27 : Sebelum Ombak Menerjang
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.
Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.
.
.
.
Deva dan Melodi tiba di sebuah kafe yang terletak di daerah Dago. Mereka duduk bersebrangan dan tidak berbicara sedikit pun.
"Ekhm ...." Deva berpura-pura batuk untuk menarik perhatian Melodi, tetapi gadis itu tak menoleh sedikit pun, ia hanya melamun menatap keluar jendela.
"Mel, Melodi," panggil Deva kembali.
"Eh, iya." Melodi tersadar dari lamunannya.
"Kenapa ngajak ketemu? Tumben. Hmm ... ini mungkin kali pertama kita--ketemuan kayaknya," ucap Deva.
Sejujurnya Melodi hanya suntuk berada di rumah, dan lagi, ia ingin bertanya tentang pertemuan Deva bersama dengan Nada tempo hari lalu. Namun, niatnya berubah, sekarang mood nya kurang enak membahas tentang Nada dan sesuatu yang berusaha ia sembunyikan dari Melodi.
Mulut Melodi agak terlihat gagap, ia memikirkan alasan mengapa ia mengajak Deva untuk bertemu.
"Kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Deva kembali.
"Enggak apa-apa kok," jawab Melodi.
"Ah--berarti ada apa-apa. Kenapa sih?" balas Deva.
"Serius enggak ada apa-apa, Deva." Melodi menyandarkan kepalanya di atas meja sambil menatap keluar jendela.
"Yaudah kalo enggak mau cerita, enggak apa-apa." Deva beranjak dari duduknya. Ia berjalan menuju bar untuk mengambil daftar menu.
Sebuah alunan gitar mulai mengisi tiap sudut ruangan yang terasa hampa ini. Mungkin karena menyukai petikan gitar bergaya jazz itu, Melodi merasa tertarik dan mengangkat kepalanya, lalu menoleh ke arah spot kecil yang disediakan kafe untuk bermusik.
Pria berambut agak gondrong dengan kaus putih long sleeve bermain gitar sambil menatap ke arahnya. Begitu Melodi menatap kearahnya, pria itu mendekatkan bibirnya dengan mikrofon.
"Ku awali hariku dengan mendoakanmu, agar kau selalu sehat dan bahagia di sana. Sebelum kau melupakanku lebih jauh, sebelum kau meninggalkanku lebih jauh."
Melodi menggelengkan kepalanya sambil menutup mulutnya yang hampir tertawa menatap pria itu.
"Ku tak pernah berharap kau 'kan merindukan, keberadaanku yang menyedihkan ini. Ku hanya ingin bila kau melihatku, kapanpun, di manapun hatimu 'kan berkata seperti ini."
Melodi meletakkan sikunya di atas meja sambil tangannya menopang kepalanya yang sedang menatap penampilan pria itu, masih dengan senyum manisnya.
Pria itu beranjak dari duduknya dan berjalan kearah Melodi.
"Pria inilah yang jatuh hati padamu, pria inilah yang 'kan selalu memujamu."
"A-ha, yeah, a-ha, yeah," sambut Melodi sambil menatap pria yang kini sudah berada tepat di hadapannya sambil bermain gitar. "Begitu Deva coba menghiburku."
"Gimana, udah merasa lebih baik?" tanya Deva yang menghentikan permainan gitarnya.
"Belum," jawab Melodi.
"Belum sampe reff sih." lanjutnya.
"Mungkin kau takkan pernah tahu. Betapa mudahnya kau untuk dikagumi." Deva melanjutkan lagunya.
"Na-na-na-na-na-na-na," balas Melodi.
"Mungkin kau takkan pernah sadar. Betapa mudahnya kau untuk dicintai."
"Asik!" Melodi mengacungkan jempol andalan keluarganya.
Sorak-sorak dan tepuk tangan tertuju untuk Deva, dari beberapa pengunjung dan para pegawai yang menikmati penampilan Deva barusan.
"Keren ga?" tanya Deva pada Melodi.
"Keren, keren, keren," balas Melodi sambil tersenyum.
"Duh melting, dipuji anak musisi ternama," balas Deva sambil melempar senyum pada Melodi. "Gitu dong, senyum."
"Oh iya, mau pesen apa?" tanya Deva.
"Milkshake Vanilla," jawab Melodi.
"Yaudah, tunggu sebentar ya." Deva berjalan untuk meletakkan gitar yang ia bawa ke tempat asalnya. Lalu ia berjalan ke bar untuk memesan menu.
Deva tak mengatakan pada Melodi, bahwa kafe ini merupakan tempat langganannya untuk tampil bermusik. Seluruh pegawai mengenal baik Deva, begitupun sebaliknya.
"Pacarnya, Kang Dev?" tanya salah seorang pegawai.
"Ngawur! Bukanlah."
"Cantik loh, Kang. Cocok sama, Kang Deva."
Deva membalasnya dengan gelengan kepala, sambil berjalan kembali ke mejanya, ia menatap Melodi yang sedang memainkan ponselnya.
"Ayah sama Ibu sehat?" tanya Deva.
Sontak Melodi menoleh ke arahnya. "Alhamdulillah. Eh iya--katanya mau ke rumah buat belajar gitar sama Bunda? Enggak jadi?"
"Belum sempet sih, maklum. Orang sok sibuk."
"Oh iya, Dev. Ngomong-ngomong enggak ada yang mau kamu bilang ke aku gitu?"
Melodi berharap Deva dengan sendirinya, menceritakan ada urusan apa antara ia dan Nada.
"B-bilang apa tuh?" Namun, nytanya ... Deva salah mengartikan kode tersebut.
"Ya, enggak tau. Kali aja gitu ada yang mau kamu omongin," lanjut Melodi.
"A-a-ada sih ...." Deva menggaruk kepalanya. Ia terlihat gugup.
"Apa?" tanya Melodi sambil menatapnya.
Entah, saat itu Deva menatap melodi juga, mereka berpandangan cukup sama. Ia merasa bahwa Melodi benar-benar cantik hari ini.
"Tapi enggak sekarang," balas Deva sambil membuka ponselnya dan menatap layar wallpaper untuk mengalihkan pandangannya yang terlanjur terpana. "Nanti aku kasih tau, tapi enggak sekarang."
"Oh, oke." Melodi melirik ke arah meja dan tak membahas lagi tentang hal yang mengganjal hatinya.
* * *
Beberapa jam berlalu, Deva mengantar Melodi kembali ke rumah, tetapi kini rumah Melodi terlihat sangat ramai. Bahkan ada mobil Dirga di sana.
Ayah ngapain? batin Deva.
Melodi langsung turun dari motor dan berjalan agak cepat, masuk ke dalam rumahnya. Sementara Deva menunggu di luar. Ia tak sengaja menangkap Tama dan Dirga yang sedang berbincang di pinggir kolam. Deva berniat untuk menghampiri Ayahnya, dan turun dari motor untuk sekadar bertanya, sedang apa bliau ada di sana.
Sementara Melodi yang masuk ke dalam rumah, kini menatap Nada yang penuh dengan luka, walau bukan luka yang serius.
"Nada!" Ia berlari ke arah Nada yang sedang duduk dan mendapatkan pengobatan dari Aqilla.
"Nada, kamu kenapa?!" tanya Melodi khawatir.
Nada tak menjawab, ia hanya memeluk Melodi dengan erat.
"Bunda, Nada kenapa? Si topi biru ke mana?" Melodi mencoba mencari keberadaan Harits, tetapi ia tak bisa temukan sosok pria aneh bertopi biru itu.
"Harits diculik," ucap Nada sambil tersedu-sedu dan merasa bersalah.
"Hah?! Diculik?"
* * *
Ketika Deva mendekat, tiba-tiba langkahnya berhenti ketika melihat seseorang lagi di antara Dirga dan Tama. Pria berpakaian detektif yang tampak sedang berpikir. Ia tak memiliki lengan kiri.
"Jalur itu emang jalur rawan, makanya agak sepi soalnya masih panas banget kejadian laboratorium yang hilang itu," tutur pria lengan satu itu pada Tama dan Dirga.
"Terus, apa ada sangkut pautnya, sama kasus ini?" tanya Dirga.
"Secara, walau pun sepi, tapi di sana banyak polisi yang bolak-balik buat investigasi. Agak mustahil kalo ada begal dan sejenisnya."
"Oh iya--ada yang menarik dari hasil investigasi beberapa hari terakhir," lanjut pria itu.
Tama menatap serius ke arah pria itu.
"Laboratorium itu lagi melakukan sebuah eksperimen ilegal, dengan manusia sebagai objeknya. Dan nama projek ini pasti enggak asing di telinga kalian."
Dirga dan Tama semakin fokus menatap pria itu. Begitu juga dengan Deva yang semakin tajam pendengarannya untuk menguping.
"Namanya adalah Projek Suratma--" Pria itu menghentikan ucapannya dan menatap ke arah dinding tempat Deva bersembunyi.
"Ada apaan?" tanya Dirga.
Pria itu hanya memberikan isyarat untuk diam sejenak. Ia berjalan menghampiri dinding yang berada tak jauh dari posisinya.
Pria itu dengan cepat menyergap Deva, tetapi rupanya bocah itu sudah tak lagi berada di sana. Ia sudah pergi sesaat sebelum pria itu menghentikan perkataannya.
"Ada siapa, Tir?" tanya Dirga.
Tirta menoleh ke arah Dirga sambil tersenyum. "Enggak ada siapa-siapa. Mungkin cuma perasaan gua aja." Ia kembali berjalan menuju kedua rekannya.
"Dan setelah Dharma menadapat informasi tentang projek Suratma, tentunya kami mempelajari tentang seluk-beluk Alam Suratma. Bahkan menemukan sebuah fakta yang baru aja terkuak," lanjut Tirta.
"Beberapa bulan sejak kematian Uchul, ada sejumlah orang yang membongkar makamnya dan memindahkan jenazah Uchul. Cara main mereka bersih, tanpa jejak. Terbukti, setelah belasan tahun, ini semua baru terkuak. Udah berapa tahun mereka menyembunyikan bau busuk itu?"
"Maksud lu apa? Dan siapa yang berani-beraninya gali kuburan Uchul?" tanya Dirga yang mulai terlihat tak lagi santai. Tangannya terkepal menahan emosi.
"Pemerintah?" ucap Tama sambil memegang dagunya.
"Tentu saja hal sedetail ini hanya bisa ditutup oleh badan yang lebih berkuasa," jawab Tirta sambil menatap Tama. "Menghilangnya sebuah bangunan milik pemerintah dan juga semua orang yang berada di dalamnya--menurut kalian, ke mana perginya semua itu hanya dalam satu malam?"
"Suratma total ...," ucap Dirga lirih.
"Jika benar begitu--semua rangkaian peristiwa ini merupakan sebuah pesta," timpal Tirta.
"Pesta apa?" tanya Dirga.
"Kelahiran pemilik Mata Suratma baru."
"Tam, telpon Andis. Gimana pun juga, ini menyangkut Uchul dan kemungkinan besar, anaknya juga terlibat dalam insiden projek Suratma. Kita enggak tahu apakah si pengguna mata suratma ini ada di dunia, atau di Alam Suratma. Yang jelas, kita butuh Andis ...."
Belum juga Dirga selesai berbicara. Telpon Tama berdering, bertanda sebuah panggilan masuk. Nomor tak dikenal menghubunginya. Dirga mengisyaratkan Tama untuk mengangkat telponnya.
"Halo selamat malam, dengan, Bapak Tama?"
"Halo, selamat malam. Ya, saya sendiri," ucap Tama membalas orang dibalik telpon. "Maaf, ini siapa ya?"
"Parah, Bapak Tama sombong ya sekarang. Nomor saya saja tidak disave," tutur orang dibalik panggilan.
Tama mematikan telponnya karena ia merasa itu bukanlah hal yang penting, tetapi nomor itu menelpon kembali.
"Angkat aja lagi, Tam," ucap Dirga.
Tama mengangkat telpon, tetapi kali ini ia menggunakan mode loudspeaker agar semua bisa mendengar suara orang iseng ini.
"Parah baper! Ini gua woy, masa lupa," ucap orang itu. "Ajay! Masa lupa sih? Sadis! Gua baru mendarat di Jakarta nih. Rumah lu di mana sekarang?"
Tama tersenyum, begitu juga Dirga dan Tirta. Dirga mengambil ponsel di tangan Tama. "Yo, Bastard! How are you?"
"Buy one ticket to Bandung, and let's party together!"
.
.
.
T B C
.
.
.
"Halo! Ini siapa dah kok ngomongnya bahasa Inggris? Salah sambung ya?"
Dirga, Tirta, dan Tama memasang wajah datar. "Ini Dirga, udah buruan ke Bandung sekarang juga. Ada kerjaan buat lu."
"Kok gua jadi nelpon lu sih, Dir?"
Dirga mematikan panggilan Ajay.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top