34 : Sebuah Alasan

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Beberapa hari telah berlalu semenjak kejadian malam tragedi yang meresahkan banyak pihak. Kini liburan sudah berada di ujung tanduk. Tinggal beberapa hari lagi anak-anak sekolah akan memulai aktivitas belajar kembali. Melodi dan Nada akan menjadi siswi kelas tiga SMA, sementara Vian akan menjadi siswa sekolah dasar.

Pagi ini, Nada sedang sibuk menyirami tanam-tanaman miliknya, ditemani oleh kucing barunya yang diberi nama, Noir. Noir dalam bahasa prancis bermakna 'hitam', pembacaan noir jika dilafalkan dengan lisan, maka menjadi Noah.

Dari lantai atas, Harits duduk di pinggir jendela sambil menatap Nada yang sedang menyirami tanaman. Dalam mimpinya, banyak sekali yang terjadi, salah satunya menyelamatkan Nada dari makhluk raksasa berkepala kuda.

Hero, ya?

Makna yang telah lama hilang dari seorang Harits Sagara. Selama memutus hubungannya dengan anak-anak Mantra yang kini berganti nama menjadi Tantra ketika pindah ke Bandung.

Chandra, Deva, dan Rava pindah ke Bandung bukan tanpa sebab. Orang tua mereka memang dimutasi ke kota ini untuk membangun ulang kekuatan polisi khusus pemberantas ilmu hitam. Sementara unit Dharma di Jakarta dipimpin oleh Septaraja.

Ponsel Harits berbunyi, seseorang memberikan pesan padanya.

Gimana Bandung? Seru? Apa lu ketemu sama mereka?

Harits mulai membalas pesan itu. Ya, gua ketemu sama Deva dan anak baru mereka yang bernama Kevin.

Orang itu membalas kembali. Jadi--apa lu ada keinginan buat balik sama mereka?

Percuma, mereka enggak akan ngerti. Gua enggak akan ninggalin lu kayak mereka. Harits meninggalkan ponselnya dan berjalan ke lantai bawah.

"Noir!" Nada berlari kecil menghindari Noir yang beralari mengejarnya. Tanpa ia sadari, selang air yang ia gunakan, kini menyiram bocah Sagara yang berdiri di depan pintu hingga basah kuyup. Nada kini menatap wajah Harits yang datar menatap ke arahnya. "Maaf," gumam Nada.

"Enggak apa-apa, santai aja." Harits berjalan ke arah Nada dan hendak duduk di pinggir kolam. "Oh, iya. Kamu ...." Belum selesai Harits berbicara, ia tiba-tiba saja terjatuh ke kolam akibat batu kolam yang ia duduki terlalu licin.

Entah kenapa, kayaknya kucing ini bawa sial. Harits menatap kucing yang sepertinya sedang menertawakannya.

Memang dari semalam Harits mengganggu Noir, dan berujung pada sebuah luka cakaran dari kucing itu. Sejak ia mendapat luka itu, ia merasa ketika berada di dekat kucing itu, ia menjadi sial.

"Nada, kamu dipanggil sama Bunda." Faris tiba-tiba saja datang dari arah depan. Nada langsung menghampirinya dan hendak bertanya untuk apa Bunda memanggilnya, tetapi karena licin, Nada justru tergelincir, beruntung Faris memiliki refleks yang bagus. Ia menangkap Nada dan mereka berdua saling bertatapan.

"Kamu enggak apa-apa?"

Nada tak menjawab dengan kata-kata, ia hanya memandang Faris tak berkedip sambil mengangguk.

"Kamu--cantik hari ini." Faris menyampingkan poni Nada yang berantakan menutupi sebagian matanya.

"Makasih." Nada segera melepaskan diri dari dekapan pria itu dan segera berjalan cepat dengan wajahnya yang merah.

"Cih!" Harits beranjak dari kolam ikan dan berjalan masuk dalam rumah untuk mandi pagi keduanya.

* * *

Melodi menatap sarung tangan hitam milik Nada dan iseng mengenakannya. Kemudian ia berjalan keluar kamar sambil bersikap seperti Nada sungguhan. Sejujurnya, ia hanya iri pada Nada yang memiliki sesuatu yang tak dapat dipelajari, sebuah bakat alami yang sangat membuat Melodi tertarik.

Ketika ia membuka pintu, Harits secara kebetulan juga membuka pintu. Mereka saling bertatapan. Harits menatap sarung tangan hitam yang gadis itu kenakan. Pria itu memegang handuk dan meletakkannya di atas bahu. "Udahan nyiram tanamannya?"

Tanaman? Oh, dia kira aku Nada. Melodi tersenyum menatap Harits.

"Menurut kamu, aku cantik enggak?"

"Hah?" Harits menaikkan satu alisnya dan menatap heran pada Melodi. "Tumben nanya begitu?"

"Enggak apa-apa, aku cuma enggak percaya diri." Melodi berjalan ke ujung ruangan. Ia menatap keluar jendela. Ada Nada di bawah sana bersama dengan Faris sedang menanam sesuatu.

"Percaya diri dong, kamu cantik kok." Harits tak berani menatap gadis yang baru saja ia puji.

Melodi makin menjadi-jadi. Setan dalam dirinya mulai memainkan irama dalam tempo cepat. "Tapi kenapa ya--aku enggak punya pacar? Dan enggak ada yang mau jadi pacar aku?"

"Masa sih?!" Harits tak sadar. Ia hanyalah ikan yang terperangkap dalam kail pancing Iblis Melodi.

"Iya, beneran. Padahal aku juga mau, sesekali ngerasain dicintai." Melodi menatap getir langit di balik jendela. Ia memutar tubuhnya dan berjalan mendekati Hartis. "Kamu punya pacar?"

"Aku?" Harits salah tingkah. Ia sempat cemburu melihat Faris yang dekat dengan Nada, ia pikir Faris adalah pacar Nada. "Jangankan pacar." Raut wajahnya berubah menjadi sendu. "Temen aja aku enggak punya."

"Apa aku bukan temen kamu?" Melodi menyentuh dada Harits yang kini berdebar sangat cepat.

"Mu-mungkin, ada sih di Jakarta." Hartis mulai tergagap-gagap dan wajahnya memerah. "Ka-kamu juga temen aku."

"Kamu degdegan?" Melodi tersenyum menatap Harits yang gelagapan. "Aku enggak mau jadi temen kamu lagi."

Harits terdiam beberapa saat. Entah, mendengar itu rasanya membuatnya tak bisa berkata-kata. Melodi mendekatkan wajahnya ke telinga Harits. "Aku mau lebih dari teman."

Pria itu kini memegangi dadanya. Ia menarik napas dan memberanikan diri menatap wajah Melodi. "Nad. Kita baru aja kenal, tapi, entah, setiap ngeliat kamu deket sama cowok lain, terutama yang di bawah itu. Aku cemburu."

"Dan?" Melodi semakin memancingnya.

Harits meneguk ludahnya. "Aku suka kamu." Ia menatap mata gadis yang berada di hadapannya.

"Kamu denger, kan?" Melodi tersenyum lebar mendengar pernyataan Harits.

Harits memicingkan matanya menatap Melodi. "Denger apa?"

Melodi tak melihat ke arahnya, tetapi menatap ke arah belakang Harits. Sontak Harits menoleh ke belakang.

"Melodi, kita perlu bicara." Nada berjalan dengan raut wajah yang tak bisa digambarkan. Ia menarik Melodi dan masuk  ke dalam kamar mereka.

Tatapan Harits kosong menatap ke arah jendela. Ia mengepalkan tangannya sekeras mungkin. "Lu pikir ini lucu?" Ia masuk ke dalam kamarnya.

Manusia itu memang lucu, mereka menertawakan hal yang merupakan penderitaan manusia lainnya. Ketika lu merasa semua orang menertawakan apa yang lu percaya, jangan merasa sendiri. Kita ini, teman, kan?

"Semua manusia itu--tidak lebih buruk dari para setan." Harits membenahi seluruh barang-barangnya. Ia turun tanpa membawa barang-barangnya dan menemui Tama di ruang kerjanya.

"Om, Harits kayaknya pulang hari ini deh."

"Loh, kenapa? Katanya masuk sekolahnya minggu depan?" tanya Tama.

"Iya, sebenernya aku anak OSIS, jadi harus prepare buat kegiatan OSPEK, Om." Harits mengarang sebuah cerita. Nyatanya ia hanyalah siswa biasa yang tak tertarik pada organisasi.

"Oh, yaudah." Tama beranjak dari duduknya. "Mau Om pesenin tiket kereta?"

"Aku udah pesen, Om. Ini mau berangkat, makanya pamit dulu," jawab Harits sambil tersenyum.

Harits dan Tama berjalan menuju Aqilla yang sedang duduk menikmati secangkir teh di halaman belakang. Setelah pamit pada Tama dan Aqilla, Harits naik ke atas dan mengambil seluruh barang bawaannya.

* * *

"Aku enggak suka cara bercanda kamu!" Nada tampak marah pada Melodi.

"Iya, maaf. Abisnya seru." Melodi memasang wajah sendu. Ia melepas sarung tangan milik Nada. "Aku janji enggak gitu lagi."

"Ini bukan pertama kalinya, Melo! Ampun deh." Nada menghela napas. "Aku itu punya pacar."

"Tapi, pacar kamu kan si Beni. Emangnya kamu sayang sama dia? Jujur?!" Melodi menaikan nadanya ketika mengingat Beni. "Kamu nerima dia karena kamu panik, kan? Aku pulang bareng Faris waktu itu. Kamu cemburu."

Nada terdiam. Ia sering menceramahi tentang perasaan orang lain pada Melodi yang suka seenaknya, tetapi ia pun sama. Tak memikirkan perasaan Beni atau pun Faris.

Melodi beranjak dari duduknya dan berjalan keluar. "Mau ke mana kamu?" tanya Nada.

"Mau minta maaf, sama harits," jawab Melo.

Melodi membuka pintu dan mengetuk pintu kamar Harits. "Oiiiii, aku mau ngomong."

Tak ada jawaban.

"Aku mau minta maaf. Bercandaku kelewatan." Melodi tampak menyesali perbuatannya, tetapi karena tak mendapatkan respon, akhirnya ia berinisiatif membuka kamar itu tanpa persetujuan Harits. Melodi melongo menatap kamar yang sudah kosong tanpa tas dan koper bocah yang seharusnya masih ada di sini.

"Nada! Harits kabur!"

"Kabur?!" Nada mengernyit. "Kabur gimana?"

"I-iya, gimana ya. Kamarnya kosong."

Nada segera berlari dan langsung merosot di pegangan tangga untuk mempercepat waktu. Melihat putrinya yang barbar, Aqilla menatapnya dengan wajah serius. "Nada! Udah dibilang berkali-kali, jangan kayak gitu, bahaya."

"Bunda, Harits ke mana?" Tak mempedulikan nashiat Bundanya, Nada kini menunggu jawaban dari Aqilla.

"Harits? Baru aja pulang, dia katanya mau persiapan acara sekolah gitu. Kalian--enggak ngusir dia, kan?" Aqilla mengeluarkan aura berbahaya dari pancaran matanya.

Nada tak menjawab, ia berlari keluar rumah tanpa alas kaki. "Faris! Lihat Harits?"

"Si topi biru? Barusan lewat sini, tadi ke arah jalan raya. Kenapa deh?"

Nada tak menjawab. Gadis itu masih berlari mengejar orang yang sempat ia buat celaka. Mana mungkin ia membiarkan Harits pergi begitu saja tanpa meminta maaf dan berterimkasih karena menyelamatkannya dari Agha yang hilang kendali.

"Harits!" Nada berhasil mengejar pria dengan jaket biru dan topi biru aneh yang selalu ia kenakan. Kini Nada menggenggam erat tangan orang itu. "Aku mau ...." Tatapan Nada kosong, air matanya keluar begitu saja ketika tangannya menggenggam tangan pria itu tanpa sarung tangan.

"Enyah sana." Harits melepaskan tangan Nada dengan kasar. Ia menatap Nada tanpa sama sekali cahaya di matanya.

Nada merasakan sesak dalam dadanya. Ia tak mampu bergerak dan hanya mampu menyaksikan pria itu masuk ke dalam sebuah taxi, tanpa mempedulikannya.

Mungkin--dari seluruh objek yang pernah Nada sentuh. Tangan kecil itu adalah objek yang memiliki masa lalu terkelam sepanjang histori Psikometrinya. Melodi berhasil menyusul Nada, ia merangkul kembarannya berjalan pulang ke rumah.

"Melo." Nada memanggil lirih nama kembarannya.

"Aku minta maaf, Nada." Melodi juga mengeluarkan air mata. Ia selalu begitu, ketika melihat kembarannya menangis, ia juga merasakan sesuatu yang menyedihkan.

"Kalo kamu ketemu sama Deva, tolong bilangin ke dia. Harits itu, orang yang baik. Dia orang yang paling peduli sama apa yang kalian pernah perjuangkan bersama."

"Hah, gimana? Kok aku enggak ngerti?" Melodi memang pintar, tetapi dalam beberapa hal, ia tak mengerti isi pikiran kembarannya itu.

"Yaudah, tinggal disampaikan ajaaaa. Enggak perlu ngerti!"

* * *

Seorang pria berbaju hitam keluar dari sebuah ruangan. Harits bersandar di sebrang ruangan itu, ia masih membawa tas dan koper kecilnya.

"Udah selesai ritualnya?" Harits melemparkan sebotol air pada orang itu.

"Ah, Harits. Kenapa tau gua ada di sini?" Ia membuka tutup botol dan meminum isinya. Memang, orang itu tampak kelelahan.

"Jaman udah canggih." Hartis menggoyangkan ponsel di tangannya. "Apa lagi kalo punya temen yang selalu update status."

Mereka tertawa bersama.

"Gimana, anak Mantra? Sehat?" Orang itu tersenyum pada Harits.

"Sekarang nama mereka jadi Tantra, dan punya beberapa orang baru. Mereka semua sehat kok."

"Wah! Kalian main bareng lagi berarti? Lu enggak ada pikiran mau gabung sama mereka? Dari pada ikut gua beresin roh jahat."

"Ken." Harits menatap pria bernama lengkap Kenzie Maulana itu. "Pertama, gua tinggal di Jakarta, dan mereka di Bandung. Jaraknya jauh! Kedua, gua enggak akan bergabung sama orang-orang yang ninggalin lu sendirian."

"Mereka cuma enggak suka sama cara kita nyari uang aja, tapi mereka ...." Ken tiba-tiba saja batuk tak berhenti selama beberapa detik. Ia bahkan memuntahkan darah dari mulutnya.

"Ken!" Harits merangkul Kenzie dan berjalan pergi dari tempat mereka berbincang. "Udah, sekarang lu jangan banyak ngomong. Gua akan bantuin lu ngumpulin uang buat biaya operasi lu. Lu harus bertahan, yang kuat, brother."

.

.

.

Pekan liburan akhirnya berlalu. Mengembalikan kehidupan monoton di sekolah.

Arc Suratma Project End

* * *

Sepatah Duaratus Kata.

Arc ini tuh sebenernya enggak pernah ada wkwk tapi gatau kerasukan apa, tiba-tiba munculin arc gila ini wkwkwkwk dari awal kemunculan Agha sebagai bahan eksperimen suratma projek, sampe di chapter ini. Sebenernya tuh ini semua cuma persiapan Mantra Coffee 2 aja. Mantra Coffee Next Generation, ketika nanti anak muda-anak muda ini kuliah dan merantau ke Jogja lagi.

Dan sehabis part ini dipublish, aku bakal hiatus pendek dulu dari keluarga Mahatama. Karena mau ngejar Karma Kafe sampe tamat, karena mau nerbitin cerita itu. Dan Karma itu bakalan ada 2 season estimasi, aku mau nerbitin season 1 yang ga terlalu panjang.

Yaudah, itu aja. Ternyata enggak sampai duaratus kata wkwkwk.

See you~



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top