda, tapi karena Nada udah berusaha buat menyambut itu semua, jadi--kamu siap?!"
Melodi dan Nada saling bertatapan. Nada memberikan jempolnya, tetapi Aqilla tak menerima ucapan jempol. "Siap?!"
Nada mengangkat jempolnya semakin tinggi.
"Yaudah kalo enggak siap, Bunda sendiri aja," balas Aqilla.
Melodi menepuk bokong Nada, sambil matanya memberikan kode.
"Siap!" Nada menyambut kode itu dengan refleks.
"Konsernya tinggal satu bulan lagi dari sekarang. Kamu punya banyak kekurangan! Jadi, jangan seneng dulu. Selama empat liburan akhir pekan ini, kamu ikut Bunda ke studio buat rehearsal."
Nada berhasil meluluhkan Aqilla dan mendapat kesempatan untuk bersanding dengan Bundanya di panggung yang sama. Melihat muridnya mampu mencapai target, membuat ada kebanggaan tersendiri dalam diri Melodi. Ia tersenyum menatap Nada yang sedang berbincang dengan Aqilla.
Vian menarik lengan Tama, ia ingin membisikan sesuatu. Tama agak menunduk, dan Vian langsung berbisik. "Ada apa sih, Ayah?" tanya Vian yang tidak mengerti dengan keluakuan cewek-cewek di keluarganya.
"Enggak tau," jawab Tama singkat sambil mengangkat bahunya.
* * *
Di luar latihan Nada dan Aqilla. Siang ini Surya berjalan menuju ruang kepala sekolah. Ia mengetuk pintu ruangan.
"Masuk," balas Gemma Martawangsa dari balik pintu. Surya membuka pintu, ia mendapati Gemma dan Deva di dalam ruangan.
"Oke, kita mulai saja langsung. Mengingat ketua OSIS dan ketua MPK sudah hadir di sini."
Deva merupakan ketua OSIS di SMA Dharmawangsa, sementara Surya merupakan MPK yang bertugas untuk mengawasi kinerja OSIS.
"Pekan olahraga akan segera dimulai, saya berharap dari pekan olahraga ini akan muncul anak-anak berpotensi yang nantinya akan mewakili sekolah kita untuk kejuaran nasional." Gemma menatap Surya. "Kamu juga pantau SD sama SMP, karena pengamatan kamu bagus, saya berharap kamu mencatat beberapa nama yang kamu anggap potensial."
"Siap, mengerti," balas Surya.
"Nanti kalian rapatkan lagi hal ini, dari saya sekian."
Deva dan Surya berjalan keluar ruangan kepala sekolah. "Gua akan berfokus di SD dan SMP, lu urus sisanya, oke?" ucap Surya sambil tersenyum. Surya memang mudah tersenyum, ia hangat seperti matahari. Berbeda dengan Chandra yang dingin seperti bulan.
"Oke. Kalo butuh bantuan, bilang aja," jawab Deva.
Surya menepuk pundak Deva. "Oke."
* * *
Di sisi lain, Vian dan kelasnya sedang berada pada jam olahraga. Bocah tampan itu menjadi sorotan anak-anak gadis di kelasnya. Vian sedang bermain bulu tangkis dengan Feri, sementara Seta hanya mengamati.
Feri membuat Vian tercengang. Bocah duduk itu, melakukan smash yang sangat keras. Sementara Seta bersiul sambil menyeringai. "Boleh juga, si pincang kekeke."
Untuk ukuran anak SD awam yang hanya bisa main tepuk bola saja, Feri tergolong jago di antara mereka. Ia bisa menghabisi beberapa anak lain dengan kemampuannya yang terlatih. Anak SD yang awam itu sangatlah sederhana, mereka selalu melemparkan bola ke tengah lapangan, dan Feri berada di sana. Meski pun tak bisa bergerak leluasa, Feri paham hal itu karena hanya ia yang terlatih di olahraga ini. Dengan posisi duduk, ia mampu memberikan pukulan menukik yang kuat.
Hingga bocah iblis itu turun ke lapangan. Ia mengambil raket seseorang dan membuat pemiliknya menangis. "Aku pinjam dulu sebentar, bodoh. Jangan menangis seperti bayi kekeke." Seta berjalan hingga berada di sisi yang berlainan dengan Feri. "Minggir, tampan. Kau tak akan mampu menghadapi monster tanpa kaki itu." Vian segera berjalan ke pinggir lapangan untuk menyaksikan pertandingan Seta dan Feri.
"Monster tanpa kaki? Hahaha kejamnya anak iblis ini!"
"Anak iblis? Kekeke menarik."
"Julukanku itu adalah Naga raksasa yang tak terkalahkan di lapangan bulu tangkis," ucap Feri.
"Terlalu panjang, dasar bodoh. Kau mengingatkanku pada naga lain. Dia bernama Togar Sinaga, tetapi lebih beringas."
"Hahahaha kami berasal dari ras yang sama. Dragon slayer."
"Banyak cincong kau lae." Seta melakukan servis pelan ke pinggir lapangan. Bola masuk dan skor 1 - 0 untuk Seta.
Sial! Bocah ini pandai bermain. Tidak seperti anak-anak lain yang selalu memukul ke tengah, dia pintar.
"Hei, ambil bolanya, cepat." Seta memberikan intimidasi pada Feri.
Feri mengepalkan tangannya. Seandainya kakiku sembuh, aku akan memberi anak sombong ini pelajaran, sial!
Namun, Vian berjalan mengambil bola tersebut, lalu membawa Feri keluar lapangan. "Tunggu, Vian. Ini belum selesai."
"Sudah selesai," jawab Vian. "Diam, dan pelajari." Vian berjalan ke lapangan. Ia menggenggam raketnya dengan kuat dan menatap tajam ke arah Seta.
"Utuk-utuk-utuk, bocah tampan ini marah kekeke."
"Wuuuuuu dasar anak nakal!" Sorak-sorak anak cewek menghujani Seta yang terlihat seperti orang jahat, karena melawan Vian.
"Berisik, jamet!" Seta tampaknya terganggu. "Enggak anak, enggak bapak. Orang-orang ganteng terkadang membuat aku kesal. Mari kita mulai permainannya, anak manja kekeke."
* * *
Pelajaran olahraga telah selesai. Seta memenangkan skor telak dengan angka 15-0. Ternyata Vian memang buruk dalam bermain.
"Jangan sedih, Vian." Feri berusaha menyemangati Vian yang terlihat menahan tangis sedari jam olahraga tadi. Ia sudah berlagu cool, tetapi hanya omong kosong. "Dari cara kamu megang raket aja salah." Feri mengambil raket milik Vian dan memegangnya. "Harusnya, megang gripnya itu kayak orang bersalaman, kayak gini nih." Ia menunjukan cara memegang raket pada Vian.
Vian ingin mencobanya, ia hendak mengambil raket, tetapi tanpa sengaja tangannya menyentuh tangan Feri. Sekelibat memori terlintas dalam pikiran Vian, hingga ia mengeluarkan darah dari hidungnya.
"Vian mimisan!" teriak Feri mencari pertolongan.
Seta yang daritadi menatap Vian kini memicingkan matanya. Psikometri? Tapi perasaan apa ini, seolah ada yang janggal. Sesuatu yang menarik akan terjadi.
Tak lama berselang. Akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Nada duduk di kursi taman sekolah Vian. Sudah beberapa hari ini ia dan Melodi bergantian menjemput Vian, mengingat Aqilla sedang sibuk belakangan hari ini.
Ketika sedang duduk menunggu, ia dikejutkan dengan pundaknya yang ditepuk. Sontak Nada menoleh, Kirana berdiri di belakangnya.
"Nada," sapa Kirana.
"Kiran," balas Nada.
"Jemput adik kamu, ya?"
Nada mengangguk sambil tersenyum.
Kevin dan Rava berjalan tak jauh di belakang Kirana, mereka berjalan ke arah Nada. Mata Nada bertatapan dengan Kevin, membuat Rava tersenyum sendiri.
"Ke sini naik apa?" tanya Kevin.
"Naik mobil."
"Bisa naik mobil?"
"Mobil pak supir hehe. Aku naik angkot."
"Mau bareng aku?"
"Enggak deh, ngerepotin."
Rava menarik tangan Kirana. "Ayo, kita pulang." Kirana berjalan sambil terus menoleh ke belakang. "Jangan cemburu," ucap Rava.
Memang sesuatu yang rumit terjadi di antara anak Tantra. Tak banyak yang tahu.
"Yaudah, tapi lepasin. Aku bisa jalan sendiri." Kirana melepaskan genggaman tangan Rava.
"Nada itu sukanya sama Faris, bukan Kevin. Jadi, jangan cemburu," ucap Rava.
"Ya, terserah akulah. Aku yang cemburu."
Ya, Kirana menyukai Kevin yang paling tampan di antara anak Tantra. Terlebih, ia dan Kevin sudah saling mengenal dari kecil. Bahkan Kirana kenal siapa gadis bernama Dara, yang sempat disinggung Nada ketika berkunjung ke rumah Kevin untuk mengembalikan sebuah benda. Dan ....
"Berarti kalo aku cemburu sama Kevin, boleh?"
Rava yang menyukai Kirana.
"Rav, maaf. Aku udah bilang kalo aku enggak suka sama kamu. Jadi, enggak usah peduliin aku."
"Peduli dan bertahan itu hak. Sama kayak kamu yang begitu ke Kevin, itu hak." Rava terus berjalan di samping Kirana. "Kita enggak bisa ngatur perasaan seseorang buat suka sama kita, tapi anehnya--kita terus berusaha, meskipun tau, ujungnya terluka. Denger, Kiran. Kita engga bisa juga, ngatur orang buat enggak suka sama kita, meskipun nyatanya dia yang paling banyak menoreh luka."
Kirana hanya diam mendengar perkataan Rava. Mereka sampai di parkiran motor, Rava mengambil motornya dan segera naik ke atasnya. "Ayo naik, hari ini aku yang anter kamu. Jangan nangis."
"Siapa juga yang nangis!" Kirana naik di belakang Rava. Ia mencubit ujung seragam Rava yang keluar. "Makasih, selalu ada buat aku, walau aku udah nolak kamu berkali-kali. Bukan artinya aku seneng sama hadir kamu, tapi aku cuma berusaha menghargai apa yang kamu berikan."
"Sama-sama, bisa bantu kamu udah bikin aku seneng kok. Makasih karena enggak menghindari aku." Rava melaju mengantarkan Kirana pulang.
Surya berdiri di atap sekolah sambil menyaksikan segala jenis drama pulang sekolah yang terjadi. "Cinta, ya?"
"Hey, Chan. Seandainya saatnya tiba, kita atau ada seseorang yang suka sama kita. Kira-kira apa yang akan terjadi? Atau, ketika kita suka sama dua wanita yang berbeda, kira-kira, apa yang akan kita lakukan?"
Pintu atap terbuka. Seorang gadis dengan rambut sepanjang punggung yang terurai karena hembusan angin di atap berjalan ke arah Surya.
"Udah aku duga, kasur di sini," ucapnya.
Kasur, adalah kepanjangan dari Kak Surya. Gadis itu adalah salah satu anak MPK agkatan baru.
"Ada apa, Dewi?" tanya Surya yang masih membelakangi gadis bernama Dewi.
"Kita enggak ada rapat khusus MPK? Cuma rapat gabungan bareng anak OSIS aja?"
"Iya, cukup begitu aja," jawab Surya singkat.
"Oh iya, tadi Kasur sama Kak Deva ngomongin apa sih sama Ayah? Jangan-jangan, itu alasan kita ngadain rapat gabungan, ya?" tanyanya pada Surya.
Surya membalik tubuhnya yang semula membelakangi Dewi. "Tentang pekan olahraga," jawab Surya dengan senyum khasnya.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top