15 : Percaya

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Pagi ini tergolong dingin, mungkin karena semalam hujan mengguyur kota Bandung cukup deras. Tama yang belum sempat bercengkrama dengan secangkir kopi di rumah, akhirnya membuat secangkir kopi di kantornya. Ia berdiri di pinggir ruangan sembari menikmati pemandangan dari lantai dua gedung kantornya.

tok tok tok

Tama menoleh ke arah pintu, "masuk," ucapnya menyambut ketukan di pintu.

Seorang gadis masuk ke dalam ruangannya, ia membawa laptop dan berjalan menghampiri Tama, "pagi, Pak," sapanya ramah pada Tama.

"Pagi," balas Tama dengan senyuman yang tak kalah ramah.

Tama berjalan ke arah kursinya, ia meletakkan kopinya dan duduk sambil menatap gadis itu.

"Ini mock up game yang sebentar lagi mau launching, Pak," ucapnya pada Tama.

"Mock up? Bukannya seharusnya udah siap untuk launching beta tester?" tanya Tama pada gadis itu.

"Nah, sebenernya sih udah ada file masternya, Pak ...." Gadis itu menjeda ucapannya, ia tampak sedang berpikir. Sedangkan Tama hanya menatapnya dengan tatapan yang menunggu.

"Flashdisk saya hilang, Pak. Dan berhubung programernya izin hari ini, jadi terlalu lama kalau tim ngerender ulang game nya, sedangkan saya seharusnya setor laporan ke, Pak Tama itu hari jum'at kemarin, tapi saya kemarin izin ...."

Belum selesai gadis itu berbicara, Tama melepas sarung tangannya dan beranjak dari duduknya. Ia berjalan ke arah gadis itu dan menepuk pundaknya.

"Santai, rileks ... saya ga galak kok," ucapnya sambil tersenyum.

"Kamu izin half day waktu hari jum'at. Mungkin flashdisk kamu ada di laci meja? Namanya juga kamu buru-buru ninggalin kantor karena ada urusan, hari itu. Coba kamu cek dulu, kalo ga ada baru boleh panik," lanjut Tama.

"Ba--baik, Pak." Gadis itu berjalan keluar ruangan.

Tak lama gadis itu masuk kembali, tetapi dengan senyum yang berbeda. Ia berjalan ke arah Tama dan menyolok sebuah flashdisk ke laptopnya.

"Hehehe iya, Pak. Ternyata ketinggalan," ucapnya.

"Bapak cocok jadi detektif," lanjutnya sambil tersenyum.

Tama hanya tersenyum tipis mendengarnya. Ia mengambil sebuah dokumen, dokumen itu adalah GDD (Game Design Document).

Game design document adalah sebuah bentuk dokumentasi pembuatan game pada tahap pra productions dalam pengembangan suatugame, yang biasanya berisi tentang design game yang berfokus kepada elemen-elemen seperti genre permainan, gameplay, game mekanik, alur cerita, karakter, tantangan, faktor kesenangan, aspek teknis. Bisa di bilang bahwa GDD merupakan kitab atau acuan dalam pembuatan sebuah game. Semua job seperti visual artist, animator, sound engineer dan programer wajib hukumnya mengikuti GDD dalam proses pembuatan game.

Tama mencoba game buatan tim nya, ia memainkan game itu secara singkat, "jadi semua bug di dalam game sudah beres di fix?" tanya Tama.

"Game sudah siap launching, Pak. Untuk beta tester, tim sudah merasa cukup. Jika masih ada bug di dalam game, para pemain biasanya sering menemukan bug yang tim belum temukan," jawab gadis itu.

"Langsung disiapkan aja kebutuhan brandingnya," balas Tama.

"Baik, Pak." Gadis itu membereskan laptopnya dan berjalan keluar ruangan Tama.

Sekeluarnya gadis itu, ponsel Tama berdering.

"Yo," ucap Tama yang baru saja mengangkat panggilan itu. Tama dan orang di balik telpon itu mengobrol cukup lama.

"Jadi kapan anak lu mau main ke Bandung?" tanya tama.

"Oh liburan semester ini ya, okedeh, kebetulan kamar di rumah gua ada yang kosong kok," lanjut Tama.

"Oke sama-sama." Tama menutup obrolan mereka dan kembali bekerja.

***

Jam menunjukkan pukul 11.30

Tama turun ke bawah dan masuk ke dalam mobilnya. Memang biasanya ketika jam istirahat, ia keluar kantor lebih cepat 30 menit dari jadwal yang seharusnya. Tapi tak mengapa, namanya bos, bebas.

Tama biasa mencari makan di sekitar rumahnya, tak jarang ia pulang untuk makan di rumah, masakan Aqilla adalah masakan terlezat di seluruh dunia. Namun, Tama menepikan mobilnya di pinggir jalan, tepat di sebelah sebuah toko tanaman hias. Ada perkelahian di sana, tak ada orang yang melerai pertikaian itu, semua hanya menonton. Tama keluar mobil dan menghampiri toko tersebut.

Seorang anak SMA dengan tampilan babak belur sedang berdiri dengan sorot mata yang tajam ke arah tiga orang pria berbadan kekar.

"Ini semua utang si berengsek itu! Tagih sama dia, jangan ke ibu saya!" bentak pemuda itu.

Tama lumayan familiar dengan sosok itu, seorang pria muda yang beberapa kali berkunjung ke rumahnya untuk bertemu dengan Nada. Ya, dia adalah Faris Nugroho.

"Kalo kita tau dia ada di mana, kita ga akan ke sini!" balas salah satu pria berbadan kekar.

"Ya itu urusan kalian!" timpal Faris.

"Dasar bocah gila!" Pria dewasa itu hendak melesatkan bogem pada bocah yang masih SMA, tetapi Tama menghentikannya. Tama menatap pria itu dengan sorot mata yang tajam, begitu 'pun sebaliknya.

"Ga usah ikut campur, Pak!" bentak pria itu.

"Berapa?" tanya Tama.

Pria itu menatap heran ke arah Tama.

"Berapa utangnya?" jelas Tama.

"Tiga puluh dua juta," jawab salah satu pria berbadan kekar.

"Berapa nomor bos kalian?" tanya Tama.

"Buat apa--"

"Berapa?" tegas Tama yang memotong ucapan pria yang berada di hadapannya.

Mereka memberikan sebuah nomor. Faris dan ibunya hanya menatap Tama yang sedang berdiri di antara mereka. Tak seperti para tetangga yang merasa takut, Tama justru ikut campur.

"Halo, Pak bos," ucap Tama dalam panggilan telponnya.

"Saya lagi sama tiga orang rentenir Bapak nih, jadi ... berapa total utangnya?"

"Iya, yang punya toko tanaman hias itu," lanjut Tama.

"Saya Pamannya."

Faris dan Ibu nya menatap heran ke arah Tama.

"Oke, sebentar."

Tama menghentikan panggilannya, ia membuka ponselnya dan melakukan sesuatu. Tak butuh waktu lama, Tama berjalan ke arah para rentenir itu dan menunjukkan layar ponselnya. Saat itu juga mereka bertiga bubar meninggalkan Faris dan Ibunya.

Faris menghampiri Tama, "om abis ngapain?" ucapnya heran.

Tama menepuk kepala Faris, "ga ngapa-ngapain kok."

Mata Faris berkaca-kaca, ia tahu apa yang sebenarnya Tama lakukan.

"Ga seharusnya, Om terlibat ... ini urusan keluarga saya," ucap Faris lirih merasa tak enak.

"Pak, saya akan membayar semua utang suami saya ke Bapak," tutur Ibu Faris pada Tama.

"Ga dibayar pun ga masalah kok, saya iklas," ucap Tama tersenyum.

"Dibayar pun juga gapapa, saya ga mau memberatkan atau membuat rasa ga nyaman untuk Ibu dan Faris," lanjut Tama.

"Kalau, Bapak bersedia, saya bisa jadi asisten rumah tangga ...."

Tama menghentikan ucapan Ibu Faris, ia melihat toko tanaman yang Faris miliki.

"Kalau Ibu berkenan membalas budi, gimana kalau saya beli seluruh toko ini?" tanya Tama.

"Semua yang ada di toko ini belum setimpal dengan nominal--"

"Saya beli semua tanaman di sini seharga tiga puluh dua juta, di tambah Ibu dan Faris yang akan tetap menjaga toko ini. Saya mau tokonya di pindah ke halaman rumah saya, nanti anak saya yang pegang tokonya. Tugas Ibu dan Faris, membantu anak saya dalam mengelola toko dan merawat tanaman. Ga usah khaawatir untuk penghasilan ke depannya, ada gaji intensif untuk Ibu dan uang sekolah plus jajan dari saya untuk Faris."

"Terimakasih, terimakasih banyak, Pak," ucap Ibu Faris sambil bersimpuh di hadapan Tama, tetapi Tama segera membantunya berdiri kembali. Ia hanya berusaha membantu, bukan untuk di dewa-dewakan sehingga seseorang bersimpuh padanya.

"Faris, ikut saya sebentar ya," ajak Tama.

Tama dan Faris berjalan dan masuk ke dalam mobil. Tama membawanya ke rumah.

"Mau ngapain, Om?" tanya Faris.

"Muka kamu babak belur, harus diobati dulu," jawab Tama.

Tama membawa Faris ke dalam rumah, ia juga memanggil Aqilla untuk membersihkan luka Faris. Faris duduk dan Aqilla duduk di depannya, Aqilla membawa alkohol dan juga kapas, ia mengobati Faris dengan pelan. Faris cukup terpana dengan kecantikan Aqilla.

"Istri saya cantik?" tanya Tama yang melihat Faris melamun menatap Aqilla.

"Eh--iya, Tante Aqilla cantik dan Om Tama ganteng," tutur Faris.

"Nanti Nada gedenya begitu," lanjut Tama yang membuat Aqilla menahan Tawanya.

Wajah Faris memerah, ia tersipu malu dan canggung di hadapan kedua orang tua Nada.

"Kamu ga sekolah?" tanya Aqilla.

"Saya diskors," jawabnya dengan tatapan yang sendu.

Tama membuka sarung tangannya dan menghampiri Faris, ia menpuk pundak anak itu. Aqilla menatap ke arah tangan suaminya yang berada di pundak Faris.

"Kenapa diskors?" tanya Tama.

"Saya berantem, Om," jawab Faris.

Sekelibat memori terlintas di dalam pikiran Tama, ia menonton segala pertikaian dan masalah antara Faris dan seorang Beni Sancaka.

"Beni Sancaka itu, siapa?" tanya Tama secara tiba-tiba.

"Beni?" tanya Faris heran. Ia tak pernah menyinggung soal Beni di depan Tama.

"Aih--" Tama menggaruk kepalanya, ia tampak memikirkan alasan yang logis.

"Dia pernah ke sini sih, saya lihat dia cukup dekat sama Nada," ucap Tama beralasan.

Sejujurnya Tama mengetahui Beni dari ingatan Melodi yang sebagian rusak. Mungkin Melodi tak mengingat hari di mana Beni hampir berbuat bejat padanya, tetapi kemampuan Tama tak bisa ditipu, ia melihat segalanya.

"Dia pacarnya Nada," jawab Faris.

"Pacar?" Tama mengerutkan dahinya, diiringi dengan matanya yang menyipit hampir seluruhnya.

"Sayang, bisa tinggalin kita berdua," ucap Tama pada Aqilla.

"O-oke." Aqilla berjalan pergi meninggalkan Tama dan Faris berdua.

"Bocah, aku bisa mempercayakan sesuatu padamu?" tanya Tama dengan sorot mata yang tak bercanda.

Faris menatap Tama sambil menelan ludah, ia merasa akan mendapatkan tanggung jawab yang besar.

.

.

.




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top