18 : Sweet Seventeen
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.
Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.
.
.
.
Sorak-sorak dan tepuk tangan memenuhi restoran milik Dirga setelah Aqilla, Tama, dan Sherlin selesai membawakan lagu untuk Melodi dan Nada yang berulang tahun hari ini.
"Selamat uang tahun Melodi, Nada!" ucap Sherlin sambil memberikan sepasang kado untuk mereka diikuti peluk hangat.
"Makasih, Kak Sherlin," balas Melodi dan Nada berbarengan.
Sherlin melepas pelukannya dan menatap kedua Adiknya dengan senyuman. Namun, senyumnya memudar ketika mendapati Nada yang berwajah pucat. Sherlin menyentuh kening Nada. "Kamu sakit?" tanyanya yang membuat orang-orang menatap ke arah Nada.
"Eh--enggak kok, cuma agak sedikit pusing aja," jawab Nada.
"Serius?" tanya Sherlin lagi.
Nada hanya membalasnya dengan anggukan kepala. Sementara Aqilla datang menghampiri mereka. "Kalo kamu merasa lagi sakit, jangan maksain diri ya. Kita pulang duluan biar Bunda temenin kamu istirahat."
"Iya, nanti kalo aku merasa ga sehat, aku bilang Bunda kok," balas Nada.
Malam itu begitu meriah, banyak makanan dan minuman yang tersaji gratis untuk para tamu, tentu saja Tama yang membayar hidangan itu untuk merayakan ulang tahun putrinya yang ke-17. Dari berbagai jenis suhsi, dimsum, hingga makanan berat tersedia untuk dinikmati.
"Faris, Bu Darmi, jangan malu-malu. Ayo dinikmati," ucap Tama ramah.
"I-iya, nanti saya ambil kok," jawab Faris.
Aqilla mencubit pinggang Tama. "Ayah! Orang Faris lagi sibuk mandangin Nada kok, malah di suruh makan sih? Sendirian lagi."
"Nada," panggil Bunda. Sontak Nada menghampiri Bundanya.
"Temenin Faris ambil makanan! Dia malu-malu," ucap Bunda.
"Eh--enggak kok, saya--" Namun, Nada menarik tangan Faris dan membawanya ke meja sushi.
"Ini teh ... makanan naon?" tanya Faris.
"Masa ga tau sushi?" tanya Nada sambil mengerutkan dahinya.
"Pernah liat di film naruto, tapi belum pernah coba," jawab Faris.
Nada hanya tersenyum sambil mengambil piring kecil. Ia mengambil beberapa sushi dan juga mengambil sumpit. Nada menjepit sebuah sushi roll dengan black caviar, dan mengarahkan sushi itu pada Faris. "Nih coba!"
"Ih, itu apaan?" ucap Faris yang terlihat jijik dengan makanan sejenis itu.
"Udah, cepetan buka mulut! Geregetan, masa ga tau sushi."
Alih-alih membuka mulut, Faris justru merapatkan mulutnya agar makanan aneh itu tidak masuk ke dalam mulutnya.
Empat orang anak muda turun dari tangga. Seorang gadis dan tiga lainnya pria, mereka berjalan melewati Faris dan Nada. Salah seorang pria berkulit putih dengan rambut agak bergelombang menatap Faris, sontak Faris juga menatap ke arahnya.
"Buka mulut ...," ucapnya lirih ke arah Faris. Anehnya Faris mengikuti kata-kata orang itu dan membuka mulutnya sehingga makanan aneh itu bersarang di mulutnya. Salah satu pria lainnya agak terkekeh menatap Faris, tetapi langkahnya berhenti ketika melihat Nada.
"Bukan yang itu," ucap Deva yang baru saja turun dan berucap kepada temannya yang sedang menatap Nada.
"Yang itu namanya Nada," ucap Deva.
"Yang waktu itu namanya Melodi," lanjutnya.
Ya, pria yang sedang menatap Nada itu adalah Martawangsa Rava, putra dari Martawangsa Tirta. Wajahnya agak mirip dengan Deva, tetapi sejatinya mereka bukan anak kembar, hanya terkesan mirip jika dilihat sekilas.
"Berarti--" Rava menoleh, ia menatap tajam ke arah pria dewasa bersarung tangan hitam yang tengah duduk berhadapan dengan Dirga. Rava berjalan ke arah Tama, ia mengambil sesuatu di kantong celanannya.
"Kita ga punya banyak waktu, Hey!" ucap satu-satunya gadis di gerombolan itu.
"Chan, panggil Rava, biar cepet," ucap gadis itu pada pria yang tadi membuat Faris membuka mulutnya.
Namun, pria itu mengabaikan perintah dari gadis yang menyuruhnya, ia malah memberikan sebuah gantungan kunci pada Nada. Nada menatapnya heran, tetapi mengambil barang pemberian dari pria itu.
"Tolong dibalikin ke pemiliknya ya," ucapnya sambil tersenyum.
"Hah? Pemiliknya? Siapa?" tanya Nada yang bingung dan tak mengerti maksud dari orang itu.
Pria itu tak menjawab pertanyaan Nada. Ia hanya tersenyum sambil menatap Faris. Sementara Rava sudah berada di sebelah Tama.
"Ini anaknya Tirta, namanya Rava," tutur Dirga.
Rava tersenyum sambil mengeluarkan buku catatan kecil dan sebuah pensil. Ia meminta tanda tangan Tama. Tama menatap sebuat list nama yang berisi anak-anak mantra, ada tiga nama yang sudah bertanda-tangan di dalam buku itu.
"Dia selalu tertarik sama kisah-kisah anak Mantra dulu," lanjut Dirga.
Tama memberikan tanda tangannya yang merupakan tanda tangan keempat di dalam buku itu.
"Mereka mau ikut-ikutan kita, dan buat kelompok yang namanya Tantra."
"Tantra?" tanya Tama.
Ya, sejenis perkumpulan anak-anak berkemampuan khusus kayak Mantra, batin Rava. Tama membuka matanya lebar-lebar, ia menatap Rava yang sama sekali tak berbicara, tetapi Tama dapat mendengar isi pikirannya.
Jangan kaget ya, Om Tama hehehe ini kemampuanku.
Ini lebih gila daripada Tirta, dia bahkan bisa memberikan telepati dua arah pada orang biasa? batin Tama.
Hehehe makasih, jawab Rava yang mendengar pikiran Tama.
Rava Martawangsa, putra dari Tirta Martawangsa. Memiliki kemampuan telepati. Ia mampu mendengar isi pikiran orang lain, dan dapat memberikan telepati dua arah untuk orang-orang yang ia kehendaki.
Seorang pria yang paling tampan di antara mereka akhirnya menghampiri Rava dan menarik kerah bajunya. "Ayo buruan." Sebelum pergi, ia menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan pada Dirga dan Tama.
"Yang itu Tama nya Tantra," ucap Dirga sambil terkekeh.
"Namanya Kevin."
"Kemampuannya?" tanya Tama.
Dirga mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Tama. "Klervoyans ...," bisiknya lirih.
Indigo jenis Klervoyans secara khusus memberi pemilikinya sebuah kemampuan untuk melihat kejadian-kejadian yang sedang terjadi di tempat lainnya. Kondisi itu adalah pikiran serta persamaan yang secara khusus memancarkan sebuah gelombang yang kuat dan tidak kasat mata. Jenis gelombang ini secara alami terpancarkan oleh manusia yang mempunyai kemampuan indigo. Di mana kemampuan lainnya dari indigo jenis ini adalah kemampuan untuk melihat beragam benda yang tersembunyi di suatu tempat tertentu.
"Dia itu bisa melacak manusia maupun benda. Dia bisa melihat keadaan suatu tempat tanpa harus pergi ke tempat itu," tutur Dirga.
"CCTVman?" tanya Tama.
"Ya, kalo dia itu superhero, mungkin julukannya itu cctvman," timpal Dirga terbahak-bahak.
"Aku mau nganter temen-temen dulu ke depan," ucap Deva pada Dirga.
"Abis itu langsung pulang! Itu Melodi sampe jamuran gara-gara kamu anggurin," ledek Dirga.
"Apaan sih," balas Deva yang langsung pergi. Ia menangkap Melodi dengan ujung matanya, Deva memutuskan untuk mengucapkan selamat ulang tahun dulu sebelum mengantar teman-temannya.
"Hey."
"Hey," balas Melodi.
"Selamat ulang tahun," ucap Deva agak canggung.
"Oh--makasih ya, Deva," balas Melodi.
"Kamu--ga kenapa-napa kan?" tanya Deva.
"Emang aku kenapa?" tanya Melodi heran.
"Waktu itu kamu hampir--" Belum sempat Deva menyelesaikan kalimatnya, ia menangkap sosok bajingan yang hampir mempermainkan tubuh Melodi. Ya, Beni datang ke restoranyna dengan membawa seikat bunga.
Menyadari Deva yang mengubah arah pandangnya, Melodi mengikuti pandangan itu dan mendapati sosok Beni Sancaka.
"Beni?" ucap Melodi lirih dengan tatapan yang tak menyenangkan.
Apa dia trauma? batin Deva yang kembali menatap Melodi dan melihat gadis itu merasa tak nyaman.
Beni tersenyum ke arah Nada, ia melambaikan tangan pada Nada. Sementara itu Faris membuang pandangannya ke arah lantai.
Kevin dan Rava menatap Beni dengan sorot mata yang tak menyenangkan. Rava mengepalkan tangannya. Sementara Pria berambut ombak itu agak tersenyum melihat ekspresi Rava. "Itu orangnya?" ucapnya pada Rava. Sementara Rava hanya mengangguk. Pria ombak itu berjalan ke arah Beni.
"Chan, Chandra!" Deva meninggalkan Melodi dan berjalan agak cepat ke arah Chandra yang sedang berhadapan dengan Beni.
Mereka berdua saling berpandangan. Merasa terintimidasi oleh Chandra, Beni mengerutkan dahinya. "Apa?" ucapnya dengan nada yang tak menyenangkan.
"Pulang sana ...," ucapnya lirih sambil menatap Beni.
Beni memutar tubuhnya dengan tatapan yang kosong, ia berjalan hingga keluar dari restoran.
Tama mengerutkan dahinya sehabis melihat anak itu. Tama menoleh ke arah Dirga. Dirga menatap Chandra dengan wajah yang agak pucat.
"Siapa anak itu?" tanya Tama yang penasaran sambil memicingkan matanya.
"Cuma ada satu orang yang punya kemampuan kayak gitu ...," ucap Dirga.
"Keturunan Yudistira."
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top