22 : Terbakar Api Cemburu

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

"Singkatnya--kekuatan ada untuk melindungi yang lemah. Semakin besar kekuatan, maka semakin besar tanggung jawab yang orang itu miliki. Dengan kemampuan kita semua, kita bisa membantu banyak orang. Dengan psikometri, kamu bisa banyak memberikan dampak positif untuk orang lain. Jadi, kami cuma memastikan aja ...."

"Apakah kamu siap? Menjadi salah satu dari kami dan memanfaatkan psikometri menjadi sesuatu yang berguna untuk orang di sekitar kamu? Kami engga memaksa, pilihan itu ada di tangan kamu sendiri."

"Selamat memlilih," lanjut Surya sambil tersenyum.

* * *

Rava berjalan keluar, ia memberikan tanda pada Kevin.

"Engga ada," ucap Kevin. "Abis si Deva bilang engga ada siapa-siapa, gua udah cek area sini pake klervoyans gua, dan nihil, Rav."

Untuk wilayah yang sudah dihafal oleh Kevin, ia tak membutuhkan peta. Kecuali untuk menebak pergerakan, atau sebagai petunjuk, jika ia tak mengenali suatu daerah.

Rava kini benar-benar keluar ruangan. Ia ingin memastikan sendiri tentang apa yang ia dengar barusan. Suara pikiran seorang wanita yang agak terkejut mendengar kalimat psikometri.

"Kenapa dia kelihatan panik?" tanya Nada.

"Sejujurnya, jika orang lain mendengar ini. Entah, mereka bisa menganggap kita semua gila, atau mungkin iri terhadap kelebihan yang kita miliki," jawab Surya. "Dan ada banyak di antara kita yang menggunakan kelebihan ini sebagai sumber pendapatan."

"Bagus dong. Dia jadi punya penghasilan?" sambung Nada.

Deva mendekat ke arah Nada. "Kelebihan itu ada untuk menolong. Tanpa pamrih," tuturnya.

"Ya, dulu pernah ada salah satu anggota Tantra yang dikeluarkan, gara-gara penyalah gunaan kemampuan," sambung Kirana.

"Siapa?" tanya Nada sambil mengerutkan dahinya.

"Adalah pokoknya, kamu juga engga akan kenal. Intinya dia orang yang berbahaya."

Tak perlu waktu lama untuk Rava kembali. Ia tak menemukan seorang pun di luar.

"Nada, engga usah buru-buru ya. Santai aja. Kasih tau salah-satu di antara kita seandainya kamu minat bergabung dan mau untuk mengembangkan kelebihan kamu untuk sesuatu yang bermanfaat," ucap Surya.

"Mau," balas Nada.

Semua mata mengarah padanya. "Engga usah buru-buru, pikirin aja dulu baik-baik. Kita bicara tanggung jawab yang besar," lanjut Surya.

"Aku pikirin nanti aja. Intinya aku mau gabung."

Semua anggota Tantra tersenyum. Surya mengulurkan tangannya. "Yaudah kalo kamu dengan senang hati mau bergabung, kami semua seneng karena punya anggota kayak kamu."

Deva mengambil selembaran dan juga pena berwarna merah.

"Di setiap tempat punya aturan. Engga ada tempat yang bener-bener bebas aturan. Tantra juga punya aturan. Kamu baca aja dulu, terus tanda tangan di sini." Deva menunjuk bagian pojok kanan bawah kertas itu.

"Pertama, tidak boleh memberitahukan pada siapapun, tentang kemampuan dirimu sendiri."

"Kedua, dilarang keras membeberkan kemampuan anggota lain."

"Ketiga, disiplin harga mati!"

"Keempat, solidaritas di atas segalanya."

"Kelima, ikhlas menolong sesama."

"Keenam, dilarang menggunakan kemampuan untuk sesuatu yang merugikan diri sendiri, dan orang lain."

Menurut Nada, itu bukanlah suatu aturan yang keras. Ia menandatangani kertas itu.

* * *

Sementara itu, Melodi dan Faris berada di balik pintu. Melodi mengeluarkan darah dari hidungnya tiba-tiba saja kepalanya pusing.

"Mel, Melo! Kamu kenapa?" Faris menatap darah di hidung Melodi yang menetes ke lantai.

"Aduh, sakit banget kepalaku!" pekik Melodi sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya.

"Yaudah, kita pulang aja ya," ajak Faris. Melodi hanya mengangguk. Faris merangkul Melodi menuruni tangga. Ketika ia hendak mengambil motor.

"Lah, motorku mana?!" Motornya tak berada di tempat ia memarkirkannya.

"Kenapa, Ris?" tanya Melodi yang masih tampak tak sehat.

"B-bentar ya." Faris menatap bangunan yang berada di bawah markas Tantra. Ia berjalan masuk ke dalam warnet.

"Mang, lihat motor Absolut Revo warna hitam engga ya?" tanya Faris pada operator warnet.

"Wah, kurang tahu saya, Kang," jawab orang itu. "Di sini emang banyak curanmor, Kang. Udah beberapa kali kejadian."

Faris menggaruk kepalanya, ia membuka ponselnya, tak ada jaringan di sana. Ia juga sempat menatap jam tangannya, dan jarumnya bergerak maju mundur seperti rusak.

Ah elah, apes banget. Faris rasanya ingin menangis, mengingat orang tuanya susah. Ia merasa hanya menambah beban untuk Ibunya jika harus kehilangan motornya.

Melodi jangan sampe tau dulu deh, bisa merasa bersalah dia.

Faris kembali. "Mel, di warnet itu ada temenku tadi. Dia pinjem motorku, ada hal penting yang harus dia urus. Kita pulang naik angkot aja ya." Melodi hanya membalas dengan anggukan. Faris mengantar Melodi ke rumahnya menggunakan transportasi umum.

Melodi tampak lemas, rasanya matanya enggan untuk terbuka lebih lama lagi. Ia akhirnya memejamkan matanya dan bersandar di bahu Faris. "Mel, Melodi?" Faris menatap Melodi dan mencoba membangunkannya.

Hingga tiba di depan komplek rumahnya. Melodi tak kunjung sadar. Faris menggendongnya di pundak dan membawanya pulang. Tepat setelah itu, Melodi tersadar kembali. "Maaf ya ngerepotin kamu, Ris," tuturnya merasa tak enak pada Faris.

"Kamu beneran engga apa-apa? Aku jadi khawatir."

"Aku cuma capek aja, Ris." Melodi kembali memejamkan matanya.

Sesampainya di rumah. Aqilla dan Mbok Darmi agak terkejut melihat Melodi yang tak sadarkan diri, dan mengeluarkan darah dari hidungnya. Terutama Aqilla, ia mengingat gejala psikometri yang terjadi pada Nada.

Apa Melodi juga?

"Bunda, Ibu--Faris pergi dulu ya, mau ngambil motor. Tadi dipinjem temen."

"Oh, iya, Ris. Makasih ya udah bantuin Melodi," balas Aqilla.

"Sama-sama, Bunda."

Faris kembali ke warnet tempat ia kehilangan motornya.

Motor gua ke mana ini! Aduh, nasib gini amat dah ya.

Sesampainya ia di sana. Faris mencium aroma kopi dan roti bakar yang cukup menarik selera makanyannya.

Aromanya enak pisan euy! Jadi laper.

Faris terdiam beberapa saat. Ia berdiri dengan tatapan kosong. Rasanya--de javu.

Ia baru menyadari bahwa, toko yang berada di bawah markas Tantra itu adalah sebuah kafe, bukan warnet.

Tapi kok--tadi jadi warnet?

Faris tak mampu mencerna apa yang ia alami barusan. Jelas-jelas beberapa menit yang lalu, ia bertanya perihal motornya pada operator warnet. Faris menatap motornya yang berada di tempat yang seharusnya.

"Lah, itu motorku!" Faris sontak menatap jam tangan yang ia kenakan. "Serius?!"

Waktu baru berjalan sekitar lima belas menit dari kedatangan pertamanya di tempat itu. Tana pikir panjam, Faris masuk ke dalam kafe itu. Ia menghampiri seorang barista.

"Silakan, mau pesan apa?" tutur Barista itu ramah.

"Espresso double shot ya, Kang," ucap Faris.

"Oh iya, Kang. Mau tanya dong," lanjut Faris. "Di sini dulu teh--tempat apa ya? Sebelum jadi kafe."

"Wah, kurang tahu deh jelasnya, tapi kalo engga salah sih--warnet."

Faris mengerutkan dahinya, ia tampat memikirkan sesuatu.

"Faris," panggil seorang wanita yang baru saja masuk ke dalam kafe.

"Nada," balas Faris.

Setelah selesai dengan Tantra, Nada hendak pulang, tetapi ia ingin membeli beberapa minuman dan makanan untuk Melodi, Vian, dan Aqilla. Nada masuk bersama Kevin. Faris agak membuang muka setelah sesaat menatap Kevin dan Nada.

"Kamu ngapain, Ris?" tanya Nada.

"Jajan. Aku mau nyoba kopi di sini," jawab Faris. "Kamu ngapain? Abis pacaran? Bukannya masih sama, Beni?"

"Enak aja! Ini temenku, namanya Kevin. Vin, kenalin, ini Faris."

"Oh iya, Vin. Kamu duluan aja, aku pulang sama Faris aja, kebetulan rumah kita deketan," ucap Nada.

"Oh, oke. AKu duluan." Kevin langsung pergi meninggalkan Nada dan Faris.

"Engga apa-apa kan, aku--bareng kamu?"

"Itu temennya gimana? Pulang sendiri?" tanya Faris balik.

"Rumah dia agak jauh," jawab Nada.

"Cie perhatiannya, biar dia engga kejauhan nganter kamu," balas Faris.

Nada menatap Faris yang terlihat agak datar wajahnya, ia tak menoleh ke arah Nada saat berbicara. "Engga gitu!" balas Nada agak meninggikan suaranya. Sontak membuat Faris menoleh ke arahnya.

"Terus gimana? Kalo rumah dia deket sama rumah kamu gimana?" ucap Faris agak nyolot, ia terbawa suasana. "Kamu mah enak, udah kaya, cantik, di kelilingi orang ganteng--tinggal pilih mau yang mana."

Nada tak menjawab. Ia tiba-tiba saja berdiri, membuat Faris menoleh lagi padanya. Air matanya mengalir, Nada langsung pergi keluar kafe.

Sebuah tamparan bersarang di pipi Faris. Pria itu menampar dirinya sendiri.

Anjing! Ngomong apa gua barusan.

Faris meletakkan uang lebih, untuk pesanan Nada dan dirinya. Setelah itu ia berlari mengejar Nada.

"Nada! Tunggu!" teriaknya.

Nada makin mempercepat langkahnya. Tak mau tertinggal, Faris berlari semakin cepat.

"Nada!"

Ingin rasanya Nada berlari, tetapi ia tahu, bahwa ia takkan bisa pergi jauh. Fris menangkap tangan Nada dari belakang. "Nada, tunggu."

"Aku mau pulang, Ris. Ngantuk."

"Aku minta maaf ...," gumamnya lirih. "Kata-kataku--terlalu tajem tadi. Maaf ...."

"Udah, Ris. Aku mau pulang."

Plak!

Nada menoleh ke arah Faris. Pria itu lagi-lagi menampar dirinya sendiri.

Plak!

"Faris! Ngapain sih?!"

Plak!

"Faris! Udah!" Nada mencoba menghentikan tangan Faris yang sedang menampar wajahnya sendiri.

Faris menampar dirinya sendiri menggunakan tangan yang satunya.

"CUKUP!" Nada mendekap pria itu sambil menangis di dadanya. "Udah, Ris. Jangan gitu!"

"Ini engga seberapa, Nad. Beberapa menit lagi udah engga akan berasa lagi," tutur Faris. "Tapi perkataan yang aku lontarkan ke kamu--itu bisa membekas selamanya."

"Maaf udah nyakitin kamu. Aku--cuma cemburu." Faris membalas dekapan Nada. "Aku terlalu terbakar api cemburu, maaf karena udah cemburu."

"Kamu tau, kenapa aku lebih sering pulang bareng kamu, daripada sama Beni?"

Faris tak menjawab.

"Karena aku nyamannya sama kamu, Ris."

"Tapi kenapa malah jadian sama Beni?" tanya Faris.

"Waktu itu aku panik. Kamu deket sama Melodi, dan--aku cemburu. Entah, aku benci kalian berdua saat itu, dan Beni berusaha ada untuk aku."

"Lucu, ya?" Nada agak tersenyum. "Aku punya pacar dan saat ini malah meluk cowok lain."

"Sorry." Faris mencoba melepaskan Nada, tetapi gadis itu tak melepaskannya. Jari-jarinya menempel pada leher belakang Faris. Sarung tangannya tergeletak di tanah.

"Rupanya--engga ada yang lebih peduli sama aku, daripada kamu ya?" tutur Nada sambil tersenyum. Ia melihat kejadian-kejadian di masa lalu Faris, tepat ketika pertama kali mereka bertemu, hingga adegan terakhir mereka di parkiran sekolah, tetapi ada sesuatu yang aneh, beberapa memori Faris gelap, terutama memori yang baru saja terjadi. Seolah Faris tak memiliki kenangan beberapa jam yang lalu. Layar yang Nada saksikan sangalah gelap.

Keluar darah dari hidung Nada, kepalanya terasa sakit. Nada memegangi kepalanya.

Lagi? Faris memicingkan matanya, mengingat baru saja ia membawa Melodi pulang dengan kondisi yang serupa.

"Kamu kenapa?" tanya Faris khawatir.

Nada hanya menggeleng. Ia memungut kembali sarung tangannya dan mengenakannya kembali. "Oh iya, pesenan aku belum aku ambil di kafe!" seru Nada.

Mereka berdua kembali ke kafe untuk mengambil pesanan Nada, setelah itu mereka pulang mengendarai motor Faris.

Dari lantai atas, Chandra menatap motor Faris yang kian menjauh.

"Ada kotoran yang harus dibersihkan," tuturnya pada Deva yang berada di belakangnya.

Deva yang menggunakan topeng Tumenggung, dalam sekejap ia menghilang di tengah gelapnya malam.

* * *

Halo-halo, apa kabar nih?

Gimana-gimana? Kira-kira kotoran apa yang harus Tantra bersihkan ya?

Tetap stay tune ya di Keluarga Mahatama aja pokoknya!

Si Yu Neks Taim, Bai-bai~


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top