7~ Enggan

Kukira Mas Alyas memang tipe manusia modelan triplek yang kaku dan tidak banyak bicara. ternyata dia juga bisa berbicara panjang ketika bersama teman-temannya, bercanda dan tertawa. Tidak segaring dan sedingin saat bersamaku.

Aku lupa perbincangan di malam bersama abi saat menceritakan kisahnya belajar di Madinah juga tidak sekaku saat bersamaku. Tapi aku memakluminya, barangkali laki-laki itu belum terbiasa. aku pun sebenarnya suka gerogi berada di sampingnya, tapi aku tak berusaha menghindar. aku menghadapinya. karena bagaimanapun aku tidak sebentar menyusuri kehidupan dan melewati waktu bersamanya, insyaAllah. Aku harus terbiasa.

"Naya, kok diem-diem wae. nimbrung, dong biar seru," seru salah satu teman Mas Alyas yang berambut pirang buatan. bagaimana aku bisa tahu? mukanya masih kelihatan lokal ditambah warna kulit sawo matang.

aku tersenyum menanggapi. "Mas Andre tidak bawa istri?" pupilnya melebar dan detik berikutnya meledak tawa dari kedua temannya yang lain, dan Mas Alyas hanya tersenyum seraya bergantian menatap teman-temannya yang tengah begitu bahagia.

"Maaf, Naya salah bertanya, ya? soalnya kan Mas Bobi juga Mas Bagus bawa istri." aku benar-benar merasa bersalah karena laki-laki bernama Andre itu menjadi bahan tertawaan teman-temannya.

"Andre belum menikah, Naya." jelas mas Alyas pelan.

"Eh? Maaf, sekali lagi maaf mas Andre," seruku parau. harusnya aku bertanya dulu ke Mas Alyas agar tidak menyinggungnya. tetapi tanggapan Andre berbeda.

"Ah, Naya, bisa juga ngelawak ternyata." pupilku sontak melebar. aku sedang tidak melawak, itu pertanyaan spontan yang nggak aku pikir dulu.

"Kalau ada temen lo, bisa lah, Nay, kenalin ke gue."

"Gayanya minta dikenalin, giliran dikenalin sekalian, ditinggal."

"Bener. jangan kasih, Nay, entar dighosting."

Perihal per-Ghostingan itu masih lanjut pembahasannya. Memang sesuatu yang perginya tiba-tiba dan tanpa aba-aba suka bikin kecewa yang nggak ada batasnya.

Adzan asar berkumandang dan Mas Alyas izin ke Masjid sekaligus mengajak teman-temannya. Kami para perempuan di sini juga salat berjamaah.

Setelahnya aku menyiapkan makanan yang tadi siang memang Umi dan aku persiapkan untuk tamu-tamu mas Alyas.

sore itu, waktu berlalu begitu saja. Bercandaan teman-teman mas Alyas masih membekas di kepalaku.

"Naya mau punya anak berapa?"

Seperti lelucon tapi langsung menancap dalam relung hatiku. Aku hanya tersenyum menanggapi.

"Alyas dulu punya mimpi bikin anak 20. Kamu sanggup, Nay?" Tanya lelaki berambut gondrong itu masih dengan tawanya. Tawa kerinduan dan nostalgia masa lalu.

Mas Alyas melemparnya dengan gelas air mineral yang telah kosong. "Ngawur."

Bagaimana mau punya anak 20, anak satu saja belum diusahakan. Mas Alyas dengan segala kebingungan yang mengintaiku, menjadikan puing-puing puzzle yang ingin kususun bagiannya. Ingatan itu pudar saat umi menepuk bahuku.

"Ngelamuni apa sih nduk?"

"He, boten umi." Sekuat apapun aku mengelak, umi sudah tahu. Namun beliau tidak memaksa.

Sosok Umi benar-benar lembut seperti Amih. Ah, Amih, aku merinduinya.

"Emm, Umi?"

"Ya? kenapa sayang?"

"Apa mas Alyas punya masa lalu?" umi sedikit kaget dengan pertanyaanku.

"Masa lalu yang bagaimana?"

"Perempuan yang mas Alyas suka mungkin?"

Detik kemudian umi tertawa. "Alyas itu dari kecil tidak suka dekat-dekat sama perempuan, takut katanya. lagipula selama sekolah tidak ada perempuan. Alyas juga nggak pernah cerita tuh sama umi soal perempuan, kalo ada ya ngapain umi jodohin sama kamu."

Alhamdulillah. aku bersyukur dalam hati, bahwa menaklukkan mas Alyas hanya soal waktu saja berarti. Bismillah, ini jalan Ridha yang yang Allah kasih.

Hari-hari berlalu, banyak hal yang terjadi dan tak terduga. sikap mas Alyas masih sama, suka menarik ulur, kadang bikin melting, kadang pula sudah seperti salju di kutub utara. dingin. Anna? masih sama.

Pagi ini, umi mengajakku dan Anna membantu tetangga yang sedang ada hajatan 40 hari, tapi aku berangkat lebih dulu bersama Anna, karena umi masih perlu mengurusi tokonya sebentar, katanya ada barang yang datang.

Dalam perjalanan yang hening, aku sedikit membayangkan umi, menjadi orang tua tunggal dan pebisnis. Hebat sekali. mendidik dua anak yang bagiku luar biasa ini. ya Anna juga sama luar biasanya, banyak piala yang berjejer di kamarnya, bahkan ada lemari khusus. ketika kutanya kenapa tidak dipajang di lemari luar?

"Takut ujub dan menimbulkan iri-dengki," jawabnya singkat seperti biasa.

sampai di tempat, kami berdua menyalami ibu-ibu yang sudah lebih dulu sampai dari kami dan mulai membantu. kami pun langsung bergegas membantu apa yang bisa kami lakukan. Anna membantu mengupas kelapa, aku membantu mengiris wortel untuk dicampur dengan bihun.

hari itu, kami berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. menjelang siang Anna pamit ada kuliah, aku sendiri. tiba-tiba ada ibu-ibu yang bertanya, "Kamu istrinya Alyas?"

kujawab, "Enggih, bu," sambil memamerkan senyumku.

"Kukira Alyas akan menikah sama Rahma."

jleb, siapa Rahma? aku hanya terdiam mendengar penuturan ibu yang aku tidak tahu siapa namanya. Aku yakin mukaku sudah berubah ekspresi dari senyum menjadi bingung. Jangan-jangan Rahma perempuan yang dekat sama Mas Alyas. Ada sedikit rasa nyari yang tiba-tiba menyergap dada, membenarkan sikap mas Alyas yang dingin kepadaku. pasti karena ada Rahma di hatinya tapi umi malah menjodohkannya denganku.

"Rahma tidak ada hubungan apa-apa, Rom sama Alyas," suara umi tiba-tiba terdengar di sampingku, beliau ikut mengerjakan apa yang kukerjakan bersama ibu Rom yang umi maksud.

"Loh, bukannya Haji Dur sudah ke rumahmu, Um? katanya Alyas juga datang ke rumah Haji Dur pas pulang kemarin."

"Iya, Rom. tapi Haji Dur ke rumah setelah Alyas sudah terikat sama Kanaya. Alyas ke sana hanya memohon maaf."

ibu itu manggut-manggut mendengar pernyataan umi. dalam hati aku turut lega, tapi sedikit jengkel juga.

"Owalah, begitu ceritanya."

tak lama kemudian, aku dan umi terpisah dengan pekerjaan yang lain

"Kenapa Alyas nggak nikah sama Rahma aja si, lebih cocok, sama-sama alim, sama-sama lulusan pesantren pula, sama-sama adem."

"Iya, ya, katanya dia gadis kota, dari surabaya yang hidupnya berkecukupan dan lahir di keluarga kaya. pasti merasa aneh bantu-bantu beginian. padahal Rahma sama Alyas udah serasi banget."

Terdengar bisikan-bisikan yang mungkin mereka tidak sadar bahwa gadis kota yang mereka maksud berada di depannya. Ada rasa perih yang tiba-tiba mengiris sudut hati, meski sedikit ini cukup membuatku kehilangan fokus.

"Kamu belum ada tanda-tanda?"

tiba-tiba mbak di depanku yang kuperkirakan usianya baru menginjak tiga puluhan ini mengajakku bicara. aku bingung dengan pertanyaanya. sepertinya efek nggak fokus gini jadi loading.

"Eh? maksudnya mbak?"

"Belum ada tanda-tanda hamil? katanya nikahnya udah lam cuma walimah yang di sini baru, iya kan?"

"eh, Iya," jawabku kikuk sambil memamerkan gigiku.

Namanya mbak Riska, tetangga belakang rumahnya Umi, aku mengenalnya sehari setelah acara. dia membantu umi membereskan kekacauan acara.

"Dulu aku nikah sebulan langsung hamil, Nay. kalo kamu subur juga pasti langsung hamil."

"Tapi kan kita nggak tahu takdir Allah mbak."

"Iya, sih."

Dan setelah pertanyaan dari mbak Riska, pertanyaan-pertanyaan yang sama mengikuti dari orang berbeda-beda. Jujur aku cape menjawabnya, cape juga harus pura-pura senyum depan mereka. dan ini berlanjut sampai malam, sampai acara selesai.

Terakhir nada meremehkan yang enggan aku dengar adalah, "Oh, Ini istri Alyas?"


________________________________________

Alhamdulillah bisa update.
dukungannya yuk, biar bisa update rutin.

Jazakumullah hair buat yng udah mau mampir dan baca cerita ini.

Ambil baiknya, buang buruknya🌸

❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top