3 : Sang Pembawa Angin
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.
Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.
Lagu pembuka. Wind - Akeboshi
.
.
.
"Nada,"
"Nada," panggil Bunda lagi.
"Eh--kenapa, Bun?"
"Jangan bengong, itu sarapan nya di habiskan."
"Iya, Bun," jawab Nada sambil menyantap nasi dengan telur mata sapi, lengkap dengan sosis sapi kesukaannya.
Melodi memperhatikan Nada yang terlihat sedang banyak pikiran. Di perjalanan menuju sekolah, Nada masih terlihat seperti itu, ia hanya memandangi jalan di luar dari balik kaca mobil, terlihat jelas dari pantulan kaca, wajahnya yang murung.
"Kamu, ada masalah?"
Nada menoleh ke arah Melodi, ia hanya menggelengkan kepala sambil memaksakan senyumnya.
"Nad, trust me, i feel your feelings and ... you are so bad."
"Sok banget sih," balas Nada sambil menahan tawa, mendengar Melodi berbicara menggunakan bahasa Inggris.
"Janji ya, harus cerita kalo kamu ada masalah?" Melodi memberikan jari kelingkingnya.
"Iya, janji," balas Nada sambil menyambut janji kelingking dari Melodi.
"Janji--harus--ditepati!" ucap mereka secara bersamaan.
"Aku nanti ada latihan, pulang sekolah," ucap Melodi.
"Tapi kalo kamu--"
"Gapapa, latihan aja," balas Nada memotong ucapan Melodi sambil tersenyum.
"Aku bisa pulang sendiri."
"Serius?" tanya Melodi.
"Duarius," balas Nada sambil menempelkan tangan kanannya dan menunjukan dua jarinya yang berbentuk huruf v.
Seperti biasa, sesampainya mereka di gerbang sekolah, mereka mencium tangan Tama dan segera turun dari mobil. Nada dan Melodi berpisah menuju kelas mereka masing-masing. Nada menghela napas, ia tidak terlalu suka berada di sekolah, ia tak suka berada di keramaian. Ketika ia hendak masuk, tiba-tiba saja Bela menabraknya dari belakang.
"Minggir! Ngapain sih? Di tengah jalan jalan?" ucapnya ketus pada Nada yang berdiri di depan pintu.
"Lagi berfotosintesis?" ledeknya lagi.
Nada menghiraukannya, ia hanya masuk ke dalam kelas tanpa menjawab perkataan Bela. Tentu saja kelakuannya membuat Bela menjadi geram. Namun, Bela juga tak terlalu memikirkan hal itu, ia langsung berjalan menuju kursinya.
"Nada ...," panggil Vina berbisik.
Nada menoleh ke arah Ervina.
"Jangan terlalu dipikirin ya, Bela emang gitu orangnya ...."
Nada hanya tersenyum sambil mengeluarkan jempol andalannya, seakan ia berkata. "oke."
Tak seperti kemarin, hari ini Faris datang lebih pagi, ia menaruh tasnya di atas meja dan langsung berjalan keluar kelas, entah pergi kemana anak itu. Yang jelas, Nada terus memperhatikannya. Mungkin karena masih ada waktu beberapa menit lagi sebelum bel masuk, Nada pergi keluar, diam-diam ia mencari sosok Faris. Ia kelilingi sekolah barunya, sambil menghafal tempat-tempat baru yang masih terasa asing baginya.
Faris kemana ya?
Namun, hingga bel berbunyi, tanda pelajaran akan segera dimulai, ia tak dapat menemukan sosok Faris. Nada memutuskan untuk kembali ke kelas. Pagi ini diawali dengan pelajaran sejarah, salah satu pelajaran favorit Nada. Lima belas menit berjalan, Faris baru saja tiba di kelas, tentu saja ia mendapat omelan dari Pak Wisnu. Dan dia beralasan habis dari toilet.
Pantes aja ga ketemu, ternyata di toilet.
Tak terasa, jam istirahat sudah tiba. Seperti biasa, para siswa-siswi sibuk berlalu lalang, ada yang ke kantin, ada yang menemui temannya yang berbeda kelas. Baik Nada, maupun Melodi, mereka tak saling berkunjung saat di sekolah, ya ... mungkin karena setiap hari mereka pasti bertemu di rumah, jadi untuk apa bertemu juga di sekolah? Nada memutuskan untuk berkeliling lagi. Namun, kali ini ia pergi ke belakang sekolah.
Wah, ada tempat kayak gini rupanya, batin Nada sambil tersenyum melihat hamparan rumput yang luas. Terlihat jelas sungai dan beberapa pohon-pohon rindang, ada juga empang-empang yang entah masih ada ikan atau tidak di dalamnya.
Nada mendengar ada sebuah alunan melodi yang sangat mempesona, seakan menarik jiwanya keluar. Ia berjalan ke arah di mana ia mendengar suara itu. Ia berjalan dan terus berjalan di hamparan padang rumput, sambil seluruh sudut kulitnya diterjang sang angin. Angin yang menerpanya masuk ke dalam posi-porinya, membawa alunan melodi dari sebuah seruling bambu yang memukau gadis itu.
Di antara dahan pohon trembesi, Nada melihat seorang pria duduk membelakanginya. Pria itu memainkan serulingnya sambil sesekali bernyanyi. Ia membawakan lagu dari Akeboshi yang berjudul Wind. Pria itu seperti sedang mengendalikan angin dengan serulingnya.
https://youtu.be/NCLBz7D9FSE
Don't try, to live so wise,
Don't cry, cause you're so right
Don't dry, with fakes or fears, cause you will hate yourself in the end.
Pria itu adalah Faris. Nada berjalan ke arah Faris yang sedang memainkan serulingnya, tentu saja Faris tak sadar bahwa ada seseorang yang menghampirinya, karena memang ia selalu sendiri berada di tempat itu. Nada yang sudah berada di bawah Faris, memandang wajah pria itu dari bawah, tampak jelas, kesedihan dari raut wajahnya. Pria itu memejamkan matanya dan membiarkan angin menyetubuhinya, ia hanya meresapi setiap jengkal demi jengkal musik yang ia bawakan. Hingga akhirnya ia tersadar dan mendapati sosok Nada yang sedang memperhatikannya. Ia menjulurkan tangannya.
"Mau naik?"
"Aku bisa sendiri," jawab Nada yang memanjat pohon trembesi itu, Nada duduk di sebelah Faris.
"Lagunya bagus," puji Nada.
Lagi-lagi, Faris menyampingkan poni Nada yang menutupi wajahnya, ia menyelipkannya di atas kuping Nada.
"Belum sebagus senyum kamu barusan," balasnya pada Nada.
Tentu saja membuat Nada jadi salah tingkah.
"Mau coba?" Faris memberikan sulingnya pada Nada.
"Aku ... ga berbakat di musik ...," ucapnya lirih.
"Ga akan tau, sebelum dicoba," balas Faris yang masih berusaha memberikan sulingnya.
Nada meraih suling itu, Faris memegang tangan Nada dan memposisikan jari-jarinya untuk menutup rongga suling.
"Coba ... tiup."
Nada langsung meniup seruling itu. First impression nya terhadap alat musik itu tergolong positif. Ia tersenyum karena baru kali itu, ia mendengar bunyi yang menurutnya bagus dari semua permainannya. Melodi pernah mengajarkan gitar padanya, Aqilla mengajarkannya teknik vokal dan Tama mengajarkannya piano. Namun, Nada tak pernah bisa menciptakan bunyi yang enak didengar. Tentu saja, Faris juga tersenyum melihat wajah polos Nada yang sedang tersenyum sambil menatap seruling miliknya.
"Orang bilang--" Faris membuyarkan lamunan Nada. Faris menatap ke arah ujung seruling yang Nada tiup, sambil wajahnya memerah.
"Kalau kita minum, atau ya ... apapun itu sih--" Entah mengapa, Faris menjadi gerogi.
"Dari bekas mulut orang lain ... itu--namanya--ciuman secara ga langsung," ucapnya sambil memalingkan wajah.
Seperti meledak, Nada juga memalingkan wajahnya yang sangat merah itu, "maaf," ucapnya pada Faris. Mereka berdua saling diam untuk beberapa detik.
"Kamu--" ucap mereka secara bersamaan.
"Kamu duluan," ucap mereka lagi secara bersamaan.
"Nanti--" ucap Nada yang malu-malu.
"Pulang bareng yuk," potong Faris sambil menggaruk pipinya.
Yaaa ... itu juga yang ingin Nada ucapkan, mengingat Melodi yang ada sesi latihan dengan band barunya.
"Ayo," jawab Nada yang tak berani menatap Faris.
"Aduh--" pekik Faris.
Nada menoleh ke arah Faris. "Kenapa?"
"Udah jam berapa ini," jawabnya sambil melihat jam tangan berwarna hitam yang terpasang di tangan kirinya.
"Waaaah," ucap Nada yang ikutan panik.
Mereka berdua turun dari pohon dan berlari menuju kelas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top