19 : Psikometri
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.
Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.
.
.
.
Beberapa hari telah berlalu sejak ulang tahun Nada dan Melodi. Pagi ini Nada berbaring di kasurnya sambil mencuri-curi pandang ke arah gantungan kunci berbentuk hati yang diberikan oleh salah satu teman Deva.
Maksudnya apa sih? Minta tolong dibalikin ke pemiliknya? Siapa?! Aku kan ga tau! Dasar aneh.
"Nada." Sherlin masuk ke kamar Nada, ia membawakan sarapan untuk adiknya yang sering sakit setelah acara ulang tahunnya.
"Sarapan dulu ya," tuturnya lembut.
"Suapin," balas Nada manja sambil tersenyum.
Sherlin menyuapi Nada. Ini hari terakhirnya sebelum ia kembali ke Yogyakarta, ia berusaha melakukan yang terbaik agar adiknya bisa sembuh secepatnya.
"Sebenernya Nada tuh sakit apa sih?" tanya Nada.
"Kamu itu kelelahan," jawab Sherlin.
"Perasaan, Nada ga ngapa-ngapain. Nada juga ga ngelakuin aktivitas yang berat."
"Ada secamam aktivitas yang terkadang kita ga sadari, dan itu tanpa sadar membuat kita lelah," balas Sherlin.
"Cepet sembuh ya, cantik." Sherlin beranjak dari kasur Nada. Setelah menyuapi adiknya, ia turun ke bawah untuk mencuci piring. Sementara Nada berjalan ke arah meja belajarnya, ia mengambil gantungan kunci itu.
Entah, Nada tiba-tiba memikirkan seorang pria. Salah satu dari teman-teman Deva, seorang pria yang paling tampan dan terlihat pendiam.
"Kevin ...," ucap Nada lirih sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing.
Nada mengambil cardigan hitamnya, diam-diam ia keluar lewat pintu belakang yang jarang digunakan. Entah, ia merasa harus mengembalikan benda itu. Gantungan itu terlihat seperti sesuatu yang berharga untuk pemiliknya.
Nada berjalan sambil menggenggam gantungan itu di tangannya, berjalan seperti ada sesuatu yang menuntunnya. Ia merasa de javu, seperti pernah melewati atau mengalami pengalamannya saat ini.
Perjalanan Nada berakhir di depan sebuah rumah yang tak jauh dari rumahnya. Rumah besar berwarna putih, tampak begitu menawan. Seorang wanita dari dalam rumah menghampirinya. "Cari siapa ya?" tanyanya pada Nada.
"Kevin," ucapnya merasa tak yakin.
"Oh, temannya Tuan Kevin?" tanyanya lagi.
Nada hanya mengangguk pelan. Wanita itu mempersilahkan Nada untuk masuk dan menunggu di ruang tamu, sementara wanita tadi memanggil Kevin di kamarnya.
Tak butuh waktu lama, sosok bernama Kevin itu turun dari lantai dua, ia mengenakan cardigan panjang berwarna abu-abu muda dan celana tidur panjang berwarna putih. Kevin memicingkan matanya menatap Nada, ia memang familiar dengan wajah itu, tetapi sejujurnya ia tak mengenal Nada.
"Temen kamu?" tanya seorang wanita cantik dengan ekspresi dingin. Wajahnya mirip dengan Kevin, tetapi lebih tegas.
Kevin tak menjawab, ia hanya menatap wanita itu dengan tatapan yang tak kalah dingin.
Nada menghampiri wanita itu dan mencium tangannya untuk menghormatinya. "Selamat pagi, Bu. Saya Nada--"
"Iya, dia temenku. Ayo naik," jawab Kevin singkat dan mengajak Nada untuk naik ke atas. Ia berjalan tak menunggu.
"Permisi," tutur Nada santun padanya.
Nada berjalan naik dan mengikuti Kevin. Pria itu membuka sebuah pintu dan mempersilahkan Nada untuk masuk.
Sebuah kamar besar yang memiliki banyak gambar peta dan globe. Ada dua unit komputer dan satu laptop di mejanya. Kevin menutup pintu dan mengunci pintu kamarnya, ia berjalan ke pintu balkon lalu melakukan hal yang sama, Kevin juga menutup seluruh hordeng jendelanya.
Sejujurnya Nada merasa takut, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. Orang itu adalah teman Deva, tak mungkin ia berbuat macam-macam. Kevin mengambil kursinya dan duduk di sana sambil menatap Nada. "Jadi--"
"Ada perlu apa?"
Nada menunjukan sebuah gantungan kunci berbentuk hati.
"Dari mana dapet benda itu?" tanya Kevin ketus.
"Chandra," ucap Nada seolah-olah mengenal Chandra.
Kevin mulai mengerti situasinya, ia berjalan mendekat pada Nada dan meminta barang yang Nada bawa. Nada memberikan benda itu pada Kevin.
Pria itu kini berjalan dan membuka pintu balkon, ia juga mengambil segelas susu dari dalam kulkas mini di dalam kamarnya. "Mau minum apa?" tanyanya pada Nada.
Aku ngapain sih di sini? pikir Nada yang sebenarnya bingung untuk apa ia repot-repot ke rumah orang yang bahkan ia tak kenal.
"Ga usah repot-repot, aku mau langsung pulang aja--"
"Jangan!" potong Kevin.
Bahkan anak Tantra sekali pun tak pernah berkunjung ke rumah Kevin. Bukannya tak diizinkan, tetapi karena mereka semua tak berani. Bahkan Dirga melarang Deva untuk berkunjung ke rumah itu, bukan tanpa alasan.
Kevin membuatkan Nada secangkir teh Chamomile dan membawa cangkir itu ke balkon. "Sini," panggilnya menyuruh Nada untuk menyusulnya ke balkon. Nada tak punya alasan untuk menolak, ia merasa sangat takut sekarang dan hanya menuruti perkataan tuan rumah.
Nada berjalan ke balkon dan menatap halaman rumah Kevin dari lantai dua. Matanya berbinar menatap halaman yang dipenuhi tumbuhan yang begitu cantik.
"Wijaya kusuma kepiting merah," ucapnya menatap halaman yang dipenuhi bunga Wijaya kusuma merah.
Kevin menatap Nada yang kini melupakan rasa takutnya, ia tampak begitu takjub melihat halaman belakang rumahnya.
"Suka sama bunga itu?" tanya Kevin.
"Suka!" jawab Nada tegas menatap ke arah Kevin diiringi senyumnya.
Melihat senyum gadis polos itu, wajah pria dingin itu kini merah seperti bunga di halamannya. Kevin memalingkan wajahnya sambil menggenggam erat gantungan kunci yang sempat ia hilangkan beberapa hari lalu.
"Aku benci--" ucapnya lirih.
"Aku benci bunga-bunga itu," ucapnya tanpa ekspresi.
"Kenapa? Mereka terlihat cantik," balas Nada.
"Cantik ... dan membunuh ...," gumamnya lirih hingga tak terdengar oleh Nada.
Tiba-tiba saja alarm kecil berbunyi dari dalam kamar. Kevin sontak menatap ke arah jam tangan hitam yang ia kenakan. "Kalo mau pulang, sekarang aja," ucap Kevin sambil berjalan ke pintu kamarnya.
Nada merasa pusing, tubuhnya lemas. Tiba-tiba saja ia tergeletak di lantai balkon.
"Ayo, mau pulang ga--" ucapan Kevin terhenti. Ia menatap Nada yang tergeletak di lantai balkonnya. Sontak pria itu berlari menyusul Nada, ia tampak menoleh ke kiri dan ke kanan seolah mencari sesuatu.
"Maaf, aku lagi ga enak badan ...," ucap Nada yang tampak lemas.
"Terus ngapain ke sini?"
"Aku rasa benda itu berharga buat kamu. Sama berharganya sama gadis bernama Dara itu kan?"
Dari mana dia tau soal Dara? batin Kevin bingung.
Tunggu ... dari mana dia tau rumah gua? Dari mana dia tau nama gua? Dari mana dia tau soal Dara? Apa alasan si berengsek itu ngasih gantungan kunci gua ke gadis ini?
Kevin teringat sosok Deva dan Rava yang sering bercerita tentang sekelompok Indigo bernama Mantra. Ada seorang pria bernama Tama yang memiliki kemampuan psikometri, ia mampu melihat masa lalu objek yang ia sentuh.
Cewek ini--anak Tama kan?
"Di mana rumah kamu? Biar aku anter pulang," ucap Kevin.
Nada tak menjawab, ia tampak lemas. Kevin berjalan dan mengambil sebuah peta kecil yang berada di mejanya. Ia meraba peta itu sambil menutup matanya. Setelah itu, Kevin menggendong Nada di punggungnya, ia membawa Nada keluar kamarnya dan turun ke lantai bawah.
"Mau ke mana?" tanya Ibunya yang sedang memegang pisau.
"Nganter Nada pulang," jawab Kevin sambil menatap piasu di tangan ibunya.
"Mau Mama anter?" ucap Ibunya sambil tersenyum.
Kevin menelan ludah. "E-engak perlu, biar aku aja."
"Lagi motong ayam buat opor," tutur Ibunya yang menyadari Kevin menatap ke arah pisau di tangannya.
Pria itu kini berbalik ke arah pintu. "Kevin." Namun, ibunya memanggilnya kembali, sontak membuat Kevin menoleh.
"Itu ... beneran temen kamu kan?" ucapnya dengan tatapan kosong.
"Iya, anak Tantra. Temennya Deva sama Chandra juga," jawab Kevin dengan keringat dingin.
"Oh--yaudah. Hati-hati ya. Langsung pulang." Wanita itu kini kembali ke dapur.
Kevin menggendong Nada yang tertidur di pundaknya hingga sampai ke rumahnya. Ia bertemu dengan Aqilla dan menjelaskan tentang Nada yang tiba-tiba saja berkunjung ke rumahnya dan juga tiba-tiba terkapar.
"Menurut saya, sebaiknya mulai hari ini Nada harus membiasakan diri mengenakan sarung tangan," ucap Kevin pada Aqilla.
"Dia terlalu lelah melihat masa lalu semua benda yang dia sentuh," lanjut Kevin.
"Psikometri?" tanya Aqilla sambil mengerutkan dahinya.
Kevin menjelaskan bahwa sebenarnya mereka tak saling kenal. Keberadaan Nada di rumahnya untuk mengembalikan sebuah gantungan kunci bukanlah merupakan sebuah kebetulan, melainkan sesuatu yang sudah terskenario dengan rapi. Chandra merasakan bahwa seorang manusia spesial telah terlahir pada hari ia bertemu Nada. Pria Yudistira itu sengaja memberikan benda asing padanya dan memberikan instruksi untuk mengembalikannya.
Sejatinya perkataan mutlak Yudistira tak akan bekerja jika targetnya tak mengetahui informasi yang terkait, tetapi jika targetnya mengetahui informasi yang dibutuhkan, maka kemampuannya akan bekerja. Begitulah yang terjadi, mengapa Nada bisa berada di rumah Kevin setelah menginitp masa lalu benda itu. Nada telah mendapatkan informasi yang ia butuhkan dengan psikometrinya, hal itu memicunya perkataan mutlak Yudistira dan dengan sendirinya Nada segera melakukan perintahnya untuk mengembalikan gantungan itu pada pemiliknya.
Setelah itu Kevin memberikan sesuatu untuk Nada melalui Aqilla. "Saya permisi." Ia pamit untuk pulang.
* * *
Beberapa jam telah berlalu, Nada terbangun dari tidurnya. Ia menoleh ke arah mejanya dan berharap semua kejadian tadi hanyalah mimpi. Namun, ia sadar, itu bukanlah mimpi. Sekuntum bunga wijaya kusuma berwarna merah tergeletak di atas mejanya.
tok ... tok ... tok
"Masuk aja, ga dikunci," seru Nada.
Tama masuk ke kamar Nada tanpa sarung tangannya. "Bisa kita bicara?" ucapnya pada Nada dengan raut wajah serius.
.
.
.
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top