30 : Khawatir
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.
Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.
.
.
.
"Bener di sini tempatnya?" Kevin menepikan motornya. Ia dan Nada turun di tempat kecelakaan yang menimpa Harits terjadi.
Nada hanya mengangguk. Kevin mulai memejamkan matanya, ia melakukan investigasi tempat perkara kejadian dengan menelusuri area ini menggunakan kemampuannya, sementara Nada melepaskan sarung tangan miliknya dan mulai mencari petunjuk.
Kevin mendapati Andis, Dirga dan Tirta yang sedang berkumpul di lokasi laboratorium. Kevin mencoba mencari petunjuk berdasarkan obrolan mereka bertiga.
"Kev." Nada memanggil Kevin, tetapi pria itu masih sibuk melihat dan mendengar pembicaraan Andis, Dirga dan Tirta.
"Kevin."
"Kevin!"
Panggilan ketiga Nada membuat Kevin menoleh ke arahnya. Seorang pria berdiri tak jauh dari posisi Nada yang tampak gemetar.
"Kevin, i-itu orangnya yang waktu itu muncul di tengah jalan!"
Sial!
Salah satu kelemahan pengguna klervoyans adalah, saat mereka menjelajah dengan pengelihatannya, mereka tidak peka terhadap apa yang terjadi di lokasinya.
"Lari, Nad!" Kevin berlari ke arah Nada yang tampaknya menyimpan trauma pada orang itu. Namun, karena telat menyadari kehadiran orang itu, Kevin hanya bisa menyaksikan orang itu yang lebih dekat dengan Nada, mencengkeram lengan Nada.
Gua ceroboh, padahal gua cuma mau bantu Nada, tapi malah jadi begini!
Ketika Kevin hendak meraih Nada, tiba-tiba saja gadis itu menghilang dari pandangannya. Entah, hilang secara misterius di depan matanya.
Orang aneh itu memandangan tangannya sendiri seakan bingung. "Sial, sebenarnya apa yang terjadi sama badan gua?" Ia merasa gila ketika mengetahui apapun yang ia sentuh akan menghilang. Tanpa ia tahu, ke mana mereka semua menghilang.
"Woy." Orang itu menoleh ke arah Kevin yang memanggilnya. "Apa yang barusan lu lakuin? Ke mana perginya Nada?"
Orang dengan tato 66 di leher itu tak menjawab, ia hanya memegangi kepalanya yang sepertinya merasa pusing.
"Gua kasih lu waktu sepuluh detik buat balikin Nada ke sini." Kevin yang tampak selalu tenang, kini tak menunjukkan ketenangannya. Auranya pekat membuat angin di sekitarnya enggan menghampiri. Ia mengambil sebuah bunga wijaya kusuma layu berwarna merah dari kantong celanannya dan melemparnya pada orang itu. "Jangan sampai kejadian yang enggak diinginkan terjadi."
Sepuluh detik telah berlalu. Nada tak kunjung kembali. Kevin menghampiri orang itu. "Waktu lu abis. Gua terpaksa pake cara kotor, sampe lu balikin Nada lagi." Ia melapisi tangannya dengan sarung tangan dokter dan mengambil pisau bedah dari kantong jaketnya.
* * *
Nada masih terduduk lemas, ia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ke mana orang tadi? Ke mana Kevin? Di mana ini? Banyak yang ia pertanyakan dalam pikirannya. Bagaimana tidak? Tadi ia berada di sebuah jalan besar bersama Kevin, tetapi sekarang ia berada di tanah yang lembab seorang diri. Di mana kabut tipis menyelubungi tempat itu.
Samar-samar, Nada melihat seorang wanita sedang berdiri menatapnya dari jarak yang agak jauh. Menurutnya, mungkin wanita itu bisa memberinya informasi, Nada menghampiri wanita itu untuk bertanya, tetapi langkahnya semakin berat hingga ia menghentikan langkah seutuhnya.
Wanita yang berada tak jauh di depannya itu begitu menyeramkan. Banyak sayatan luka hingga membuatnya berdarah, ia menggiggit jari-jarinya sendiri hingga berlumuran darah. Wanita itu tak memiliki bola mata.
Nada mulai gemetar, ia menangis. "Melo, maaf kalo selama ini sering nakut-nakutin kamu. Ternyata--emang seserem ini."
Wanita itu kini menyeringai menatap manusia yangberada di depannya. Secara tiba-tiba ia tertawa dan berlari ke arah Nada dengan postur yang aneh, membuat Nada duduk merinding dan menjerit. Nada ingin lari, tetapi kakinya enggan bergerak.
"Ayah, Bunda, tolong." Nada benar-benar ketakutan, ia menutup kedua matanya karena tak ingin menatap wanita itu. Rasanya ia ingin mati saja, apa lagi saat sebuah kuku yan cukup panjang menggores pipinya hingga berdarah. "Siapapun, tolong!"
"Menjauhlah, sampah." Seorang pria dengan rambut belah tengah mencengkeram lengan wanita menyeramkan yang hendak menjahati Nada. "Berani-beraninya kau menyentuh putri Aqilla."
Nada membuka matanya. Ia mendapati seorang pria tampan berdiri di sampingnya. Orang itu mengenakan sarung tangan berwarna hitam di tangan kanannya dan sarung tangan putih di tangan kirinya.
"Aku yang seharusnya menjadi Papa dari anak ini, tidak akan memaafkanmu karena membuatnya terluka. Enyahlah." Pria itu menutup kedua mata Nada dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya menghabisi wanita penghuni Alam Suratma yang mengganggu Nada.
"Oke, sekarang udah enggak apa-apa. Kamu aman." Pria itu melepaskan tangannya dari Mata Nada.
Sosok menyeramkan itu telah menghilang. Nada menatap orang yang menolongnya dengan mata berkaca-kaca. "Te-terimakasih," ucap Nada padanya.
Ia mengelus rambut Nada sambil tersenyum. "Jangan takut lagi, Papa udah dateng."
Papa?
Nada mengingat bahwa orang itu menyebut 'putri Aqilla'. "Kamu kenal sama, Bunda?" Nada menggunakan kata 'kamu' karena menurutnya usia mereka tak berbeda jauh.
Seharusnya yang jadi orang tua kamu itu, aku. Bukan Tama.
"Kenal." tuturnya sambil tersenyum. "Ayo, kamu pasti mau pulang kan?" Pria itu menyuruh Nada untuk mengikutinya, tetapi Nada malah diam sambil mengepalkan tangannya.
"Sebenarnya, ini di mana?" tanyanya membuat pria yang berada di depannya menoleh. "Jangan-jangan, Harits juga ada di tempat ini, sendirian."
"Harits?" Pria itu menjulurkan tangannya. "Maka, ayo kita cari sama-sama." Ia kembali tersenyum ramah.
Nada menyambut uluran tangannya. "Nada." Gadis itu memperkenalkan dirinya. "Nama kamu siapa?"
"Cukup panggil Papa aja, oke." Pria itu kembali berjalan. Ia membelakangi Nada.
Namun, Nada terlihat canggung ketika pria itu berkata seperti itu. "Emang nama kamu papa beneran?"
"Karena seharusnya, aku yang jadi Papa kamu beneran," jawabnya enteng tanpa menoleh.
Orang ini aneh, pikir Nada, tetapi karena sepertinya ia adalah orang yang baik, Nada mengikutinya.
* * *
Melodi masih saja melamun sambil memegangi gelas yang berisi melon lime mojito. Ia merasa bosan dan ingin pulang. "Bun, aku pulang ya?" Melo menatap Aqilla yang masih asik mengobrol dengan Mila.
"Yaudah, kamu pulang sama Nada? Vian pulangnya nanti aja sama Bunda, dia masih asik main game."
"Nada udah pulang duluan kayaknya." Melodi beranjak dari duduknya, tetapi tiba-tiba saja gelas yang ia pegang terjatuh hingga pecah.
"Hati-hati dong, Melo."
"Udah, enggak apa-apa, Qil. Nanti Mila beresin." Mila segera bangun dan mengambil sapu untuk membereskan pecahan gelas yang berserakan di lantai.
Sementara kedua tangan Melodi gemetar. "Nada ...," Terbesit Nada dalam benaknya. Perasaannya sungguh tak enak. Ia menoleh dan terus menoleh seperti orang yang sedang mencari sesuatu.
"Kamu kenapa, Mel? Ada yang hilang?" tanya Aqilla.
"Enggak kok, Bun. Cuma perasaan melodi enggak enak aja."
Melodi menangkap Deva yang keluar dari pintu yang menghubungkan antara resto dan rumahnya. Ia mengikuti Deva hingga keluar ruangan.
"Dev, Deva. Kamu mau ke mana?"
"Mau ketemu sama temen-temen, Mel, kenapa deh?" Deva mulai menyalakan motornya.
Melodi mencengkeram jaket jeans yang Deva kenakan. "Please, temenin aku dulu."
"Aduh, Mel. Ini urgent banget, maaf. Aku lagi buru-buru."
"Please ...." Mata Melodi berkaca-kaca menatap Deva.
"Sorry." Deva naik ke atas motornya dan pergi meninggalkan Melodi sendirian.
Deva memantau dari kaca spionnya, Melodi sedang menutup matanya menggunakan sikunya. Sepertinya ia sedang menangis.
"Ah, elah! Sorry, Chan." Pertahanannya luluh. Deva memutar balik motornya dan kembali ke tempat Melodi. Deva turun dari motornya dan menenangkan Melodi. "Udah, jangan nangis. Yaudah sini aku temenin."
"Aku takut Nada kenapa-napa. Temenin aku cari dia." Melodi justru malah semakin menangis.
Gawat kalo dilihat sama orang rumah nih, bisa dikira aku yang nangisin.
"Yaudah ayo kita cari Nada sama-sama." Deva naik kembali ke motornya dan mempersilakan Melodi untuk naik di belakangnya.
"Kamu enggak apa-apa? Kamu kan ada kegiatan penting?"
"Itu mah gampang, udah tenang aja. Kita akan cepet nemuin Nada, terus aku baru pergi buat urusan aku." Deva mulai melaju. Ia ke rumah Melodi terlebih dahulu untuk memastikan apakah Nada sudah pulang, atau belum.
* * *
Setengah jam telah berlalu, Chandra duduk di ayunan yang berada di taman tempat ia dan Deva akan bertemu.
Telinganya bergetar ketika angin malam berhembus membawa sebuah bisikkan padanya. Seketika itu Chandra beranjak dari duduknya. "Kirana udah tidur, Rava juga. Kevin bergerak sendiri, Nada menghilang dari radar. Deva ...." Chandra menghela napas sambil menatap bulan.
"Susah kalo cuma bisa ngandalin diri sendiri." Ia berjalan dan masuk ke dalam rumahnya yang berada di depan taman. Chandra mengambil sepeda miliknya dan mulai mengayuhnya dengan santai. Ia bersiul sambil terus mengayuh sepedanya.
.
.
.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top