38 : Guru Melodi
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.
Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.
.
.
.
Melodi masih asik menatap layar ponselnya siang ini, ia melihat postingan di berandanya, sebuah postingan dari Aqilla Maharani yang mencari tandem untuk lagu penutup di konsernya.
Seriosa, ya? Apa Nada bertingkah konyol gara-gara mau ikutan ginian?
Secara kebetulan Nada tiba-tiba saja masuk ke dalam rumah mengenakan pakaian lengan buntung, celana pendek, dan juga memakai topi jerami.
"Heh, petani," ledek Melodi.
Nada menoleh ke arahnya.
"Kamu mau jadi tandem Bunda bawain lagu penutup di konsernya?"
Nada hanya terkekeh sambil berjalan melewati Melodi yang sedang duduk di sofa. "Enggaklah, mana mungkin aku bisa."
"Bisa."
Langkahnya terhenti ketika mendengar respon Melodi. Nada kini menatap Melodi kembali. "Kamu aja enggak bisa nyanyi seriosa, kan? Apa lagi aku."
Melodi terdiam mendengar ucapan Nada. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiri Nada. Melodi menarik tangan Nada dan menyuruhnya duduk.
Ketika Nada duduk, mata mereka bertatapan. "Aku mau ngomong sama kamu," ucap Melodi dengan tatapan yang serius. "Kamu bisa lihat masa lalu orang yang kamu sentuh, kan?"
"Kamu keseringan nonton film, ya?"
Melodi menarik tangan Nada dan melepas sarung tangannya. "Jujur sama aku, iya, kan?"
"Enggak, mana mungkin sih ...." Nada menghentikan ucapannya. Ia menatap mata Melodi yang berkaca-kaca.
"Semua orang bisa bohongin aku, tapi kamu enggak bisa. Cuma kamu yang enggak bisa bohongin aku, kita terikat. Ayah selalu pake sarung tangan. Dulu--ada kalanya dia lepas sarung tangan itu dan tiba-tiba dia seakan tahu masalah kita, kamu inget, kan? Ayah super yang selalu tahu masalah kita." Melodi menahan sesak di dadanya. "Aku bukan anak kecil lagi. Emang menurut orang pertanyaan aku kayak anak kecil, tapi bagiku ini penting. Rasanya seakan, aku bukan orang yang penting sehingga kamu enggak perlu jujur ke aku. Sekarang aku tanya, kamu psikometri, kan?"
Nada mengingat kata-kata Tantra, bahwa tidak boleh ada orang yang tahu perihal kemampuannya, termasuk Melodi. "Enggak, aku ga ngerti kamu ngomoong apa." Nada beranjak dari duduknya.
"Silakan kamu pergi, berani melangkah satu senti aja, aku anggap kita bukan saudara," tutur Melodi. "Aku cuma mau kamu jujur ke aku. Enggak masalah kamu bukan seorang psikometri, tapi jangan menghindar ketika aku nanya serius."
Nada terlihat getir, tak terbayang hidupnya tanpa Melodi. Memang terkadang mereka bertengkar, tapi itu tak pernah berlangsung lama. Salah satu dari mereka pasti merindu, dan pada akhirnya berdamai. Ia kembali duduk.
"Iya, aku psikometri," ucap Nada dengan tatapan sendu. "Aku bisa lihat masa lalu objek yang aku sentuh pake tangan telanjang. Makanya Ayah ngasih sarung tangan ke aku, biar aku enggak capek lihat masa lalu apa pun yang aku sentuh."
"Aku udah tau lama, tapi berusaha diem-diem aja. Aku sebel sama kamu yang ga jujur ke aku, dan aku sebel sama diri aku sendiri yang iri sama kamu."
"Iri sama aku?" Nada memcingkan matanya. "Jadi kayak gini tuh tersiksa! Harus pake sarung tangan ke mana-mana, kamu pikir itu enak? Mimisan, pingsan, kalo terus-terusan gunain kemampuan ini. Kamu pikir itu menyenangkan?"
"Kamu pikir menyenangkan jadi si nomor satu?" balas Melodi. "Jadi orang yang dianggap bisa segalanya dan banyak orang yang berharap, mereka ngebebanin semuanya ke orang yang mereka anggap jenius. Kamu pikir seru hidup kayak gitu?"
"Daripada hidup di balik bayang-bayang orang jenius? Kayak, jadi orang yang paling enggak berguna," balas Nada dengan tatapan jutek.
"Ya, daripada jadi orang biasa yang enggak nurunin kemampuan Ayahnya? Kayak, dia bisa belajar apa pun, kecuali bakat supranatural," balas Melodi tak kalah jutek. Melodi menghela napas, kemudian ia tertawa lepas. "Aku enggak nyangka, ini yang kamu rasain dari dulu. Perasaan iri, frustasi, depresi karena enggak bisa ngelakuin hal yang kamu mau."
"Terus, lucu?" balas Nada sinis melihat Melodi tertawa.
"Enggak, enggak ada yang lucu. Yang lucu itu cuma, aku yang iri sama kamu, dan kamu yang iri sama aku. Kita sama-sama iri dengan sesuatu yang kita enggak punya, tapi kembaran kita punya."
Nada kemudian tertawa. "Iya, ya. Tanpa kita sadari, kita punya seuatu yang di mana sangat diingkan sama orang yang kita kagumi."
"Jadi ...." Melodi menatap ke arah Nada dengan senyumnya. "Kamu mau duet sama Bunda?"
"Hahaha aku enggak bisa, Melo." Nada menatap meja sambil menggoyangkan kaki-kakinya. "Musik itu keahlian kamu, kalo kamu aja enggak bisa, ya aku udah pasti enggak bisa."
"Heh!" Melodi menyundul kepala Nada.
"Aduh, sakit, oneng!"
"Kamu sadar enggak sih? Kita itu punya sebuah pola," lanjut Melodi.
"Pola?" Nada mengerutkan dahinya.
"Aku bisa musik, kamu enggak. Aku jago pelajaran, kamu kurang. Kamu suka tanaman, aku enggak. Kamu suka fotografi, aku kurang. Kamu nurunin psikometri, aku enggak. Kita itu bertolak belakang, kembar yang enggak mirip sama sekali dari sisi bakat dan minat."
"Terus?" Nada tak memahami kata-kata Melodi.
"Kalo aku enggak bisa nyanyi teknik seriosa karena karakter suaraku yang terlalu milenial, kamu punya kesempatan buat bisa. Mengingat vokal kamu belum punya karakteristik."
Nada mulai tertarik dengan ucapan Melodi. "Tetep aja, Melo." Namun, ia masih memasang wajah getir.
"Kalo kamu mau, aku bisa ngajarin kamu dasar-dasarnya. Meskipun secara praktek aku enggak bisa, tapi secara teori aku paham."
"Maaf, aku enggak akan bisa. Nanti cuma buang-buang waktu kamu," balas Nada.
"Ya terserah kamu deh, kalo kamu butuh bantuan, aku siap bantu. Sekali-kali coba percaya diri dong."
"Kamu aja ngira aku hantu sinden, kan?"
Melodi mendadak menahan tawanya. "Heh! Kamu tuh ya, latihan nyanyi malem-malem, pamali tau!"
"Ya, abisnya kalo malem sepi, enggak akan ada yang protes juga."
"Ya, seenggaknya kalo aku ngira kamu itu hantu sinden, yang perlu kamu tau itu teknik sinden enggak segampang yang kamu kira." Melodi menatap Nada dengan tajam. "Ibaratnya seriosa versi gamelan."
"Emangnya sama?"
"Enggak sepenuhnya sama, selalu ada perbedaan dari tiap teknik vokal, tapi bisa dibilang agak mirip," jawab Melodi.
"Emangnya enggak apa-apa, aku--belajar nyanyi sama kamu?" tanya Nada dengan wajah malu-malu.
Melodi tersenyum menatap kembarannya. "Latihanku keras, loh."
Nada mengepalkan tangannya. Ia menarik napas, lalu mengeluarkannya melalui mulut. "Aku mau coba deh."
"Oke!" Melodi beranjak dari duduknya. "Targetnya, terpilih jadi tandem Bunda di acara penutup konsernya! Mulai hari ini--enggak ada pisang goreng! Kamu enggak boleh makan gorengan dulu! Dan perbanyak minum air putih! Itu dulu!"
"Hah?! Kamu gila? Masa--enggak ada pisang goreng?" Nada tampak shock dengan ucapan Melodi.
"Terserah, kalo kamu merasa tertinggal dari aku dari segala aspek, itu karena kamu enggak pernah sungguh-sungguh! Kalo emang pisang goreng lebih berharga, silakan kamu makan sebanyak yang kamu mau." Melodi berjalan meninggalkan Nada.
"Aku akan meninggalkan dunia pergorengan, Guru!" Nada membungkuk pada Melodi.
Kini Melodi tersenyum jahat. "Bagus, bagus. Hormatilah aku muahahaha."
Kini Melodi resmi menjadi guru vokal Nada.
* * *
Masih ada satu bulan waktu untuk berlatih. Nada sudah mengikuti beberapa arahan Melodi, dan hari ini mereka berlatih di halaman belakang.
"Untuk bernyanyi seriosa, diperlukan teknik khusus agar performa kamu sempurna," papar Melodi sambil berjalan di hadapan Nada yang sedang duduk memperhatikan. "Ada beberapa hal yang harus kamu perhatiin untuk bernyanyi seriosa." Nada tampak fokus memperhatikan.
"Pengambilan napas harus diperhatikan dalam bernyanyi seriosa, khususnya saat menyanyikan part lagu yang bernada tinggi. Kamu harus lihai dalam mengambil teknik pernapasan mana yang tepat agar suara yang dihasilkan terdengar indah dan maksimal," lanjut Melodi. "
"Emangnya bernapas ada tekniknya? Bukanya tinggal gini-gini doang?" Nada menarik napas dan mengeluarkannya secara cepat selama beberapa kali.
Melodi memasang wajah datar, ia berjongkok lalu menatap Nada. "Ada tiga teknik. Pertama pernapasan dada, kedua pernapasan perut, ketiga pernapasan diafragma. Inget itu baik-baik."
"Bedanya apa?" Nada tampak pusing mendengar pelajaran dari Melodi.
"Teknik pernapasan dada, mengambil napas dengan membusungkan dada, sehingga dada terangkat ke atas. Teknik pernapasan ini enggak baik digunain dalam bernyanyi, karena menyebabkan rongga dada, bahu, leher dalam keadaan tegang, sehingga alat-alat suara dalam tenggorokan dan alat-alat pernapasan seperti trachea / pita suara dan paru-paru dalam rongga dada menjadi kaku. Akibatnya akan menghasilkan suara yang tegang dan kaku pula."
"Teknik pernapasan perut mengambil napas dengan membusungkan perut. Teknik pernapasan ini emang enggak menimbulkan ketegangan pada rongga dada, leher dan bahu, Tetapi teknik ini enggak dapat menghasilkan suara yang tinggi dan keras."
"Teknik pernapasan diafragma adalah teknik yang paling tepat digunakan pada saat menyanyi, karena pada waktu mengambil napas, sekat ronga badan mengembang. Tepatnya, diafragma terletak antara rongga dada dan perut. Pengucapan, Pengucapan mempunyai tujuan agar lafal yang keluar dari mulut kita sesuai dengan kondisinya. Lafal yang tepat akan memberikan pengertian kepada pendengar."
"Terus ...." Melodi masih melanjutkan pelajarannya. "Ada beberapa hal yang harus kamu perhatiin selain teknik pernapasan."
"Apa lagi tuh?" Nada mengambil sebuah kertas dari saku celananya dan juga pulpen berwarna biru.
"Posisi tubuh," jawab Melodi. "Sikap badan harus tegap dan rileks, terus muka menghadap ke depan. Abis itu, posisi mulut ketika menyanyi itu menentukan volume suara, kejelasan lirik, intonasi, vokalisasi dan sebagainya. Intonasi, kejelasan lirik harus diperhatikan karena lagu seriosa yang biasa dibawain itu adalah lagu Italia yang ejaan dan pembacaannya harus betul betul diperhatikan. Terus suara, kita harus mengetahui ambitus suara karena hal ini menentukan seberapa jangkauan wilayah nada. Suara manusia itu dibagi tiga."
"Suara mulut, suara kentut, sama suara ketek? Hehehe."
"Nada! Serius dong." Melodi tampak memasang wajah garang, tetapi menahan tawanya.
"Hehehe maaf."
"Ada Sopran, messo sopran, sama alto," papar Melodi.
"Jelaskan, apa itu?!"
"Sopran itu suara tinggi, terus messo sopran itu suara sedang, kalo alto suara rendah. Itu untuk wanita." jelas Melodi. "Kalo untuk pria namanya tenor, bariton, sama bas."
Melodi berjalan di pinggiran kolam. "Intinya, kamu pelajarin lagi apa yang aku bilang tadi. Mulai coba nyanyi pake teknik, jangan asal-asalan! Terus pelajari hal-hal selain teknik pernapasan juga. Dan inget, jangan ada pisang goreng di antara kita!"
"Siap!"
Melodi mulai menyuruh Nada untuk latihan pernapasan dan berani bernyanyi di hadapannya, mengingat Nada sangat pemalu dan hanya mau menyanyi jika sendirian.
"Emang harus banget di depan kamu?" tanya Nada yang wajahnya merah karena malu.
"Kalo ini sukses, dan kamu terpilih. Di hadapan kamu nanti bukan cuma aku, tapi ratusan orang. Di tambah yang nonton dari tv dan internet. Kita mulai dari aku dulu, satu orang."
Nada mulai memberanikan diri bernyanyi di hadapan Melodi, tetapi dengan syarat, Melodi tak boleh menatapnya. Mereka setuju, Melodi hanya mendengar sambil menatap ikan yang berenang dengan bebas di kolam. Jika ada kesalahan, Melodi hanya akan berbicara tanpa menatap Nada. Mereka berlatih keras selama satu bulan lamanya, Melodi juga sempat memanggil Deva, Faris dan beberapa teman bandnya untuk melatih kepercayaan diri Nada.
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top