32 : Permainan Kematian

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.


"Belok kanan."

"Kiri, kiri, kiri."

"Lurus terus. Gas sampe mentok."

Ini orang ngatur mulu! Dan--kenapa juga gua harus ngikutin dia?

"Bang, ini kita mau ke mana sih, bang?" tanya Faris yang sebenarnya tak tau ke mana tujuan Chandra.

"Mau cari Nada, kan?" ucapan Chandra membuat Faris terdiam beberapa saat. Namun, ia melanjutkan laju motornya dengan Chandra sebagai navigatornya.

Faris dan Chandra melewati area yang aneh. Seperti perkebunan yang habis dibabat habis, tetapi sangat rapi.

Aura yang tadi--dari sini, kan?

Chandra tiba-tiba saja melompat dari motor, membuat motor Faris bergoyang hampir tak terkendali. "Buset deh, Bang!" Faris terkejut dengan Chandra yang tiba-tiba saja melompat. Dalam tayangan lambat, Faris menatap seorang gadis yang sedang memangku seorang pemuda yang tampaknya terluka.

Chandra berlari dengan cepat ke arah orang itu dan juga Melodi yang sedang duduk di sana. Menyadari ada yang mendekat, Agha sontak terbangun dan berdiri.

"Jangan bergerak dul ...." Belum sempat Melodi berkata-kata. Agha mengangkat Melodi dan berlari menjauh dari Chandra. "Eh, ini ngapain sih? Mau ke mana?" Melodi menjadi panik.

"Ada orang jahat. Tenang, kau aman di sisiku." Ia berlari secara tak wajar dengan luka seberat itu.

"Orang jahat?! Siapa?!" Melodi tak menyadari keberadaan Faris dan Chandra karena melamun.

Melihat Chandra yang mengejar orang itu, dan juga orang itu membawa Melodi kabur, Faris tak tinggal diam. Ia mengendarai motor masuk ke dalam sana dan menerjang pepohonan dengan skill berkendaranya. Berusaha membantu Chandra untuk menangkap orang yang membawa Melodi.

* * *

"Dev! Deva?!" Kevin berjalan tertatih-tatih. Kejadian astral sebelumnya membuatnya terluka akibat benturan ketika memasuki Alam Suratma dengan cara yang cukup kasar. Tangan-tangan hitam itu menariknya masuk secara paksa.

"Deva!" Ia mencari keberadaan Deva yang seharusnya berada di sampingnya tadi. Ini di mana?

Grrrrr ....

Geraman hewan buas dengan mata merah menyala di sekeliling Kevin membuatnya lebih waspada. Beberapa anjing berwarna hitam datang bermunculan, mereka tampak seperti zombie, dengan keadaan kulit tersayat dan bahkan ada yang matanya keluar, tetapi belum putus dari kepalanya. Bau anyir membuat Kevin memuntahkan makan malamnya.

Darah di kakinya menjadi pemicu kedatangan makhluk-makhluk itu. Kevin tak mungkin lari, mengingat kakinya yang terluka cukup dalam. Seekor anjing menerjangnya hingga terjatuh. Anjing itu mengigit lengan kanan Kevin yang berusaha melindungi lehernya dari gigitan mematikan.

Mencium aroma busuk, Kevin menahan agar ia tak muntah. Kevin mengambil pisau bedah yang ia gunakan untuk menggertak Agha sebelumnya. Namun, ia tak berani menusuk anjing itu, bahkan demi melindungi dirinya. Tangannya gemetar.

Geraman yang lebih besar membuat anjing-anjing yang berada di sekitar Kevin menjadi ciut, tetapi pimpinan mereka yang berhasil menggigit Kevin tampaknya tak terlihat takut.

Samar-sama seekor harimau muncul dan berjalan perlahan dengan gagah berani. Pimpinan anjing hitam itu melepaskan Kevin dan fokus pada makhluk yang keberadaannya cukup mengancam regunya. Anjing itu menggonggong dan segera melesat ke arah harimau bersama rekan-rekannya. Namun, dalam hitungan detik, pembantaian tragis itu terjadi. Seluruh anjing hitam itu musnah dan berubah menjadi asap hitam.

"Aku mencium aroma mereka yang masih hidup," tutur harimau itu berbicara. Ia berhenti melangkah dan mengangkat kaki depannya. Kini harimau itu berdiri layaknya seorang manusia. "Dan aroma keluarga Wijayakusuma." Perlahan kabut tipis yang menghalangi pandangan Kevin menghilang. Ia menatap dengan jelas seringai harimau yang berada di hadapannya.

* * *

"Kevin! Nada!" Sama halnya seperti Kevin. Deva juga berteriak mencari keberadaan Kevin dan Nada. Ia merasa bahwa Nada juga berada di tempat ini.

"Yo, bodoh! Jangan berteriak, nanti mereka mendengarmu."

Deva menoleh ke arah kabut tebal yang menutupi pandangannya. "Siapa di sana?"

Seorang pria dengan kaus polo berwarna biru dongker dibalut celana pendek berwarna hitam keluar dari kabut. Ia mengenakan anting berwarna hitam di telinga kirinya dan tampak memainkan batu di tangan kanannya. "Awas--di belakangmu--ada hantu." Ia menempelkan jari telunjuk kirinya ke bibir.

Deva sontak menoleh ke atas, karena sebuah tetesan air yang tepat mengenai kepalanya. Sebuah makhluk berwarna merah dengan tinggi yang tak masuk akal sedang berdiri tepat di belakangnya. Air yang jatuh mengenai Deva adalah liur dari makhluk itu. Makhluk merah itu memiliki tanduk, tanduknya lebih panjang dari ukuran tubuhnya. Melihat Deva yang menyadari keberadaannya, makhluk itu menyeringai.

"Tumenggung!" Deva refleks memanggil Tumenggung dan berusaha kabur, tetapi makhluk itu mengejarnya, meskipun pergerakanya agak lambat.

"Hey, bodoh. Mau ku bantu?" Pria yang memperingatinya tadi mampu mengimbangi kecepatan Deva saat menggunakan Tumenggung.

"Siapa kau?" Deva bertanya padanya tanpa mengurangi kecepatannya.

"Aku?" Orang itu menunjuk dirinya sendiri sambil tersenyum. "Aku adalah joki! Arwah yang membantu manusia keluar dari tempat ini."

"Manusia?" Deva memicingkan matanya di balik topeng tumenggung. "A-arwah?"

"Ya--aku arwah, dan kau manusia. Sekarang kau berada di Alam Suratma, tempat orang-orang mati." Ia menjelaskan Alam Suratma pada Deva. "Tentu saja untuk keluar dari sini dan juga mengalahkan Iblis yang mengejarmu, kau butuh bantuanku."

Iblis?

Deva memutar tubuhnya dan menatap Iblis yang berlari ke arahnya. "Aku bisa urus diriku sendiri!" Ia menerjang Iblis itu menggunakan Tumenggung. Deva tiba-tiba muncul dari belakang dan memukul makhluk itu.

Namun, tak ada dampak yang berarti pada makhluk itu. Deva memang mewarisi Tumenggung, tetapi ia tak mampu menggunakan atma. Dirga tak pernah mengajarinya hal-hal seperti itu. Dirga ingin Deva hidup seperti anak-anak biasa dan tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti atma. Ia mewariskan Tumenggung hanya sebagai pelindung.

"Hah! Bodoh sekali. Payah." Pria tengil yang menyebut dirinya sebagai joki itu medelek Deva.

Deva yang serangannya tak mampu menggores makhluk itu barang sedikit pun, akhirnya melamun dan mencoba berpikir, tetapi Iblis di hadapannya dengan cepat mencengkeram tubuh Deva dengan tangan raksasanya.

"Kau akan dimakan loh." Pria dengan kaus biru dongker itu hanya diam sambil bermain dengan batu-batu yang ada di tangannya. "Gimana? Mau nyewa jasa joki?"

Entah karena terlalu keras berada di dalam genggaman Iblis, atau memang tidak ingin menjawab. Deva tak berbicara sedikit pun.

Pria itu menghela napas dan berjalan ke arah mereka. "Hah, baiklah. Aku akan memberikan sedikit demonstrasi." Ia menjepit batu kerikil di antara jari telunjuk bagian samping dan jempolnya. "Braja." Orang itu menyentil batu itu menggunakan jempolnya, membuat batu itu melesat dengan cepat mengenai mata sang Iblis, hingga menembus kepala bagian belakangnya.

Karena serangan barusan, Iblis raksasa itu melepaskan Deva. Kini bocah Martawangsa itu hanya berbaring di tanah suratma sambil menatap Iblis yang tengah menggeliat kesakitan. Iblis itu sontak menatap pria berbaju biru sambil terlihat marah.

"Hey, hey, hey. Aku hanya melakukan sedikit demonstrasi, Mister Demon. Ayolah, maklumi saja dan jangan marah, oke baby?"

Iblis itu tak peduli. Ia kini mengincar pria yang telah menyerang matanya dan membuatnya tak bisa beregenerasi. Ia langsung melesat ke arahnya dengan kecepatan tinggi.

Pria itu kini memasang wajah datar. "Lagi?" Ia memicingkan matanya sambil menghela napas. "Lagi-lagi--layanan gratisan."

Ia mengumpulkan atma aneh yang berasal dari Alam Suratma. Atma berwarna merah. Jika atma pada normalnya melambangkan kesucian dan berwarna emas, sementara untuk pengguna ilmu hitam maka mereka menggunakan atma hitam. Orang ini menggunakan energi kematian, atma berwarna merah.

Ia merendahkan posisinya dan langsung menghilang dari tempatnya berpijak. Membuat Deva terbelalak dan mencari keberadaan orang itu. Cepet banget! Lebih cepet dari Tumenggung!

"Selamat tidur, tuan Iblis!" Orang itu muncul dari atas dan langsung memukul kepala Iblis itu hingga terputus dari lehernya, lalu terjatuh ke tanah. Petir merah muncul dari pusat pukulannya dan menggemuruh hingga menggetarkan telapak kaki sang Iblis, membuatnya terjatuh dan berubah menjadi gumpalan asap hitam.

Deva berdehem sambil menatap orang itu. Orang itu sontak menoleh ke arah Deva dan menatap balik. "Maaf--tadi itu--jurus apa ya?" Deva langsung mengagumi orang itu dalam sekali pukulan barusan.

"Mau keluar dari sini?" Orang itu memasang wajah tegas menatap Deva. Kali ini ia tampak serius, tak seperti sebelumnya yang selalu bermain-main.

"Jujur aja--kalo ini beneran dunia roh. Gimana caranya saya membayar joki?" Deva tampak bingung. Yang jelas, arwah tak membutuhkan uang, itu pikirnya. Ia tak tahu apa yang akan menjadi bayarannya.

"Enggak usah bayar, khusus buat kamu--gratis." Orang itu berjalan menuju kabut yang semakin tebal, sementara Deva mengikutinya. "Siapa namamu? Bocah bodoh."

"Deva."

"Martawangsa itu harus kuat," balas pria berbaju dongker. "Dirga enggak ngajarin apa-apa?"

Deva terkejut mendengar itu. Orang itu mengenal Dirga.

"Enggak usah heran kenapa aku tau siapa Ayahmu. Topeng itu jelas miliknya dulu. Logikanya sederhana. Kamu anaknya, kan?"

"Siapa sebenarnya anda?" Deva mendadak sopan dan segan pada orang itu.

"Berapa jumlah pamanmu, bocah?" tanya orang itu.

"Dua," jawab Deva.

"Siapa nama mereka?"

"Paman Gemma, dan paman Tirta."

Yakin--cuma itu?" tanya orang itu.

"Hmm ...." Deva mencoba berpikir. "Kalo yang dari Ayah, cuma itu."

"Maaf karena belum memperkenalkan diriku, bocah." Orang itu masih berjalan sambil membelakangi Deva. "Namaku--Frinza."

Deva menghentikan langkahnya. Air matanya menetes. Bagaimana tidak? Sepanjang waktu, Dirga selalu menceritakan tentang Martawangsa yang paling jenius sepanjang sejarah keluarga mereka. Pria itu bernama Frinza Martawangsa, Kakak dari Dirga dan Tirta, Adik dari Gemma dan putra kedua Broto Martawangsa. Sebuah kilas balik terlintas di kepalanya.

"Ayah, ini siapa?" Deva kecil menatap sebuah foto ketika Dirga masih anak-anak. Dirga dan ketiga saudaranya berfoto dalam satu frame. Deva menunjuk seseorang yang rasanya ia tak kenali.

"Itu namanya, Om Frinza," jawab Dirga.

"Om Frinza? Siapa itu?" Deva belum pernah lihat.

"Om Frinza itu--orang terkeren di dunia, tapi sayang. Dia--udah meninggal."

Dirga menceritakan betapa keren Kakaknya itu. Deva selalu tersenyum ketika Dirga menceritakan kehebatan Kakak nomor duanya itu.

"Seandainya Om Frinza masih ada. Deva bakal ngefans sama dia juga! Om Frinza keren! Beda sama Ayah!"

"Heh! Kamu itu ngefans sama Om Tama, sama Om Bayu, sama Om Gemma, dan sekarang sama Om Frinza. Padahal, Ayah lebih keren loh."

"Deva jadi pengen ketemu sama Om Frinza!"

"Heh, digentayangin baru tahu rasa kamu."

Kini pria yang berada di hadapan Deva adalah Frinza Martawangsa. Pria yang sering diceritakan oleh Dirga. "Kenapa diem?" Frinza tak mendengar langkah kaki Deva, yang artinya ia sedang terdiam. Frinza kemudian berjongkok. "Ayo sini, naik. Sekali aja--biarin Paman ini bersikap keren sama ponakannya dong." Frinza terkekeh.

Deva memeluk Frinza dari belakang dan membiarkan orang itu menggendongnya seperti seorang anak kecil. "Jadi, kamu berapa saudara? Istrinya Dirga pasti cewek kacamata itu, ya?Sekarang gimana kehidupan kalian?" Sepanjang jalan Frinza bertanya tentang kehidupan Dirga dan keluarga kecilnya.

"Jangan bilang-bilang Dirga ya. Ini rahasia kita, oke?" Frinza tersenyum sambil terus menggendong Deva menuju pintu gerbang Alam Suratma.

* * *

Beberapa jam berlalu di Alam Suratma. Frinza bersama Deva tiba di suatu tempat yang terlihat cukup berbeda. Jika sedari tadi mereka hanya berjalan di tanah lapang yang dipenuhi oleh kabut. Kini mereka berada di tepi danau.

"Deva." Seseorang memanggil Deva yang masih berada di punggung Pamannya. Sontak Deva menoleh ke arah sumber suara. Matanya terbelalak mendapati seorang pria sedang duduk bersandar pada sebuah pohon.

"Pengkhianat." Deva megaskan matanya dengan ekspresi marah. Ia turun dari gendongan Pamannya dan berdiri sambil menatap orang itu. "Dasar si gila harta! Harits!"

Harits terkekeh mendengar itu. "Orang yang terlahir dengan segalanya mana ngerti!" Ia beranjak dari duduknya.

"Oi, oi, oi, berisik." Emil datang bersama dengan Kevin.

Kevin menatap Deva dan juga Harits. Sejujurnya ia tak begitu mengenal Harits, tetapi ia tahu. Bahwa Harits adalah salah satu pendiri Tantra bersama Deva, Rava dan Chandra.

"Kenapa semua orang ada di sini?" Tara mengernyit menatap Frinza dan Emil. "Kemana abang-abang yang punya gerbang?"

Nada berdiri di samping Harits, matanya berkaca-kaca menatap pria itu. Ia memeriksa seluruh bagian tubuh Harits yang terlihat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tak ada luka serius, hanya sedikit sobekan pada bagian tangan dan kaki. "Harits, enggak apa-apa?"

"Nada? Kamu ngapain, di sini?" Harits nampak lebih khawatir.

"Huaaaa." Nada memang anak yang cengeng. Ia sebenarnya bahagia, melihat Harits yang masih hidup dan terlihat sehat.

"Hey, kenapa nangis?" Harits mencoba menenangkan Nada.

"Sekarang bikin seorang gadis menangis? Dasar sampah." Deva menggerutu melihat Hartis yang membuat Nada menangis.

"Hah! Mata lu buta? Lu enggak liat, kalo gua enggak ngapa-ngapain?" Harits mendadak emosi.

Sejujurnya, melihat Harits dan Nada yang dekat. Muncul gejolak dalam diri Kevin. Entah, ia merasa tak nyaman melihat kedekatan mereka.

Bunuh ....

Samar-samar terdengar bisikan pada telinga Kevin. Ia menutup kedua telinganya.

"Bisikan itu selalu terdengar, kan? Abaikan saja seperti biasanya," ucap Emil.

Hembusan angin terasa sangat kencang dari arah tengah danau. Emil, Tara, dan Frinza menatap ke arah danau.

"Ke mana orang itu? Seharusnya dia ada di sini, kan?" tanya Emil.

"Entah, firasatku buruk kali ini," jawab Frinza.

Krincing ... krincing ....

Suara lonceng terdengar dari tengah danau. Tara tak berbicara, ia terus menatap ke arah danau. Perasaannya sungguh tak nyaman. Ia merasakan sesuatu sedang melesat ke arah mereka. "AWAS!" teriak Tara berusaha memperingati semua orang.

"Penjara Berantai." Seringai itu muncul dari balik kabut. Seorang pria berjaket merah mengendarai makhluk besar dan mengerikan dengan kepala kuda. Orang itu melesat dari tengah danau.

"Uchul! Apa yang kau rencanakan sekarang?!" Tara membuka matanya lebar-lebar menatap Uchul yang  melaju ke arah mereka semua. 

Sebuah rantai melesat dan membentuk sebuah penjara untuk mengurung Emil, Tara, dan Frinza. Mereka bertiga terbelenggu dalam penjara rantai buatan Uchul.

"Kekeke jangan mengganggu. Aku hanya ingin sedikit bersenang-senang." Uchul kemudian menarik Nada menggunakan rantai-rantainya. Membuat gadis itu menjerit ketakutan. Kini gadis itu berada dalam dekapan Uchul yang berada di bahu makhluk raksasa berkepala kuda.

"Tugas kalian bertiga hanya satu." Uchul menatap Harits, Deva, dan Kevin. "Selamatkan gadis ini dari kematian kekeke."

"UCHUL!" Tara berteriak dari dalam penjara. "JANGAN BERANI-BERANINYA MENYENTUH ANAK ITU!"

"Sudah lama, bukan? Kita tidak bersenang-senang? Kekeke." Uchul terkekeh. Sejujurnya hal itu membuat Nada semakin menangis, tetapi kali ini karena ketakutan. "Jika kalian mampu membunuh makhluk ini. Aku akan mengeluarkan kalian dari Alam Suratma."

Harits, Deva, dan Kevin menatap makhluk itu sambil meneguk ludah. Bahkan makhluk ini lebih besar dan lebih mengerikan dari apa yang Deva hadapi sebelumnya.

 Mengingat bahawa ia tak mampu memberikan luka pada makhluk sebelumnya, Deva langsung mundur dan terjatuh. Ia duduk sambil menatap makhluk itu penuh dengan ketakutan.

Kevin juga begitu. Ia tampak shock dengan penampakan itu. Di tambah, luka karena gigitan anjing hitam sebelumnya masih membuatnya tak mampu menggunakan sebelah tangannya.

"Tantra?" Harits berjalan dan berdiri di hadapan Deva dan Kevin. "Sekumpulan sampah tidak berguna." Matanya berubah warna. Kini Harits menampilkan mata suratma biru miliknya. Sebuah buku hitam muncul di hadapannya. Harist mengambil buku tersebut. "Lihat dan pelajari. Bagaimana seorang pro beraksi!"

Uchul melompat dari bahu makhluk itu. Nada berteriak karena Uchul melompat setinggi itu tanpa aba-aba. "Jangan takut, tuan putri. Pangeran akan segera menyelamatkanmu kekeke."

"Putra Dirga si pembantai khodam?" Harits mengernyit menatap putra dari seorang yang ia idolakan. "Mengecewakan!" Ia berlari ke arah makhluk itu sambil membuka buku dan berusaha memanggil arwah-arwah miliknya. "Lajaluka!" Harits memanggil Iblis burung hantu dari dalam bukunya.

"Lajaluka?!" Emil terkejut menatap burung hantu milik Mikail, mantan komandan tertinggi Peti Hitam.

Lajaluka merubah dirinya menjadi sebuah topeng burung hantu. Harits mengambilnya dan segera memasangnya. Makhluk kuda raksasa itu memukul Harits dengan tangannya yang mengenakan tapal kuda. Namun, ketika mengenakan Lajaluka, Harits mampu mempercepat gerakannya sehingga ia mampu menghindari serangan itu.

Memang tak secepat Tumenggung, tetapi anak itu mampu memanfaatkan kemampuan topeng itu dengan maksimal, batin Frinza.

"Pisau cakra." Harits memadatkan atma tipis yang berada di Alam ini, mengingat alam ini merupakan alam kematian, tak banyak atma murni yang mampu digunakan. Hanya sisa-sisa kehidupan dari mereka yang telah meninggal.

Harits dengan Lajaluka mampu melesat di tubuh makhluk kuda itu. Ia berlari menuju lehernya dan langsung menebasnya dengan kedua telapak tangannya yang berbalut atma.

Namun, makhluk itu hanya menerima luka ringan. Harits tak mampu memberikan luka yang dalam pada makhluk itu.

Ini baru pertama kalinya gua ngelawan yang model begini. Lehernya tebel.

Harits memanggil mantan Ashura bergelar Widyatama yang sempat membuat geger di era Martawangsa. Bocah itu kini muncul dan menjadi support untuk Harits. Kini giliran Tara yang menlogo mendapati Widyatama menjadi roh milik bocah itu.

"Ah, begitu ya. Bocah itu dari keluarga Sagara," gumam Tara. "Baru pertama kali aku melihat secara langsung, bagaimana Sagara bertarung."

"Kevin!" Emil berteriak dari dalam penjara rantai. "Sampai kapan mau duduk?! Kau mungkin bisa lari! Kau juga mungkin bisa bersembunyi, tapi sampai kapan?!" 

Kevin menatap Emil yang sedang terkurung.

"Jangan pernah lupakan, bawha darah Wijayakusuma mengalir di dalam ragamu." Emil menatap Kevin dengan tatapan yang sangat tegas. "Kau tak perlu bertarung untuk membunuh. Bertarunglah untuk menyelamatkan gadis itu."

Kombinasi Widyatama kecil dan Harits mampu menyudutkan si kepala kuda. Benang-benang tajam milik Widyatama mampu memperlambat gerakan makhluk itu, sementara Harits masih berusaha melancarkan serangan fatal.

Deva memang terbiasa menghadapi orang lain. Bahkan tanpa topeng, ia memang sudah jago berkelahi, tetapi menghadapi makhluk-makhluk aneh begini baru pertama kalinya ia lakukan.

Ayah dan Om Tirta bekerja untuk memerangi makhluk-makhluk ini, kan? Untuk memberantas ilmu hitam?

Bahkan, Om Frinza mampu menumbangkan yang besar tadi hanya dengan satu pukulan.

Manusia itu--lebih kuat, kan?

Deva beranjak dari keterpurukannya. "Kevin, ayo bangun. Jangan mau kalah, sama orang yang cuma menolong demi uang."

Siapa yang bakal ngejaga Tantra? Ngejaga Dinda, ngejaga Ibu dari makhluk-makhluk kayak gini seandainya mereka muncul di dunia?

Jangan panggil gua Martawangsa, kalo enggak bisa bersaing di level ini!

Harits sudah kewalahan. Untuk mempertahankan keberadaan dua makhluk panggilan tentu saja akan memakan energinya. Secara, ia harus memberikan atmanya sendiri untuk menjaga eksistensi dari makhluk-makhluk panggilannya.

Makhluk gila! Harits menggerutu dalam pikirannya.

Makhluk kuda itu melancarkan serangan tapal kudanya pada Harits yang tengah kehilangan fokusnya karena letih.

"Sial! Gua meleng ...." Harits berusaha meminimalisir luka dengan cara berhatan, tetapi Deva muncul dengan topengnya dan membawa Harits ke tempat yang aman.

"Lu gila?! Mau nerima serangan tadi? Bisa-bisa langsung mampus lu," ucap Deva.

"Cih! Gua enggak butuh pertolongan lu!" Harits melepaskan diri dari Deva.

"Ayo--kita lupain pertiakaian yang terjadi untuk sejenak," gumam Deva. "Kita pikirin cara nyelamatin Nada dan keluar dari sini dulu. Abis itu baru kita berselisih lagi." Deva memberikan tinjunya pada Harits.

Harits tak menjawab dengan kata-kata, tetapi ia langsung mebalas tinju Deva. Arti bahwa ia sepakat dengan gencatan senjata sementara ini.

Uchul tersenyum melihat itu, tetapi ia juga meneteskan air mata. Ia seperti melihat Dirga dan Andis di hadapannya.

"Jangan jadi beban," gumam Harits.

"Jangan ngomongin diri sendiri," balas Deva.

Kini Deva dan Harits menatap makhluk aneh itu dengan sorot mata yang tegas, seakan memberikan tekanan padanya. Dalam tempo yang cepat, Harits dan Deva menghilang dari pandangan semua orang.

Mereka berdua muncul di belakang Uchul. "Jika tidak mampu mengalahkan bidaknya, kita hajar saja bossnya," gumam Harits.

"Kekeke kau benar-benar sudah lupa rupanya, bocah. Seberapa mengerikannya aku!" Uchul melempar Nada pada makhluk berkepala kuda dan langsung mencengkeram lengan Deva dan Harits. "Kesalahan kalian adalah--menganggap aku lebih lemah dari makhluk besar itu." Uchul memberikan penekanan pada setiap kata-katanya.

Harits berusaha melepaskan diri, tetapi cengkeraman itu benar-benar kuat. "Aku minta maaf! Tolong lepaskan aku sekarang! Gadis itu bisa mati!"

"Kau itu--tipe yang paling aku benci. Orang yang melanggar kesepakatan. Aku sudah bilang, kan? Kau akan memainkan sebuah permainan untuk bisa keluar dari sini. Dan menyerangku bukanlah sebuah opsi dari permainan ini."

Uchul menendang topeng Deva hingga Tumenggung terlepas dari wajahnya. "Sekarang kau benar-benar tak bisa apa-apa, bocah Margasatwa kekeke."

Kevin menatap Deva dan Harits yang tak berdaya, sementara Nada berada di hadapan makhluk aneh itu seakan siap disantap.

Tara menendang jeruji rantai yang mengekangnya. "Bangun! Wijayakusuma membunuh segalanya!" Mantan Ashura bergelar Aditama itu menatap Kevin yang terlihat ketakutan. "Wijayakusuma membunuh rasa takutnya! Membunuh pikiran negatifnya! Membunuh segala hal yang membuatnya gelisah! Wijayakusuma itu membunuh sifat pengecut yang ada dalam dirinya. Jangan lari! Wijayakusuma bertarung sampai mati! Bahkan melawan dirinya sendiri."

Kata-kata itu menampar Kevin begitu keras. Ia berusaha bangkit. "Oi, kuda bodoh. Menjauhlah." Kevin menatap makhluk kuda raksasa itu dengan tatapan membunuh. Aura di sekelilingnya berubah. Kevin berjalan mendekat pada Nada, setiap langkahnya membuat seluruh orang di area itu merinding.

Kau mungkin bisa lari sejauh yang kau mau, kau juga bisa bersembunyi sebanyak yang kau inginkan, tetapi ingatlah, Nak. Darah Wijayakusuma mengalir dalam ragamu.

"Aku tidak akan lari lagi, aku juga tidak akan bersembunyi lagi. Sebab aku--adalah seorang Wijayakusuma."

Tara dan Emil menyeringai. Sorot mata yang ditunjukkan Kevin saat ini adalah sorot mata seorang Wijayakusuma yang kelaparan.

Makhluk kuda itu hendak meraih Nada yang berada tak jauh darinya, tetapi Kevin berlari dan menebas jari-jari makhluk itu menggunakan pisau bedah yang ada di kantong pakaiannya, membuat jari-jari makhluk itu terputus.

Setelah berhasil memperlambat makhluk besar itu. Kevin menggendong Nada dan lari menjauh dari sana.

"Tenang, kita akan keluar dari tempat ini," tutur Kevin pada Nada.

Namun, makhluk itu kini mengejar. Karena tubuhnya yang besar dan memiliki kecepatan yang setara dengan kuda, tak butuh waktu lama untuk mengejar Kevin dan Nada.

Kevin berdecak kesal ketika mendapati makhluk itu yang semakin mendekat. Tentu saja mustahil untuk melawan makhluk sebesar itu sendirian, sambil menggendong seorang gadis.

"Ayo! Apa yang akan kalian lakukan?! Kekeke ini semakin menarik!" Uchul menyeringai sambil terkekeh.

Orang ini gila!

Harits benar-benar merasa takut pada Uchul sekarang. Orang berjaket merah ini begitu menyeramkan dan penuh taktik. Setiap langkahnya berbahaya, membuat Harits gemetar.

Apa itu?

Harits menatap sebuah cahaya yang melesat di langit, cahaya itu melesat ke arahnya. Ia berusaha memberontak. "Oi Paman, lepaskan! Apa benda itu juga permainanmu?" Harits terlihat panik menatap benda itu semakin mendekat.

"Benda apa?" Uchul memicingkan matanya.

Cahaya itu merasuki Harits dan membuat sebuah ledakan kecil sehingga Uchul melepaskan Harits dan Deva dari cengkeramannya.

"Sensasi ini?" Emil merasakan sesuatu yang familiar.

"Begitu, ya? Rasanya de javu kekeke."

Harits menatap Uchul sambil menyeringai. Kini kedua matanya menjadi mata suratma. Yang satu memiliki iris mata berwarna biru, yang satunya berwarna putih.

"Seru dan pujalah namaku, putra Andis," tutur Harits menyeringai sambil menyentuh punggungnya sendiri. Suara Harits menjadi berat seperti bukan suara miliknya. "Segoro Geni."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top