12 : Ranah Yang Tak Boleh Disentuh
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.
Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.
.
.
.
Sudah beberapa minggu ini Nada dan Faris tak pernah bicara, bahkan Nada memutuskan untuk pindah tempat duduk di sebelah Ervina. Hampir setiap jam istirahat, Beni mengunjungi Nada di kelasnya dan hampir setiap hari mereka pulang bersama. Kini giliran Melodi yang merasa ditinggalkan.
Sabtu pagi ini, Nada bertemu kembali dengan tanaman-tanamannya yang tak pernah ia urus jika hari sekolah. Seperti biasa, Nada memasang musik lofi dengan ponselnya untuk menambah mood paginya, terukir jelas guratan di sudut-sudut bibirnya. Tanpa ia sadari jika seekor reptil sejenis kadal hinggap di bajunya, Nada yang menyadari hal itu sontak berwajah pucat dan berteriak-teriak histeris.
Sejujurnya, Nada takut dengan binatang berjenis reptil. Jangankan kadal, bahkan cicak saja bisa membuatnya menangis. Ia berjongkok sambil menutup matanya, hingga tiba-tiba seseorang memegangi Nada.
"Diem, jangan gerak," ucap orang itu.
Orang itu mengambil kadal yang hinggap di baju Nada dan melepaskannya di pepohonan. Nada menatap orang itu dengan mata berkaca-kaca dan napas yang tak beraturan.
"Sekarang udah gapapa," ucap Faris.
Ya, siapa lagi jika bukan Faris. Rumah mereka tak begitu jauh, dan lagi sudah menjadi rutinitas pagi Faris untuk membeli sarapan di warung Bu Mimi, tentu saja ia selalu melewati rumah Nada.
Aqilla tiba-tiba saja keluar, ia penasaran dengan teriakan histeris Nada barusan, Aqilla melihat Nada dan Faris, ia memutuskan menghampiri Faris.
"Eh ada, Faris," ucapnya.
"Eh, ada, Bunda nya Nada," balas Faris tersenyum ramah.
"Masuk dulu sini, kebetulan, Bunda habis bikin kopi, kelebihan satu gelas."
"Faris langsung aja--" Belum selesai Faris berbicara, Aqilla menarik Faris dan menyuruhnya duduk di teras rumah. "Diem dulu sini, duduk," ucap Aqilla.
Faris duduk sambil memperhatikan Nada yang sedang menyirami tanaman, tanpa sadar Faris tersenyum.
"Cantik ya?" tanya Aqilla yang datang membawa secangkir kopi.
"Iya, Bun," jawab Faris refleks.
"Eh--" Wajah Faris memerah, ia sepertinya salah tingkah karena jawaban refleksnya.
"Diminum dulu, abis itu baru pulang," ucap Aqilla.
"Tau kan cara minum kopi?"
"Ya tau lah, tinggal diminum kan?" balas Faris.
"Salah--" Aqilla menggeleng.
"Dihirup aromanya sambil diseruput pelan-pelan kopinya. Coba deh."
Faris mengikuti arahan dari Aqilla, Faris menutup matanya sambil mendekatkan cangkir kopi itu pada hidungnya dan menghirup aromanya, kemudian ia turunkan sedikit cangkir kopi itu lalu menyeruputnya perlahan.
"Kopi hitam itu rasanya pahit! Ia mengajarkan manusia, untuk selalu menikmati setiap rasa pahitnya kehidupan," ucap Tama yang tiba-tiba keluar memakai jersey liverpool, sepertinya Ayah Nada ini ingin melakukan rutinitasnya untuk lari pagi.
Tama dan Faris saling bertatapan. "Selalu ada hikmah yang bisa diambil--luka itu adalah guru terbaik."
"Tapi kalo terlalu pahit juga ga enak kali, Yah," timpal Aqilla.
"Faris," panggil Aqilla.
"Kalo pahit banget bilang ya."
"Enggak kok, Bun, rasanya pas banget," balas Faris.
"Kalo pahit minta gulanya sama Nada aja ya, suruh dia senyum," Aqilla menggoda anak ABG itu hingga tersedak air kopinya.
"Jangan gitu, Nada udah punya pacar, saya jadi ga enak nanti," balas Faris.
"Halah! Baru juga pacar." Aqilla masuk ke dalam rumah meninggalkan Faris di teras rumahnya.
Faris masih duduk sambil menghabiskan kopinya, ia memikirkan setiap kata-kata yang keluar dari mulut Tama dan Aqilla tadi. Hingga tak sadar bahwa Nada sedang berjalan ke arahnya, sepertinya Nada sudah selesai dengan pekerjaan paginya.
"Buat yang tadi terimakasih ya," ucap Nada sambil tersenyum.
Faris dengan sigap menghabiskan tetes terakhir kopinya sambil menatap senyum Nada.
"Manis ...," ucapnya lirih.
"Manis?" Nada menyipitkan matanya.
"Ditetes penghabisan, kopinya terasa manis," ucap Faris.
"Ayahku emang barista dulu, dia jago bikin kopi. Bunda juga belajar dari dia, jadi wajar--"
"Masalahnya--senyum kamu yang bikin kopinya manis," potong Faris hingga membuat wajah Nada menjadi merah.
"Ma--makasih," balas Nada sambil tersenyum.
"Aku pulang dulu ya, bisa diabetes lama-lama." Faris berdiri sambil membawa bungkusan sarapan untuk keluarganya.
"Oh iya--maaf kalo beberapa minggu ini terkesan menjauh ya, aku cuma ga mau ganggu hubungan kamu sama Ben, karena Ben kayaknya posesif, tapi sejujurnya aku berharap kita masih bisa kayak dulu," ucap Faris sambil menatap Nada.
"Aku juga minta maaf, aku jadi diemin kamu dan malah pindah tempat duduk biar ga canggung," balas Nada.
"Sejujurnya, kalo kamu butuh bantuan, jangan sungkan buat cerita ya ... walaupun kamu punya Melodi sih."
Nada mengacungkan jempol andalannya, Faris membalasnya dengan senyum tipis dan kemudian melanjutkan langkahnya.
***
Setelah kejadian itu, Nada dan Faris kembali duduk semeja dan kembali pada sikap mereka yang biasanya selalu berbincang. Faris juga tak begitu peduli ketika Ben datang saat jam istirahat. Biasanya Faris akan pergi entah ke mana, tetapi belakangan ini Faris duduk di kursinya, terkadang ia tidur beralaskan meja, terkadang ia juga ikut menimpali setiap obrolan Ben dan Nada. Sejujrunya Ben merasa terganggu dengan hal itu.
Pada satu kesempatan, Nada pulang bersama Melodi. Ben menunggu Faris di parkiran motor, sudah beberapa hari ini ia gerah terhadap Faris yang dekat dengan Nada, Ben memutuskan untuk berbicara empat mata dengan Faris.
"Oi," sapa Ben dengan senyum liciknya, ketika melihat Faris yang tiba di parkiran sambil meminum sebuah jus dengan kemasan yang berbentuk kotak.
Faris hanya mengangkat kepalanya sambil menggerakkan alisnya ke atas, seolah berkata, "apa?" Ia enggan berbicara, mungkin karena sedang sibuk menghabiskan minumannya.
Ben menghampiri Faris dan duduk di jok belakang motornya, sambil merangkul Faris.
"Ris, lu tau kan, Nada itu pacar gue?" tanya Ben dengan nada yang kurang menyenangkan.
"Tau," jawab Faris dengan santainya, sambil menyedot habis jus kotak rasa mangga yang ia beli di kantin.
"Kalo gitu, jangan gangguin Nada lagi!"
"Lu salah paham deh, Ben. Gua punya dua alasan kuat kok. Pertama, Nada ga merasa terganggu atas kehadiran gue. Dan yang kedua--" balas Faris.
"Gua yang terganggu!" bentak Ben memotong kalimat Faris yang belum selesai.
"Nah itu--"
"Yang kedua, gua ga peduli." Faris tidak peduli, apakah Ben merasa terganggu atau tidak.
Ben mengepalkan tangannya dan menghantam Faris tepat di bagian pelipis kanannya. Darah segar mengalir melewati mata Faris, ia menutup mata kanannya akibat darah yang mengalir dari pelipis matanya.
"Lu sadar, apa yang barusan lu perbuat?" ucap Faris meyeruput jus kotaknya sambil menatap tajam ke arah Ben. Faris menggenggam jus kotak itu hingga tak berbentuk lagi.
Ben begidik ngeri menatap ekspresi Faris yang berubah derastis, Faris memang terlihat seperti anak SMA biasa, tetapi jika membahas perkelahian, Faris sudah terbiasa berkelahi, bahkan melawan orang dewasa yang kerap datang ke rumahnya untuk menagih hutang tak jelas yang ditinggalkan ayahnya yang pergi dari rumah.
"Lu beruntung--" ucap Faris sambil mengepalkan jari-jari tangannya.
"Kalo gua masih gua yang dulu--"
"Muka lu bakal berubah jadi kaleng rombeng sekarang."
Faris sering terlibat perkelahian dan sudah mendapat peringatan dari sekolah, ia berusaha menahan semua emosinya saat ini. Di mata Ben, Faris hanyalah seekor monster yang terbelenggu oleh rantai yang kokoh.
"Harusnya lu itu sadar diri, lu itu miskin," ucap Ben.
"Nada itu anak dari Aqilla Maharani, kenal ga lo? Artis itu," lanjut Ben.
"Jangan sekali-kali berani deketin Nada gue lagi!"
Faris membuang sampah minumannya, ia hanya diam membelakangi Ben sambil mendengar semua ocehannya.
"Urus aja Ibu lo yang bau tanah itu!"
Urus aja Ibu lo yang bau tanah itu, urus aja Ibu lo yang bau tanah itu, urus aja Ibu lo yang bau tanah itu .... ctass~
Urat sabarnya putus, Faris memutar tubuhnya dan memberikan bogem lurus ke arah hidung Ben. Semua terjadi begitu cepat, Ben terkapar dengan hidung patah dan mengeluarkan banyak darah. Murid-murid wanita yang melihat kejadian itu berteriak histeris, seketika itu area parkiran ramai dipenuhi oleh siswa-siswi yang belum pulang dan juga jajaran guru.
Faris tak pernah masuk sejak saat itu.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top