10~ Hari Yang Semestinya

Bismillah...
Allah dulu
Allah lagi
Allah terus

Jangan lupa Al-Qurannya dibaca dulu yukk🥰🥰

Oh iya bantu cek typo ya..

Happy reading...

_____________________________________

Hidup itu kalau kita fokus sama luka hanya akan ada sakit. tapi kalau kita fokus untuk bersyukur, banyak banget hal-hal yang bikin sakit terasa kecil dan nggak ada apa-apanya.

—Riananda Kanaya

Tidak ada drama hari ini. Semua berjalan seperti biasanya. Mas Alyas pergi ke ruko membantu umi dan aku berkutat di rumah dengan segala hal yang ingin kulakukan termasuk mencuci baju dan menyetrika pakaian yang sudah kering.

Seringkali mas Alyas melarangku mencuci bajunya, katanya dia bisa mencuci sendiri dan tidak memintaku mencucikannya. Katanya tugasku hanya perlu taat, kalau ia tidak meminta, aku tidak perlu melakukannya.

Syukur yang tiada batas. Allah masih memberi nikmat untuk hati ini merasa cukup dan ingatan untuk selalu bersyukur. Punya suami yang luar biasa baiknya adalah hadiah terbaik dari Tuhan.

"Mas," panggilku kepada laki-laki yang tengah bersandar pada sandaran ayunan di sampingku ini. kepalanya mendongak ke atas melihat langit gelap yang dihiasi bintang-bintang.

Malam memang cukup syahdu untuk bersantai di depan rumah sambil menikmati angin malam. Bagiku,  ini momen yang cukup membuat hatiku berdebar tapi nyaman. Ditambah aroma tubuh mas Alyas yang cukup kuhapal membuat penciumanku serasa dimanja.

Seperti biasa, mas Alyas dengan sikap kaku dan dinginnya tidak berniat menanggapi panggilanku dengan serius. Tapi peduli apa aku, aku tetap melanjutkan pembicaraan seperti biasanya. Karena aku yakin, sedingin-dinginnya mas Alyas, ada kehangatan di dalamnya. ia pasti mendengarkan apapun yang aku katakan, seperti yang sudah-sudah.

"Memang benar, ya, mas, hidup itu kalau kita fokus sama luka hanya akan ada sakit. tapi kalau kita fokus untuk bersyukur, banyak banget hal-hal yang bikin sakit terasa kecil dan nggak ada apa-apanya."

Laki-laki itu tiba-tiba menegakkan punggungnya dan membuat aku yang berada di sampingnya kaget.

"Kenapa, Mas?"

Mas Alyas hanya menatapku intens. tatapan yang tidak bisa aku deskripsikan. Seperti ada cahaya yang memancar dari matanya dan rasa takjub yang mendera. Mas Alyas tidak berniat menjawab pertanyaanku, ia hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Kamu juga pernah sakit?" Katanya balik bertanya.

Aku memutar kepala, mengangkat kedua alis—heran. Manusia mana yang tidak pernah sakit? Pikirku. Tapi mas Alyas seolah bisa membaca pikiranku.

"Maksudnya, hal apa yang pernah bikin kamu sakit?"

Aku kembali memutar kepala sambil menatap langit penuh bintang.

"Banyak," seruku tanpa menoleh. "Dicuekin mas misal," lanjutku lagi. Dan hal itu mampu membuat laki-laki berstatus suamiku ini terperanjat dan menatapku penuh tanya.

Aku yang meliriknya seketika terbahak. "Haha, yaampun, mas, Naya bercanda."

Tapi ternyata pengakuanku tidak cukup membuat tatapan mas Alyas surut. Ia mulai menatapku serius. Aku pun mulai menegakkan punggung dan menatapnya heran.

"Kapan saya cuekin?"

Tentu saja kepalaku mulai ramai. Kapan katanya? Setiap waktu, mas, setiap waktu. Ingin sekali rasanya aku bilang begitu. Tapi aku paham itu memang karakternya yang  kaku.

Saling bertatapan begini dan duduk berdampingan saja bagiku ini adalah kemajuan yang cukup untuk hubungan dua manusia yang sebelumnya sama sekali tidak mengenal satu sama lain.

"Udah, ah gausah dibahas," jawabku dan kembali meluruskan pandangan. Tiba-tiba di kepalaku terbesit ide agar pembahasan ini teralihkan.

"Mas mau susu jahe, ga?" Tanyaku sambil beranjak? Ia menapku sekilah dan mengangguk.

***

Aku kembali ke halaman rumah dengan membawa dua susu jahe. Kuluaskan pandangan tapi tidak ada manusia yang aku cari. Ayunan yang menggantung sedikit berayun itu menandakan bahwa mas Alyas baru saja beranjak. Apa dia ke kamar?

"Kamu mencari saya?"

"Astaghfirullah, mas," aku terperanjat, orang yang aku cari tiba-tiba bersuara dibelakangku. Hampir saja dua gelas di atas nampan lepas dari tanganku kalau mas Alyas tidak sigap menangkapnya.

Jantungku berdegub kencang, lebih kencang dari biasanya. Tentu saja rasanya ingin meledak karena posisi kami yang seperti berpelukan. Ya, mas Alyas merengkuh nampan dari belakangku seolah aku dipeluk dari belakang.

Tidak, tidak. Ini bisa membuatku gila tapi rasanya enggan beranjak. Pergulatan batinku terhenti karena mas Alyas mengambil alih nampan. Aku sendiri masih berusaha mengatur napas dan ritme jantung yang tidak kira-kira meletupnya.

Mas Alyas meletakkan nampan di atas meja yang berada di sudut teras rumah, ia pun duduk di kursi sebelahnya sambil mengukir senyum. Tolong, senyumnya membuat bunga-bunga bermekaran di dalam dada. Ah dasar Naya, alay banget. Haha

Akhirnya aku pun memilih duduk di kursi sebelahnya sambil melirik senyumnya yang belum juga pudar.

"Mas, kenapa senyum-senyum?"

"Gapapa." Ya, itulah jawaban yang sudah kuprediksi.

"Mas, Naya kaget tauk, debarannya masih terasa memberontak."

Mas Alyas tertawa sekilas dan berkata, "maaf."

Hening. Mas Alyas mulai menyeruput susu jahenya.

"Enak, Mas?" Ia mengangguk.

"Boleh tanya, ngga mas?" Ia mengangguk lagi.

"Banyak, loh, gapapa?" Lagi-lagi ia hanya mengangguk.

"Kenapa mas nggak merokok?"

"Gabisa dan gasuka."

"Kenapa mas gasuka kopi?"

"Pahit."

"Kopi susu gapahit loh mas, apalagi kalo minumnya sambil lihat Naya."

"Tetep gasuka."

"Liat Naya aja juga gasuka?"

"Suka."

"Ha? Bisa diulang ngga mas?" Ia menggeleng lagi sambil membuka-buka lembaran buku yang aku tahu tidak dibacanya. Hanya sebagai pengalihan.

"Tanya lagi boleh?"

"Dari tadi kamu udah nanya terus."

"Ih, boleh tidak?"

"Enggih Tuan Puteri, dipersilahkan."

"Aaa... mas Alyas tuh ya, sekali ngomong bisa bikin Naya pingsan tahu, nggak."

"Nggak tahu."

"Auk ah, yaudah dilanjut pertanyannya." Ia mengangguk.

"Kenapa mas mau nikah sama Naya?"

"Takdir."

"Kenapa mas ganteng?"

"Takdir"

"Mas Alyas ini jelmaan Malaikat?" Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri.

"Mas pasti banyak yang ngejar, ya?" Lagi-lagi gelengan kepalanya yang menjawab.

"Mas pernah punya pacar?" Diam sejenak seolah sedang berpikir untuk menjawabku.

Tak lama dia hanya mengangguk. "Wah banyak dong mantannya?" Tanyaku lagi dan ia hanya menggeleng.

"Ih, mas tuh ya kalo ditanya cuma ngangguk, geleng, ngangguk lagi, geleng lagi. Naya kaya ngomong sama mainan barbie yang bisa ngangguk-ngangguk doang pas nyanyi."

Mas Alyas terbahak mendengar pengakuanku. Malam ini dia banyak tersenyum dan tertawa, membuat syukurku bertambah.

"Jadi kamu mau saya diam atau ngomong? Ntar pingsan saya yang repot."

"Ish, yakali Naya pingsan beneran. Tapi emang kontradiksi sih, Naya mau mas jawab ga cuma geleng atau ngangguk doang, tapi sekalinya jawab mas tuh bikin Naya terbang. Repot, ya?"

"Iya."

"Eh jawab yang tadi," seruku. Rasanya aku ingin malam ini lebih panjang. Mas Alyas lebih hangat dari biasanya.

"Yang mana?"

"Mas pernah pacaran sama siapa? Mantannya banyak pasti? Cantik-cantik juga, kan?"

"Nanya itu satu-satu, Naya."

Aku menghirup udara lebih banyak untuk mengurangi sesak di dada. Masih tidak percaya sebenarnya mas Alyas pernah pacaran, takut sama jawabannya, tapi ingin tahu siapa perempuan yang pernah bikin mas Alyas jatuh hati.

"Em, oke. Satu-satu, ya. Pertama, mas pernah pacaran sama siapa?"

"Kamu."

"Ha? Gimana, mas?" Aku tidak salah dengar, kan? Kapan aku pernah pacaran sama mas Alyas?

"Ini saya lagi pacaran, Naya."

"Ha?"

"Pacaran after halal," serunya sambil menarik ujung-ujung bibirnya menatapku. "Jadi belum punya mantan," lanjutnya lagi.

Aku yang ditatapnya begitu tidak bisa berkata-kata, ingin lari tapi masih ingin melihat senyum indahnya. Ah bisa-biasanya aku salting hanya gara-gara tatapannya.

"E.. aa.. anu.. Naya ... Naya ngantuk, mas, Naya ke dalam duluan, ya," ucapku jadi gagu dan segera berlari ke dalam rumah.

Terdengar gelak tawa mas Alyas yang samar.

"Wudhu dulu, Naya," serunya agak keras. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban meski tahu mas Alyas tidak akan melihat itu.

Beginilah hari-hari selama beberapa bulan terahir, malam sebelum tidur aku menemani mas Alyas membaca buku atau kitab. Biasanya aku bertanya hal-hal perihal agama. Tapi malam ini lebih banyak pertanyaan dari biasanya dan kurang penting barangkali.

Satu jam berlalu, mata ini tidak mampu terpejam. Mas Alyas juga mulai masuk kamar.

"Belum tidur, Nay?"

"Belum, mas."

"Katanya ngantuk."

"Nunggu mas bacain dongemg dulu."

"Ha?"

Aku tertawa menyadari permintaanku sendiri. Bisa-bisanya.

"Hehe, maap. Gajadi, mas. Mas ada yang dibutuhin nggak sebelum tidur?"

"Apa memangnya?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top