35 : Semester Baru
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.
Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.
.
.
.
Vian berjongkok menatap kucing hitam yang sedang tertidur di atas karpet ruang tengah. Ia mengelus kepala kucing itu sambil tersenyum. Hidungnya mengeluarkan darah. Vian tersenyum menatap Noir. "Rizwantara Putra. Adi Wijayakusuma. Ashura Aditama. Dharma. Peti Hitam."
Mendengar semua ocehan itu, Noir bangkit dan berjalan mundur, menatap Vian sambil sekujur tubuhnya merinding.
Oi, oi! Tama aja enggak sebrutal itu, kan? Harusnya seorang psikomeri sekali pun, cuma bisa lihat masa lalu kucing ini. Bukan masa lalu gua, kan?
Vian merebahkan dirinya sambil berbisik pada Tara yang bersemayam dalam raga kucing hitam. "Ayo, kita berteman ...," gumamnya.
"Vian, ayo berangkat. Hari ini hari pertama kamu masuk sekolah dasar loh, dek." Suara Aqilla membuat bocah kelas satu esdeh itu beranjak pergi meninggalkan Noir.
Tara hanya menatap bocah misterius itu sambil berpikir. Ia sudah beberapa minggu ini tinggal di rumah keluarga Mahatama, tetapi Nada dan juga Tama yang memiliki psikometri tak mampu mendeteksi masa lalu Tara, mereka hanya mampu melihat masa lalu kucing yang menjadi wadah itu. Berbeda dengan bocah kecil barusan.
* * *
"Bunda tinggal ya, jangan nangis. Kan ada banyak temen-temennya tuh." Aqilla menatap Vian yang baru saja turun dari motor dan terus menggandeng tangannya.
"Vian!" Dinda berlari ke arah Vian. "Selamat pagi!"
"Tuh ada Dinda. Jangan nangis ya kalo bunda tinggal."
Vian melepas tangan Aqilla dan memberikannya jempol sebagai pertanda 'oke'. Aqilla tersenyum, lalu mengecup kening putra kecilnya. "Yaudah, bunda pulang dulu ya. Nanti Bunda jemput pas pulang."
"Nanti biar aku aja yang anter Vian." Dirga menghampiri Aqilla yang hendak pergi. "Waktu itu kan, kalian udah nganterin Dinda pulang. Gantian, biar nanti Vian aku yang anter aja."
Dirga Martawangsa, ia adalah kepala sekolah di SD Dharmawangsa ini, sementara Tirta Martawangsa menjadi kepala sekolah SMP, dan Gemma Martawangsa menjadi kepala sekolah SMA. Ya, keluarga Martawangsa yang bertanggung jawab atas Martawangsa Foundation, bertugas sebagai tenaga pendidik di sekolah milik Dharma ini.
"Maaf ya ngerepotin. Titip Vian ya." Aqilla langsung berpamitan dan pergi menuju rumah.
Sementara itu, Vian tampaknya tak terlalu kesulitan di sekolah barunya. Mungkin karena ada Dinda, ia mengenal setidaknya satu orang di sekolah barunya.
Tara yang diam-diam berlari mengejar motor Aqilla, kini berdiri di dinding pagar sambil menatap Vian.
Dharmawangsa? Konspirasi apa ini! Tara berkeliling sekolah untuk melihat-lihat.
Vian berbeda kelas dengan Dinda. Kini putra cilik dari keluarga Mahatama itu duduk di sebelah seorang anak laki-laki yang duduk di kursi roda.
"Feri Sinaga." Anak itu mengajak Vian bersalaman sebagai tanda perkenalannya, tetapi Vian hanya menjabat tangan anak itu tanpa memberitahu namanya. Saat menjabat tangan Feri, sekelibat memori terlihat dalam pikiran Vian. Feri merupakan atlet bulu tangkis, ia adalah pemain yang sangat hebat di usianya, tetapi karena sebuah kecelakaan, ia harus duduk di kursi roda dalam jangka waktu yang panjang. Ada kemungkinan ia sembuh, dan juga kemungkinan lumpuh permanen.
"Hey, nama kamu siapa?" Feri tampak memprotes Vian yang hanya diam saja.
Vian hanya menampilkan dua jarinya yang membentuk huruf V.
"V?" Feri memicingkan matanya.
Vian hanya mengangguk sambil mengacungkan jempol andalannya.
Ada beberapa hal yang mengganggu sebenarnya. Beberapa anak membicarakan penampilan Vian yang tergolong tampan, tetapi di antaranya juga membicarakan anak yang duduk di kursi roda itu. Sebuah pembicaraan positif dan negatif dalam satu waktu.
Ketika jam istirahat tiba, Vian hendak pergi, tetapi melihat Feri yang hanya diam, ia mengurungkan niatnya.
"Kenapa duduk lagi?" tanya Feri.
Vian menunjuk pintu keluar, setelah itu ia menunjuk Feri. Seakan mengerti maksud dari Vian, Feri hanya tersenyum. "Kalo mau keluar ya keluar aja, aku enggak mau ke mana-mana."
Vian sangat mengerti, arti pada binar mata itu. Mata yang mengharapkan kebebasan. Vian beranjak dan berjalan ke belakang Feri, ia berusaha mendorong kursi roda itu dan membawanya keluar.
"Heh! Mau dibawa ke mana?" Feri tampak panik.
"Keliling sekolah," jawab Vian singkat.
Sejujurnya, ini pertama kali Feri mendengar suara Vian. Vian memang tak pernah berbicara, dan Feri awalnya menganggap bahwa Vian ini bisu. Namun, kini ia yakin, suara Vian kali ini bermakna 'percaya sama gue'. Feri hanya pasrah ke mana Vian membawanya.
Kini Vian membawanya ke lapangan indor Dharmawangsa. Sebuah gor serbaguna dengan beberapa lapangan di dalamnya, ada net yang terpasang di lapangan bulu tangkis.
"Mau main?" Vian membawa Feri ke lapangan bulu tangkis.
"Mau sih, tapi ... gimana caranya?!"
Vian baru menyadarinya. Tak ada raket, dan tak ada shuttlecock di sana. Bocah itu kini menepuk jidat dan membawa Feri kembali ke kelas.
"Kok kamu tau--aku suka main bulu tangkis?"
"Enggak tau," jawabnya singkat. "Aku cuma suka permainan itu. Aku pikir semua orang suka."
Feri hanya tersenyum mendengar itu. "Ayo, kapan-kapan kita main."
Tara memperhatikan mereka dari kejauhan. Ia telah mengambil beberapa kesimpulan yang belum terlalu matang. Tinggal satu dorongan kecil, spekulasinya terhadap putra Aqilla itu berujung pada fakta.
"Denger-denger ...." Seorang pria berdiri di belakang Noir. "Kucing bisa lihat dan denger suara makhluk ghaib, ya?"
Tara menoleh ke belakang. Ia terbelalak dan merinding mendapati sosok di belakangnya.
"Yo, apa kabar? Kekeke."
"Uchul!" Tara berusaha untuk kabur, tetapi Uchul menarik ekornya.
"Waktunya pulang, bocah nakal!" Uchul berusaha menarik roh Tara dari dalam tubuh Noir. "Kecuali kau punya sesuatu yang menarik di sini kekeke."
Tara meneguk ludah, ia tak punya pilihan lain kecuali menceritakan tentang Octavian Mahatama yang memiliki kemampuan unik pada Uchul.
"Kekeke menarik. Aku jadi tertarik sekarang." Uchul menyeringai dan membiarkan Tara pergi. Ia mengambil ponsel dan menelpon seseorang. "Aku butuh sedikit bantuanmu kekeke."
* * *
Malam telah tiba, membisikkan syair-syair kelamnya pada Nada yang kini berbaring di kamar sebrang. Kamar yang digunakan Harits ketika liburan kemarin. Ia memutuskan untuk pisah kamar dengan Melodi. Dengan wajah suramnya, ia menatap nilai-nilainya semester kemarin yang tergolong ambyar. Masih hangat di benaknya, ketika dua putri Mahatama itu menjadi perbandingan satu sekolah. Melodi dengan ranking pertamanya, dan Nada dengan ranking terakhirnya. Matanya berkaca-kaca menatap buku rapor miliknya.
Aku kok ya--bodoh banget?
Di sisi lain, Melodi sedang duduk menggenggam sebuah sarung tangan usang. Ia memfokuskan dirinya untuk melihat masa lalu benda tersebut, tetapi selalu gagal.
"Arrggh!" Ia membanting sarung tangan itu ke lantai sambil membenamkan kepalanya pada kedua sikunya yang terlipat di atas meja belajar.
Kenapa aku enggak bisa sih?
Mereka berdua mengalami sebuah gejolak. Nada yang ingin cakap di bidang akademik dan juga populer, lalu Melodi yang sangat ingin memiliki kemampuan psikometri.
* * *
Pagi telah tiba, seperti biasa Tama mengantar kedua putrinya, sementara Aqilla mengantar putranya kecilnya.
Sesampainya Vian di sekolah, ia melihat seorang anak dengan jaket merah yang sedang menyeringai ke arahnya. Anak itu ditemani seorang pria tampan yang sedang berbincang dengan Dirga.
"Baiklah, jika memang begitu keadaannya." Dirga menatap anak itu dan seketika, ia mengingat Uchul karena anak itu juga mengenakan penutup mata pada mata kirinya, persis seperti Uchul dulu, dan lagi--auranya yang terkesan merah kental itu.
"Baiklah, jika ini sudah selesai. Saya titipkan putra saya, permisi." Pria itu hendak pergi, tetapi Dirga menahannya.
"Sebentar. Apa kita pernah bertemu?" Dirga merasa familiar dengan wajah orang itu.
Orang itu tampak tersenyum dan santai menangani Dirga. "Mungkin cuma perasaan aja, atau emang pernah. Saya juga lupa." Dirga hanya menatap name tag yang terpampang di dada pria itu, Rian Rawindra.
Setelah kepergian Rian, Dirga mengantar bocah itu ke dalam kelas. Ia berada dalam kelas yang sama dengan Vian. Anak itu duduk di sebrang kanan Vian.
"Seta Geni Utomo." Seorang guru memanggil satu nama. Anak laki-laki bermata satu itu mengangkat tangannya sambil menyeringai.
"Saya biasa dipanggil Seta," ucapnya pada guru.
Mengingat ini masih hari kedua persekolahan, maka Seta tak dianggap sebagai murid pindahan. Ia langsung berbaur dengan anak-anak yang lain dan mudah untuk menyesuaikan diri.
Ketika bel istirahat berbunyi, Seta menghampiri Vian. Ia mengajak Vian untuk bersalaman. Sontak membuat Vian menjabat tangan anak itu, tetapi baru juga menyentuh tangannya, Vian terbelalak mendapati sebuah visualisasi aneh yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Vian sontak mundur dengan raut wajah ketakutan.
"S-siapa kamu?"
Melihat ekspresi Vian, Feri kini menatap Seta dengan sorot mata yang tajam. Biasanya Vian tak pernah berbicara pada siapa pun, kecuali dirinya. "Apa yang barusan kamu lakukan?!" Feri memarahi Seta, sehingga seisi kelas menatap mereka bertiga.
Seta memicingkan matanya. "Kalian yang kenapa? Dasar anak-anak aneh." Seta berjalan mundur, kemudian ia memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan duo anak aneh itu.
Kini Seta duduk di belakang sekolah, tepat di sebelah Tara yang sedang duduk mengawasi kelas Vian di bawah pohon besar yang teduh.
"Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini?" tanya Tara dalam bentuk kucing hitam. "Memberi karma?"
"Kekeke karma? Sudah lama aku tidak melakukan hal bodoh semacam itu. Aku ini sekarang, dewa kematian, loh."
Banyak hal terjadi. Jika dulu orang-orang seperti Tara, Emil, dan Frinza lebih mengerikan dari Uchul secara pengalaman tempur, kini semua berbeda. Uchul yang sekarang berada dalam tingkatan yang tak bisa Tara sentuh sembarangan.
"Dan, kau--apa yang kau lakukan? Kabur dari Alam Suratma itu adalah sebuah pelanggaran berat," sambung Uchul.
"Aku dengar bahwa ada pengguna mata suratma. Orang yang sudah mencelakai Nada. Kau tahu, aku hanya ingin melindungi anak-anak Aqilla dari orang-orang seperti itu," jawab Tara.
"Seharusnya kau itu sudah mati. Ikhlaskan wanita itu, boy kekeke."
"Bukan itu. Aku hanya ingin melindungi generasi di bawah mereka dari orang-orang biadab sepertimu dan si pengguna mata suratma baru itu!"
"Dulu kita berada dalam divisi yang sama--Dharma," balas Uchul. "Kita tak banyak bicara seperti ini. Kita tak pernah akrab, tapi entah sejak kapan, kita sering berbicara?"
"Entah," balas Tara singkat.
Seta beranjak dari duduknya. "Aku tak akan membuat ulah. Aku hanya bosan menjadi penjaga gerbang. Aku butuh waktu untuk bersenang-senang."
Caramu bersenang-senang itulah yang salah. Otakmu itu sudah rusak.
"Aku bisa dengar itu! Kekeke, dasar kucing idiot."
Seta berjalan menuju kelas dan menarik kursinya hingga menempel pada kursi Vian. "Ayo kita berteman," ucapnya sambil menyeringai.
.
.
.
TBC
Ngobrol singkat kuy!
Hey hey hey apa kabar nih kalian? Gimana, gimana part baru ini? Ada yang kangen sama keluarga Mahatama ga nih?
Maaf ya, baru sempet balik lagi, dan sebetulnya lagi fokus ke Karma Cafe sih, tapi ini jujur gara-gara COVID, ya, gara-gara AUTHORNYA POSITIF COVID dan kangen nulis cerita ini, jadi nulis deh. Padahal butuh waktu istirahat, tapi ya gimana, gatel kalo ga produktif sih muehehehe.
Stay save ya kalian semua~ Love you :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top