3~Belum siap
Bismillah...
Allah dulu
Allah lagi
Allah terus
Jangan lupa Al-Qurannya dibaca dulu yukk🥰🥰
Yang baca dari mana aja nih?
Spill kota kalian dong
Happy reading...
________________________________________
Yang lalu biarlah menjadi masa lalu
Yang paling penting aku ada menjadi masa depanmu
~Kekuatan Kanaya~
Takdir itu unik, ya, yang saling cinta dan satu rasa tidak Allah satukan, tapi yang tak pernah satu rasa justru Allah satukan dalam ikatan pernikahan.
Seperti aku dan mas Alyas. Kita tidak pernah saling tahu sebelumnya, apalagi saling cinta. Aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya Tuhan rencanakan menyatukan dua manusia yang tidak pernah saling kenal.
Dulu aku kira mencintai ciptaan Tuhan bernama Mutawakkil Alallah akan ada takdir dipersatukan dalam ikatan yang halal. Ternyata sebagai manusia hanya boleh memiliki harapan, tidak sebagai penentu akhir dari perjalanan.
Pada akhirnya Allah persatukan aku dengan makhluknya bernama Muhammad Mutawally Assidiqi. Laki-laki yang kali ini membaca buku di sofa panjang berlawanan dengan kasur.
Lima jam yang lalu kami sudah sampai di Madura, di rumah nenek, rumah yang akan kutinggali bersama Amih dan Abi. Kami selesai membereskan barang-barang sekitar 1 jam yang lalau. Aku memilih rebahan sedang Mas Alyas memilih melanjutkan buku bacaan yang semalam di bacanya.
Ya, karena memutuskan pindah, kubawa semua buku-bukuku yang berada di Surabaya. Dan kali ini aku kebingungan akan meletakkannya di mana, karena bukuku tidak bisa dibilang sedikit dan tidak ada lemari buku di sini.
Kamar ini tidak seluas kamarku di surabaya yang nemiliki kamar mandi dalam ruangan dan space untuk ditempati banyak lemari. Kuperkirakan kamar ini berukuran 4 x 4 m yang cukup diisi satu kasur berukuran 200 x 160 cm, 1 sofa di depannya, satu lemari dengan dua pintu, dan meja rias.
Aku kebingungan meletakkan buku, jadi buku itu masih tertumpuk dalam kerdus. Mas Alyas bilang nanti kita bisa nambah lemari kecil khusus buku-buku dan diletakkan samping lemari baju.
Dulu yang menata kamar ini adalah Amih. Katanya kamar ini yang menempati adalah Amih dan abi sampai usia bang Ray 3 bulan, baru mereka pindah.
"Nanda." Itu suara Amih, "ini ada umi."
Setelah itu mas Alyas menatapku dan aku menatapnya. Buku dia letakkan dan kami bergegas keluar.
Benar, umi sudah duduk di terasa depan ditemani Amih. Karena di teras depan hanya ada dua kursi, jadi kuusulkan untuk masuk ke ruang tamu.
Di ruang tamu ada satu set kursi dari kayu yang simple dengan meja kaca. Ruang tamu ini berukuran persegi panjang sehingga dibagi menjadi dua bagian. Bagian belakang ada satu sofa bed yang menghadap televisi dan bagian depan satu set kuris kayu yang aku tahu seperti baru namun sudah agak berdebu.
Rumah ini tidak ada yang menempati setelah kepergian kakek dan nenek sekitar dua tahun yang lalu. Hanya gudang Furnitur yang tetap berjalan meski dipantau dari jauh oleh abi.
"Gimana perjalanan Surabaya-Madura?" Tanya umi yang duduk di seberang kami. Aku dan mas Alyas duduk di kursi panjang.
"Alhamdulillah tidak ada kendala, meski ada sedikit kemacetan di Bangkalan," jawab Amih. Amih duduk di sisi kanan kami.
Selang beberapa detik, Adzan Asar berkumandang. Mas Alyas izin meninggalkan umi, dia hendak berjemaah ke masjid.
Bagaimana aku tidak jatuh cinta hanya dengan sekali bertemu. Dia selalu mengutamakan Tuhannya. Mencintai manusia seperti dia tidak sulit, setiap waktu hati ini dibuat mencair karena kecintaannya pada Tuhan.
Oh, Allah, tolong ridhoi rasa ini. Rasanya aku telah dibuat jatuh cinta sedalam-dalamnya pada satu makhluk-Mu karena ketaatannya Kepada-Mu.
"Naya," panggil umi.
"Eh? Iya, Umi?"
"Alyas baik?"
"Baik. Kalau tidak baik, mungkin Naya sudah menolaknya dari awal. Hehe."
"Kamu bisa aja. Yaudah umi balik dulu."
"Loh, kok bentar banget, Umi?"
"Loh, umi dari tadi ngobrol banyak sama Amih kamu, kamunya aja yang termenung sambil senyum-senyum lama."
Eh? Masa aku merenungnya lama. Malunya kepergok umi. Kebiasaan deh, dasar aku.
"Hehe, maaf umi. Umi balik sama siapa? Anna tidak ikut?"
"Umi balik sendiri, umi bawa motor. Anna tadi umi suruh beli perlengkapan yang dibutuhin buat acara."
Aku mengangguk mengiyyakan. Setelahnya umi berdiri dan kuulurkan tangan untuk menyalaminya.
Menurut aku, umi keren, sih, beliau masih mau pake motor meski usianya sudah tidak bisa dibilang muda.
Setelah umi berlalu, kutanyakan pada Amih, apakah rumah umi jauh?
"Enggak, deket. Sekitar 250 meter dari sini. Beberapa menit udah nyampe."
"Wah deket sekali berarti."
"Sering-seringlah kau kunjungi mertuamu nanti."
"Sihap, Mih."
"Semangat banget anak Amih."
"Hehe."
"Dari tadi Nanda belum liat abi."
Kami masih berada di teras rumah, memilih duduk di kursi depan yang hanya tersedia untuk dua orang.
"Dari siang abi bilang mau ketemu temannya dan belum pulang."
Panjang umur, yang ditanyain tiba-tiba datang dari arah barat. Karena jalan di depan rumah arahnya Timur-Barat.
"Abi dari masjid?" Tanya umi setelah abi memarkirkan motornya di halaman rumah. Jarak rumah ke jalan kuperkirakan 8-10 meter. Jadi halaman rumah ini teramat luas.
"Iya," jawab abi dan aku berdiri agar abi bisa duduk.
"Tadi mas Alyas ke masjid juga, Bi jalan kaki. Nggak ketemu? Dekat kah masjidnya?"
"Lumayan kalau jalan kaki, karena kesininya tanjakan."
Dalam hati, kasian mas Alyas kalau harus jalan kaki. Tapi tidak berselang lama, mas Alyas datang dari arah belakang rumah.
"Katany kamu ke masjid, kok tidak bertemu abi?"
"Alyas ke masjid selatan, bi. Lebih dekat. Kebetulan masjidnya baru di bangun sekitar 3 tahun yang lalu."
"Owalah, abi lama tidak ke Madura. Jadi tidak tahu, banyak yang berubah pula ini desa."
Mas Alyas mengangguk sambil tersenyum. Senyum yang jarang sekali dia tunjukkan untukku. Padahal senyumnya candu. Jadi sedikit iri kepada abi.
***
Sepertinya abi dan Amih kelelahan, sepulang abi dari masjid rumah ini sepi, Amih dan abi memilih beristirahat.
Jujur, berduaan di kamar dan tidak ada kegiatan, khususnya aku, bikin deg-degan nggak jelas. Kalau mas Alyas jangan ditanya, dia berkutat sama buku lagi.
"Mas Alyas."
Harapanku, sekai ini aja mas Alyas langsung menoleh tanpa kupanggil ulang.
"Iya, kenapa, Nay?" Yes, dia beneran mendongak.
"Kita udah nikah, kan."
"Terus?"
"Kita belum diskusi soal visi dan misi kedepannya."
"Bukannya kita udah saling tahu dari CV Taaruf kemarin?"
"Tapi, mas," aku tertunduk ragu sambil memandangi kakiku yang bergantung di tepian kasur. Sedang mas Alyas masih menunggu dengan santai di sofa.
"Kenapa?"
"Kita belum diskusi gimana kita akan tinggal, mau tetap di sini atau ada rencana bangun rumah sendiri. Kita juga belum diskusi punya anak berapa-"
"Kamu mau punya anak?"
Aku menatapnya heran karena tiba-tiba memotong perkataanku. "Mas gak mau punya anak?"
"Bukan gitu, Nay, tapi-"
"Perempuan mana, sih, mas yang tidak ingin punya anak?"
"Maksud aku, kamu udah siap jadi ibu?"
"Kalau mas siap jadi ayah, kenapa Naya tidak siap jadi ibu?"
Dia tutup bukunya, tatapannya tertunduk, tangannya bingung untuk digerakkan tapi memilih mengambil kopyah yang sedari tadi melekat di rambut hitamnya. Dia ingin berkata tapi seolah ragu.
"Em, kita menikah dijodohkan, mendadak pula. Jujur Mas belum siap jadi ayah."
Deg. Rasanya ada yang sesak di sini. Apa karena alasan ini, mas Alyas tidak mau menyentuhku sedikit pun?
"Apa dari awal, mas Alyas juga belum siap jadi suami Naya?"
_____________________________________
Yeaay.. update lagi.
Ada yang nunggu gak nih?
Daru mana aja nih yg nunggu?
Bantu cek typo ya, belum edit langsung publish nih. Hehe
Jangan lupa vote, share ke temen-temen kalian dan tag akunku @melodybisu jika kamu share quote, atau sebagian tulisan ini ya...
Jazakumullah khair sudah mau baca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top