23 : Interogasi
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.
Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.
.
.
.
Malam menjadi saksi, dua muda-mudi yang sedang berboncengan di motor itu sedang menikmati indahnya kota Bandung.
"Aku ngantuk, tidur sebentar ya," ucap Nada yang langsung memasukkan tangannya ke kantong jaket milik Faris dan meletakkan pipinya di punggung pria itu.
"Eh! Jangan gitu, nanti jatoh!" Balas Faris yang langsung menepikan motornya.
"Jatoh hatiiiii," balas Nada sambil terkekeh.
"Nada, serius! Nanti kalo jatoh gimana? Kamu duduk di depan aja deh kayak anak kecil. Biar aku bisa nahan kamu supaya enggak jatoh," gumam Faris.
Nada menjitak kepala Faris. "Nanti kamu enggak bisa ngelihat jalan dodol! Malah jatuh kita berdua."
"Seenggaknya kita terjatuh bersama," balas Faris sambil terkekeh.
"A-apa sih, aneh! Udah yuk ah jalan. Aku cuma bercanda tadi!" ucap Nada sambil memalingkan wajahnya yang merah.
Mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di rumah Nada.
"Kamu mau langsung pulang?" tanya Nada.
"Iya nih, udah malem. Ibu juga kayaknya udah pulang." Faris kembali menyalakan motornya, ia langsung pergi setelah berpamitan dengan Nada.
Sesampainya ia di rumah, Faris langsung memarkirkan motornya dan hendak berjalan masuk, tetapi langkahnya terhenti ketika seseorang menepuk pundaknya. Ia menoleh dan mendapati pria bertopeng yang sedang mencengkeram pundaknya. Pria bertopeng itu memukul tengkuk Faris, membuat Faris yang baru saja tiba di rumahnya itu tak sadarkan diri.
* * *
Pengelihatannya agak buram, Faris mencoba mengingat apa yang terjadi, sambil ia mencoba melihat sekelilingnya.
"Udah sadar?" tanya seorang pria bertatapan dingin yang duduk di hadapannya.
"Siapa?" Faris memejamkan kedua matanya dan membukanya kembali. Perlahan, pandangannya mulai fokus kembali.
Faris memicingkan matanya menatap pria yang berada di hadapannya sekarang. Orang itu adalah pria yang pernah ia temui di acara ulang tahun Melodi dan Nada.
Chandra menatap mata Faris, mata mereka saling bertatapan.
"Apa tadi--lu yang ada di balik pintu? Nguping semua pembicaraan yang ada di dalam ruangan ini? Jawab." tanya Chandra.
Tatapan Faris kosong. "Iya," jawab Faris.
"Bener, kan. Enggak mungkin gua salah denger," gumam Rava.
"Apa yang lu denger ketika lu menguping pembicaraan itu? Jawab." tanya Chandra lagi.
"Enggak ada," jawab Faris.
"Hah? Kok enggak ada? Kan--dia nguping ...."
"Rav, tenang dulu," tutur Kirana. "Chandra enggak mungkin meleset."
"Terakhir," ucap Chandra lagi. "Ke mana lu, waktu salah satu rekan kami datang buat mencari keberadaan lu waktu itu? Seketika itu, keberadaan lu ilang gitu aja? Jawab."
"Masih ada di sana," jawab Faris.
Masih ada di balik pintu?
Chandra memicingkan matanya. "Apa lu sendiri? Jawab."
"Berdua," jawab Faris.
Seluruh anggota Tantra menoleh ke arah Chandra yang tampaknya serius bertanya. Tak seperti biasanya. Ketika Chandra berkata 'pertanyaan terakhir' seharusnya ia benar-benar melontarkan satu pertanyaan terakhir, tetapi kali ini ia masih melanjutkan pertanyaannya.
Apa orang yang satunya punya kemampuan supranatural?
"Siapa yang ikut sama lu? Jawab," tanya Chandra.
"Melodi Regita Mahatama," jawab Faris.
Chandra menoleh ke arah Deva. "Gua yakin banget, kalo cuma satu di antara dua kembar ini yang nurunin kemampuan Tama," tutur Chandra yang mengenal nama tersebut.
Chandra beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah Deva. Mata mereka bertatapan. "Melodi itu, cewek yang lu suka kan? Jawab."
Tatapan Deva kosong. "Iya."
Namun, Deva tiba-tiba saja melesatkan tangannya ke arah mulut Chandra dan mencengkeram rahangnya dengan kuat. "Udah jadi aturan kita, kan. Buat enggak menggunakan kemampuan kita ke sesama anggota?!"
"Ini urgensi. Taruhannya eksistensi." Chandra menendang perut Deva dengan lututnya, hingga membuat Deva tersentak mundur.
"Apa lu, mencoba nolongin cewek itu?" Chandra menatap tajam ke arah Deva.
"Enggak ada siapa-siapa di balik pintu, Chan!" ucap Deva dengan nada yang agak tinggi. "Tadi itu bener-bener enggak ada siapa-siapa, termasuk orang yang lagi kita interogasi sekarang."
"Cukup!" ucap Kevin secara mendadak. Membuat semua menoleh ke arahnya. "Orang ini bilang dia enggak mendengar apa-apa, kan? Yaudah kelar dong. Dia, enggak denger! Selesai."
"Chan, ini bakal jadi urgent, kalo seumpama orang itu, tahu tentang kita." Kevin menunjuk Faris yang hanya diam dan menyimak. "Dan ternyata, dia enggak tahu tentang kita nih, tapi sekarang dia malah jadi tahu sendiri gara-gara kita begini."
"Ah, my bad," gumam Chandra sambil menatap langit-langit.
"Sorry, Dev," ucap Chandra pada Deva.
"Gua juga minta maaf, Chan," balas Deva.
Chandra menatap Faris kembali. "Sorry juga ya, Bro. Ini cuma antisipasi aja, takutnya lu tahu rahasia kita," ucap Chandra.
"Lu pada ngomong apaan sih?" tanya Faris heran.
"Setelah keluar dari ruangan ini, lu bakal ngelupain apa yang terjadi di sini," ucap Chandra.
"Berapa menit yang lu butuhin buat sampe ke rumahnya, Dev?"
"Tujuh menit kayaknya," jawab Deva.
Chandra kembali menatap Faris yang tatapanyna kosong. "Sepuluh menit dari sekarang--lu bakal sadar kembali, dan ngelanjutin aktivitas lu sesaat sebelum lu dibawa ke sini."
* * *
Faris kembali tersadar dari lamunannya. Ia berdiri di depan pintu rumahnya, menatap sekelilingnya seperti orang ling lung.
"Gua mau ngapain ya tadi?" gumamnya sambil menggaruk kepalanya.
Tak ambil pusing, Faris segera masuk ke dalam rumahnya. Sementara Deva yang berada tak jauh dari sana, kini berjalan sambil mengambil sebungkus rokok dari saku celananya.
Deva memasukkan rokok itu, tanpa membakarnya. Tertulis Martawangsa Candy di bungkus rokoknya.
"Ah salah ambil. Ini rasa mangga," gumam Deva yang mengeluarkan rokok di mulutnya dan menatap bungkusnya.
Ketika ia berjalan melewati rumah Tama, Deva terdiam beberapa saat sambil menatap rumah itu. Terlintas senyum Melodi di benaknya.
"Chandra sialan!" gumam Deva yang terkena efek mata penguasa milik Chandra, Sang penerus Yudistira. Siapa pun yang menatap matanya, maka wajib untuk mengikuti semua perintah yang keluar dari mulutnya, termasuk menjawab pertanyaan.
Deva tak ingin memusingkan hal itu, ia kembali berjalan pulang menuju rumahnya. Ia bisa saja menggunakan Tumenggung dan tiba di rumahnya lebih cepat, tetapi ia memilih untuk berjalan pelan di bawah sinar bulan, menikmati sejuknya angin malam.
* * *
Di salah satu laboratorium rahasia milik Negara yang terletak di Lembang, Bandung. Seorang pria tua menyuntikkan serum pada seorang anak SMA.
Banyak mayat anak SMA yang tergeletak di lantai, anak-anak ini adalah para generasi rusak, yang mayoritas adalah geng motor dan anak-anak yang melakukan tindak kriminalitas.
"Eksperimen 65 gagal," tutur pria muda dengan kacamata bundar dengan jas berwarna putih.
"Susah juga ya, nyari wadah yang tepat," ucap pria tua yang merupakan pimpinan laboratorium.
"Next, eksperimen 66," lanjut pria tua itu.
Seorang pria muda dengan sorot mata yang tajam masuk ke dalam ruangan minimalis yang agak berbau anyir. Ia dipegangi oleh dua orang dewasa, dan diletakkan di atas kasur berwarna putih ke merah-merahan dan diikat menggunakan tali yang sudah tersedia di sana.
"Bangsat! Lepasin! Tolong!" teriaknya ketika melihat pisau bedah di tangan seorang pria berjas putih.
"Aaaaaaaaaa!"
Mereka melakukan operasi secara brutal pada anak itu dan menyuntikkan sebuah serum padanya. Terlihat, anak itu yang masih bernapas setelah eksperimen berakhir.
"Hahahaha akhirnya! Akhirnya kita menciptakan manusia super!"
"Dunia akan berubah!" sambungnya lagi sambil menyeringai.
* * *
Keesokan harinya, sebuah berita muncul. Sebuah berita yang sangat menggemparkan warga Bandung dan juga Indonesia. Bahwa salah satu bangunan milik Negara tiba-tiba saja lenyap dalam satu malam. Seluruh bangunan dan orang yang berada di sana, semua menghilang tanpa jejak.
"Ih serem banget! Pasti ini ulah alien!" tutur Nada.
"Enggak ada yang namanya alien, Nada!" balas Melodi.
"Kita cuma belum tahu, Melo!"
"Makanya belajar, jangan kebanyakan nonton film, Nad." Melodi beranjak dari ruang keluarga dan berjalan menuju kamarnya sembari memainkan ponsel genggamnya.
Aku udah belajar! Tapi kapasitas otak kita aja yang beda. Iya, aku bodoh. Kamu pinter! batin Nada dengan wajah sendu.
Aqilla menatap putrinya yang duduk di depan televisi, tetapi seperti melamun dan tak memperhatikan acara yang ada di sana. Ia mengambil inisiatif untuk menghampiri Nada.
"Jangan diambil hati. Melodi cuma bercanda," tutur Aqilla. "Kan liburan sekolah udah tiba nih, gimana kalo kita rencanain agenda liburan ini?"
"Oh iya, ya! Ayok, Bunda. Kita bikin rencana liburan!"
Nada mengambil kalender dan pensil. Ia juga mengambil buku catatan, selain itu, Nada juga membuka aplikasi mobile untuk melihat beberapa pilihan yang akan menjadi destinasi liburan mereka sekeluarga untuk dicatat dan dirembukkan bersama Melodi dan Ayah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top