21 : Perkumpulan Orang Aneh

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Pagi ini begitu aneh untuk Melodi. Di dalam mobil, ia hanya menatap kedua tangan Nada yang berbalut sarung tangan hitam.

"Kamu kok jadi kayak Ayah beneran sih?" tanya Melodi yang heran.

"Biar keren," jawab Nada singkat, sambil melempar senyum.

Sejujurnya, ini terasa sangat aneh untuk Nada. Ia harus mengenakan sarung tangan untuk meredam kemampuannya. Karena, jika ia tak sengaja menggunakan kemampuannya, ia akan kelelahan.

Engga nyaman, batin Nada sambil menatap sarung tangan yang ia kenakan.

Apa Ayah selalu begini?

Mulai dari sekarang, ia harus terbiasa beraktivitas menggunakan sarung tangan. Sementara Melodi masih menatap Nada yang terlihat gelisah. Melodi menggenggam tangan Nada. "Kalo ada masalah, cerita ya," ucapnya sambil menyematkan senyum pada Nada.

"Iya," jawab Nada sambil melempar senyum kembali pada Melodi.

Mereka akhirnya tiba di sekolah. Seperti biasa, Tama segera berangkat ke studionya bekerja setelah mengantar anak-anaknya.

Mobil Tama berhenti di sebuah gedung yang hanya berkisar kurang lebih dua puluh menit dari sekolah Melodi dan Nada. Tama langsung menuju ruangannya dan menyalakan AC. Seperti biasa, ia duduk sambil mendengarkan musik klasik dari komputernya yang baru saja menyala.

* * *

Sementara itu, Aqilla baru saja pulang mengantar Vian ke sekolah. Kini Ibu rumah tangga itu pergi ke Mang Asep, tukang sayur keliling yang biasa mangkal tak jauh dari rumahnya.

"Eh, ada, Teh Aqilla," goda Mang Asep.

"Giliran yang seger aja, digodain! Dasar idung belang!" ledek ibu-ibu lain yang sedang membeli sayur juga.

"Biarinlah, Teh Aqilla mah masih cantik. Kulitnya putih, rambutnya wangi, bajunya rapi, masih kenceng. Perawatannya rajin. Emangnya situ? Keriput, julid, tukang gosip," balas Mang Asep.

Aqilla hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Ia memilih beberapa sayur dan langsung membayarnya. Setelah itu, Aqilla langsung pulang ke rumah. Ia masuk ke ruang studio milik Tama dan menyalakan lampu.

Studio ini memiliki banyak fungsi. Selain bisa menjadi studio untuk Tama bekerja, rupanya studio ini memiliki peredam untuk meminimalisir suara keluar. Aqilla menyalakan penerangan dan melakukan record video menggunakan kamera. Aqilla duduk sambil mengambil gitar, ia mulai merekam dirinya sendiri yang bernyanyi sambil memainkan gitar.

Setelah selesai, Aqilla melihat hasilnya. Setelah ia rasa puas dengan hasilnya, Aqilla meninggalkan kamera di samping monitor Tama. Ia mengambil ponselnya dan memberikan pesan singkat pada Tama.

* * *

Tama yang baru saja selesai meeting bersama rekan-rekannya, langsung melihat pesan yang baru saja masuk di ponselnya.

Setelah membalas pesan, Tama langsung berjalan menuju salah satu visual artist nya.

"Lif, nanti untuk desain karakternya--kamu buat semi realis ya."

"Siap, Pak," balas Alif selaku visual artist.

"Untuk background music nya, kamu buat santai aja ya, Zul. Ala-ala musik-musik kafe aja," lanjut Tama Pada Zulkifli, selaku sound engineer.

"Gimana, masih ada bug diprogram, Yan?" tanya Tama pada seorang pria berambut agak berombak yang sedang duduk sambil mengutak-atik komputernya.

"Udah beres semua, Pak. Tinggal nunggu asset masuk aja, baru nanti dicek ulang," jawab Alfian, selaku programmer.

"Kalo gitu, kamu siapin yang kurang-kurang ya, Bil," ucap Tama pada satu-satunya gadis di tim itu.

"Siap, Pak Bos!" balas Nabila.

Tama melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruangan. Sejujurnya, ia masih memikirkan Nada dengan psikometrinya.

Semoga Nada engga kenapa-napa, batinnya khawatir.

* * *

Bel pulang sekolah berbunyi, seluruh siswa dan siswi keluar kelas mereka masing-masing. Nada dan Faris berjalan di koridor, sementara tanpa mereka sadari, Beni mengawasi mereka sambil duduk bersama teman-temannya.

"Pacar lu makin ke sini, makin sering bareng si kunyuk, Ben," ucap salah satu temannya.

"Harus diberi pelajaran," lanjut temannya yang berambut keribo.

"Udah waktunya bikin dia keluar dari sekolah," timpal Ben sambil menyeringai.

Sementara itu seorang pria berkulit putih duduk di atas motornya yang berada di depan gerbang sekolah Nada. Ia duduk sambil memperhatikan google maps di layar ponselnya. Pria itu tiba-tiba turun dari motornya dan berjalan masuk ke dalam sekolah, ia berkata pada satpam bahwa ia menjemput seseorang dan hendak mencarinya di dalam.

Sambil memperhatikan layarnya, ia berjalan hingga berada di parkiran sekolah. Nada menatap pria itu, sambil pria itu menatapnya balik.

"Kevin?" ucap Nada sambil melempar tatapan bingung.

"Engga usah bingung. Gampang buat aku, nemuin posisi orang," jawab Kevin. "Aku ke sini nyari kamu."

Faris baru saja mengeluarkan motor. Ia menatap Kevin yang sedang berbicara dengan Nada. Bukan kali pertama Faris melihat pria itu, mereka pernah bertemu di resto milik keluarga Martawangsa, ketika Nada dan Melodi berulang tahun.

"Mau ngapain?" tanya Nada.

"Ada sesuatu yang harus kamu tau, tapi ga di sini," jawab Kevin.

"Ayo, pulang ga?" Faris tiba-tiba saja hadir di antara mereka.

Nada bingung, sejujurnya ia ingin pulang bersama Faris, tetapi sepertinya apa yang ingin Kevin bicarakan sangatlah penting. Bagaimana tidak? Pria itu sampai repot-repot datang ke sekolah hanya untuk bertemu Nada.

"Aku ada urusan dulu sama Kevin, kamu duluan aja deh, Ris," jawab Nada.

"Hmm ... oke."

Faris meninggalkan mereka berdua, tetapi baru saja ia melewati pagar sekolah, Melodi menghentikannya. "Temenin sebentar ya, Ris. Please ...," pintanya lembut.

"Mau ke mana?" tanya Faris.

Melodi hanya menunjuk ke arah Nada yang naik ke atas motor Kevin.

"Kita intilin mereka," ucap Melodi.

Kevin dan Nada tancap gas, sementara Faris dan Melodi mengikuti mereka. Hingga Kevin dan Nada sampai di sebuah kafe bernuansa old skool. Kevin dan Nada tak masuk ke kafe, melainkan mereka menaiki tangga yang berada di sebelah kafe, menuju lantai atas. Setelah Nada dan Kevin menghilang, Faris dan Melodi naik ke atas untuk mengikuti mereka.

Nada terdiam menatap keempat orang lagi yang berada di sana, termasuk Deva. Nada menatap tajam ke arah pria dengan rambut agak berombak yang mengenakan jaket parasut tebal.

Orang ini berbahaya, batin Nada yang merasakan aura mencekam dari orang itu.

"Dia engga bahaya kok. Santai aja," ucap Rava sambil tersenyum.

Nada memicingkan matanya mendapati Rava yang mengetahui isi pikirannya.

"Engga usah kaget." Pria berambut ombak itu mulai berdiri dari duduknya. "Semua yang ada di sini itu, sama."

"Selamat datang di Tantra--Nona psikometri," ucapnya menyeringai.

Hah?! Kok-kok dia tau?

"Iya, dia emang ajaib. Bisa tau hal-hal yang engga bisa diprediksi," celetuk Rava.

Lagi-lagi Nada menatap tajam ke arah Rava. Namun, anehnya, kini Rava menoleh ke arah pintu dengan tatapan yang tajam. Melihat reaksinya, semua orang menatap ke arah pintu.

Deva mengeluarkan topeng aneh dari balik jaket jeansnya. "Penuhi panggilanku, Tumenggung."

Nada mengedipkan mata, tetapi sosok Deva tiba-tiba saja menghilang dari pandangannya. "Loh--kok! Deva--mana?"

Kevin menutup mulut Nada, ia mengisyaratkan Nada untuk diam. Tak butuh waktu lama, pintu terbuka, Deva masuk tanpa mengenakan topengnya. Ia menggelengkan kepala.

"Jelas-jelas tadi ada suara pikiran orang kaget di balik pintu. Dia kaget waktu Surya bilang psikometri," tutur Rava.

"Engga ada siapa-siapa di luar," balas Deva.

"Serius! Tadi tuh ...."

Surya menepuk pundak Rava. Pria rambut ombak itu tersenyum pada Rava. "Mungkin lu kelelahan, istirahat dulu gih di sofa."

Rava duduk di sofa. Ia mendengar suara pikiran seseorang, tetapi dengan kecepatan Deva, tak ada siapapun di balik pintu. Artinya memang tak ada siapapun di sana, dan mungkin itu hanyalah suara imajinasi dari dalam kepalanya sendiri.

"Martawangsa Rava, dia bisa denger isi pikiran orang di sekitarnya," tutur Surya.

"Martawangsa Deva, dia punya topeng pusaka peninggalan keluarga Martawangsa. Wijayakusuma Kevin, dia mampu melihat situasi dan kondisi di suatu tempat, tanpa harus pergi ke tempat itu. Bhayangkari Kirana, dia bisa menggerakan benda-benda tanpa disentuh."

"Dan aku Yudistira Surya, sekaligus Yudistira Chandra. Ketua dari perkumpulan yang bernama Tantra ini."

"Sekaligus?" tanya Nada bingung dengan kalimat itu.

"Ini kali pertama kita berjumpa, sebelumnya yang kamu temui itu--namanya Chandra," jawab Surya.

"Orang yang ngasih kamu gantungan kunciku, buat ngetes kemampuan kamu," celetuk Kevin.

"Itu--bukannya dia?" Nada menunjuk Surya.

"Dari matahari terbit hingga terbenam--Surya yang mengambil alih. Dari tenggelam matahari, hingga terbit kembali--Chandra yang memegang kendali," jawab Deva.

"Dua orang dalam satu tubuh," timpal Kirana.

"Singkatnya--kekuatan ada untuk melindungi yang lemah. Semakin besar kekuatan, maka semakin besar tanggung jawab yang orang itu miliki. Dengan kemampuan kita semua, kita bisa membantu banyak orang. Dengan psikometri, kamu bisa banyak memberikan dampak positif untuk orang lain. Jadi, kami cuma memastikan aja ...."

"Apakah kamu siap? Menjadi salah satu dari kami dan memanfaatkan psikometri menjadi sesuatu yang berguna untuk orang di sekitar kamu? Kami engga memaksa, pilihan itu ada di tangan kamu sendiri."

"Selamat memlilih," lanjut Surya sambil tersenyum.

* * *

Waaaaaa udah berapa minggu nih ga update Mahatama :')

Maafkan Author ini yang sok sibuk dan merasa tertekan karena beberapa masalah di real lifenya yaaaa.

Takut maksain nulis malah ga maksimal dan jadi semerawut! Jadi memutuskan untuk hiatus dulu beberapa waktu yang lalu. But ... aku telah kembali!

Sampai berjumpa di episode selanjutnya ya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top