3 - Kelas Malam
Datang terlalu pagi tidak buruk. Aku bebas untuk melanjutkan tidur. Otniel tidak ada di kelas pagi-pagi buta, sedangkan Nurul mungkin sibuk berkencan. Dia akan muncul bila membutuhkan sesuatu.
Awalnya aku pikir seperti itu. Namun
itu hanya halusinasi. Aku memang ada di sekolah. Tetapi, bukan saat matahari bersinar menyinari bumi.
Di sini, langit masih gelap dan seluruh lampu di kelas menyala terang. Aku sendiri berdiri dibalik gerbang sekolah. Badanku terasa ringan dan bugar.
"Suri?"
Aku menoleh pada sumber suara. Nurul menatapku dengan senyum yang agak dipaksakan.
"Sedikit terlambat." Dia berkata. "Tapi tidak apa. Kamu bisa menyusul."
"Apa yang terjadi?" tanyaku tanpa mau mengikuti ajakan Nurul.
"Kamu mendapatkan undangannya, 'kan?"
Aku mengganguk.
"Bagus. Mereka akan melakukan training di gimnasium. Banyak anak indigo di sana. Rexilan dan Excel juga ada. Kamu tidak ingin menyapa mereka?"
Aku menggeleng. "Aku mau pulang."
"Itu tidak adil. Kaivan sudah bersusah payah membujuk Lumo agar kamu diizinkan ke sini."
"Hah? Siapa Lumo?"
"Apa?" Nurul malah bertanya balik.
"Lumo. Mengapa manusia bernama— ralat. Arwah bernama Kaivan harus meminta izin pada dia?"
"Kamu bercanda."
Nurul malah tersenyum mengejek. Aku sendiri tidak paham dengan apa yang ia bicarakan.
"Aku tidak kenal siapa Lumo. Tunggu! Aku ingat, tadi siang Rexilan sempat menyebutkan ...,"
Kalimatku menggantung. Saat aku tersadar. Aku sedang berada di atas tempat tidur. Memandang langit-langit yang terang oleh kerlap-kerlip lampu tumblr di meja belajar.
"Aku bermimpi?" ucapku pada diriku sendiri.
...
Seperti hari-hari sebelumnya. Aku berangkat lebih awal menuju sekolah. Terkadang sedikit menunggu Bang Malik datang untuk membuka gerbang yang terkunci. Aku tidak betah berlama-lama di rumah. Bahkan untuk sekedar sarapan. Aku lebih memilih makan di kantin.
"Akhirnya kamu datang."
Otniel tiba-tiba keluar dari papan tulis. Aku tidak terlalu kaget melihatnya.
"Aku mau tidur," ucapku.
"Ya, kamu memang selalu tidur. Kapan pun, kamu ada waktu."
Aku tidak menggubris perkataan Otniel. Kantin masih sepi. Gerai sarapan pagi belum buka. Aku bisa mampir ke sana 20 menit sebelum bel masuk.
"Aku mau bicara sesuatu." Otniel kembali berucap. "Kenapa tadi malam kamu langsung pulang? Kaivan sudah bersusah payah mendapatkan izin Lumo."
Lumo, nama itu lagi. Aku membuka mata. Namun belum mengangkat kepala untuk menatap Otniel. "Apa ada gosip yang menyebar jika aku anak Indigo di sekolah?"
"Hanya kelas malam yang tahu. Sesuai janjiku padamu."
"Oh, kamu manis sekali Oti," ucapku tulus. Aku mengangkat kepala. Menatapnya dengan tersenyum lega.
"Ya, jika aku masih hidup. Akan kuajak kamu kencan."
"Kencan ke mana? Pohon beringin?"
"Memangnya kamu mau ke mana?"
"Aku? Bioskop dan toko buku."
"Hmm, begitu ya? Akhir pekan gimana?"
"Apa?" Aku mengerjab tidak percaya. "Kamu serius mengajakku kencan?"
"Tidak. Aku mengajak Nurul. Ya, kamulah. Manusia siapa di kelas ini yang aku ajak bicara?"
Aku tertawa. Benar-benar tertawa. Agak lucu membayangkan kencan bersama arwah.
"Aku tidak mau berkencan denganmu," ucapku setelah puas tertawa. "Ajak saja Rere. Kamu selalu tersenyum saat menatapnya."
"Selalu tersenyum dengan wanita lain. Tapi, bukan berarti aku nyaman bersamanya."
Ada yang aneh di sini. Kelas malam bukan genre romance. Pasti ada yang salah dengan alurnya. Tidak ingin membuang banyak waktu. Aku ingin tidur. Setidaknya 15 menit, itu sudah cukup.
"Aku serius soal ini, Suri. Sabtu nanti, aku akan mengajakmu kencan. Lagipula, kamu bilang sama Nurul ingin punya uang saku tambahan, 'kan? Sabtu besok. Aku punya sesuatu untukmu."
Aku tidak lagi mendengar suara Otniel. Tetapi aku tahu, dia sudah masuk kembali ke papan tulis. Antara sadar dan tidak. Aku kembali mendengar suara asing secara samar-samar.
"Otniel bisa membantumu. Jangan khawatir. Saya akan menjagamu. Dia tahu itu."
...
Jam pelajaran fisika kosong. Bu Petro tidak bisa masuk hari ini. Tetapi beliau memberikan tugas essay yang dibuat sebanyak 3000 kata. Topiknya bebas selama masih berhubungan dengan fisika. Aku sendiri memutuskan mengambil materi mengenai astronomi.
Jadi, pergilah aku bersama Aruna ke perpustakaan. Kami duduk bersebelahan di meja baca. Aruna sendiri memilih topik mengenai listrik.
"Suri?"
Aku mendongak. Di kursi depan, duduklah Rexilan dengan satu buku bersampul astronot yang sedang berjalan di bulan.
"Apa?" balasku dengan sedikit berbisik.
"Tadi malam ... apa ada sesuatu?"
Aku berpikir sejenak. "Hujan?"
"Ck, bukan itu. Apa kamu bermimpi aneh? Seperti mimpi berada di sekolah saat malam hari?"
"Tidak," ucapku dusta. "Kamu mimpi seperti itu?"
Rexilan tidak langsung menjawab. Sorot matanya menatapku tajam. Seolah-olah mencari sesuatu untuk dipertanyakan.
"Aku bisa merasakannya, Lumo. Jangan menatapku seperti itu."
Sungguh. Aku sangat penasaran dengan nama itu.
"Rex, kamu berbicara dengan siapa?" tanyaku hati-hati.
"Pendampingmu. Kamu pasti tidak sadar?"
Aku mengganguk dan Rexilan malah tersenyum menyebalkan.
"Menarik," ucapnya dengan mata berbinar.
"Jelaskan lebih rinci," desakku. "Siapa dia?"
"Aku rasa dia keberatan."
"Kenapa? Kenapa Lumo keberatan?"
"Entahlah. Dia tidak memberi jawabannya."
"Seperti apa dia?" tanyaku penasaran.
"Muka datar."
Aku rasa, itu bukan jawaban yang kuinginkan. Aku ingin lebih tahu lagi. Tetapi, Rexilan berdiri dari kursi. Tersenyum formal pada Aruna dan pergi meninggalkan kami.
"Dia pasti melihat sesuatu dalam dirimu." Aruna menatapku penuh ingin tahu. "Ya, Suri. Seperti seseorang yang ditugaskan keluargamu. Kamu ... tidak mengenalnya?"
Aku menggeleng. "Jika dia bicara mengenai pendamping, aku tidak tahu apa pun. Aku tidak punya seseorang di keluarga yang bisa diajak bicara."
"Aku mengerti itu."
Untungnya, Aruna mengerti. Kami memiliki permasalahan yang sama. Mungkin itu sebabnya kami akrab. Orang tua kami bercerai.
Aruna tinggal bersama ayah dan pamannya. Ayahnya baik dan perhatian. Kami pernah bertemu, sewaktu beliau menjemput Aruna.
Berbeda denganku. Aku tinggal bersama Ibu dan keluarga barunya. Hubungan kami buruk. Aku ada tapi seolah tidak ada di rumah.
Ibu tidak akan setuju, jika aku membahas hal seperti ini. Ayah? Entahlah, ayah juga hidup dengan keluarga barunya. Aku canggung, aku merasa seperti benalu. Takut merusak kebahagian orang lain.
"Suri?" Tepukan Aruna membuatku tersadar dari lamunan. "Sabtu nanti. Mau bermalam di rumahku? Aku akan datang bersama Papaku untuk menjemput. Bagaimana?"
"Sabtu besok?"
Aruna mengganguk.
"Kalau jam 7 bagaimana? Soalnya sore, aku ada urusan."
"Tidak apa. Kamu hubungi aku, jika kamu sudah siap."
"Oke, makasih, Aru."
Kami sama-sama tersenyum. Aku tidak perlu khawatir soal izin. Ibu tidak akan peduli, aku mau ke mana. Semakin jarang aku di rumah, mereka malah senang.
...
"Sabtu sore, jangan pergi ke mana-mana. Ada tamu yang ingin menemuimu."
Ibu tiba-tiba berdiri di depan pintu rumah, tepat setelah aku pulang sekolah. Aku tidak menyahut, hanya bergumam lirih. Menyibukkan diri membuka sepatu dan melepaskan kaos kaki.
"Sesuai perjanjian. Jika kamu berusia 17 tahun. Kamu bisa minggat dari sini. Terserah, mau tinggal sendiri atau ke ayahmu. Ibu tidak peduli, tapi."
Aku benci kalimat tapi yang keluar dari mulut Ibu. Biasanya mengandung hal yang kurang menyenangkan.
"Ada yang datang meminang kamu. Pak Burhan bisa jadi pilihan, kalau kamu jadi calon istrinya. Kamu bisa tinggal di sana dan hidup enak. Mungkin, keluar dari sekolah juga tidak buruk. Hidupmu sudah terjamin."
Aku mengerjab. Bulu kudukku berdiri, perut terasa melilit, jantung berdebar keras dan mataku perih. Ada sensasi menusuk di dada kiri yang membuatku mulai kesulitan bernapas.
"I- Ibu." Aku mengucapkan kalimat itu dengan suara bergetar. Aku tahu, dia benci dipanggil Ibu olehku. "Suri belum genap 16 tahun. Suri masih kelas sepuluh."
"Anggap saja, ini utangmu. Utang aku mengandung, melahirkan dan membesarkanmu selama 15 tahun. Menikahlah dengan Pak Burhan. Maka, semua biaya itu akan lunas. Lagipula, kamu masih setahun di sini. Fira masih butuh biaya dan kamu sudah lebih dulu mengambilnya."
Aku mati-matian menahan keran air mataku bocor. Aku tidak akan menangis dan menunjukkan kelemahanku.
Kutarik napas dalam-dalam. Menatap Ibu dengan sorot tegas. "Suri tidak minta dilahirkan. Jika Ibu tidak menginginkan Suri. Mengapa Ibu ingin membuat anak dengan Ayah? Bagaimana Suri tahu, kalau Suri ada di dunia ini adalah hal yang salah?"
Ibu tidak menjawab. Tetapi telapak tangannya melayang di pipiku. Aku tidak menangis. Tidak, apa pun yang terjadi selama aku berdiri.
"Masuk ke kamar! Dan jangan harap kamu bisa makan nanti malam!"
Bagus. Aku bisa seharian mengurung diri sampai besok pagi.
__//___/___/___
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top