2~Diskusi Kecil
Bismillah...
Allah dulu
Allah lagi
Allah terus
Jangan lupa Al-Qurannya dibaca dulu yukk🥰🥰
___________________________________________
Mari mulai yang baru
Tuhan kasih kesempatan memperbaiki yang lalu
-Kekuatan Kanaya
Setelah acara kemarin ternyata masih ada acara lanjutan di Madura, tempat dimana Mas Alyas dilahirkan dan tinggal. Ya, Mas Alyas asli Madura, sebenarnya aku pun sama, namun sejak Bang Ray kecil Amih dan Abi menetap di Surabaya.
Dua keluarga berkumpul di ruang tamu, tapi tidak dengan adik mas Alyas, Anna. Sejak bertemu pertama kali, aku tahu tatapan Anna menunjukkan ketidak sukaan padaku. Apakah hasil dari perjodohan konsekuensinya ada yang tidak suka?
Ah, entahlah, mungkin pikiranku yang terlau negative, maka kucoba ambil sisi positifnya. Mungkin memang karakter Anna yang masih remaja begitu, atau dia memang tidak mudah akrab sama orang baru.
"Nanda," tegur Amih. Aku menatapnya, dan Amih bilang selesai acara di Madura aku tidak akan balik lagi ke Surabaya. Aku akan menetap di Madura, bagitupula dengan abi dan Amih.
Sesuai kesepakatan awal, setelah menikah aku akan tetap tinggal bersama Amih dan abi sementara, untuk selanjutnya terserah aku dan mas Alyas maunya gimana.
Abi bilang, bisnis di Surabaya akan dilanjutkan abang, dan abi akan melanjutkan bisnis furniture kakek di Madura.
Usai perbincangan itu Umi pamit pulang dan aku akan menyusul lusa, karena minggu depan adalah acaranya.
Aku dan Mas Alyas yang mengantar umi dan Anna ke tempat pemberhentian bus. Sampai di sini, Anna tetap dingin.
Benarkah dia tidak menyukaiku? Apa dia berpikir gadis yang tidak terlalu cantik seperti diriku tidak pantas untuk abangnya yang terlau tampan? Ah, mungkin karena aku belum kenal saja, ya, aku belum mengenali karakternya. Mungkin nanti akan kutanyakan pada mas Alyas tentang sosok Anna agar aku lebih mengenalnya dan tidak berpikiran negative tentangnya.
Usai mengantar umi dan Anna, sampai di rumah kita tepat adzan maghrib. Abi sudah siap dengan pakaian rapihnya untuk berangkat ke masjid lalu berkata pada mas Alyas bahwa beliau akan menunggunya dan meminta mas Alyas bersiap segera.
"Amih di man, Bi?" tanyaku setelah lama kami bediam.
"Di Mushala, Amih sedang menunggumu." Aku mengguk dan tak lama mas Alyas sudah siap dan wangi.
Aku suka sekai laki-laki yang menjaga sekali dirinya. Aku tak langsung beranjak untuk menyusul Amih di Mushala, tapi aku masih menunggui dua laki-laki beda generasi itu berangkat.
Ada yang hangat di dalam dada ketika dua laki-laki beda usia itu beriringan dengan pakaian koko melangkahkan kakinya ke masjid. Hal yang selalu aku impikan dan aku syukuri saat ini karena Tuhan kabulkan ekspektasiku yang tak berdasar, kecuali karena cinta dan agama kepada Tuhan.
***
"Alyas," panggil Abi dari luar pintu ketika mas Alyas mengganti pakaiannya dengan kaos hitam polos sepulang dari masjid. Maka aku yang keluar menemui abi dan berkata mas Alyas masih mengganti baju.
Beberpa detik berikutnya mas Alyas menyusul keluar dan menjawab panggilan abi.
"Abi boleh bicara?" mas Alyas mengangguk. "Mari ke ruang tamu. Nanda kamu juga ikut."
Aku mengangguk mengiyakan permintaan abi. Kami berdua saling tatap setelah abi berlalu. Mungkin pikiran mas Alyas sama dengan diriku melihat raut wajah abi yang serius.
Setelah kami berdua duduk berhadapan, kutelisik sorot netra Abi yang serius menatap mas Alyas, seperti ada sesuatu yang penting dan harus disampaikan.
"Alyas?"
"Iya, Abi?"
"Nanda itu putri satu-satunya abi. Laki-laki yang pertama kali cium dia adalah abi, yang pertama kali peluk dia itu abi, dan abi yakin, abi adalah cinta pertama Riananda," suara abi sedikit bergetar sambil menatapku penuh kasih, dan Mas Alyas masih diam menunggu kelanjutan maksud abi.
"Tapi, Yas, setelah akad itu, dia sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu, hidupnya, dunianya, juga surganya sudah berpusat di kamu. Padahal dari kecil yang rawat abi, yang jaga baik-baik Abi. Abi bukannya iri atau merasa nggak rela, Cuma abi pesan, jaga dia sebagaimana abi menjaganya.
"Selama ini abi berusaha buat nggak nyakitin puteri abi, selalu berusaha nurutin apa yang dia mau selama masih batas wajar, dan abi harap usaha itu dilanjutin kamu.
"Dan, Yas, kalau suatu saat kamu nggak sanggup lanjutin perjuangan abi, atau kamu udah nggak cinta sama putri abi, udah nggak mau nanggung tanggung jawab putri abi, nggak usah kemana-mana bilangnya, cukup bilang ke abi, biar abi ambil balik yang awalnya milik abi."
Tanpa aku sadari pipiku basah. Abi yang nggak banyak ngomong tiba-tiba ngomong panjang dan serius karena aku. Hati aku terenyuh karena kalimat abi. Kulihat Mas Alyas yang tenang dan minim ekspresi mendongak dan seolah menyampaikan sesuatu lewat tatapan.
"Abi kok ngomong gitu?" tanyaku ragu setelah mas Alyas tak berkutik dengan semua yang dikatakan abi. Aku yakin mas Alyas kebingungan bagaimana dia akan menjawabnya.
"Ya, kenyataannya kan emang begitu, Nan, kalau udah nggak sanggup jaga putri abi ya balikin ke Abi lagi, jangan dibuang dan disia-siain, putri abi terlalu berharga." Tanpa aba-aba aku berhambur ke abi dan memeluknya.
Iya, beliau cinta pertama aku dan akan selamanya begitu.
"Alyas nggak janji bisa, Bi, tapi Alyas akan berusaha." Abi mengangguk.
"Abi percaya kamu, Yas."
Setelahnya kami berbincang santai seperti berapa tahun mas Alyas di Madinah, apakah mas Alyas sambil bekerja, bagaimana pengalaman kuliah di madinah dan lain-lain, kami memilih masuk ke kamar dan Mas Alyas langsung melesat ke kamar mandi.
Aku ingat ada yang ingin kutanyakan tentang Anna. Jadi, saat mas Alyas keluar aku memanggilnya.
"Ya?" jawabnya sambil mengambil baju dan menggantinya di depan mataku. Aku buru-buru mengalihkan ke hal lain.
Mungkin pada dasarnya mas Alyas memang tidak banyak bicara, jadi dia tidak bisa disebut bercerita, karena setiap pertanyaan abi tadi dijawabnya sekata, atau baik, iya, tidak, dan kalimat terpanjang saat dia diminta menceritakan pengalamannya kuliah di madinah.
"Beberapa mahasiswa memilih sambil bekerja menjadi guide umroh atau ziaroh, Bi, tapi saya tidak. Karena memang mau focus kuliah agar tidak molor. Teman-teman yang memilih sambil bekerja kebanyakan kuliahnya molor, kadang ambil cuti kalau job padat."
Dan sekarang panggilanku yang dia jawab 'ya' tanpa menoleh pun. Beberapa detik berikutnya dia tiba-tiba sudah di depanku, duduk di pinggiran kasur yang sama. Tapi tidak ada sepatah kata, hanya netranya yang menatapku seolah bertanya kenapa.
Aku pura-pura tidak paham dan menatapnya balik penuh tanya. Jujur, berhadapan dan berdekatan gini jantungku gak baik-baik saja, terpompa dengan sangat cepat membuatku sulit mengambil udara, apalagi kami saling bertatapan.
"Tadi kamu manggil, ada apa?"
"oh, Naya mau tanya soal Anna. Dia orangnya bagaiamana?"
"Ya, gitu." Kan, apa kubilang. Jawabannya jauh dari ekspektasiku.
"Ya, gitu gimana? Naya, kan belum pernah kenal dekat sebelumnya."
"Setelah ini coba kenal lebih dekat, ya. Aku rasa kamu sudah bisa cukup memahami setiap orang yang kamu kenal."
Setelah dia berkata begitu, aku hanya mengangguk tanpa berkata apapun lagi. Saat aku hendak ke kamar mandi, mas Alyas menanyakan buku yang bisa dia baca. Dia biasa baca buku sebelum tidur katanya.
Aku menanyakan buku apa yang dia suka. Dia bilang apa saja asal bukan fiksi, dia tidak suka menghalu. Jadi kutunjukkan lemari bukuku dan kukatakan bahwa mas Alyas bisa pilih sendiri.
Keluar dari kamar mandi, kusempatkan solat hajat dan taubat dua rakaat sekaligus witir 1 rakaat, karena untuk melakukannya lebih sepertinya aku lelah. Sebelum memulai solat kulirik sebentar mas Alyas yang ternyata dia mengambil buku Biografi Muhammad Rasulullah yang ditulis Maulana Muhammad Ali dan duduk diatas kasur sambil menyandarkan punggungnya pada sendran kasur.
Sebenarnya melihat dirinya yang bersikap biasa, ada yang aku pikirkan. Tapi, sudahlah biar kucurahkan semuanya kepada Allah Tuhan semesta alam.
"Naya," panggil mas Alyas lembut saat aku hanyut dalam curahan kepada Rabb. Aku ragu untuk menoleh, maka kulanjutkan munajatku sampai selesai baru kupedulikan mas Alyas.
"Kenapa, mas?" tanyaku ragu sambil melipat mukenahku.
Mas Alyas terdiam seolah berpikir lalu netranya menatapku dan bilang, "em... engga jadi."
"Oke, kalau mas Alyas belum mau tidur, Naya tidur duluan, ya?" dia menjawab hanya dengan anggukan dan kembali fokus pada buku bacaan.
Sampai beberapa menit berlalu, aku belum bisa terlelap. Ini malam kedua pernikahan kita, tapi degup ini juga tidak mau reda. Aku belum terbiasa dengan keberadaan mas Alyas yang satu kasur denganku.
Selain tidak bisa tidur karena jantung gak normal, ada yang masih kupikirkan namun ragu. Ada takut dan ingin menyampaikan. Ah, kenapa tidak aku saja yang memulai?
"gak bisa tidur?" tanya mas Alyas saat aku memilih duduk, tapi netranya masih tidak lepas dari buku. Aku mengangguk sebagai jawaban. Entah dia akan tahu atau tidak.
"Em... mas," panggilku ragu.
"Emm..." bukan itu yang kumau jawaban dari mas Alyas, tapi pertanyaan kenapa atau ada apa. Lihat saja netranya masih tidak teralihkan. Rasanya aku ingin menjadi buku saja agar mudah mengatakan keresahanku dari tadi.
Sejujurnya aku enggan menanyakan sesuatu yang mungkin teramat sensitive bagiku dan mungkin bagi mas Alyas juga, tapi melihat mas Alyas yang passive aku yakin hubungan kita akan stuck di sini saja.
Kita memang dipertemukan tanpa adanya perasaan. Tapi dengan adanya degup yang selalu aneh setiap di dekatnya aku yakin perjalanan ini akan mudah. Maka kucoba memanggilnya lagi dengan nama.
"Iya?" aku tidak menjawab, hanya menatapnya. Mungkin karena aku tidak kunjung bicara dia berhenti membaca dan menatapku. "Kenapa?"
Aku ragu, aku takut, dan deg-degan banget buat jawab. Tapi tetap harus kukatakan biar tak membebaniku.
"Mas Alyas tidak menginginkan Naya malam ini?" meski suaraku kecil dan terdengar ragu, aku tahu mas Alyas mendengarnya, karena setelah itu dia terlihat kaget dan tiba-tiba menggaruk tengkuknya, mengalihkan tatapannya dariku.
_______________________________________
Gimana-gimana?
Ciee.. ada yg nunggu jawaban Alyas nih yee..
Wkwk
Tolong di tag kalau ada typo ya, ini nulis langsung publish soale😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top