2 : Sekolah Baru

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Senin pertama ini menjadi hari pertama mereka masuk ke sekolah baru, padahal baru beberapa bulan mereka menginjakan kaki di kelas dua SMA, sekarang mereka harus beradaptasi lagi dengan lingkungan sekolah yang baru, wajah-wajah baru, dan sifat-sifat baru. Pindah di hampir pertengahan semester bukan hal yang bagus, mereka harus memulai semuanya dari awal lagi, di mana mereka berdua harus memperkenalkan diri. Sebetulnya tak masalah bagi Melodi, tapi ini menjadi masalah besar untuk Nada.

Tama mengantar kedua anaknya dengan Honda Mobilio berwarna putih miliknya. Ia berangkat kerja sambil mengantar kedua putrinya.

"Kalian, nanti beda kelas," ucap Tama.

"Yang rileks ya, Nad," ucap Melodi yang berusaha menenangkan kembarannya.

"Anggap aja, temen-temen di kelas kamu itu ... bunga-bunga," lanjut Melo.

Nada hanya mengangguk sambil menggigit sandwitch daging asapnya. Beberapa menit telah berlalu, mereka tiba di gerbang sekolah yang bertuliskan 'SMA Wanaraja'.

"Melodi, Nada, semoga beruntung ya," ucap Tama sambil tersenyum. 

Mereka berdua mencium tangan Tama yang masih saja dibalut sarung tangan berwarna hitam. Setelah turun dari mobil, mereka berdua menuju ruang guru untuk bertemu dengan guru yang akan mengantarkan mereka menuju kelas masing-masing. Melodi adalah anak dari jurusan IPA, sedangkan Nada dari jurusan IPS.

"Wah, anak kembar ya," ucap Bu Niken.

"Bedainnya gimana nih? Yang mana, Melodi? Yang mana, Nada?"

"Pokoknya, Nada itu suka warna hitam. Yang pake tas warna hitam, udah pasti, Nada," ucap Melodi.

"Kalo saya, suka kuning," tambahnya.

Bu Niken terlihat bingung, sebenarnya yang ia maksud adalah perbedaan secara fisik. Namun, tak apalah, cepat atau lambat, pasti akan muncul perbedaan di antara mereka berdua. Karena sejatinya anak kembar itu tidaklah sama, mereka hanya ... mirip.

Melodi berada di kelas 11 IPA 1.

"Selamat pagi," ucap Bu Niken kepada warga 11 IPA 1.

"Pagi, Bu," jawab anak-anak kelas secara serempak.

"Hari ini, kalian punya teman baru," ucap Bu Niken sambil mempersilahkan Melodi untuk memperkenalkan diri.

"Haloo semua, selamat pagi," sapa Melodi.

"Pagi."

"Nama saya, Melodi Regita Mahatama. Saya dari Jakarta, dan baru aja pindah ke Bandung hari sabtu kemarin. Hobi saya, bermain musik, biasa jadi gitaris atau vokalis."

Setelah memperkenalkan diri, Melodi duduk di kursi belakang. Ia duduk di sebelah pria berperawakan putih bersih dan terlihat ramah, wajahnya cukup menarik dengan rambutnya yang belah pinggir.

"Melodi ...," bisiknya.

Melodi menoleh ke arah pria itu.

"Kenalin, gue irfan ...."

Logat 'gue' yang di gunakan Irfan terkesan kaku, mungkin karena ia berusaha untuk berbincang gaul dengan Melodi si anak Jakarta.

"Gue dari ekskul musik ... mau gabung ga?"

Melodi hanya mengangguk sambil tersenyum.

Sementara itu, Nada juga baru saja masuk di kelasnya, 11 IPS 3.

Semua orang memperhatikannya, Nada hanya diam membisu. Mulutnya tertutup dan tak bisa berkata-kata.

Anggap mereka sekumpulan tanaman, Nad ... anggap kalo kamu lagi ngajak ngobrol tumbuh-tumbuhan, batinnya mencoba menyemangati diri sendiri.

"Nada Regina Mahatama," ucap seorang pria yang berdiri di depan pintu.

"Faris! Telat lagi ya, kamu?" ucap Pak Zaenal.

Faris hanya cengar-cengir sambil mengusap kepalanya.

Faris? Dia temen sekelasku?

"Nada--"

"Nada Regina Mahatama," ucap Nada yang unjuk bicara.

"Saya dari Jakarta ... saya baru pindah ke bandung hari sabtu kemarin ... hobi saya, merawat tanaman," ucapnya.

"Merawat tanaman?" tanya seorang wanita jangkung.

"Mirip, Si Faris aja ... bau tanah," ucapnya meledek Faris.

"Bela!" celetuk Pak Zaenal.

"Yaudah, sekarang kamu duduk di kursi yang kosong ya," ucap Pak Zaenal kepada Nada.

Nada dan Faris berjalan menuju mejanya, mereka duduk bersebelahan.

"Jangan diambil hati ... Bela emang gitu ...," bisik Faris.

Nada hanya mengangguk.

Jam pelajaran di mulai. Baik Nada, maupun Melodi, tengah sibuk memperhatikan pelajaran. Hingga bel istirahat berbunyi.

"Ayo, Mel. Gue kenalin sama anak-anak musik," ajak Irfan.

"Ga usah maksa ngomong lu gue--"

"Kaku banget tau ga," sambung Melodi sambil tersenyum.

"Hahahaha, emang ya? Yaudah deh, ganti aja--"

"Kebetulan, kalo kamu bisa main gitar ... kita lagi cari gitaris yang bisa nyanyi," ucap Irfan.

Melodi sudah memiliki teman dan mengajaknya untuk bergabung dengan ekskul musik. Sementara itu, Nada hanya duduk dan tidak beranjak kemanapun.

"Nada, ke kantin yuk?" ajak Ervina.

"Lain kali aja ya," balas Nada.

"Nada kan sukanya bercocok tanam, harusnya diajak ke kebon," ucap Bela meledek.

Nada hanya menunduk dan menatap meja kayu yang berada di depannya.

"Lu--"

"Sama bunga kamboja yang ada di kuburan ... masih lebih cantik bunga kamboja lagi," celetuk Faris.

"Ih, ada yang belain," ucap Bela sambil berjalan ke arah Faris.

"Tumbuhan itu lebih seger dipandang, ketimbang lu, Bel--"

"Yang keluar dari tumbuhan itu, oksigen ... bukan kata-kata toxic," lanjut Faris.

"Oh ... anak paling bermasalah di sekolah, udah berani ngatain gua?"

"Ngaca dong, anak bermasalah itu ... siapa?" balas Faris.

"Kalo bukan anak orang kaya, udah di DO kali lu--"

Bela mendorong Faris hingga terjatuh.

"Awas lu, Ris."

"Mood gua ga enak nih, pergi yuk," Bela mengajak teman-teman gengnya pergi, ia berjalan sambil mengacungkan jari tengahnya pada Faris, sambil memeletkan lidahnya.

Nada segera beranjak dan membangunkan Faris. "Kamu ... ga pa pa?"

"Santai, gapapa kok," balasnya sambil tersenyum.

"Kamu pulang nanti naik apa?" tanya Faris.

Belum sempat Nada menjawab, "bareng aku aja, naik motor," ajaknya.

"Aku ... ga bisa," jawab Nada yang merasa tak enak hati.

"Hahahaha, oke lah, next time ya," ucap Faris yang berjalan keluar kelas, entah pergi kemana pria itu.

***

Tak terasa, waktu sudah semakin sore. Bel pulang sekolah berdering, dengan hoodie berwarna hitam, Nada memakai kupluknya dan menghampiri Melodi yang berada di depan gerbang menunggunya. Mereka pulang dengan mengendarai angkutan umum.

Sesampainya di rumah, mereka masuk ke kamar dan mengganti baju. Bunda masuk ke kamar mereka.

"Gimana, hari pertama sekolah?" tanya Bunda.

"Berjalan baik, Bun. Aku langsung gabung ekstra kulikuler musik loh," ucap Melodi.

"Iyakah?" tanya Bunda sambil tersenyum.

Melodi hanya menganggukan kepala. Sambil memeluk Bunda Aqilla.

"Nada, gimana hari pertama sekolahnya?" tanya Bunda.

"Baik kok ... Bun," ucapnya sambil menatap Bunda dengan senyuman tipis.

Setelah selesai berbincang dengan kedua putrinya, Aqilla menyiapkan makanan untuk makan malam. Tama baru saja pulang dari pekerjaannya.

"Kamu ajak ngobrol, Nada gih," ucap Aqilla yang menyadari bahwa hari ini tidak berjalan baik untuk Nada. Mengingat Nada dekat dengan sang ayah, bunda menyuruh ayah untuk berbicara empat mata dengan Nada.

tok ... tok ... tok

Tama masuk ke dalam kamar putrinya. "Mel, bantuin, Bunda sana gih."

"Nada, Ayah mau ngomong sama kamu."

Melodi pergi meninggalkan mereka berdua. Tama melepas sarung tangannya dan membelai rambut Nada dengan lembut.

"Kamu ... hari ini baik-baik aja, kan?" tanya Tama.

Tama adalah seorang psikometri, dengan tangan telanjang, ia dapat melihat masa lalu objek yang ia sentuh. Baik benda mati, maupun benda hidup. Ia melihat sekelibat cinematic dalam masa lalu Nada, ia melihat bagaimana Nada hari ini di sekolahnya.

"Sayang ...," ucap Tama pada putrinya.

"Terus lakuin apa yang kamu suka, jangan mundur gara-gara perkataan seseorang," ucap Tama yang sontak membuat Nada kaget.

Ini dia, ayah super hero yang selalu tau masalah anak-anaknya, batin Nada.

"Belum tentu ... orang yang merendahkan kamu itu, lebih tinggi derajatnya dari pada kamu," lanjut Tama sambil tersenyum.

"Kalo kamu butuh tempat bercerita, telinga, Ayah selalu terbuka buat kamu--" Sambil menunjuk telinganya.

 "Kalo kamu butuh tempat bersandar, bahu, Ayah selalu ada buat kamu ... jadi jangan sedih ya."

Masih ada orang-orang baik kayak, Faris kan? batin Tama.

"Iya, Ayah, terimakasih," ucap Nada sambil memeluk sosok ayahnya yang selalu mampu memuatnya merasa tenang, dengan senyuman yang lebar.

.

.

.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top