33 : Anti Yudistira
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.
Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.
.
.
.
Harits menatap sebuah cahaya yang melesat di langit, cahaya itu melesat ke arahnya. Ia berusaha memberontak. "Oi Paman, lepaskan! Apa benda itu juga permainanmu?" Harits terlihat panik menatap benda itu semakin mendekat.
"Benda apa?" Uchul memicingkan matanya.
Cahaya itu merasuki Harits dan membuat sebuah ledakan kecil sehingga Uchul melepaskan Harits dan Deva dari cengkeramannya.
"Sensasi ini?" Emil merasakan sesuatu yang familiar.
"Begitu, ya? Rasanya de javu kekeke."
Harits menatap Uchul sambil menyeringai. Kini kedua matanya menjadi mata suratma. Yang satu memiliki iris mata berwarna biru, yang satunya berwarna putih.
"Seru dan pujalah namaku, putra Andis," tutur Harits menyeringai sambil menyentuh punggungnya sendiri. Suara Harits menjadi berat seperti bukan suara miliknya. "Segoro Geni."
Cambuk api keluar dari punggung Harits. Ia langsung menyabet makhluk raksasa berkepala kuda yang sedang mengejar Kevin dan Nada. Seketika itu, tubuh makhluk itu terbakar dahsyat. Harits tertawa terbahak-bahak setelah membakar makluk yang menurutnya menjijikan.
Uchul meniup pelan ke arah makhluk yang ia bawa. Api Segoro Geni menghilang dari tubuh makhluk itu. "Pergilah, tugasmu sudah selesai." Makhluk itu mengikuti perintah Uchul dan bergegas pergi masuk ke dalam danau. Kini Uchul menatap Harits yang menatap ke arahnya juga. "Kenapa? Apimu berkarat?"
Harits menjilat bibir atasnya secara cepat, ia terlihat sangat bergairah. "Sebenarnya--dari dulu aku ingin membunuhmu. Jika saja bukan Andis yang menjadi Tuanku."
Uchul membebaskan Frinza, Tara, dan juga Emil dari jeruji berantainya. "Sebenarnya aku sendiri sudah cukup untuk mengeluarkanmu dari tubuh anak ini dan menghancurkan intimu, tetapi itu terlalu berlebihan. Jadi--biar ketiga mentor ini yang akan memberikanmu pelajaran, Raja Banaspati, Segoro Geni."
Widyatama menarik Deva menggunakan benangnya hingga posisinya merapat pada Kevin dan Nada. "Sayangnya aku ke sini bukan untuk bersenang-senang." Segoro Geni menyabet tanah dan menimbulkan kepulan asap panas dari benturan cambuk miliknya dan tanah Alam Suratma. Kini Harits berjalan ke arah teman-temannya dengan tangan kirinya memegang buku hitam dan tangan kanan memegang cambuk api. "Sampai bertemu lagi." Harits menyeringai pada Uchul dan yang lainnya.
Uchul mengepalkan tangannya sekeras mungkin. Segoro Geni telah merusak permainannya. "Ini tak sesuai ekspetasiku!" Ia kehilangan keberadaan keempat manusia yang datang ke Alam Suratma. "Segoro Geni memiliki gerbang keluar Alam Suratma. Mereka sudah pulang."
"Syukurlah, ini sudah berakhir." Frinza memasukan kedua tangannya ke kantong celana.
"Kekeke ini benar-benar melampaui ekspetasiku! Bravo! Kekeke." Uchul bertepuk tangan sambil tertawa terbahak-bahak. Sejujurnya, Emil dan Frinza merinding melihat Uchul yang terlihat sangat senang dengan tawanya yang cukup mengerikan.
Emil celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. "Tara--mana?"
* * *
Sementara itu, Chandra masih mengejar Agha. Jaraknya tak terlalu jauh, mengingat Agha sedang terluka, dan ia juga berlari sambil menggendong seorang gadis.
Agha menoleh ke belakang untuk memantau posisi Chandra, tetapi Chandra sudah tak ada di belakangnya. "Apa dia sudah tertinggal?"
"Agha!" Melodi berteriak. Sontak membuat Agha menoleh. Sebuah telapak tangan menutupi pandangannya, Chandra berada di depannya dan hendak mencengkeram wajah Agha.
Namun, Agha menurunkan tangan kirinya sehingga ia mendekap tubuh Melodi dengan satu tangannya. Sementara tangan satunya menangkap lengan Chandra. Chandra kini menatap Agha, mereka saling berpandangan.
"Lepaskan gadis itu, dan duduklah yang manis," titah Chandra.
Agha melepaskan genggaman tangannya pada Chandra, tetapi secara tiba-tiba ia menjambak rambut Chandra, lalu menariknya dengan keras dan membenturkan wajahnya ke batang pohon yang berada di hadapannya.
Pandangan Chandra mulai kabur, darah mengalir dari keningnya yang bocor. Samar-samar ia menatap mata kanan Agha yang memiliki iris berwarna biru.
Mata--penguasa?
Melihat Agha hampir membunuh orang, Melodi berteriak meminta pertolongan, tetapi kali ini bukan untuk orang lain, tetapi untuk dirinya sendiri yang sangat ketakutan.
Faris yang berhasil menyusul mereka, kini dilema. Mengejar orang itu dan menolong Melodi, atau menolong Chandra yang tak sadarkan diri dengan pendarahan yang cukup parah. Pada akhirnya, ia memilih untuk menyelamatkan Chandra karena darahnya terus saja bercucuran dari kepalanya. Faris meletakkan Chandra duduk di depannya, dan kemudian secepat yang ia bisa, Faris berusaha kembali dan membawa Chandra ke rumah sakit terdekat.
Melodi tak henti-hentinya berteriak. Air matanya terus bercucuran, beriringan dengan tubuhnya yang gemetar.
Seorang pria bertopeng muncul dengan gerak lambat di samping Agha dan Melodi. Ia menarik Agha dan memisahkannya dengan Melodi.
Siapa?! Melodi yang kini terlepas dari Agha, hanya mampu duduk sambil berserah diri pada takdir yang akan membawanya.
Balutan yang menutupi mata kiri Agha terbuka, ia langsung menerjang pria bertopeng dan hendak memukulnya, tetapi dari samping, seseorang lagi muncul dan mencengkeram lengan Agha dan langsung memukul tengkuknya hingga pemuda itu pingsan.
"Jangan gegabah, dia ini pengguna mata suratma," ucap Tirta memperingati pria bertopeng.
Melodi menatap Dirga bertangan satu yang kini memborgol kedua tangan Agha. "Om Dirga?"
Pria bertopeng kini membuka topengnya. "Hallo." Ia membalas panggilan dari Melodi. Kini Melodi bingung, ada dua Dirga dalam waktu yang sama. Ia merasa telah berhalusinasi dan kemudian pingsan begitu saja.
* * *
Sementara Harits yang baru saja keluar dari Alam Suratma kini berdiri menatap Andis. Andis menyentuh keningnya, seketika, mata suratma kanan Harits menghilang. Andis menarik kembali Segoro Geni ke tubuhnya. Ia tak ingin anaknya dimanfaatkan oleh kelicikan Iblis.
Sebelumnya, rencana Andis berubah. Ia sendiri menunggu di lokasi lab yang hilang, sementara Dirga, Tirta, dan roh Ajay bergerak menuju gerbang suratma yang dibuat oleh Agha.
Sekeluarnya Segoro Geni dari tubuhnya, Harits kehilangan kesadaran. Begitu juga dengan Kevin yang rupanya masih terluka cukup parah, ia juga tak sadarkan diri. Andis bersama dengan anak-anak segera menuju rumah sakit menggunakan mobil.
Sepanjang jalan, Andis menatap kucing hitam yang duduk manis di pangkuan Nada. Entah, ia merasa familiar dengan sesuatu.
Sesampainya mereka di rumah sakit, Tama, Aqilla, Kei, Ajay, dan juga Faris berada di sana. Kevin dan Harits menerima pengobatan, sementara Nada dan Deva dipersilakan masuk ke dalam satu ruangan. Chandra berada di sana dengan balutan perban di kepalanya.
"Chan ...." Deva menatap Chandra yang sempat ia tinggalkan begitu saja. Ia merasa tak enak melihat luka di kepala Chandra, sesuatu yang buruk pasti terjadi di luar pengetahuan Deva.
Chandra mengeluarkan kemampuannya. "Duduk," titahnya pada Deva dan Nada. Kedua orang itu duduk di hadapan Chandra dengan tatapan kosong.
"Apapun yang terjadi malam ini--lupakan. Itu semua hanyalah mimpi. Setelah kalian keluar dari ruangan ini, kalian akan tertidur pulas malam ini. Besok kalian akan merasa lebih baik."
Deva dan Nada mengangguk, mereka berdua berjalan keluar ruangan dan ambruk begitu saja di depan pintu. Tak lama setelah itu, seorang pria berpakaian dokter masuk ke dalam ruangan Chandra membawa Harits dan Kevin. Chandra melakukan hal yang sama, ia menghapus ingatan tentang kejadian malam ini pada semua yang terlibat.
"Tolong sembuhkan dia, paman," pinta Harits pada dokter yang berada di hadapannya.
"Apa yang kalian alami? Luka ini bukan luka biasa. Apa lagi yang berada di lengan bocah tampan ini," balas dokter itu sambil menatap Kevin. Ia segera mengambil topeng dari balik jaket putihnya dan langsung mengenakannya. Ia menyentuh Harits dan Kevin. Luka mereka sembuh secara instan. "Untung saja, sentral Dharma berpindah ke kota Bandung, jadi aku ditugaskan di rumah sakit ini. Jika tidak, mungkin, pendarahan di lengan anak ini akan memakan waktu untuk sembuh, karena lukanya mengandung kutukan."
"Terimakasih, paman Abimanyu." Chandra menyematkan senyum pada salah satu keluarga Martawangsa itu.
"Masih ada satu orang lagi, tetapi ia masih dalam perjalanan. Kau istirahat saja dulu, kepalamu sakit, kan?" Abi berjalan keluar dari ruangan itu.
Tama dan Aqilla terlihat getir. Mereka masih belum melihat satu putri mereka yang ikut menerobos masuk ke daerah terlarang.
"Uwis, ra usah panik." Suara Dirga membuat sepasang suami istri itu menoleh. Tak heran jika Dirga selalu muncul di mana saja secara mendadak, mengingat ia memiliki topeng Sabrang yang mampu meniru kemampuan Tumenggung dan topeng lainnya. "Calon mantuku aman, sebentar lagi dia sampai."
Benar saja, Tirta datang menggendong Melodi yang masih tak sadarkan diri. Ia membawa Melodi masuk ke dalam ruangan Chandra, Abi ikut menyusul untuk memeriksa luka. Tak butuh waktu lama, hingga mereka semua keluar dari ruangan Chandra.
Setelah urusan mereka selesai, Kei masuk ke dalam ruangan putranya. "Apa yang membuatmu terluka?" Ia duduk di samping Chandra dan membelai lembut kepalanya. "Apa terasa sakit?"
"Kau pasti tidak akan percaya apa yang akan aku katakan, tapi cobalah memahami ini, siapa tau ini berguna untuk data kepolisian." Chandra menghela napas dan berbisik di telinga Kei. "Siapa pun yang ada di balik ini semua. Dia bukan hanya melakukan eksperimen mata suratma. Orang yang lolos dari eksperimen itu juga memiliki mata penguasa."
Ucapan putranya membuat mata Kei terbuka lebar. Dalam satu era, hanya ada satu pengguna mata penguasa. Bahkan, ketika mata itu turun pada Chandra, Kei kehilangan total kekuatannya. Tahta Raja sudah menjadi hak Chandra sepenuhnya.
"Orang itu, menolak total perintah mutlak sang Raja," tutur Chandra.
"Rahasiakan ini dari siapa pun. Sekarang orang itu berada dalam genggaman unit Dharma. Bagaimana pun sekarang, kau akan menjadi penanggung jawabnya. Jika ia mampu menggunakan mata itu, hanya kau yang mampu mengatasinya, Chandra." Kei beranjak dari duduknya dan berjalan keluar ruangan. "Oh, satu lagi. Mengapa kau tidak mau menghapus ingatan bocah yang mengantarmu ke rumah sakit?"
Chandra tersenyum menatap Kei. "Dia satu-satunya temanku. Aku percaya padanya."
"Memangnya kau anggap apa teman-temanmu yang lain, hah?"
"Tidak pernah ada--orang yang memprioritaskanku, lebih dari urusannya. Aku rasa, kami akan berteman baik kedepannya." Chandra kini merebahkan dirinya. "Aku lelah, rasanya hari ini--kami akan tidur bersama." Ia memejamkan matanya. Kini, manusia yang tak pernah tidur itu, akhirnya memejamkan matanya. Chandra dan Surya tertidur pulas hari ini.
Sementara itu, Tama dan keluarganya segera pulang menuju rumah. Nada, Melodi, dan Vian tertidur di kursi tengah, sementara Tama mengemudi, dan Aqilla duduk sambil memangku seekor kucing hitam.
"Itu kucing siapa?" tanya Tama.
"Nada bawa-bawa kucing ini tadi, katanya dia mau pelihara." Aqilla mengelus kucing itu yang tertidur di pangkuannya. "Oh iya, Tama juga punya kucing waktu kuliah, kan?"
"Kucing?" Tama mengernyit.
"Persis kucing hitam kayak gini. Aku inget kok." Aqilla berusaha mengingat nama kucing itu. "Namanya kalo enggak salah itu--Anna."
"Anna?" Air mata Tama mengalir tanpa ia sadari. "Enggak pernah kayaknya."
"Tama, kamu kok--nangis?"
"Enggak tau, tiba-tiba aja keluar," jawab Tama singkat.
* * *
Dirga pulang membawa Deva dan Kevin. Sementara Andis, Ajay dan Harits ikut dengan Dirga dan akan bermalam di kediaman Dirga pada malam ini.
Sepulangnya Dirga, Andis, dan Ajay, satu unit helikopter mendarat di atap rumah sakit milik Dharma yang dibiayai oleh Martawangsa Foundation. Tentu saja helikopter itu juga milik perusahaan besar itu. Seorang pria turun dengan membawa koper kecil.
Tirta dan Kei menyambutnya. "Maaf membuatmu harus berlibur ke Bandung, Septa." Tirta membakar tembakaunya dan membuang asapnya sembarang.
Septa tersenyum pada kedua rekannya. "Jadi, di mana monster kecil yang harus di interogasi?"
Mereka bertiga berjalan menuju sebuah ruangan yang memang disiapkan untuk kasus-kasus seperti ini. Septa masuk ke dalam ruangan itu, sementara Tirta dan Kei berdiri di luar ruangan sambil menatap mereka berdua dari balik kaca. Ruangan itu memiliki perekam suara, Septa memang ahlinya, jika menyangkut interogasi. Tak ada lisan yang dapat menipunya.
Agha menatap Septa yang duduk sambil tersenyum menatapnya. "Apa yang kau pikirkan?" Septa mulai dengan pertanyaan ringan.
"Gadis itu--siapa namanya?"
"Hah?" Septa, menoleh ke arah Tirta dan Kei yang tampak terkejut dengan pikiran terdakwanya. Mereka bertiga memasang wajah datar.
Wajah Agha memerah. Bukan itu yang ia ingin utarakan, tetapi mulutnya menolak perintah dari otaknya dan secara refleks berkata apa adanya.
"Apa kau menyukai gadis itu?" Septa mulai tersenyum kembali, tetapi senyumnya kali ini berbeda. Ia merasa ini hal yang lucu dan--menarik.
"Iya, aku rasa aku jatuh cinta padanya." Agha memasang wajah marah pada Septa. Entah apa yang Septa lakukan, sehingga Agha selalu berkata jujur apa adanya.
Septa tertawa mendengar itu. Tirta segera masuk untuk meluruskan hal ini, karena melihat Septa sedang bermain-main dengan Agha.
"Mau membuat dia--juga cinta padamu?"
"Mau," jawab Agha singkat.
"Bergabunglah dengan kami. Kau akan memiliki kesempatan untuk mendekatinya, loh. Mau?"
"M-mau." Kali ini Agha menjawab sesuai keinginan hatinya.
Tirta menghentikan langkahnya. Ia tak menduga bahwa Septa mampu menjinakkan monster ini dengan sesuatu yang--tak biasa.
Orang ini--sama bahanya sama Uchul, dasar rubah licik, batin Tirta.
Selama di unit Dharma, Uchul disebut sebagai ular, sementara Septa disebut dengan rubah. Kedua hewan ini memang hewan yang terkenal licik.
Septa mulai melempar pertanyaan-pertanyaan serius, tetapi Agha tak menjawab. Biasanya kondisi seperti ini bukan karena Agha mampu menangkal kemampuan Septa, tetapi beberapa kasus pernah terjadi pada orang-orang yang kehilangan ingatannya. Septa kini tahu, arti dari tatapan pemuda yang berada di hadapannya.
"Tenang, kami adalah polisi. Kau aman." Septa tahu benar, tatapan Agha adalah tatapan orang yang waspada, orang yang takut dan merasa asing, tetapi ketika membicarakan gadis yang Agha suka, ia merasa agak tenang. Septa berbisik pada Tirta. "Siapa gadis yang dia maksud?"
"Anaknya Tama, Melodi," jawab Tirta.
"Masukin anak ini ke dalam sekolah yang sama dengan Melodi."
Namun, Tirta membantah. "Dia masih butuh pengawasan, jika memang ia perlu untuk sekolah, dia akan masuk ke sekolah yang kita pantau, Dharmawangsa."
"Kami akan menyediakan tempat tinggal dan sekolah untukmu. Di sekolah barumu nanti, ada satu orang yang juga anggota Dharma, kalian pernah bertemu sebelumnya. Semoga kalian akrab." Septa dan Tirta beranjak pergi dari ruang interogasi. "Jangan berulah, kau akan mendapatkan banyak masalah."
Septa berjalan ke arah Kei. "Apa kita tidak pakai mata penguasa saja? Untuk memaksa ingatannya kembali?"
"Itu memang hal yang bisa dilakukan mata penguasa. Perintahnya mutlak, bahkan ke alam bawah sadar seseorang." Kei masih menatap Agha di dalam ruangan. "Namun, itu bukan hal yang bisa dilakukan pada orang itu. Dia itu, anti Yudistira."
.
.
.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top