Lastri dan Jarwo
Suatu malam di kala hujan badai dengan dibarengi beberapa kali petir menyambar, sepasang jendela kayu di sebuah rumah dusun Sidoarjo bertalu-talu kencang. Tidak dihiraukan kebisingan-kebisingan itu, sebab sepasang suami istri petani yang menghuni rumah tersebut sedang asyik masyuk di ranjang pengantin.
Bunyi keriat-keriut terdengar di dalam kamar. Ranjang kayu dari pohon jati itu tak berhenti bergoyang selama berjam-jam seiring kian ganasnya manuver serangan Pak Tani menjebol pertahanan Bu Tani. Sudah lebih dari lima tahun, kasur kapuk merah bermotif garis-garis putih telah menjadi saksi liarnya Pak Tani menjelajahi geografi tubuh Bu Tani. Namun, selama waktu itu pula, usaha genjotan bertubi-tubi Pak Tani terhadap Bu Tani masih belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Pasangan itu belum dikaruniai buah hati.
Setelah hujan mereda, habis pula bahan bakar Pak Tani untuk memompa istrinya malam itu. Dengan tubuh yang masih berkeringat di balik selimut, mereka berdua terbaring kelelahan.
Pandangan Pak Tani menerawang ke langit-langit. Pikirannya silang sengkarut mencoba mencari di mana letak kesalahannya dalam membuahi Bu Tani. Berbagai gaya telah ia coba. Soal stamina ia mampu bertahan berjam-jam. Tubuh segar bugar. Torpedo? Hah! Pak Tani tersenyum meremehkan. Ia berani mengadu dengan semua pemuda di dusunnya, kalau milik dirinyalah yang paling yahud.
"Sudah Mas, jangan terlalu dipikirkan," ujar Bu Tani, ia tahu hal apa yang ada di benak suaminya. "Kalau sudah rezekinya kita pasti dikasih, kok."
Pak Tani tersenyum lemah sambil membelai rambut perempuan di sampingnya. "Iya, Sayang. Makasih sudah mengingatkan," jawab Pak Tani setelah mencium kening istrinya.
Tak lama setelah itu terdengar pintu digedor beberapa kali. Pasangan suami istri itu terperanjat kaget. Pak Tani langsung menyambar sarung dan memakainya. Pak Tani meminta istrinya untuk diam di kamar sementara ia mengecek keadaan di luar.
Tidak butuh lama untuk Bu Tani menunggu suaminya kembali. Namun, perempuan itu terperangah melihat apa yang dibawa suaminya ke kamar. Sepasang bayi kembar yang masih merah dibungkus hanya dengan beberapa lembar kertas koran.
Pasangan suami istri itu sepakat untuk mengadopsi bayi kembar tersebut. Hitung-hitung sebagai pancingan sebelum mereka mendapatkan seorang anak kandung.
Pak Tani menamai bayi kembar yang berjenis kelamin lelaki dengan nama Jarwo. Sedangkan Bu Tani memberikan nama Lastri untuk yang perempuan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top