14 : Tantra

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Tiba-tiba Beni tertawa karena melihat ekspresi Melodi yang ketakutan, ia mengusap rambut Melodi dan mencoba menenangkannya.

"Takut ya? Jangan takut! Kamu belum pernah keliling kota Bandung kan?" tanya Ben.

Melodi hanya menggeleng.

"Hari ini kita keliling Bandung," lanjut Ben.

"Kamu bukan panglima perang kan?" tanya Melodi.

"Aku Beni, bukan Dilan," jawabnya sengan senyum tipis.

Aku Melodi, bukan Nada! batin Melodi yang sebenarnya merasa kecewa. Seharusnya jika Beni benar-benar menyukai Nada, ia dapat membedakan mereka berdua. Namun, nyatanya Beni tak bisa membedakannya.

"Abis temen-temen selesai sarapan, kita berangkat."

Tiga puluh menit berlalu, semua anggota geng motor Wanaraja tampak bersiap-siap. Pria kekar berkulit hitam yang sempat membuat Melodi takut, sepertinya merupakan memimpinnya. Ia berada di depan barisan, memimpin konvoi ini.

Mereka cukup tertib dan berjalan di kecepatan yang tergolong santai. Sejujurnya, Melodi cukup menikmati perjalan berkeliling kota Bandung itu. Awalnya ia pikir, anggota geng motor ini akan ugal-ugalan di jalan, tapi dugaannya meleset.

Mengingat hari yang semakin siang, mereka semua berhenti di sebuah warung makan dan beristirahat di sana.

"Gimana, seru ga?" tanya Ben.

Melodi hanya mengangguk. Sejujurnya, ia hanya ingin tahu apa yang dilakukan Ben ketika mengajak Nada berkencan. Ia tak ingin Nada di rusak oleh pria yang tidak baik, tetapi menurutnya Ben tidak seberengsek itu. Ia masih menghargai wanita, tak seperti rumor yang beredar, jika Ben adalah seorang berengsek berhidung belang.

Ben berjalan ke arah pimpinannya, meninggalkan Melodi sendirian. Seorang pria dengan rammbut gimbal datang dan menggodanya. Karena merasa takut dan tak nyaman, Melodi menghampiri Ben.

"Yakin dia ga akan sadar?" Melodi mendengar sedikit percakapan pelan mereka.

"Serius, cuma satu tetes aja udah klepek-klepek," jawab pimpinannya.

Hah? Satu tetes apa? batin Melodi.

"Ben," panggil Melodi.

"Eh--Gina," Ben segera bangkit dengan wajah pucat.

"Aku bilang kan tunggu aja di sana, aku cuma sebentar kok," lanjut Beni.

"Lagi ngomongin apa?" tanya Melodi.

Ben tampak berpikir, tetapi pimpinan mereka menjawab pertanyaan Melodi.

"Racun tikus."

"Di basecamp banyak tikus, jadi aku lagi nyuruh pacarmu buat masang perangkap di basecamp," lanjutnya.

"Yaudah, Ben, lanjut sana pacaran. Bentar lagi kita langsung gas pulang."

"Siap, Bos," balas Ben yang menggandeng tangan Melodi dan membawanya menjauh dari bosnya.

Melodi mulai merasa gelisah. Entah, instingnya mengatakan bahwa ia sedang tak baik-baik saja. Wanaraja memang seperti anak baik-baik, hingga seorang pria datang ke warung makan tersebut, pria dengan seragam sekolah.

"Sekolah mana? Hari sabtu kok masuk?" tanya salah seorang anggota Wanaraja.

Pria itu hanya membalasnya dengan senyum yang ramah.

Brak!

Anggota Wanaraja itu menendang pria dengan seragam sekolah hingga tersungkur di tanah.

"Kalo ditanya itu, jawab!" bentaknya.

Pria itu tak membalas, ia sontak menoleh ke arah Melodi sambil menatapnya. Pria itu tampak menyipitkan matanya, menajamkan pandangannya pada Melodi.

"Ben, pacar lu diliatin sampe kayak gitu," ucap salah satu anggota lainnya yang memprovokasi Beni.

Beni berjalan ke arah pria itu.

"Kamu mau ngapain?" ucap Melodi yang menarik jaket jeans milik Ben.

"Tunggu di sini, sebentar," ucapnya sambil menatap pria itu tajam.

Ben melepaskan pegangan Melodi, ia berjalan ke arah pria yang masih terduduk di tanah itu.

"Ngapain lu liatin pacar gua?" tanya Ben yang merasa tak senang melihat pacarnya ditatap pria yang ia tak kenal.

"Dia ga nyaman--" ucap pria itu.

"Dia merasa takut, dan dari tadi berteriak mau pulang," lanjutnya.

Ben membantu pria itu berdiri.

"Makasih udah dikasih tau," ucap Ben sambil tersenyum.

"Sama-sam--"

Tinju Ben menghantam ulu hati pria itu hingga tersungkur kembali ke tanah.

"Beni!" Melodi berlari ke arah Ben dan berusaha menghentikan mereka.

Ben menatap seragam pria itu.

"SMA Dharmawangsa?" tanya Ben.

"Anak-anak cupu," ucapnya sambil memberikan jempol ke bawah.

Melihat Melodi yang cukup panik, Ben dan anggota Wanaraja melepaskan pria itu. Setelah cukup beristirahat, mereka melanjutkan perjalanan menuju Braga. Hingga tak terasa mentari telah berada di ujung petang, Ben dan geng motornya berhenti di sebuah rumah yang agak besar. Rumah itu terletak agak jauh dari Braga.

"Ini ke mana lagi?" tanya Melodi yang tampak lelah.

"Basecamp Wanaraja," jawab Ben singkat.

"Udah sore, aku mau pulang," balas melodi.

"Iya, tunggu ya, kita istirahat sebentar. Capek nih bawa motor."

Beni masuk  ke dalam basecamp, sedangkan Melodi duduk diluar. Tak butuh waktu lama, Ben keluar membawa dua gelas teh hangat.

"Aku minum dulu, abis itu kita lanjut pulang." Ben meminum teh itu.

Melodi yang tampak haus juga mengambil teh itu dan mulai menyeruputnya. Ia melirik ke arah Ben yang sedang tersenyum.

Cuma satu tetes aja udah klepek-klepek.

Tiba-tiba Melodi mengingat percakapan Ben dan pimpinan Wanaraja, ia agak pucat.

"Yuk, kita pulang." Ben beranjak dari duduknya.

Tetapi Melodi masih duduk di kursi teras.

"Gina, Gin," panggil Ben.

Melodi tampak pusing, pandangannya kabur.

"Kalo kamu ngantuk, tidur aja dulu." Ben menggendong Melodi dan membawanya ke dalam sebuah kamar, ia merebahkan Melodi di atas kasur.

"Gin, Gina?"

"Oiiiii." Ben menampar pelan pipi Melodi, tak ada respon.

Seringai menyeramkan itu kembali muncul sambil menatap tubuh Melodi. Ben membuka jaketnya dan meletakkannya di balik pintu, ia menutup pintu kamar.

Trang~

Lampu-lampu di basecamp pecah keadaan basecamp menjadi agak gelap, mengingat waktu maghrib telah tiba.

Teriakan demi teriakan terdengar, suara itu adalah suara dari anggota-anggota Wanaraja. Ben menatap ke arah pintu yang tertutup, ia tak tahu apa yang sedang terjadi.

Tok ... tok ... tok

"Siapa?" teriak Ben yang mendengar suara ketukan pintu.

Tak ada jawaban.

Tok ... tok ... tok

"Kamar udah full," ucap Ben.

"Ketika sang hakim memutuskan, Sang Algojo pergi untuk melaksanakan," ucap seseorang dari balik pintu.

"Tidak ada yang tahu siapa dalang di balik ini semua, tanpa bukti, tanpa jejak." Setalah kalimat terakhir, suasana menjadi tenang.

Kalimat yang pernah di lontarkan Tama ketika mengutus Dirga untuk menghajar Jordan dan Erik.

Pintu terbuka dengan sendirinya, tak ada siapapun, Beni berjalan ke arah pintu untuk mengetahui berengsek mana yang mengganggunya. Namun, langkahnya terhenti ketika merasakan hembusan napas seseorang dari arah tengkuk belakangnya.

"Seolah-olah takdirlah sebenar-benarnya pedang keadilan yang diutus oleh langit untuk menghukum orang-orang jahat." 

Beni sontak menoleh ke belakang, tetapi tak ada siapapun di sana.

"Sial," ucapnya merinding.

Tiba-tiba seseorang memukul tengkuknya hingga membuat Beni tersungkur di lantai, kesadarannya hilang. Yang ia ingat hanya seorang dengan topeng aneh berdiri di hadapannya.

Pria itu mengambil ponsel dari kantong celananya dan menelpon seseorang.

"Rav, cewek yang lu maksud itu--"

"Cewek berbaju putih dibalut cardigan hitam. Rambutnya sepanjang punggung," potong orang di balik telpon.

"Dia ketakutan. Di tambah isi pikiran geng motor tadi ngaco semua, ga beres."

"Oke, dia aman sekarang," ucap pria bertopeng.

***

Waktu menunjukkan pukul pukul 22.15.

Melodi membuka matanya, kepalanya masih terasa pusing.

"Meloooo." Nada memeluk Melodi yang baru saja sadar.

"Nada? Aku di mana?" tanya Melodi.

"Kamu di rumah! Kamu udah pulang," jawab Nada.

Melodi menoleh ke pintu kamarnya, Tama dan Aqilla menghampirinya.

"Kamu abis dari mana? Abis main sama siapa?" tanya Aqilla yang khawatir.

Melodi tampak memegangi kepalanya, "aku ga inget," ucapnya.

"Kamu masih inget, Bunda kan?"

"Inget kok. Aku cuma ga inget tentang kejadian hari ini, ada apa sih rame-rame?"

"Tadi kamu di anter pulang sama Deva," ucap Aqilla.

"Deva? Kok bisa?" Melodi merasa semakin bingung.

Aqilla menjelaskan apa yang terjadi, ia menceritakan hanya berdasarkan cerita dari Deva.

***

Sementara itu, Deva sedang duduk di rooftop sekolah yang bernuansa apartemen. Ia memandangi pemandangan kota Bandung dari atas sana.

"Lu kenal sama cewek tadi?" tanya pria yang sempat dipukuli oleh anggota Wanaraja.

"Namanya, Melodi. Anaknya Om Tama," balas Deva.

"Whoa! Tama mantra?" tanya orang itu antusias.

"Rava, Rava--"

"Lu masih terobsesi banget sama mantra?" tanya Deva.

"Bukan Rava namanya kalo ga terobsesi sama mantra," ucap seorang pria yang baru saja tiba di rooftop.

"Oh, Kevin," sapa Rava pada pria berkulit putih dengan rambut agak pirang. Pria itu berwajah dingin dengan aura yang mirip seperti Tama.

"Kalo bukan karena Rava--" Rava dan Kevin menatap ke arah Deva yang tiba-tiba berbicara.

"Mungkin Melodi udah di apa-apain sama orang-orang brengsek idung belang itu."

"Kalo bukan karena Kevin, kita ga akan pernah tau letak posisi mereka ada di mana--" lanjut Deva.

"Era mantra udah berakhir--" Deva beranjak dari duduknya dan berdiri menghadap ke arah kota Bandung. Rava dan Kevin berjalan ke arahnya, mereka berdiri sejajar sambil menatap kota yang sama.

"Kelebihan ini adalah kekuatan," ucap Rava.

"Kekuatan ada untuk melindungi yang lemah," lanjut Kevin.

"Waktunya Tantra mengukir sejarah baru," timpal Deva sambil menggenggam tangannya.

.

.

.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top