28 : Mantra

Mereka semua berpencar untuk meraih cita-cita mereka. Berpisah bukan berarti berhenti berteman! Mereka hanya berjalan di jalan yang mereka pilih. Mungkin hanya Sang Waktu yang dapat mempersatukan mereka lagi, percayalah ... menjadi orang dewasa itu sulit dan tak punya banyak waktu untuk bersua. Maka dari itu, hargai mereka yang masih ada di sekitarmu! Karena sesuatu yang berharga barulah terasa berharga, ketika kita telah kehilangannya.

* * *

Bandung, Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara.

"Gimana rasanya naik pesawat?"

"Lebay lu, Jay. Gini-gini pernah naik pesawat gua waktu bulan madu ke Lombok!"

"Hahaha kiran enggak pernah, makanya sekali-kali gue ajak naik pesawat, biar lo paham, Dis rasanya. Tau lo udah pernah, kita naik kereta aja."

"Udah, biarlah yang terjadi menjadi kenangan, Jay hahaha."

Mereka berdua menghentikan langkahnya sejenak ketika menatap tiga orang yang sedang duduk di kursi restoran sedang menatap ke arah mereka.

"Ini dia, ini dia. Pertemuan kita kembali setelah belasan tahun enggak pernah bersua."

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

* * *

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Malam ini suasana kota Bandung begitu tentram. Ajay dan Andis yang baru saja tiba di Bandung kini tersenyum di balik jendela mobil sambil menatap gemerlap lampu jalan.

"Pikir gua, kita bakalan kumpul lagi di Jogja," ucap Ajay.

"Jogja, ya? Nostalgia banget," timpal Dirga yang sedang mengemudi.

"Ah sama aja! Yang penting tuh ngumpulnya. Percuma ke Jogja, tapi enggak ada kalian. Cuma sakit yang ada, inget kenangan-kenangannya, terus kangen momennya, tapi enggak ada orang-orangnya!" celetuk Andis. "Ya, enggak, Tam?"

Tama hanya mengangguk tanpa berkata-kata.

"Ekhmm ... apalah aku--yang enggak kuliah di Jogja," sambung Tirta.

"Oh iya hahaha sorry, Tir," balas Ajay sambil terkekeh. "Lu sama Uchul enggak di Jogja ya."

"Uchul, ya?" Andis menatap sendu ke arah langit di luar sana. "Kalo dia masih ada--anaknya orang gila kali ya."

"Parah lo! Mayat aja diceng-cengin, Dis." Tirta menggeleng dengan senyum tipisnya.

"Kekeke tidak menarik." Andis bersandar sambil memperagakan nada bicara Uchul yang sebenarnya ia rindukan.

Tak terasa kini mereka telah sampai di restoran milik Dirga. Baru saja Andis dan Ajay turun, seorang anak yang mirip dengan Dirga menghampiri mereka membawa sebuah buku. Ia menghampiri Ajay dan meminta tanda-tangannya.

"Dir, anak lo ngefans ya sama gue?" tutur Ajay sambil memberikan tanda tangannya.

"Oh, itu anaknya Tirta, Rava." Dirga mengunci pintu mobil sambil ia mengeluarkan permen lilopop dari saku jaketnya. Ia berjalan mendekat ke Ajay dan berbisik. "Sorry, anak gua tau etika. Enggak akan ngefans sama kalian!"

"Gua pikir si Deva, yang waktu itu masih kecil!" balas Andis.

Aqilla dan Karmila berada di sana. Tampaknya mereka mempersiapkan pesta kecil-kecilan untuk kedatangan Ajay dan Andis.

"Oh Aqilla, Karmila. Enggak usah repot-repot, cukup peluk aja kalo rindu," ucap Andis sambil melebarkan kedua tangannya.

Kedua mata menyala yang berada di belakangnya kini mencengkeram bahu dan juga kepala Andis.

"B-ber-canda, Dir, Tam."

"Lu bercandanya masih aja enggak berubah, Dis. Hampir aja meninggal lu." Kekeh Ajay.

Dirga menarik topi yang Andis kenakan hingga terlepas. "Gua penasaran, palalu botak enggak sih?"

"Dirga!" seru Mila sambil menggeleng.

"Lucu aja gitu kalo pitak," balas Dirga sambil menatap Mila.

Sementara Aqilla hanya tertawa melihat tingkah mereka. "Bener-bener jadi nuansa Mantra Coffee sih ini," tuturnya sambil membawakan makanan yang telah ia dan Karmila buat untuk menyambut reuni mereka.

"Waaah! Mantra!" Rava masih saja berbinar menatap para orang-orang hebat ini.

"Kondisiin sikap lu, Rav," tutur Deva sambil bersandar di kursi.

Namun, Deva memajukan tubuhnya, ketika melihat Nada dan Melodi yang baru saja tiba. Kembar itu baru saja tiba dari rumah mereka mengendarai dua motor. Satu motor vespa kuning yang dikendarai oleh Melodi, dan satu lagi motor milik Faris yang memboncengi Nada.

"Kondisiin hati lu, Dev," balas Rava menyeringai.

Sementara putra kecil Tama, Vian. Sedang duduk membaca buku cerita milik Dinda, putri kecil Dirga.

Ya, malam itu mereka semua saling bercengkrama sambil memperkenalkan anak-anak mereka dan bernostalgia. 

"Anak lo mana, Jay?" tanya Andis sambil meminum kopi hitam buatan Mila.

"Di Inggris, belum libur dia," jawab Ajay.

"Enggak ada niat lu bawa ke Indonesia?" tanya Tirta.

"Nanti, Insyaallah kuliah di Jogja kok. Dia suka banget sama Jogja dari cerita-cerita gua. Makanya dia juga jago bahasa Indonesianya, meski tinggal di Inggris."

"Langsung gas! Kasih mereka pengalaman ngerantau! Modalin deh buat usaha, biar ngerasain petualangan kita dulu," sambung Andis. "Oh iya, Harits ke mana deh?"

Andis masih celingak-celinguk mencari keberadaan putranya, sementara orang-orang bertatapan dengan wajah getir. Membuat sejuta tanda tanya di pikiran Andis. Perasaannya menjadi tak karuan. Mungkin, kepulangan Ajay ke Indonesia bukan alasan utama mereka semua mengadakan perkumpulan ini, tetapi ada alasan lain yang membuat mereka harus berkumpul di Bandung.

* * *

Dirga mengajak Tirta, Tama, Andis, dan Ajay masuk ke dalam rumahnya. Mereka semua masuk ke dalam sebuah ruangan yang gelap. Dirga menyalakan lampu dan rupanya itu adalah ruang meeting. Terdapat papan tulis dan juga meja besar yang berada di tengah ruangan. Dirga menyalakan AC, dan duduk di kursi yang berada di depan papan tulis.

"Jadi, begini." Ia menghentikan kalimatnya sejenak dan mengambil napas. "Ada alasan kenapa kita semua berada di sini, sekarang."

Tirta mengambil spidol dan mulai menulis sesuatu di papan tulis. "Udah denger, tentang laboratorium yang menghilang dalam semalam?" tanyanya sambil melanjutkan tulisannya.

"Gua baru aja sampe di Indo, tapi gua pribadi sih udah denger," tutur Ajay.

"Itu perbuatan UFO kali ya?" celetuk Andis.

Tirta yang selesai menulis, kini agak berjalan ke pinggir papan tulis, sehingga Ajay dan Andis mampu membaca tulisan itu. "Menurut lu, seandainya Uchul masih ada. Apa mungkin, dia bisa mindahin sebuah bangunan ke Alam Suratma?" tanya Dirga.

Sebuah tulisan besar terpampang di papan tulis, membuat Andis dan Ajay memicingkan matanya. "SURATMA PROJECT."

"Maksudnya--apa nih?" tanya Andis.

"Jawab pertanyaan gua. Menurut lu--apa Uchul bisa?" lanjut Dirga sambil menatap tajam ke arah Andis.

"Enggak. Dia cuma bisa mindahin sesuatu yang bernyawa," papar Andis.

"Kalo gitu--seekor monster yang lebih berbahaya baru aja terlahir," lanjut Dirga. "Dan kalo dugaan gua bener. Harits sempet berurusan sama monster itu, dan sekarang dia lagi ada di Alam Suratma."

"Harits, apa?" Andis berdiri sambil menatap tajam ke arah Dirga.

Tama juga ikut berdiri. Ia menelpon putrinya untuk masuk ke dalam ruangan ini. Tak butuh waktu lama, Deva mengantar Nada ke ruang meeting Ayahnya.

Nada menceritakan semua detail kejadian pada Andis, sambil ia menangis. Andis mengusap rambut gadis itu sambil berusaha menenangkannya. "Ini bukan salah kamu," tutur Andis.

"Seandainya, Om ada di posisi itu. Mungkin, Om juga akan melakukan hal yang sama. Harits itu selalu mengedepankan wanita, dia sangat menjunjung tinggi derajat seorang wanita."

"Di satu sisi, Om khawatir, tapi di sisi lain, Om juga bangga sama harits. Karena dia udah ngelindungi kamu."

Andis menghela napasnya. Ia memejamkan matanya sejenak sambil mengusap keningnya yang terasa pusing.

Yo, kau dengar aku? batin Andis.

Sesuatu yang mendiami tubuhnya kini sedang duduk sambil menyeringai.

Wah, wah. Udah berapa belas tahun ini aku terlupakan, balasnya pada Andis.

Aku butuh bantuanmu sekarang, balas Andis.

Ya, ya, ya. Aku sudah dengar semua kronologisnya. Jadi, sekarang kau mau apa?

Cari Anakku di Alam Suratma, jaga dia baik-baik sampai aku menyelamatkannya.

Bagaimana jika dia sudah mati? Hahahaha.

Andis yang berada di alam bawah sadar kini membuka mata kanannya yang berwarna hitam dengan bola mata berwarna putih. Bodoh! Dia itu putraku loh! Mana mungkin dia mati semudah itu.

Baiklah, aku akan pergi mencarinya. Selamat tinggal, pria membosankan!

Sebuah bola api terbang dari tubuh Andis dan menembus atap rumah Dirga. Tentu saja, Dirga dan Deva melihat bola api itu, tetapi tidak dengan yang lainnya. Mereka tak dapat melihat sesuatu yang astral.

Andis kini membuka kedua matanya dan menatap ke arah Nada. "Enggak perlu khawatir, Harits itu cowok yang kuat, dia akan baik-baik aja kok." Andis berdiri menatap Tama.

"Anak lu, manis juga, Tam," ucap Andis sambil tersenyum. "Udah pasti kan, Harits bakal ngelindungin gadis semanis ini, biar senyumnya enggak luntur."

"Siapa nama kamu?" tanya Andis pada Nada.

"Na-nada," jawab Nada agak malu karena dipuji sebagai anak manis oleh Andis.

"Kamu jangan merasa bersalah, tenang aja. Serahkan semua sama orang-orang dewasa ya," ucap Andis sambil tersenyum.

Andis berbalik arah dan berjalan menuju pintu. Raut wajahnya berubah menjadi pria yang tak lagi gemar bercanda.

"Mau ke mana, Dis?" tanya Tama.

"Udah pasti, kan. Nyari jagoan," jawab Andis sambil berjalan keluar ruangan.

Dirga menepuk pundak Tama. "Lu di sini aja ya," tutur Dirga sambil melirik Ajay yang tengah duduk bermeditasi.

"Gua sama Tirta mau jalan-jalan malem." Dirga dan Tirta berjalan keluar ruangan mengikuti Andis, sementara Tama dan Ajay berada di ruangan itu.

Tama menatap Ajay yang sedang melakukan perjalan astral menggunakan rohnya. Sepertinya ia mengikuti bola api yang sempat keluar dari tubuh Andis.

"Kamu istirahat gih. Untuk sementara ini, Ayah enggak bisa pulang ke rumah," ucap Tama pada putrinya.

Nada hanya mengangguk sambil menatap Ayahnya yang terlihat letih. Ia berjalan keluar ruangan.

"Jangan bertindak bodoh," tutur Kevin yang bersandar di luar dinding ruangan meeting.

Nada agak terkejut mendapati Kevin yang berada di sana. "Kamu kok ada di sini?" tanya Nada heran.

"Barusan Tantra rapat kecil. Kita udah tahu tentang kasus ini berdasarkan cerita Deva. Aku yakin, kamu sekarang mau sok-sokan ikutin orang-orang Mantra itu, kan? Buat nyari temen kamu yang hilang? Karena kamu merasa bersalah."

"Chandra nyuruh kita buat enggak bergerak dulu," lanjut Kevin.

Nada hanya diam sambil menatap lantai.

"Tapi kalo kamu emang merasa sebersalah itu, aku bisa bantu kamu."

"Berarti kamu ngelanggar perintah Chandra dong?" tanya Nada.

Kevin hanya tersenyum. "Aku yang berhak menentukan apa yang akan aku lakukan. Bahkan keluargaku enggak punya hak menentukan masa depanku. Apa lagi Chandra."

"Jadi--mau bergerak sekarang, atau nunggu perintah Tantra?"

"Aku enggak tahu di mana dia sekarang, dan apa dia baik-baik aja. Aku enggak mungkin nunggu, karena aku khawatir. Aku mau bergerak nolongin temen aku, sekarang," jawab Nada dengan mata yang penuh keseriusan, sambil menatap kedua tangannya yang berbalut sarung tangan hitam.

Kevin hanya tersenyum. "Oke, kita bergerak sekarang. Tim ini cuma kita berdua. Aku berharap kalo ada keadaan yang berbahaya, kita mundur!"

"Setuju."

* * *

Sementara itu Harits baru saja terbangun, setelah tak sadar beberapa waktu. Ia merasakan sesuatu yang basah menyentuh lengannya.

"Darah? Darah siapa ini?" tuturnya sambil berusaha untuk duduk.

"Aaargh! Sakit!" pekiknya sambil memegangi lengan kirinya yang patah akibat benturan kecelakaan.

Namun, ia lebih memilih untuk menutup hidungnya, ketimbang memegangi lengannya yang terluka. "Bau anyir apaan ini? Nyengat banget!" gumamnya.

Harits yang sudah mendapatkan seluruh kesadarannya kini menatap sekelilingnya. Banyak tulang benulang dan juga genangan darah. Tempat itu asing. Langitnya berwarna merah saga, banyak burung pemakan bangkai yang terbang mengitari langit.

"Tempat apa, ini?"

Harits merasakan keberadaan seseorang, ia menoleh ke arah tempat yang sangat gelap. Tempat ini memang gelap dan berkabut, tetapi tempat itu lebih gelap dan tak terlihat apapun, mungkin karena kabut yang terlalu tebal. Hanya sedikit suara kekehan yang mampu Harits dengar.

"Siapa itu?!"

Biadab! Apa itu si berengsek yang membawa gua ke sini?

"Yo, Bocah," ucap suara itu pada Harits.

"Siapa di sana?! Tempat apa sebenarnya ini?" balas Harits dengan nada yang agak tinggi.

Kabut yang menyelubungi tempat itu mulai menghilang. Terlihat jelas mata merah menyala dari balik kabut gelap itu.

"Mau ku bantu, keluar dari sini, Bocah?" 

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top