11 - Klub

Aku tidak paham pembicaraan Aruna dan Rexilan. Kami juga tidak membahas Amelia dan suami ghaibnya lagi. Kehidupan siswi SMA Jagad Raya kembali berjalan sebagaimana mestinya. Sepanjang jam pelajaran terakhir, aku kepikirkan Otniel. Aku resah, harus menyusun kalimat penolakan apa padanya.

Rencana menginap di rumah Aruna juga batal. Karena kukatakan padanya, aku dilarang keluar asrama tanpa pengawasan Sisca. Aruna untungnya mengerti. Dia juga mengabarkan, bahwa ayahnya mau membantuku. Sisanya tinggal Wisnu, mungkin aku akan mengecewakan neneknya.

Kelas berakhir seperti biasa. Aku sengaja berlama-lama di kelas. Beberapa ada yang belum pulang karena kegiatan ekstrakulikuler. Dua bulan terakhir ini, klub misteri mengadakan diskusi kecil setiap seminggu sekali. Tetapi kebanyakan tidak banyak yang hadir. Kadang lima atau tujuh orang. Padahal yang terdaftar dua belas orang. Sisanya mungkin hanya titip nama.

Aku menunggu kedatangan Otniel, jika dia tidak muncul. Aku akan pulang.

"Suri?" Excel masuk ke dalam kelas. Ia telah mengganti kemejanya dengan kaos oblong berwarna putih.

"Belum balik? Tunggu Kak Sisca?"

Aku menggeleng. Dia berjalan menuju mejanya. Mengeluarkan botol minum, membuka tutup dan meminumnya. Kuperhatikan jakunnya yang naik turun menelan alir. Sungguh aneh, aku menatap itu dengan melongo.

"Suri kamu mau nambah klub? Kamu baru di klub misteri, 'kan?" tanya Excel sambil menyeka air di mulut menggunakan punggung tangan.

"Ya. Masih satu. Memangnya, masih ada klub yang menerima anggota baru?"

Excel mengganguk. Di Jagad Raya, tidak ada batasan dalam mengikuti kegiatan klub. Selama yang bersangkutan bisa bagi waktu. Semua itu sah-sah saja.

"Suri, kamu mau gabung sama kelas malam?"

"Apa?" Aku terkejut. Mengapa Excel bisa menanyakan itu padaku? Kelas malam, artinya, bergabung dengan dunia para roh.

"Ini klub yang dipimpin oleh Rexilan." Excel kembali menjelaskan. "Beberapa indigo di sekolah menolak ikut saat rapat. Aku ingat, kamu juga termaksud orang yang mendapatkan undangan. Tapi, belum memberikan jawaban. Bagaimana? Klub ini menghasilkan uang kok. Pekerjaannya, kayak yang tadi kamu lihat pada Toni. Kita akan menjadi konsultan untuk masalah ghaib anak-anak SMA Jagad Raya."

Kata-kata Kaivan yang sebelumnya di kelas malam kembali tergiang dalam benak. Pekerjaan yang dibicarakan Excel adalah menghubungkan dua entitas berbeda. Aku menatap curiga padanya. Barangkali, Kaivan memberitahu Excel? Tetapi aku tidak boleh menuduh tanpa bukti.

"Boleh."

Excel tersenyum lebar. Dia mengambil sesuatu dari dalam tas. Kemudian mendatangani mejaku sambil memberikan lembaran formulir pendaftaran. Klub kelas malam only elite. Aku ragu, Mr. Saar mau meresmikan ini. Tetapi, kalau anggotanya ada tiga. Itu sudah menjadi syarat utama untuk diterima.

"Aku bingung," kata Excel saat aku mengisi formulir. "Kamu mendapatkan undangan kelas malam, Suri. Tapi, kamu bilang kamu bukan indigo. Apa betul? Kaivan bilang, semua anak indigo di sekolah mendapatkannya."

Aku tersenyum kecut. Menyelesaikan isi formulir dengan membubuhkan tanda tangan di akhir. Kemudian menyerahkannya pada Excel. Aku ingin melanjutkan kebohongan ini. Aku ingin bersikap tidak tahu atau pura-pura bodoh di depannya. Namun, itu ide yang buruk.

Excel sudah baik dan peduli pada masalahku. Batinnku bentrok. Memilih antara ego dan keterbukaan antar teman. Mau memilih yang mana, sudah jelas adalah bersikap jujur adalah langkah terbaik.

"Ya, Excel. Aku bisa melihat apa yang kamu dan Rexilan lihat," kataku dengan penuh kepercayaan diri. "Selama ini, aku sengaja berpura-pura tidak tahu. Aku minta maaf. Sebelumnya, aku bohong waktu kita pertama kali mendapatkan undangan kelas malam."

"Kami mengerti. Jangan merasa bersalah seperti itu.

"Kami?" Aku mengulang kata itu. Seolah, dia ingin mengatakan, bukan hanya dia yang mengerti.

Excel menatapku dengan tatapan lembutnya yang khas. Senyum di bibirnya tetap bertahan. "Aku dan Rexilan. Kami tahu, kok. Ya, kami juga berusaha bersikap bijak untuk tidak mengganggu privasi orang lain."

Bahuku melemas. Rupanya seperti itu. Rexilan yang serampangan dan Excel yang selalu bisa diandalkan. Mereka adalah kombinasi sesuatu yang aneh. Aku membayangkan sebuah julukan untuk mendeskripsikan mereka. Tetapi, aku tidak bisa menemukan kata yang tepat.

"Jadi, bagaimana dengan kamarmu? Mau ikut ke ruang klub kami? Rexilan sedang berlatih tanding di lapangan. Dia sedikit lagi akan selesai."

Aku memikul tas di pundak. Lalu berdiri dari atas bangku dan berjalan keluar dari meja. "Kamarnya Icarus?"

"Benar," sahut Excel sambil berjalan di sampingku. Kami melewati koridor yang mulai sepi. Eksitensi kelas malam masih tetap ada. Mereka melayang ke sana kemari. Tidak mempedulikan makhluk fana yang berkeliaran di mana-mana.

"Kami bertanya pada kelas malam. Mereka bilang Icarus meninggal karena penyiksaan ibunya. Tubuhnya penuh lebam, kurang gizi dan pucat. Karena meninggal di belakang asrama. Dia memilih kamar di lantai empat sebagai tempatnya. Mungkin dia tidak ingin pergi dari sekolah. Anak itu memiliki energi negatif yang besar. Dia pintar menyembunyikan hawa keberadaannya pada yang peka. Berhati-hatilah, Suri. Tapi, karena ada Lumo. Kurasa, semua akan baik-baik saja."

Sebelumnya, aku cukup serius menyimak penjelasan Excel. Lalu aku berhenti berjalan, saat kami melewati kantin yang masih ramai oleh pengunjung.

"Lumo. Aku bahkan tidak tahu soal itu. Dia entitas yang seperti apa?"

"Pendamping. Kurasa Spirite Guide mu."

"Apa itu seperti khodam?" tanyaku sambil kembali berjalan.

"Tidak, itu berbeda."

"Seperti apa?"

Excel bergumam saat kami mulai mengarah ke lapangan bola yang terbuka di belakang sekolah. Pasti kalian bertanya-tanya, mengapa banyak sekali bangunan di belakang sekolah. Karena, memang area itu cukup luas dan besar. Lapangan bola kami selalu digunakan untuk pertandingan antara kejuaraan sekolah.

Aku melihat Rexilan sedang menggiring bola. Kanan dan kirinya diapit lawan. Dia lincah sekali menghindari mereka.

"Spirit Guide bisa disebut roh suci atau roh penjaga." Excel menjelaskan. "Mereka bahkan sudah ada sebelum kita lahir. Ditakdirkan untuk menjaga dan membimbing kita. Mereka adalah sosok dari masa lalu kita, Suri. Entah sebagai apa dan hubungannya di masa lalu."

"Apa aku bisa melihatnya?"

"Tergantung. Mereka memiliki frekuensi yang sangat tipis. Tidak semua orang bisa berinteraksi. Lalu ada khodam. Khodam juga adalah pendamping. Mereka juga bisa bermacam-macam. Seseorang bisa meminta orang lain untuk di isi oleh mereka, dari benda-benda pusaka seperti keris juga bisa. Bahkan Khodam juga bisa tertarik pada seseorang di suatu tempat dan mulai menjaganya."

"Bisa dari leluhur?" tanyaku.

"Bisa. Tapi, ada sisi negatif beberapa khodam. Ada khodam, berat jodoh."

"Benarkah?"

"Ya. Masalahnya adalah energi yang saling bentrok atau tidak cocok. Ini bisa terjadi akibat rasa tidak suka atau rasa cemburu."

"Itu agak ... ya, menakutkan."

"Aku setuju," ujar Excel. Dia kemudian menambahkan. "Pendamping lain adalah leluhur. Leluhur, berasal dari keturunan sekarang atau dulu. Bisa juga kehidupan masa lampau kita. Lebih akrab disebut roh leluhur. Aku rasa, Lumo berada di spirit guide dan leluhurmu Suri."

Aku mengganguk. Berusaha mencerna informasi tersebut. Kami berdiri di tepi lapangan. Peluit tiba-tiba berbunyi. Aku melihat Rexilan saling melakukan tos antar teman setimnya. Kemudian dia berlari ke arah kursi pemain sambil memikul tas olahraganya. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat.

"Aku tidak tahu ini," katanya, "kau datang menontonku? Aku tersanjung loh."

"Aku bergabung bersama kelas malam," balasku. Rexilan berpikiran berlebihan. "Excel mengajakku ke sini."

"Oh. Jadi? Kau beneran indihome?"

Aku menggangguk. "Maaf. Aku berbohong."

Rexilan tidak marah. Dia malah antusias menjelaskan kelas malam padaku. Mulai dari cara terima orderan dan bagaimana menghadapi permintaan klien. Kami menghabiskan sisa waktu itu duduk di kantin. Aku mencatat poin-poin penting yang perlu di garis bawahi.

Kelas malam hanya menerima klien dari siswa SMA Jagad Raya, jikalau ada orang luar yang ingin konsultasi. Dia harus memiliki orang dalam. Sebagian dari klien, lebih sering konsultasi mengenai pendamping dan apakah ada sosok yang menempel pada mereka.

Rexilan mematok 50K untuk satu kasus. Kasus-kasus tertentu yang membutuhkan penyelidikan di lapangan adalah 200K. Selain bisnis konsultasi. Dia menerima segala permasalahan. Tetapi, tidak mau membahas anak kelas malam kepada para klien yang kelewat penasaran. Tidak peduli, seberapa menggiurkan mereka menaikkan harga agar Rexilan mau bercerita.

Kemudian, Rexilan dan Excel secara bergantian bertanya tentang interaksiku terhadap makhluk ghaib yang selama ini aku temui.

Aku menceritakan tentang Mbak Celine yang tinggal di pohon jambu, Nurul, Otniel dan nama Kaivan pun ikut terucap. Aku cemas melihat reaksi keduanya.

"Hm, tidak heran. Kaivan pandai mengatur segalanya." Aku tidak menduga reaksi Rexilan seperti ini. Dia mencoret-coret sesuatu dalam buku tulisnya.

"Dia itu apa?" tanyaku, "dia pemimpin kelas malam?"

"Ya, Kaivan ketua sukunya." Rexilan mengucapkannya sambil melirik cemas sekeliling kantin. "Jangan tanya mengapa dia di sini dan cara dia mati. Bocah itu akan menghantui kita."

Aku mengganguk. Aku juga tidak mau tanya. Dia kelihatan berbahaya dan misterius. Kami sepakat akan lanjut membahas sisanya besok. Hari sudah mulai senja. Aku tidak bisa menahan Rexilan dan Excel lebih lama.

Setelah mereka pergi, aku berjalan pulang ke asrama belakang. Banyak anak yang mulai bubar dari rumah utama. Sekilas, aku melihat Kaivan ada di teras. Dia menatap tajam setiap orang yang keluar. Aku lega, dia tidak melihatku.

Kemudian, aku tersentak. Saking terkejutnya, aku berjalan mundur dan menginjak kaki seseorang. Kulihat wajah Intan yang memerah.

"Suri. Ada apa?" Nada suaranya penuh penekanan. Aku tahu, dia pasti marah dan berusaha menahannya.

"Tidak apa, Kak. Silakan duluan."

Aku berjalan menepi. Dia menatapku sebentar dan berjalan pergi. Aku menghela napas. Rombongan kelas tiga lain kubiarkan lewat. Kemudian berjalan di belakang mereka. Aku melirik ke samping. Dia mengikuti.

"S- siapa?" batinku.

"Kau Suri?"

"Benar."

"Kenapa mencariku?"

"Tidak, aku hanya pensaran. Ya, kau tampak lumayan."

Aku tidak mengerti, cara dia menilaiku seperti apa. Maksudku, bagaimana bisa? Dia kan tidak punya. Kuberanikan diri melirik sekilas ke samping. Aku tidak mau anak kelas tiga yang bermain di gazebo menatapku aneh karena berteriak.

"Suri, kau di kamar Icarus, 'kan? Izinkan aku ikut ke sana."

Aku berhenti berjalan tepat di bawah lampu jalan. "Aku baik-baik saja."

"Tidak, kau tidak baik-baik saja. Kaivan mengutusku. Wajahmu kusut."

"Kau tidak bisa melihat wajahku."

"Aku bisa."

"Kau tidak punya kepala."

"Hey!"

Aku menoleh dengan keberanian. Dia menggunakan kemeja kotak-kotak hijau dan celana jeans panjang. Tidak ada darah atau apa pun yang tampak salah. Penampilannya normal. Satu-satunya yang aneh adalah bagian leher ke atas tidak ada apa-apa. Dia berdiri seperti manekin tanpa kepala. Sejujurnya benar-benar tanpa kepala.

"Jangan mengganguku. Aku punya pendamping. Kau tidak bisa macam-macam."

Aku berniat kabur. Namun, tangannya yang sedingin es menahan lenganku.

"Aku tahu. Karena itu aku ke sini."

"Aku tidak bisa mencari kepalamu."

"Aku tidak butuh bantuanmu soal itu."

"Jadi, kau mau apa?"

"Bermain. Ayo bermain Suri. Kudengar, kau anggota klub Kelas Malam. Mari kita lihat, apa yang bisa dilakukan manusia seperti kalian."

_/___/__/___
Tbc

Sudah kubilang kan, aku bakal tetap terobos. Dari dulu, setiap ide yang dipakai buat nulis kelas malam menjadi nyata. Bahkan dari kelas malam versi pertama.

Sekarang, tebak. Apa yang menjadi nyata? Benar, manusia tanpa kepala.

Sejujurnya enggak seram kalau dari sudut pandangku. Sosoknya benar-benar kayak manekin busana. Patung baju yang gk ada kepala. Tapi, gak menakutkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top