8~ Episode Baru
Benar-benar hari yang melelahkan. tidak, bukan karena kegiatannya yang padat, tapi beberapa kalimat yang masuk ke telinga harus dicerna kepala dan hati kemudian terjadi pertikaian di dalamnya.
Dua minggu di rumah umi, hari ini aku benar-benar meminta pulang kepada Mas Alyas tanpa ada penolakan. Mas Alyas pun tidak banyak bertanya hanya mengiyakan. Aku teramat bersyukur perihal itu, dia laki-laki penuh pengertian meski mungkin dia tidak paham kenapa aku tiba-tiba meminta pulang sedang perjanjian tinggal di rumah umi lamanya sebulan.
Tepat pukul 19.35 aku sampai di rumah. kami pulang dari rumah umi ba'da isya setelah kepulangan Mas Alyas dari Masjid. Acara selesai sebelum isya.
Rencana aku ingin langsung beristirahat, tapi tidak semua rencana manusia itu Tuhan iyakan. Rumah Abi ternyata ramai karena sedang ada tamu. ya, bibi-bibiku dan paman sedang berkunjung.
Ujian kesabaran itu benar-benar berat. Aku mulai menghela napas kasar setelah turun dari motor. hendak berjalan memasuki rumah dengan rasa enggan tapi lagi-lagi mas Alyas menarik tanganku seperti minggu lalu.
Jika minggu lalu ia menarikku ke kamar, kali ini dia menarikku ke kamar mandi, memintaku ambil wudhu. Sejujurnya aku kesal, aku juga tidak mengerti kenapa harus wudhu, padahal belum mau tidur dan aku pun sudah salat isya.
Lagi-lagi aku menghembuskan napas secara kasar dan menunjukkan keengganan untuk menuruti perintahnya. Alih-alih membujukku dengan rayuan manis, dia justru bersikukuh memerintah menggunakan alis dan netranya tanpa membuka suara agar aku wudhu dengan segera. Aku yakin mas Alyas juga kesal dengan sikapku hari ini, tapi dia berusaha sabar.
Setelah wudhu, kekesalanku sedikit meredam, tidak sepenuhnya. Mas Alyas masih menungguku di depan kamar mandi, ia berpapasan dengan Amih.
"Eh? Kok tidak ke depan?" Sapa Amih setelah mas Alyas menyelaminya.
"Masih nunggu Kanaya, Mih," jawab mas Alyas tersenyum. Rasa kesalku semakin luruh melihat senyumnya yang indah. Tanpa sadar bibirku ikut tertarik.
"Sudah tidak kesal?" tanyanya tiba-tiba.
Aku yang sedang memandangi senyumnya tentu saja langsung gelagapan. Mengangguk pelan sebagai jawaban. Setelahnya kita sama-sama menuju ruang tamu dan menyalami para bibi dan paman satu per satu.
"Gimana, Nan?"
"Maksudnya, Bi?"
"Belum ada perubahan hormon? Atau tiba-tiba mual pagi hari?"
Aku masih terdiam, masih berpikir apakah yang dimaksud bibi adalah apa yang ada di pikiranku. Kulihat Mas Alyas juga tidak begitu peduli.
"Maksunya tuh, apakah kamu belum ada tanda-tanda hamil, Nand?"
Uhuk.
Aku yang ditanya tapi mas Alyas yang kaget dan tersedak teh yang sedang dia minum. Abi menepuk punggungnya agar mereda.
Rasain. Dia akhirnya merasakan apa yang aku rasakan dua hari ini. Aku tidak kaget seperti mas Alyas karena pertanyaan itu beberapa kali terlontar di telingaku.
Kalau dipikir di sini bukan aku yang salah kalau belum hamil. Tapi mas Alyas, karena belum mau mengikhtiarkannya. Cuman kenap pertanyaan itu terasa menjengkelkan.
Manusia seringkali ikut campur urusan manusia lain hanya untuk memenuhi rasa penasarannya, bukan benar-benar penting atau peduli.
"Belum, Bi," jawabku sambil tersenyum.
"Tapi kamu gak KB, kan Nay?"
Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Batinku, bagaiamana mau KB, mas Alyas saja belum menyentuhku.
Di posisi aku, ada yang rasanya teriris namun tidak tahu sebelah mananya. Seringkali aku dibuat overthinking. Apa karena aku kurang cantik? Apa karena aku kurang menarik? Dan paling parahnya aku mengira mas Alyas yang impoten.
Rasanya aku ingin menghilang saja. Ingin memeluk diri sendiri ketika pikiran mulai berantakan, perasaanku juga mulai tak karuan.
Percakapan berlanjut membahas kehamilan dan pengalaman para bibi saat hamil pertama. Semua memberiku wejangan ini dan itu. Mas Alyas juga tak luput menjadi sasaran. Katanya dia harus menyiapkan mental dan sabar yang banyak.
Belum hamil saja dia harus punya sabar yang banyak, karena sikapku yang benar-benar rasanya di luar nalar. Aku merasa tidak bersikap dewasa kali ini. Ada rasa takut mas Alyas menyesal menikahiku.
Sekitar satu jam berlalu, para paman dan bibi beranjak pulang. Menyisakan aku, Amih, abi, dan Mas Alyas.
Amih menatapku tajam. Seakan banyak tanya yang ingin dilontarkan. Aku mengalihkannya dengan beras-beres bekas cemilan dan minuman, membawanya ke dapur lalu mencucinya.
Di dapur, aku mendengar mas Alyas sedang berbincang ringan dengan abi. Aku tidak terlalu mendengar percakapan mereka. Aku sibuk mencuci piring dan gelas-gelas kotor.
Aku merasa Amih memperhatikanku, tapi aku pura-pura tidak mengetahuinya.
"Kenapa tiba-tiba pulang, Nand?" Tiba-tiba suara Amih menginterupsi. Nadanya terasa dingin di telingaku.
"Naya udah gak boleh pulang, ya, Mih?"
"Bukan begitu. Tapi kan kamu harusnya masih pulang dua minggu lagi."
Aku tak bisa membendung air mataku. Penglihatan tiba-tiba buram tapi aku tetap membasuh piring. Ingatan tentang kemarin dan hari ini terulang di kepalaku. Perlahan tetesannya jatuh bercampur dengan air sabun. Aku tidak mau menghapusnya, takut pergerakanku diketahui Amih. Maka kubiarkan ia menetes semaunya.
Di tengah-tengah tangisku, aku mencoba menelan saliva yang mulai kesusahan kutelan. Aku ingin mengajukan pertanyaan tapi ingin suaraku tidak terdengar parau.
"Apakah Naya tidak cantik, Mih?"
"Kenapa? Kenapa tanya begitu?"
Amih menghampiriku. Ia berdiri di sampingku. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Air mataku menetes lagi. Kali ini aku mengusapnya.
"Adduh, mi mata Naya kena sabun," bohongku sambil berlalu melepas gelas yang hanya sisa beberapa. Kuusap bersih pipiku yang basah dan membelakangi Amih.
"Kamu kenapa, Nanda?"
"Naya nggak apa-apa, Mih," tegasku. "Tadi bibi sama paman kenapa pada ke sini?" Aku mencoba mengalihkan topik.
"Lagi bahas proyek."
Karena Amih yang melanjutkan sisa gelas kotor itu, aku izin ke kamar lebih dulu. Kulihat ruang tamu masih terlihat abi dan mas Alyas yang asik mengobrol. Aku tidak ada niat untuk bergabung. Rasanya terlalu lelah, terutama hati.
Sampai di kamar aku ingin langsung tidur, tapi aku belum meminta maaf atas segala hal yang terjadi hari ini pada mas Alyas. Aku sedih, sakit, dan tidak dapat kudefinisikan. Rasanya campur aduk.
Akhirnya aku memilih keluar dan ambil wudhu lagi. Kulihat mas Alyas dan abi sudah beranjak dari duduknya.
Usai berwudhu, kulihat mas Alyas fokus dengan benda besi di tangannya. Aku memilih melewatinya. Entah kenapa, niat yang tadinya ingin meminta maaf rasanya susah kukeluarkan. Dan akh memilih merebah tanpa kata apapun.
Ide yang tersemat di kepalaku adalah berbicara dengan mas Alyas lewat handphone. Kuketik maaf untuk segala hal di hari ini, kuminta ridhoanya agar Allah juga ridho kepadaku. Aku tidak ingin malaikat melaknatku sedang aku tidur karena ada kekesalan dalam diri mas Alyas yang belum termaafkan atasku.
Setelah terkirim, aku berusaha menutup mata dan menarik napas dalam. Berharap segalanya terasa lebih ringa.
Tak lama, seperti ada seseorang yang menghampiriku, tapi aku enggan membuka mata. Rasanya terlalu lelah dan mengantuk. Aku tahu itu Mas Alyas. Meski rasa penasaranku besar untuk apa mas Alyas menghampiriku, aku tetap enggan membuka mata.
Entah bagaimana, setelahnya aku benar-benar tertidur dan tidak tahu apa yang dilakukan mas Alyas.
_______________________________________
Alhamdulillah bisa update.
dukungannya yuk, biar bisa update rutin.
Jazakumullah hair buat yng udah mau mampir dan baca cerita ini.
Ambil baiknya, buang buruknya🌸
❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top