5 - Kaivan

Pelajaran kedua adalah penjaskes. Kami berlari mengitari gimansium. Aku agak ogah-ogahan melakukannya. Ini pekerjaan yang membuang-buang energi.

Tanpa teman-teman sadari. Beberapa anak kelas malam ikut berlari bersama kami. Rexilan terlihat sedang berbicara pada seorang arwah laki-laki berbadan gempal. Tersenyum sendirian. Kemudian menambah kecepatan larinya. Kutebak, dia sedang berlomba dengan makhluk astral tersebut.

Sedangkan Excel. Roh wanita kelas malam sedang berdiri di tepi lapangan sambil menyerukan yel-yel dan semangat padanya. Napasku mulai habis di putaran kedua. Aku sudah tidak mampu berlari untuk yang ketiga kali.

Di atas panggung. Duduk seorang arwah yang tampak asing. Dia memiliki wajah perpaduan dua benua. Mata hitamnya menatap lurus ke arahku. Sadar, kami saling beradu pandang. Aku buru-buru mengalihkan mata.

"Suri. Lakukan lebih serius." Aku mendelik malas pada Kak Giselle. Dia guru paling muda di Jagad Raya. Idola anak laki-laki. Tubuhnya sangat atlentis. Dia menjadi pelopor senam sore di kompleks perumahan guru ASN. Ngomong-ngomong, dia memang meminta kami memanggilnya seperti itu.

Aku roboh di samping Aruna. Kami diberi waktu mengambil napas selama lima belas menit. Anak laki-laki yang kelewat percaya diri. Membantu Kak Giselle membawa keranjang bola basket.

"Suri, bagaimana dengan surat itu?" tanya Aruna tiba-tiba.

"Aku membakarnya," jawabku malas

"Tidak kau kirim balik?"

"Tidak."

Aruna tidak lagi bertanya. Dia memijat kakinya dengan gerakan berulang. Lalu mengajakku berdiri untuk mengambil barisan. Kami akan berlatih bermain basket. Menggiringnya ke lapangan dan melemparkannya ke dalam ring.

Lemparan bolaku tidak masuk keranjang. Anak blasteran tadi, sekarang berdiri di dekat tiang. Menatap kami satu persatu. Kemudian tersenyum pada seseorang. Saat aku menoleh, Excel sedang melambai padanya. Kemudian Rexilan berlari dan memberi tepukan tangan padanya. Orang lain, pasti menganggap Rexilan gila. Karena menepuk udara kosong.

"Kamu tidak fokus, Suri. Ada masalah?"

Kak Giselle mendadak berdiri sambil berkacak pinggang di depanku.

"Aku hanya tidak enak badan."

"Kamu selalu tidak enak badan selama olahraga. Ada masalah di rumah?"

Aku kadang merasa, Kak Giselle lebih cocok menjadi guru BK. Tetapi, Bu Azzah juga guru yang baik. Mereka sama-sama peka terhadap perasaan murid-muridnya.

"Aku bisa menjadi pendengar yang baik. Setelah ini, datanglah ke ruanganku atau datanglah saat kamu merasa nyaman."

Aku mengangguk. Kak Giselle tersenyum lembut. Lalu meniup peluit. Kami dibagi dalam beberapa kelompok kecil untuk bermain sebagai tim. Permainan itu terasa menyenangkan. Kami disoraki roh-roh kelas malam yang mendukung sampai jam pelajaran berakhir.

...

Selepas mandi di kamar mandi sekolah. Aku dan Aruna pergi makan siang di kantin. Kami tidak mengobrol. Terlalu kelelahan untuk membuka topik pembicaraan. Nasi campurnya begitu enak. Lalu datanglah Wisnu dengan begitu tiba-tiba. Mengambil tempat di depan kami.

"Tumben, Wis. Biasanya bareng Johan," komentar Aruna.

"Dia ada urusan dengan anak kelas dua belas. Aku lagi pengen bareng kalian."

Aku mengeryit. Daripada kami, Wisnu lebih cocok duduk sendirian. Beberapa siswi terus menegur meja kami, bahkan kakak tingkat.

Wisnu itu terlihat biasa-biasa saja di luar. Dia manis dan mudah berbaur pada siapa pun. Dia hampir dikenali tiap angkatan. Karena itu, dia punya banyak teman dekat dengan para wanita.

Aku tidak bisa mengatakannya playboy. Karena Wisnu tidak pernah berpacaran dengan mereka. Tetapi, dia sering mendapatkan perhatian lebih. Aku jadi sadar, mengapa Wisnu begitu disukai kaum hawa.

Dia membantu membereskan wadah sisa makanan kami. Mengingatkan Rere soal anak laki-laki yang punya uang. Tetapi berpura-pura tidak bisa membayar kas. Dia juga membela Aruna, saat kami menuduhnya setengah gila karena berbicara pada langit. Bahkan saat aku hampir pingsan waktu mos. Wisnu memarahi siswi senior dan meminta minyak angin pada mereka. Dia juga kadang memberi nasihat-nasihat yang bermanfaat. Sering dipanggil anak OSIS untuk membantu.

"Suri, aku boleh minta tolong?"

Pada akhirnya, aku tahu. Wisnu pasti punya alasan untuk duduk di sini. Bukan sekedar ingin makan bersama kami.

"Kalau aku bisa bantu," jawabku sambil menyingkirkan bekas makananku ke samping.

"Boleh tidak. Kamu main ke rumahku sabtu sore?"

Aku mengerjab. Mengapa begitu banyak acara di hari sabtu. Sebelum aku berkomentar lebih lanjut. Wisnu pun menambahkan.

"Nenek aku. Dia ingin melihat aku bawa cewek ke rumah. Aku bilang, aku bakal bawa. Lalu tersadar, aku tidak bisa berbohong." Dia menggaruk tengkuknya yang kuyakini tidak gatal.

"Kalau aku tidak mau?"

"Aku harus melihat nenekku kecewa."

"Mengapa harus Suri?" Pertanyaan Aruna membuatku mengganguk.

"Entahlah, aku yakin Suri bisa melakukan sandiwara ini. Maaf Aru, bukan aku tidak memilihmu. Tapi, peran ini rasanya lebih cocok untuk Suri."

Aku terdiam sebentar. Pertama, sabtu besok. Otniel mengajakku kencan, Aruna mengajakku bermalam, ibu ingin aku bertemu om Burhan dan sekarang. Wisnu ingin aku bersandiwara menjadi pacarnya.

"Aru," ucapku sambil menoleh padanya. "Apa aku boleh terlambat datang ke rumahmu?"

Aruna melirik sekilas ke arah Wisnu. Kemudian mengganguk. "Tidak apa. Aku senang, jika kamu bisa membantu Wisnu membahagiakan neneknya."

"Terima kasih, Aruna. Kamu manis sekali," ucap Wisnu dengan tawa. Ia terlihat lega. Kemudian menatapku lagi. "Kamu bisa Suri?"

Aku mengganguk. "Akan kulakukan. Tapi, jangan berharap banyak."

Wisnu berseru riang. Dia memberiku toss lalu melangkah pergi. Dibalik kepergiannya, aku melihat Otniel yang menatapku muram. Lalu keberadaanya melebur ke dalam udara.

...

Hari ini, aku tidak mau pulang ke rumah. Aku sengaja berlama-lama di ruangan klub. Aku terlalu takut untuk pulang. Bahkan mencari penginapan. Aku ingin menelepon ayah. Tetapi, aku tidak tahu nomornya. Ibu tidak mau memberitahuku.

Aku tidak berani menyalakan lampu, karena jika aku melakukan itu. Bang Malik atau anak-anak kelas tiga akan tahu, seseorang masih di dalamnya. Aku memeluk lutut, rasanya ingin menangis. Tetapi tidak bisa melakukannya. Lalu, kudengar suara ketukan dari luar pintu.

Aku diam, memperhatikan pintu dengan cemas. Ketukan itu masih terdengar. Aku rasa, tidak ada yang tahu, kalau aku masih di sini.

"Suri?" Suara serak anak laki-laki yang asing. "Jika kau ingin bermalam di sini. Silakan nyalakan lampu, jangan khawatir. Tidak ada yang akan tahu."

Kemudian hening. Aku terlalu takut untuk memeriksa. Namun, langit perlahan menggelap. Bayangan pepohonan di luar seperti monster bayangan. Aku memberanikan diri menekan saklar dan menutup tirai jendela.

Aku membereskan barang-barangku di sudut. Mengeluarkan kantung tidur , pakaian bersih dan peralatan mandi. Ketika semuanya siap, aku memberanikan diri menuju pintu.

Kuputar kunci hingga terdengar bunyi klik. Lalu menariknya perlahan agar tidak terdengar bunyi berderit. Di lorong, lampu menyala terang. Aku tidak tahu, jika ada yang melakukan ini. Aku ingin memeriksa lebih jauh. Tetapi kuputuskan untuk mandi terlebih dahulu.

...

Keluar dari kamar mandi. Suasana dapur terlihat berbeda. Aku bisa mencium aroma nasi yang baru selesai ditanak dan aroma sosis yang ditumis. Aku berjalan mendekati, sebuah tudung saji ada di atas meja makan. Namun, tidak ada seorang pun di sana. Aku yakin, ada orang lain yang menginap di sini sama sepertiku.

Saat aku hendak berbalik. Kudapati  bahwa di dekat tudung saji ada selembar kertas. Aku memberanikan diri mengintip.

Suri, ini untukmu. Makanlah.

Aku tersentak, mundur selangkah ke belakang tanpa sadar. Siapa pun dia, bagaimana bisa ia mengenaliku dengan baik. Firasatku buruk, aku ingin kembali ke ruang klub. Lalu kusadari, anak blasteran itu bersandar di dinding. Menghadang jalan keluar dari dapur.

"Hai, Suri. Aku Kaivan. Senang bertemu denganmu."

_/_/___/___//
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top