Bejo (1)
Aku Bejo, kata orang namaku artinya beruntung. Padahal enggak juga. Dalam realita nasibku lebih banyak sialnya daripada mujurnya. Aku tak pernah menang undian atau lotere. Sekadar hadiah payung cantik pun tak pernah dapat. Arisan selalu dapat antrian paling belakang. Apalagi pasang togel, jangankan empat angka, buntut saja tak pernah tembus!
Dalam urusan asmara, wajahku tidak masuk kategori standar tampan nasional, jadi sudah dipastikan aku harus berusaha keras untuk mendapatkan cinta wanita. Dari lima wanita yang aku dekati, tiga diantaranya mengganggapku hanya teman biasa. Satu gadis menganggapku budaknya, yang menghubungiku kalau ada butuhnya saja. Dan, satu perempuan lagi bahkan sama sekali tidak peduli dengan keberadaanku yang mencoba untuk mendekatinya, di matanya aku seperti remah rengginang yang ada di kaleng Khong Guan.
Katanya di zaman sekarang banyak cara bagi pria untuk mendapatkan hati wanita. Bila wajah tidak cukup mendukung, mungkin isi rekening bisa membantu. Tapi bagaimana ya, masalahnya dompetku pun kosong. Di rekening hanya ada sisa saldo minimal yang kalau bisa ditarik sudah aku tarik dari kemarin-kemarin. Waktu Corona melanda, aku termasuk dari sekian banyak korban PHK, dan saat pemerintah mulai lelah menghadapi pandemi ini, lalu akhirnya mereka membuat istilah new normal, seketika itu pula aku menjadi bagian dari kaum new miskin.
Cukup sudah perkenalannya. Karena sebagian besar dalam kisah ini bukan bercerita tentang diriku, melainkan tentang kehidupan keluarga temanku. Aku di sini hanya sebagai saksi mata dan penyambung lidah, karena sebab satu dan lain hal temanku tidak dapat menceritakannya sendiri kepada Anda sekalian.
Baik, mari kita mulai kisahnya. Silsilah Keluarga Cemani berawal dari seorang pemuda bernama Sugih. Ia anak seorang petani yang mulai bosan disuruh-suruh Ayahnya mencangkul sawah tiap hari. Suatu hari ia sudah jengah dan memutuskan untuk kabur dari rumah. Lalu ia pun pergi merantau ke kota Bandung dan berkarir menjadi tukang bakso.
Tulisan "Bakso Mas Sugih" terpampang nyata di kaca gerobak roda baksonya yang berwarna cokelat. Dalam sekejap Mas Sugih memiliki banyak pelanggan tetap, dari anak sekolah, karyawan pabrik, pembantu rumah tangga sampai calon pengusaha. Bakso Mas Sugih laris karena selain harga miring, rasa kuahnya begitu gurih dan ukuran baksonya besar-besar melebihi besarnya kepala orang-orang yang sombong.
Mas Sugih adalah salah satu pelopor yang mengenalkan bakso urat kepada khalayak ramai. Bila sekarang kita cari di kotak pencarian Google dan bertanya, "Siapa penemu bakso urat?" dipastikan nama Mas Sugih tidak akan muncul. Seiring berjalannya waktu peminat bakso urat membeludak, tukang bakso lainnya pun meniru dan memodifikasi bakso uratnya masing-masing. Apa Mas Sugih marah dan meminta royalti karena temuannya ditiru? Tidak. Mas Sugih orangnya rendah hati dan tidak mau terkenal. Ia tidak mau temuan bakso uratnya di hak pantenkan, karena ia sendiri pun tidak tahu ke lembaga mana harus mendaftarkan bakso uratnya.
Meskipun begitu sebagian besar pecinta bakso garis keras tetap memilih bakso urat Mas Sugih. Bagi mereka yang original adalah yang terbaik. Selain itu, karena rasa kuah bakso Mas Sugih bikin candu dan terlalu gurih untuk dilupakan. Tidak sia-sia selama ini usaha Mas Sugih mencari resep terbaik bagi kuah baksonya. Bumbu daun ganja memang yang terbaik. Mas Sugih tersenyum bahagia melihat pelanggan-pelanggan setianya menyeruput kuah baksonya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top