31. Setting Luar Negeri
Materi: Setting di Luar Negeri
Hari/tanggal: Senin/20 Februari 2017
Tuttor : AbiyashaAbiyasha
Notulen :Jeon_Eun
Disclaimer :theWWG
=====>>>>>=====<<<<<=====
Ps: Mohon maaf bila banyak kata disingkat.
Kita bahas tentang setting ya, khususnya yang doyan sama setting di LN :)
✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩✩
★ MATERI ★
Jadi kemarin saya meminta Irma buat mengumpuli pertanyaan, dan ternyata pertanyaannya banyak banget. Ada lebih dari 25, jadi malam ini, saya cuma pilih beberapa.
Jadi, sama kayak kalau kita riset tentang setting di dalam negeri, riset buat setting di LN juga sama, bedanya mungkin di bahasa dan letak geografis. Tapi itu pun sebenarnya bisa diakali, asalkan kita ulet.
1. Googling
Ini cara paling ampuh.
Apa pun pertanyaan kamu, Google pasti punya jawabannya.
Jangan cuma pakai Google search aja kalau kalian mau ngambil setting di luar negeri.
Pakai juga Google map.
David Nicholls (penulis ONE DAY, yang versi filmnya dibintangi Anne Hathaway) bahkan menggunakan Google Map untuk riset tentang Bologna karena dia sendiri belum pernah ke sana.
Google map penting untuk mengetahui nama jalan, menghitung jarak dari poin A ke poin B (baik jalan kaki, naik mobil, maupun kendaraan umum) jadi kalian bisa dapet perkiraan waktu tempuh.
Google juga tentang sejarah satu tempat, kejadian2 apa aja yang pernah ada di sana, trademark/cirri khas tempat itu, budayanya kalau perlu.
Tiap kali riset, saya suka baca apa aja yang berhubungan dengan tempat itu, meskipun nanti nggak diapaki di cerita.
Tujuan saya sih biar mengenal tempat itu lebih jauh, jadi akan lebih mudah buat saya ngebayangin berada di sana kalau tahu banyak.
Tapi ini saya ya, mungkin ada juga penulis yang riset sekadar apa yang dibutuhkan oleh cerita itu, dan itu sama sekali nggak salah.
2. Youtube
Cari video sebanyak mungkin tentang tempat yang ingin kalian jadikan setting.
Saya bisa download sampai 5 video untuk satu tempat dari sumber yang berbeda.
Kenapa?
Karena bisa aja kalian dapetin ide dari satu sumber yang bisa kalian masukin ke cerita, yang sebelumnya mungkin nggak terpikir oleh kalian.
3. Cari foto
Sama kayak Youtube, kumpulkan foto sebanyak mungkin, dari berbagai sisi tentang satu tempat.
Ini bertujuan buat ngasih kalian fleksibilitas dan pilihan untuk mendeskripsikan sesuatu, jadi nggak cuma dari sisi A atau B aja.
Kemudian, soal bahasa:
Buat saya, antara penting dan nggak memasukkan bahasa suatu negara/tempat di cerita.
Apakah karakter kalian memang menguasai bahasa itu? Atau ada tokoh yang berasal dari negara/tempat itu?
Kalau misalnya dua karakter kalian orang Indonesia yang pergi ke Prancis dan dua-duanya diceritakan nggak punya kemampuan berbahasa Prancis, jatuhnya malah aneh kalau tiba-tiba kalian masukkan percakapan dalam bahasa Prancis.
Usahakan jangan pakai Google Translate kalau kalian ingin memasukkan bahasa di cerita kalian. Kalau mungkin sekadar percakapan umum seperti menanyakan kabar, cara mengucapkan terima kasih, bisa kalian googling. Buat saya itu masih oke.
★ CONTOH ★
Ini saya kasih contoh, kalian coba pahami baik2 ya?
--- Saya ambil dari salah satu cerita saya di Wattpad. ---
Nggak usah terburu2 bacanya...
Story by Abiyasha:
“Shall we?”
Gue ngerutin kening.
“Ngapain?”
Levi kemudian ngeluarin sesuatu dari saku celananya dan gue ngeliat koin di tangannya. “Throw the coins into the fountain.”
Awalnya, gue masih nggak ngerti sama maksud Levi, tapi kemudian gue sadar. That tradition. Gue cuma muter bola mata tapi nggak beranjak dari tempat gue berdiri.
“Lo pikir gue bakal percaya kalau ngelemparin koin itu bikin gue balik lagi ke Roma? Don’t be ridiculous, Levi.”
“Aku juga tidak percaya, Glenn, tapi tidak ada salahnya kan? Just something to amuse you.”
Gue masih diem, tapi begitu liat Levi masih nunggu reaksi gue, akhirnya gue ngehela napas dan jalan ngampirin dia. He’s right, I can do it to amuse me.
“Awas kalau setelah gue ngelempar koin-koin ini, gue nggak balik ke Roma juga nanti. I will tell people not to do it.”
Kami berdua jalan ngedeketin Trevi Fountain dan pas gue ngulurin tangan buat minta koin itu dari Levi, dia nyerahin koin 1 Euro 6 keping.
“Kamu tahu caranya?”
“Tinggal balik badan dan gue lempar kan?”
Levi ngeraih satu koin yang masih ada di telapak tangan gue.
“Kalau kamu melempar satu koin, maka kamu akan kembali ke Roma. Itu mitos lama yang masih dipercaya banyak orang. Tapi ada mitos lainnya. Kalau kamu melempar dua koin secara bersamaan, kamu akan menemukan cinta yang baru dan kalau kamu melempar tiga koin, kamu akan menemukan cinta sejati yang akan berakhir dengan pernikahan. Kalau kamu melempar tiga koin secara bersamaan, maka akan membawa keberuntungan.”
Levi kemudian naruh kembali koin yang sempet dipegangnya tadi ke telapak tanganku.
“Gue nggak tahu ada mitos kayak gitu.”
“There is this old movie called Three Coins In The Fountain and that’s why the other myth existed.”
“Can I throw the coins now or is there anything else you want to tell me?”
Levi ketawa. “Satu lagi. Kamu harus melempar koin itu dengan tangan kanan melewati bahu kiri. That’s the proper way of throwing the coins.”
Gue masih geleng-geleng, lebih karena heran karena ritual ngelempar koin bis serumit itu. A coin and I’ll be back in Rome? Yeah, right. Two coins and I’ll find a new love? Ridiculous. Three coins and I’ll find a true love that leads to marriage? Absolutely silly. Gue ngelakuin ini buat ngebuktiin kalau nggak ada satu pun mitos itu yang bener. Mau-maunya orang dibodohi dengan cerita kayak gitu.
“Awas kalau lo ketawa.”
Levi cuma ngangkat dua tangannya dan berjalan mundur beberapa langkah. Gue yakin, dia bakal ketawa.
Gue kemudian mindah lima koin ke telapak tangan kiri gue sebelum mainin satu koin di tangan kanan. Gue ngelempar satu koin itu ngelewatin bahu kiri. Yang itu biar gue balik lagi ke Roma.
Plung!
Begitu denger suara itu, gue ngambil dua koin. That one is for finding me a new love.
Plung!
Dan tiga koin terakhir, gue ngelemparin sedikit lebih kuat dan gue denger suara berdenting sebelum denger suara plung. That one is for finding me a true love.
Setelah itu, gue mandang Levi yang akhirnya nggak bisa nahan tawa. “Puas lo sekarang?”
“I guess, we’ll just wait and see, whether the Trevi will grant your wishes or not.”
“Kalaupun iya, gue juga bakal tetep percaya kalau itu nggak ada hubungannya sama koin-koin yang gue lempar.”
Jadi, di Roma, terutama di Trevi Fountain sendiri, ada mitos kalau ngelempar satu koin akan kembali ke Roma, kemudian ada sebuah film berjudul Three Coins In The Fountain yang kemudian jadi semacam mitos juga.
Begitu feri mereka ninggalin Marina Grande, gue jalan-jalan sebentar dia sekitar pelabuhan, minum kopi sebelum naik perahu kecil yang bakal ngebawa gue ngeliat Grotta Azzura. Gue sengaja ngedeketin waktu ke Grotta Azzura sama makan siang, biar bisa sampai di Il Riccio tepat waktu.
Gue lagi beruntung siang itu karena air laut lagi nggak naik. Karena kalau air laut naik, nggak mungkin banget bisa liat Grotta Azzura. Ketika akhirnya gue harus telentang buat masuk gua kecil itu bareng dua turis lainnya, gue kayak berada di tempat lain. Warna biru di dalam gua itu sama sekali beda dari semua warna biru yang pernah gue liat. Gue kayak kena bius. Gue yakin, kalau sama Zack, dia bakal nyewa kapal ini buat kami berdua biar bisa nyium gue di dalem. Tipikal Zack banget.
Karena harus gantian, jadi tiap perahu cuma dibolehin di dalam gua selama 5 menit. Begitu keluar dari Grotta Azzura, gue cuma bisa senyum denger para pengayuh perahu ini slaing teriak dalam bahasa Italia. Atmosfernya bener-bener bikin nggak nyesel jadiin Italia tujuan pertama gue. Baru dua hari di sini, tapi gue udah jatuh cinta.
Begitu bilang mau ke Il Riccio, gue langsung dibawa ke perahu lain.
Gue sempet ngecek di internet dan tanya sama resepsionis, apakah mungkin ke Il Riccio lewat jalur laut dan begitu tahu bisa, gue langung ngerasa lega. Il Riccio memang nyediain perahu buat pengunjung yang mau ke restoran itu setelah dari Grotta Azzura. Dan tentu aja, pengayuh perahu Il Riccio gue ini cakepnya khas cowok Italia. Gue selalu skeptis tiap ada yang bilang kalau cowok Italia itu cakep-cakep, karena nggak mungkin semua cowok satu negara itu cakep. Tapi baru dua hari, dan gue cuma nemu beberapa cowok—di luar mereka yang udah berumur ya—yang tampilannya ngecewain. Nggak salah kalau gue bilang, Italy is the land of good looking men. Gue sama Zack pasti cekikikan nebak cowok mana yang kira-kira gay. Really, it’s unfair how ridiculously good looking these Italian men are.
Gue milih pasta buat makan siang karena somehow, setelah Levi pergi, gue nggak bisa nemuin restoran Italia yang masakannya nandingin masakannya Levi.
Di Italia ini, makanan gue belum pernah ada yang ngecewain. Ditambah pemandangan laut dan cowok-cowok cakep, bukan cuma perut gue yang kenyang, tapi juga mata. Gue sempet mikirin Zack—as usual—dan kira-kira apa yang bakal dia bilang soal restoran ini. This is definitely his kind of place.
★ SESI TANYA JAWAB ★
★Q1:
Misalnya kita googling setting tempat, dalam hal ini di luar negeri. Terus ada banyak banget tempat-tempat yang ingin kita masukkan dalam cerita kita. Bagaimana caranya membuat semua tempat itu masuk ke cerita tanpa kehilangan feel cerita, takutnya karena kebanyakan tempat jadi berasa kayak nulis travel blog gitu bukan nulis cerita.
★A1:
Kamu tanya lagi, perlukah memasukkan semua tempat itu? Ada pengaruhnya nggak ke cerita? Kalau nggak perlu, ya nggak usah pakai terlalu banyak tempat. Buat apa?
Iya. Jangan karena pengen kelliatan keren, terus kalian masukin sebanyak mungkin tempat
★ Q2:
Saya akan bertanya khusus untuk latar luar negeri. misal, negara yg bahasa kesatuannya bahasa Italia. kadang kt perlu menyelipkan sedikit2 bahasa asing ke dlm agar unsur Italianya terasa (bnr gak?). Nah, apakah hny dgn google translate cukup? Maksudnya sbg org awam kita kdg gk tau bagaimana penggunaan bahasa asing (pasti ada tenses, bla3) kalo kt ambil mentah2 dr gog translate, apakah itu oke?
★ A2:
Menyelipkan bahasa itu optional alias pilihan kalau menurut saya. Mau diselipkan boleh, kalaupun nggak, buat saya nggak masalah. Gimana kalau karakter kamu misalnya nggak bisa berbicara dalam bahasa itu? Kan aneh kalau tiba-tiba kamu selipkan bahasa negara itu sedangkan nggak ada penjelasan apa pun di awal kalau dia bisa ngomong bahasa negara tersebut. Saran saya sih jangan pernah ambil dari google translate. Tanya ke temen yang bisa bicara bahasa itu atau yg punya kenalan orang dari negara yang pengen kamu jadikan setting.
★Q3 :
Lalu, gimana sih cara bikin deskripsi2 yg membawa pembaca bnr2 sampai di negara yg kita maksud? I mean, gak semua penulis bisa riset sampe dtg sendiri ke negara tsb, mengapa Ilana Tan bisa mendeskripsikan negara Jepang dgn baik (contoh)? Selain nonton film, riset, wawancara (ini kalo gk pny kenalan luar negeri gmn) apalagi yg dibs kita gali untuk memperdalam teknis menulis setting cerita?
★ A3:
Riset nggak harus datang ke negara terrtentu ya, ini salah kaprah. Internet menyediakan informasi yang cukup banyak kalau kita ulet. Saran saya, kalau kamu riset melalui film, pastikan lagi dengan Googling apakah tempat itu beneran ada atau nggak, soalnya kalau film kan sering ada bangunan2 yang sengaja dibuat untuk kebutuhan shooting. Liat video di Youtube, baca travel blog, cari gambar sebanyak mungkin, kalau perlu, baca juga sejarah tempat itu.
★ Q4:
Misal saya punya setting Korea ya Kak, trs anak kuliahan, jadi harus setting bagaimna jdi mahasiswa sana ya? Hmm, kalau misal korea kan cenderung bebas ya, berarti pasti ada setting yg mengeksplor kebebasan juga? Atau mgkn bisa dialihkan ke kebudayaan adatnya? Tapi kebanyakan di Seoul udah bebas banget ya, jadi kehidupannya modern gitu... Nah, mahasiswa nya ini dri Indonesia Kak, berati harus setting bagaimna rata2 mahasiswi indonesia membiasakan diri di sana ya?
★A4:
Kamu banyakin baca blog tentang kehidupan mahasiswa2 Indonesia yang ada di Korea, itu cara paling gampang. Pasti ada kan? Soal tempat, budaya, atau seberapa bebas di Korea, tergantung lokais juga kan? Misaalnya kamu ambil Seoul, yang notabene kota besar, pasti akan berbeda kehidupannya dengan kota-kota kecil yang ada di Korea. Jangan kamu sama ratakan, tentukan dulu kota mana yang ingin kamu pakai, baru kamu riset tentang yang lainnya.
★Q5:
Kak jadi gini, kan aku suka bikin FF. Jadi settingnya kebanyakan di luar Indonesia. Nah kiat2 untung 'dapet' setting yang kita maksud kan udah pasti riset dong. Selain itu apa kak? Kadang suka gak ngefeel sih. Dan kalau misal kita gak terlalu paham, boleh gak setting itu kita gak usah jelasin terlalu jelas? Lebih ke umum aja?
★A5:
Riset itu tujuannya kan ngumpulin data, jadi apakah cerita kamu nge-feel atau nggak, itu balik lagi ke bagaimana kamu menyampaikan hasil riset tadi tanpa terkesan menggurui atau kayak brosur. Caranya? Gunakan rasa yang ingin kamu sampaikan lewat diksi. Menjelaskan secara umum atau detail itu, lagi-lagi, tergantung kebutuhan cerita. Kalau misalnya kamu ngerasa penjelasan umum udah cukup buat menyampaikan pesan, kenapa harus menjelaskannya secara detail?
Pertanyaan selanjutnya nggak berhubungan sama setting LN, tapi buat saya cukup menarik. Mungkin bisa diambil ilmunya juga.
★Q6
Kak Abi, aku mau tanya soal setting waktu. Ada tips atau cara tertentu gak, buat nyusun cerita, biar waktunya itu pas kayak yang udah kita rencanain? Misal, di cerita, kita udah merencanakan bahwa si tokoh akan merayakan ulang tahunnya yg ke 20 di bulan mei. Kita memulai cerita di bulan juli. Cara agar penyusunan waktunya tepat, waktu konflik dimasukkan, waktu konflik diselesaikan, gak kecepatan atau kelamaan. Kan aneh kalau satu konflik sudah selesai di bulan januari. Tapi karena kita mau buat konflik lagi di ultahnya si tokoh, kita cepetin 4 bulan waktunya.
★A6:
Kamu mau konflik itu berakhir di bulan Mei, pas ulang tahun tokoh kamu atau mau memunculkan konflik baru pas bulan Mei? Kalau saran saya, kamu bikin outlinenya bukan berdasarkan bab, tapi bulan. Misalnya Juli si A ketemu si B, Agustus si A mulai pedekate ke si B, September si A jadian sama B, dan gitu seterusnya. Jadi tiap bulan, kamu bisa menentukan dari awal tentang konflik atau bagian mana dari cerita yang ingin kamu sampaikan per bulannya.
Saya pernah nulis cerita, judulnya Twenty Four, yang berpatokan pada waktu, rentangnya dari November 2010 sampai Juni 2013. Jadi tiap bab saya kasih bulan, dan ada satu bab di mana saya merangkum dari bulan Desember 2011-Januari 2013, dan isinya adalah potongan-potongan adegan tentang apa yang terjadi sama karakter2nya dalam rentang waktu itu.
Sekarang, siapa yang mau nanya? Pertanyaan soal setting LN-nya udah abis, hehehe.
★Q7:
Untuk penulisan bahasa asing di wattpad nih, Kak. Mending pakai footnote atau dalam kurung langsung setelah bahasa asingnya?
★A7:
Bahasa asing di sini, selain bahasa Inggris? Kalau maksud kamu selain bahasa Inggris, dikasih footnote aja.
★Q8:
Bang, boleh gak sih kita masukin budaya setempat? Lalu gimana caranya agar kita gak terkesan menceritakn tp mereka juga merasakan.
★A8:
Boleh aja, asalkan jangan terkesan menggurui atau kayak brosur travel aja ya? Pakai indra dan bayangin kamu ada di sana. Saya percaya kok, kalau kamu bisa ngerasain ada di tempat itu, akan keliatan ke tulisan kamu.
★Q9:
kalau setting LN tpi mau aku masukin jga setting dalam negri ,apa feelnya ngaruh gak sih sama feel ori LNnya ?apalagi kalau aku masukin kota2 yang banyak di indonesia ?
★A9:
Intinya, jangan masukin terlalu banyak tempat biar keliatan keren. Itu aja. Pakai seperlunya dan apa pengaruhnya ke cerita. Mau setting di LN atau dalam negeri, kalau kamu pinter ngolah kalimat, akan kerasa kok.
Mau teori menulis kalian sesempurna apa pun, tapi kalau nggak ada rasanya, buat saya itu cerita gagal.
★Q10
Kak, kalau misalkan kita bikin cerita teenfict terus kita pakai setting LN, boleh nggak sih dalam narasi/dialog kita memakai bahasa sehari2 kaya lo-gue misal, sedangkan si tokoh nggak ada satupun yang berdarah indo? Aku kadang nemu tuh cerita teenfict di wp kya gitu, gimana tuh?
★A10:
Berdasarkan buku2 Metropop yang saya baca (dan jadikan acuan tiap kali ada pertanyaan macam ini) karakter2 di cerita, sekalipun dia orang bule dan nggak bisa bahasa Indonesia, misalnya, kita tetep pakai bahasa Indonesia karena market pembacanya adalah orang Indonesia, sekalipun dalam kenyataannya, komunikasi dengan orang bule yang nggak bisa berbahasa Indonesia pasti menggunakan bahasa Inggris.
Tapi, sebisa mungkin gunakan bahasa baku. Jangan 'lo' 'gue' karena itu merusak feel cerita. Ini berlaku untuk karakter bule ya? Kalau misalkan ada interaksi antara karakter bule dan orang Indonesia, orang indonesianya boleh kok pakai 'lo' 'gue' Di contoh cerita saya tadi juga pakai 'lo' 'gue' kan?
★Q11:
bang, misal setting emng bener luar negeri, trus ai tokoh mampir di.. Misal bar A. Di real life, ga ada. Kalo dibikin fiksional, apa ngaruh ke feel cerita? Atau memang sebaiknya, semua dibikin se-real mungkin?
★A11:
Kalau misalkan bar/kafe/hotel, boleh kok dibuat fiksional. Mungkin gini ya, kita ngambil satu bar di kota A, tapi namanya kita ubah. Mungkin juga sekalian interior2nya. Di cerita saya yang Twenty Four, ada satu kafe namanya RETRO. Saya ambil setting di Bali. Nah, di Bali, nggak ada tuh kafe yang namanya RETRO, jadi nama RETRO itu saya ciptakan sendiri, tapi lokasi dan tempatnya berdasarkan sebuah restoran yang memang ada. Kita nggak punya kewajiban menyebutkan alamat pasti sebuah tempat kan?
★Q11a:
Pernah ada yg blg kalau nama fiksi baiknya dijelasin kalo itu fiksi tempatnya. Sebetulnya itu perlu nggak, sih?
★A11a:
Kalau menurut saya, lihat lagi seberapa penting tempat itu dalam relevansi cerita. Kalau memang sangat krusial dan penting, ada baiknya disebutkan, terutama dalam historical fiction seperti novel Amba atau Pulang.
★SESI TANTANGAN★
PS: Lihat di works Challenge^^
Saya pengen kalian bikin cerita (min 1000 kata) dengan setting yang saya tentuin
Kalian boleh pilih salah satu di antara 5 kota ini:
1. Zagreb
2. Brno
3. Malaga
4. Ghent
5. Palermo
Terimakasih atas ilmunya yang bermanfaat Kak Abi.
JAKALLAHU KHOIR
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top