1 - Undangan
Ada yang aneh dengan SMA ini. Ada sesuatu yang berbaur dengan murid-murid saat siang hari. Biasanya melayang dan menembus. Mencoba melindungi atau menggangu para siswa. Mereka ini yang disebut sebagai anak-anak kelas malam.
Terlambat bagiku untuk berpura-pura tidak melihat saat pertama kali menginjakkan kaki di Jagad Raya. Pokoknya, benar-benar terlambat. Anak- anak kelas malam tahu, bahwa aku dapat melihat mereka.
"Jadi, aku harus apa?"
"Bilangin Mas Wowo yang di depan sekolah untuk enggak berdiri di depan gerbang. Aku malu, diejek anak-anak karena aura Mas Wowo menutupi sekolah. Tolong ya Suri? Kalau aku yang ngomong, nanti Mas Wowonya malah patah hati. Kamu kan tahu? Aku enggak bisa lihat doi kayak gitu."
"Hmm, gimana ya?" Aku berlagak berpikir. Padahal memang enggak mau untuk bantu. Kata orang, sekali terlibat di dunia bawah. Bakalan susah buat move on. Tetapi, sudah terlambat untuk balik kanan bubar jalan.
"Kalau aku bantu. Kamu mau kasih aku apa?" tanyaku pada Nurul. "Di dunia manusia, enggak ada yang gratis."
"Tapi aku udah mati lo."
"Aku enggak bilang kamu masih hidup."
"Aku enggak punya uang." Nurul masih misuh-misuh enggak jelas. "Ih, Suri. Jadi manusia jangan perhitungan dong. Ntar kuburannya sempit loh. Hitung-hitung tambah pahala. Kalau aku udah ke atas. Aku bakal cerita ama malaikat buat nambah timbangan amal baik kamu. Mau enggak?"
Kalau sudah begini. Rasanya pun mau menolak menjadi enggan.
"Baiklah. Sekarang aja."
"Loh? Jangan sekarang. Bentar sore dekat magrib. Mas Wowo pagi gini lagi cari nafkah buat masa depan kami."
"Dih, kalian mau nikah?"
"Mangnya kamu mau datang? Orang masih pacaran kok."
"Dahlah."
Lagaknya, tidak akan habis aku berbicara dengan Nurul. Sekarang, kelas pasti sudah ramai. Aku memilih melambai. Tidak peduli pada Nurul yang masih merengek untuk memanggilku bergosip.
Di lorong, bayang-bayang putih masih berseliweran. Beberapa tersenyum sambil mengucapkan selamat pagi. Aku pura-pura tidak mendengar. Sejatinya jika aku membalas, pandangan orang-orang padaku bakal berbeda.
"Surrriii!" Aruna mendadak menerjangku. Merangkul lenganku sebagai ucapan selamat pagi.
"Hari ini cerah ya?" ujar Aruna sambil melirik ke arah langit dari koridor kelas. Entah apa yang ia lihat setiap hari di langit.
"Secerah hatimu deh," balasku sambil mengajak Aruna ke kelas X MIA A.
"Tadi aku ketemu Rere di depan." Aruna memberitahu.
"Lalu?"
"Dia misuh-misuh enggak jelas. Katanya ada yang tiba-tiba nahan pergelangan kakinya. Masa hantu? Masih pagi enggak ada hantu kan Suri? Mereka kan pada tidur kalau siang."
Aku mau bilang, kalau teori itu tidak sepenuhnya benar. Mereka selalu ada dan kapan pun mereka mau menampakkan diri.
"Lalu, bagaimana dengan Rere?" tanyaku ingin tahu.
"Ditolong Excel."
Oh. Si paling green flag di kelas. Idola kelas X MIA A. Anak idaman dan anak emas para guru. Kami masuk ke kelas.
Rere sudah duduk di mejanya, dekat dengan meja guru.
Rere pernah bilang waktu pertama kali memilih bangku. Bahwa dia tidak mau duduk di kursi belakang. Sebab, ada penunggunya. Dia memohon pada Mr. Saar untuk mengizinkannya duduk di bangku depan. Secara kasar, dia cukup peka tetapi tidak bisa melihat.
"Aru. Tadi kamu liat, 'kan?" seru Rere. Sebagian anggota kelas, berdiri mengelilingi mejanya. Aku tidak terlalu suka bergaul. Menyendiri lebih enak. "Aku hampir jatuh. Padahal enggak ada apa-apa."
"Aku liat." Aruna menjawab. "Tapi enggak memperhatikan sampai di bawah kakimu."
Aruna memilih ikut nimbrung daripada meletakkan tas terlebih dahulu. Padahal, dulu waktu musim hujan. Mereka pernah berdebat hebat, karena Aruna mangkir membersihkan kelas yang kebanjiran.
Aku tidak ingin nimbrung dengan topik tersebut. Penunggu yang dimaksud Rere sedang ada di sana. Namanya Otniel, tetapi lebih suka dipanggil Oti. Dia mesem-mesem melihat Rere yang sedang serius mendengar Johan bercerita.
Aku mengantuk dan rasanya ingin tidur. Belum juga terbang ke alam mimpi. Seseorang mengetuk buku-buku tangannya di mejaku.
"Bangun Suri. Aku mau tanya sesuatu. Aku tahu, kamu mendengarkanku. Jangan pura-pura bodoh."
Hantu paling menyebalkan di sekolah ini adalah Otniel. Aku kesal, kenapa harus Otniel yang jadi penunggu di kelas? Dia lebih cocok gentayangan di lorong-lorong sama seperti yang lain.
"Ada apa sih?" tanyaku dengan membatin.
"Kamu kalau jadi teman, harusnya setia kawan."
"Loh? Kok aku?"
"Kamu kan tahu. Kenapa anak-anak kelas malam suka usil sama Rere. Kamu harusnya cerita. Kalau aura dia tuh bikin orang tertarik buat usil."
"Ralat," kataku, "kalian udah mati. Cukup deh. Kalau anak-anak kelas siang tahu aku indigo. Hidupku tambah runyam."
Kudengar Otniel bergumam tidak jelas. Lalu lenyap entah ke mana. Mungkin ke dalam papan tulis. Kata Otniel, itu gerbang menuju sekolah di dimensi lain.
Otniel pernah mengajakku. Tetapi kutolak mentah-mentah. Walau penasaran, tidak ada yang menjamin roh ku bisa kembali.
Kursi di sebelah, kudengar ditarik keluar dari bawah meja. Aruna duduk sambil meletakkan tas ke dalam laci meja.
"Seru banget Suri. Johan tadi cerita kalau cermin di toilet cowok juga ada penampakan Mbak Kunti."
Aku tersenyum samar. Jelas banget Johan berbohong. Sebagian besar pengalaman hantunya memang fiksi belaka.
Aku pernah tanya soal hantu di toilet cowok pada Nurul. Dan di sana malah tidak ada apa pun, kecuali toilet cewek yang penuh dengan hantu-hantu manja yang suka bergosip.
Karena sibuk melamun. Aku agak terhenyak mendapatkan sebuah amplop putih tanpa nama. Seingatku, aku tidak pernah membawa benda ini ke sekolah atau meninggalkannya di dalam laci.
Penasaran. Kubuka amplop yang belum tersegel tersebut.
Untuk Seana Suri Lavendra.
Anda di undang dalam kelas malam malam ini.
Oke, ini benar-benar lelucon yang buruk. Aku kehilangan kata dan emosi untuk merespon ini.
"Surat apa itu Suri?" Aku terlambat menyembunyikannya. Kepala Aruna sudah bergerak menyamping ke arahku.
"Surat undangan?" Dia malah bertanya balik padaku.
"Suri dapat surat dari kelas malam?" Johan yang duduk di belakang tiba-tiba menimpal dengan nada yang sangat dramatis.
Alhasil, sebagian atensi kelas teralihkan padaku.
"Suri dapat undangan dari kelas malam?" Rere ikut-ikutan mengulang pertanyaan yang sama.
"Aku baik-baik saja." Kuangkat kertas tersebut ke udara dan menggoyang-goyangnya seperti sedang memegang bendera.
"Excel juga dapat." Wisnu menyela dari barisan pojok dekat dinding. "Rex juga."
"Kalian harus mengirimkan surat tersebut kepada tiga orang yang berbeda." Johan masih heboh. Emosi di wajahnya, cukup mujur untuk memancing orang lain menjadi panik. "Kalau tidak, kalian akan bernasib sial."
"Rencananya mau kukirim padamu, Jo. Tiga lembar sekaligus."
Air wajahnya berubah kecut. Aku tersenyum tipis. Lalu beralih pada Excel.
"Berikan suratnya padaku Suri," kata Excel dari mejanya. "Pasti ada yang iseng."
"Halah! Ini bukan iseng." Rexilan tiba-tiba menyela. "Tapi sengaja. Ini dikirim langsung sama anak kelas malam. Iya, kan Otniel?"
Rexilan adalah anak indigo yang paling bangga menunjukkan kemampuannya di depan orang lain. Sekarang, dia terang-terangan bertanya pada Otniel yang kepalanya tiba-tiba menyembul dari papan tulis.
"Berisik! Jangan panggil-panggil namaku. Dasar manusia pelit." Lalu menghilang. Untunglah, makhluk astral itu bisa memegang janji untuk tidak bergosip ke anak indigo lain tentang bakatku.
"Suri, berikan suratnya padaku."
Tersentak, tentu saja. Excel dan Rexilan tiba-tiba berdiri di depan mejaku. Kedua tangan mereka menagih, seperti Rere yang sedang meminta uang kas. Dan mereka mengucapkan kalimat yang sama secara serempak.
"Sebagai ketua kelas. Aku akan bertanggung jawab." Rexilan selalu mengatakan itu, ketika dia mengharapkan sesuatu.
Aku melirik Excel yang wajahnya adem untuk dipandang. Aku tidak bilang Rexilan jelek. Tetapi dia tukang bikin onar dan enggak bisa diam.
"Jangan khawatir. Aku bisa menyimpannya sendiri," kataku sambil melipat surat itu kembali.
"Wow, wow, wow. Suri berani sekali?" Johan tahu-tahu sudah merangkul pundak Excel dengan senyum penuh tipu muslihat.
"Iya. Kan kesialannya mau aku kasih ke kamu, Abang Jo. Masa lupa sih?"
"Idih! Suri jahat!"
Dia lalu kabur ke luar kelas. Entah kemana. Padahal jam masuk pelajaran pertama tidak lama lagi.
"Suri, berikan padaku. Aku akan menghabisi anak kelas malam yang iseng padamu." Rex setengah memaksa. Tetapi aku mengabaikannya.
"Aku baik-baik aja Abang Rex."
"Kamu enggak tahu. Beberapa dari anak kelas malam itu sedikit menyebalkan. Contohnya Oti. Si Lambe Turah Jagad Raya."
"Sebentar lagi, orangnya muncul dari papan tulis." Excel mengingatkan.
Aku mengerjap. Tidak percaya dengan apa yang kudengar. "Excel indigo?"
"Iya," katanya. "Suri enggak tahu?"
Aku menggeleng.
"Woi, Rexilan." Tebakan Excel benar. Otniel kembali muncul dari dalam papan tulis. "Sekali lagi aku dengar namaku disebut. Aku bakal gentanyangan sampai rumahmu."
"Datang aja. Kukasih kau kemenyan pakai bon cabe level pedas."
Mau tidak mau, aku tertawa. Lalu membayangkan wajah Otniel yang kepedesan. Namun, tawaku mendadak lenyap.
Alis Rexilan bertaut menatapku. "Kok kamu tertawa? Kamu bisa dengar suara si Lambe Turah?"
"Namaku Otniel, Manusia! Panggil aku Oti. Aku punya nama."
Mataku dan Otniel saling bertemu. Lalu aku beralih menatap Rexilan. "Enggak. Aku ketawa sama kalimatmu."
__///___///____
Tbc
Terima kasih telah mampir. ♪ \(^ω^\ )
Aku udah bodo amat. Kalau kejadian fiksi yang kutulis menjadi nyata lagi. (╯°□°)╯︵ ┻━┻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top