20 : Butiran Jiwa

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Beberapa jam telah berlalu, Nada terbangun dari tidurnya. Ia menoleh ke arah mejanya dan berharap semua kejadian tadi hanyalah mimpi. Namun, ia sadar, itu bukanlah mimpi. Sekuntum bunga wijaya kusuma berwarna merah tergeletak di atas mejanya.

tok ... tok ... tok

"Masuk aja, ga dikunci," seru Nada.

Tama masuk ke kamar Nada tanpa sarung tangannya. "Bisa kita bicara?" ucapnya pada Nada dengan raut wajah serius. Nada mengangguk sambil menatap sarung tangan berwarna merah jambu yang Tama bawa.

"Boleh Ayah duduk?" tanyanya pada Nada.

Nada menganggukkan kepala sambil menggeser tubuhnya, mempersilahkan Tama untuk duduk di sebelahnya. Tama kemudian duduk dan menyentuh tangan kanan putrinya. Ia menempelkan telapak tangan Nada ke lengan kirinya.

"Apa yang kamu pikirin sekarang?"

"Hah? Gimana maksud, Ayah?" Nada bingung mendengar kata-kata Ayahnya.

"Apa ada pikiran-pikiran, atau sekelibat ingatan yang secara random muncul di kepala kamu?" tanya Tama.

Nada membayangkan tentang Tama yang berbicara pada Aqilla. Bundanya itu memberitahukan tentang psikometri Nada pada Tama. Setelah itu, Tama bergegas menuju kamar Nada.

"Psiko-metri?" ucap Nada sambil mengerutkan dahinya.

Nada tersadar sesuatu.

"Apa selama ini--Ayah bisa tahu tentang masalah Nada karena ...."

"Ya, secara umum psikometri mampu melihat masa lalu objek yang kita sentuh." Potong Tama.

"Setiap benda itu terdiri dari susunan atom yang telah membentuk kumpulan molekul. Molekul yang ada di benda padat, benda gas ataupun cair itu memiliki getaran yang menghasilkan sebuah gelombang khusus. Kemudian kumpulan molekul serta atom itu dapat merekam sebuah peristiwa, dan dari rekaman itulah seorang psikometri dapat menggali informasi serta membaca gejala sebuah peristiwa," tutur Tama.

"Nada ga mau ...," ucap Nada lirih sambil menunduk ke bawah.

"Ayah juga ga mau, tapi mau gimana lagi? Kalo Ayah tau cara untuk menghilangkan kemampuan ini, Ayah pasti udah hilangkan dari dulu."

"Nada ga mau sarung tangan warna menye-menye begitu maksudnya," tegas Nada.

"Kamu jangan ngasih tau siapa-siapa perihal kemampuan kamu ya, termasuk Melodi," ucap Tama yang beranjak dari duduknya. "Sini ikut Ayah."

Tama dan Nada berjalan menuju lantai bawah, mereka menuju mini studio milik Tama. Ruang serba guna yang biasa menjadi kantornya ketika berada di rumah. Tama menyalakan lampu dan berjalan ke sebuah lemari tua.

"Ini sarung tangan waktu Ayah kuliah dulu di Jogja, untuk sementara pakai ini dulu ya, besok Ayah beliin yang baru," ucap Tama.

Nada membalasnya dengan gelengan. "Aku ga mau, mau yang ini aja satu."

"Minimal punya dua, Sayang. Biar ada gantinya, besok Ayah beliin ya."

"Yang warna hitam polos gini ya, Ayah."

"Iya," balas Tama sambil tersenyum dan mengelus rambut putrinya.

"Kamu harus tau caranya menggunakan psikometri, kemampuan ini bisa berguna kalo kamu kelupaan sesuatu. Pelan-pelan aja, ga usah terburu-buru, oke?"

Nada hanya mengangguk dan memberikan jempol andalannya. Sementara Tama keluar ruangan itu meninggalkan Nada seorang diri.

Sarung tangan waktu Ayah kuliah?

Nada menyentuh sarung tangan milik Tama dan memejamkan matanya, ia berfokus untuk merasakan ingatan dari sarung tangan itu. Nada membuka matanya, kini ia berada di sebuah bioskop mini. Terpampang layar lebar di hadapannya. Layar itu menyala dan mulai menampakkan suasana kafe minimalis.

Mantra Coffee? Nada membaca nama yang terpampang pada kafe itu.

Seorang gadis dengan model rambut bob sepanjang leher masuk ke dalam kafe. Ia mengenakan baju abu-abu dibalut cardigan kuning. Gadis itu memesan Affogato Vanilla. Dia duduk seorang diri, sembari membuka laptop dan menulis sesuatu di kertas. Sesekali ia menyendok ice cream vanilla dan menyeruput kopinya.

Tak lama setelah itu scene berganti, seorang barista yang mengenakan sarung tangan hitam sedang berdiri sambil membersihkan gelas-gelas kaca. Seorang pria dengan topi beanie berwarna coklat datang menghampirinya. Ia menemukan sebuah pick gitar yang tertinggal, sepertinya milik gadis yang tadi sempat berkunjung.

Pria bertopi itu berjalan ke arah tangga, ia naik ke atas dan turun kembali membawa sebuah gitar. Ia memberikan gitar itu pada pria bersarung tangan hitam. Pria bersarung tangan hitam itu melepas sarung tangannya dan menyentuh pick gitar itu, ia terdiam selama beberapa saat. Setelah itu ia mengurungkan niatnya dan pergi entah ke mana.

Ayah? Itu Ayah kan? Nada mengamati pria bersarung tangan itu dengan takjub. Wajahnya tampan, pria tertampan yag pernah ia lihat sejauh ini.

Scene berganti. Tama kini berada di kampusnya, ia berjalan masuk ke sebuah gedung yang sedang melakukan kegiatan makrab. Ada panggung di sana, tampaknya sebentar lagi akan ada pertunjukan musik.

Dua orang gadis naik ke atas panggung. Satu membawa bass dan yang satu nya lagi membawa gitar. Gadis yang membawa gitar itu adalah gadis berbaju abu-abu yang pick nya tertinggal di kafe. Ia terlihat murung, terpampang jelas getir di wajahnya. Tama berusaha lebih mendekat ke panggung.

"Hallooooo! Selamaat malam jurusan musik!" teriak wanita yang membawa bass.

"Kenalin, aku Kartika, dan temenku yang main gitar namanya Aqilla."

BUNDA? YAWLA TERNYATA BUNDA! batin Nada.

"Aqilla lagi sedih nih, dia habis kehilangan benda yang paling berharga buat dia. Kira-kira ada yang bisa hibur Aqilla ga? Gombalin kek atau bacain puisi gitu, kalo ada yg mau silahkan maju aja yaa."

"Apaan sih Tika!" ucap Aqilla merasa risih.

"Ayah, maju! Bunda lagi galau!" seru Nada yang terhanyut oleh layar yang ia tatap.

Tiba-tiba seorang pria yang masih mengenakan apron ala-ala barista naik ke atas panggung. Pria itu mengambil microphone.

"YEEEEY! Semangat Ayah! Buat Bunda jatuh cinta, cepaaat!" teriak Nada.

"Setiap benda di dunia ini memiliki ingatan," ucap Tama.

"Segelintir di antaranya memiliki sejarah panjang yang tak terlupakan ...."

"Kenangan indah dari dan bersama orang-orang terdekat kita, jauh lebih berharga dari apapun ...."

"Dari benda termahal sekalipun." Tama menatap Aqilla yang sedang menatapnya juga. Tama berjalan ke arah Aqilla sambil melanjutkan puisinya.

"Bunuh sudah semua gundah mu yang membelenggu."

"Karena telah ku temukan sebutir jiwamu." Sambil memberikan sebuah pick gitar.

Aqilla tersenyum, ia menatap Tama sambil mengambil pick gitar itu. Belum sempat Aqilla berterimakasih, Tama menghilang di tengah kegelapan malam.

Film habis. Nada meneteskan air mata sambil bertepuk tangan. "Ayah keren," tuturnya.

Nada tersadar dari lamunannya. Darah menetes dari hidungnya, kepalanya terasa pusing. Ia duduk dan bersandar di dinding studio. Nada mendekap erat sarung tangan Tama. Ia bangga dengan Ayahnya yang terlihat keren menurutnya.

Ia tiba-tiba memikirkan Kevin. Hal serupa juga terjadi, bukan? Nada muncul dan memberikan gantungan kunci yang berharga untuknya.

"Ih ga mau!" ucapnya sambil menggelengkan kepalanya.

Nada membersihkan darah di hidungnya menggunakan sapu tangan yang selalu ia bawa. Gadis itu beranjak dari duduknya dan kembali ke kamarnya. Dengan bangga ia mengenakan sarung tangan itu. Perlahan ia mengupas setiap ingatan dari sarung tangan Ayahnya. Tanpa sadar, ia menjadi fans berat Mantra Coffee.

.

.

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top