11 : Ketika Musik Mempersatukan

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Keluarga Dirga dan Tama duduk dalam satu meja, semua tampak mendengarkan cerita-cerita nostalgia dari kedua kepala keluarga itu. Hingga seorang pria muda dengan rambut agak gondrong masuk ke dalam resto mengenakan kaos abu-abu long sleeve dengan helm full face di tangan kanannya. Pria itu datang menghampiri meja gabungan itu.

"Yah, Dinda udah pulang katanya--" ucapannya terhenti ketika menangkap Dinda dengan matanya, kini Dinda sedang asik dengan zupa soupnya, terlihat bercak-bercak soup yang berceceran di sekitar mulutnya. Seorang gadis membersihkan mulut Dinda yang kotor menggunakan sapu tangan miliknya.

"Kamu sih kelamaan latihannya," ucap Mila.

"Besok-besok jangan nunda-nunda lagi ya, Dev. Untung ada temen, Ayah," timpal Dirga.

Deva masih menatap gadis yang baru saja membersihkan mulut adiknya itu, yang sekarang menatapnya balik.

Dirga hanya tersenyum melihat ekspresi anak pertamanya. "Ga usah terpana, namanya Melodi, anaknya, Om Tama."

"Om Tama?" Deva menatap ke arah pria dewasa yang sedang duduk menatapnya, orang itu mengenakan sarung tangan hitam yang menyelimuti kedua tangannya.

"Gua sering cerita tentang anak mantra," bisik Dirga pada Tama.

"Dia fans berat lu, katanya lu keren," lanjut Dirga.

Deva berjalan ke arah Tama dan mengajak Tama untuk bersalaman, seperti halnya yang muda menghormati yang tua, Deva mencium tangan Tama dan juga Aqilla sambil memperkenalkan diri.

"Keren mana, aku sama ayah mu?" tanya Tama pada Deva.

"Ya, Om Tama lah," ucap Deva singkat.

Tama menatap Dirga dengan senyuman anehnya.

"Hal biasa," balas Dirga.

Deva ikut duduk di antara mereka, ia duduk di sebelah Melodi. Entah, baru pertama kalinya Nada melihat Melodi yang berwajah aneh, tak jarang ia juga seperti orang salah tingkah.

"Jadi, Ayah sama, Om Dirga itu udah deket banget dong seperti keluarga?" tanya Nada.

"Ya, bisa dibilang begitu," jawab Dirga.

"Kalian bisa loh, jadi keluarga beneran," ucap Nada dengan seringainya sambil menatap ke arah Melodi dan Deva.

"Lu yakin Nada itu anak lu kan?" bisik Dirga ke Tama, diiringi dengan anggukan kepala Tama.

"Bukan anaknya Uchul?" lanjut Dirga diiringi gelengan kepala Tama.

"Nada!" Melodi memberikan kode pada Nada untuk segera diam, tanpa ia sadari lengannya menyenggol gelas di ujung mejanya, gelas itu terjatuh.

"Eh--" Ketika Melodi hendak menoleh, Deva sudah terlebih dahulu menangkap gelas yang jatuh itu.

"Terimakasih," ucap Melodi.

"Oke, be careful," jawab Deva.

Nada dan kedua keluarga hanya tersenyum aneh menatap Melodi dan Deva.

"Udah ah, jadi canggung." Deva beranjak dan berjalan ke luar resto, tetapi tak butuh waktu lama ia masuk kembali menggendong tas gitar.

"Kamu main gitar?" ucap Melodi secara refleks.

Semua mata menatapnya, hingga Melodi tersadar dengan ucapan refleksnya dan sontak menutup mulut. Kemudian semua orang menatap Deva seakan menunggu sebuah jawaban.

"Iya, mau coba denger?" tanya Deva juga secara refleks.

Tama beranjak dari duduknya dan menghampiri Melodi, ia mengangkat kursi yang Melodi duduki.

"Ayah, Ngapain si?" ucap Melodi yang kaget karena kursinya diangkat, ia tak bisa turun dan hanya mengikuti ke mana langkah kaki Tama.

Dirga juga beranjak dan merangkul Deva, ia berjalan ke arah Tama.

"Yaudah, coba bawain lagu buat kita semua, anggap aja ini cara buat nebus dosa kamu yang telat jemput Dinda," ucap Dirga.

"Masih untung ada keluaganya Melodi yang mau nganterin Dinda," lanjut Dirga.

Lagu buat kita semua? Tapi kok--

Deva berdiri di hadapan Melodi yang sedang duduk di kursi yang berada tepat di hadapannya.

"Oke, oke, kali ini aja," Deva menarik kursi dan duduk di hadapan Melodi.

Tak begitu jelas, Deva tak bernyanyi, ia hanya bermain gitar membawakan sebuah lagu tak bervokal. Hingga di suatu part lagu yang sepertinya merupakan reff dari lagu tersebut, Melodi membuka suaranya.

"Baby, baby blue eyes, stay with me by my side, till the morning, through the night."

Sontak membuat Deva yang sedari tadi menatap senar-senarnya kini mengangkat kepalanya dan menatap Melodi yang kini membuat alunannya menjadi bervokal. Kini mereka berdua membawakan lagu baby blue eyes dari a rocket to the moon.

Saling melengkapi, batin Nada sambil tersenyum jahat.

"Ketika musik mempersatukan," ucap Aqilla sambil menatap Melodi yang sedang bernyanyi. Entah, sudah berapa lama ia tak mendengarkan suara anaknya bernyanyi, kini Aqilla terpukau dengan performa Deva dan Melodi.

Nada mengambil kamera yang tadinya ia ingin gunakan untuk mengambil gambar adik kecilnya yang sedang berulang tahun, siapa sangka, sekarang  justru ia gunakan untuk memotret adegan yang hanya terjadi seribu tahun sekali ini.

Setelah selesai dengan permainannya, Deva memasukan kembali gitarnya ke dalam tas, Melodi berdiri dan menghampirinya.

"Permainan yang bagus," ucap Melodi.

"Thanks," jawab Deva.

"Boleh pinjem?" tanya Melodi yang ingin meminjam gitar milik Deva.

"Boleh aja." Deva mengeluarkan gitarnya lagi dan memberikannya ke Melodi.

"Agak penasaran sama skill seorang anak dari Aqilla Maharani," ucap Deva.

Aqilla memang seorang musisi wanita yang terkenal, terutama di kalangan para musisi milenial. Seperti mendapat tantangan, Melodi mengambil kunciran rambut di kantong seragam sekolahnya dan mengikat rambutnya ke belakang. "Oke," ucapnya pada Deva.

Melodi membawakan lagu Home milik Michael Bublé.

"Let me go home, i'm just too far, from where you are, i wanna come home." Semua orang ikut menyanyikan lagu itu, kecuali Vian dan Dinda yang masih belum mengerti.

"Dev," panggil Dirga, sontak membuat Deva menoleh ke arah Ayahnya.

"Ga mau latihan bareng Melodi aja? Setara guru les private loh kemampuannya," ucap Dirga.

"Sekalian main-main ke rumahnya Om Tama."

Deva hanya tersenyum diiringi gelengan kepalanya sambil memasukkan gitarnya kembali yang sudah selesai digunakan oleh Melodi.

"Kalo ga, kalian buat grup band atau akustikan gitu, nama grupnya, Mantra," timpal Aqilla.

"Ada-ada aja," ucap Deva sambil berjalan ke arah Melodi.

"Boleh minta nomor kamu?" tanya Deva pada Melodi.

"Eh jangan diliatin, jangan diliatin." ucap Nada pada semua orang.

"Ya, kalo emang mau buat grup akustikan, siapa tau--"

Melodi menarik tangan Deva dan menuliskan nomor hpnya di telapak tangan Deva.

"Lancarin lagi tapi main gitarnya, lebih di eksplore lagi," ucap Melodi sambil tersenyum.

"Iya deh tau, yang jago mah beda," timpal Deva.

"Aku duluan ya." Deva berjalan dan masuk ke dalam rumahnya lewat pintu yang berada di samping resto.

"Udah pergi orangnya hoi! Masih aja diliatin," ledek Nada.

"Nada!" Melodi memutar tubuhnya dan berlari ke arah Nada.

"Gara-gara kamu nih." Melodi mencubit-cubit Nada yang sedang menertawainya.

"Tapi seneng kan?" tanya Nada.

"Ga," jawab Melodi singkat, dengan senyum tipisnya.

Setelah itu mereka melanjutkan kegiatan utama mereka, yaitu perayaan ulang tahun Vian. Tama memasang lilin ulang tahun dan menyalakan api.

"Ayo, ditiup lilinnya sambil berdoa," ucap Aqilla pada Vian yang duduk dipangkuannya.

Sebelum Vian meniup lilin ulang tahunnya, tiba-tiba saja keluar darah dari hidungnya.

"Dek, kamu mimisan!" Sontak Nada mengambil sapu tangan dan membersihkan hidung Vian.

Setelah itu, Vian beranjak dari duduknya dan mendekatkan wajahnya pada kue ulang tahunnya, ia meniup lilin ulang tahunnya hingga padam.

"Kamu minta apa?" tanya Nada penasaran.

Vian hanya menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya, seolah berkata. "Rahasia."

Setelah itu Tama dan keluarganya berpamitan pada Dirga.

"Gua pamit dulu," ucap Tama.

"Lain kali mampir lagi," balas Dirga.

Tama mengepalkan tinjunya dan mengarahkannya pada Dirga, Dirga hanya tersenyum sambil membalas tos khas milik mereka dengan kepalan tinjunya.

Dirga hanya menatap Tama yang perlahan masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan resto miliknya.

"Kamu pasti kangen banget ya sama anak Mantra?" tanya Mila yang melihat air mata keluar dari mata Dirga.

***

"Foto yang ada di sini ke mana?" tanya Tama yang menyadari sebuah foto hilang dari mobilnya.

"Ini." Vian memberikan sebuah foto dengan potret seluruh anak Mantra di dalamnya.

"Kembaliin lagi dong ke tempatnya, kalo habis kamu lihat," ucap Tama.

Vian menempelkan kembali foto tersebut ke tempat yang seharusnya.

"Dek, tadi pas niup lilin, kamu minta apa sih? Kakak penasaran," tanya Nada lagi.

Tak ada yang tahu, Vian adalah anak yang unik. Melihat ekspresi Ayahnya dan pria yang bernama Dirga itu, Vian hanya berdoa untuk mempersatukan kembali orang-orang yang berada di dalam foto milik ayahnya yang sering kali ditatap oleh Tama, ketika sedang sendirian sambil menikmati secangkir kopi.

"Kamu mimisan lagi, Dek!"

.

.

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top