Kekang

Kekang

Semua orang memiliki hak fundamental masing-masing yang tidak bisa di rampas oleh siapapun. Termasuk juga aku, aku memiliki hak atas diriku sendiri. Aku memiliki hak untuk merdeka, bebas tanpa kekangan dan aturan. Tetapi aku seperti tak berhak akan semua itu. Aku dikurung dalam jeruji semu yang disebut sebagai kasih sayang. Aku terikat. Tak mampu bergerak. Hanya bisa berteriak. Tanpa seorangpun bertindak. Mereka tak ingin mendekat. Miris.

Semua karena dia.

Dia. Sahabatku. Orang yang sudah dua tahun bersamaku. Memberiku kasih sayang tak berujung. Juga memberiku luka tak bermuara. Aku terluka akan kasih sayangnya.

"Mau kemana?"

"Biasa, ke sanggar."

"Biar kuantar!"

Seperti biasa, keputusannya mutlak. Tak bisa diganggu gugat. Jika aku menolak, dia akan membentak.

Sudah kubilang, aku tak berhak mengutarakan jawaban.

Payah.

Dia ini siapaku? Kenapa selalu mengatur hidupku? Ayahku saja tak pernah menyuruhku ini-itu. Melarangku ini-itu.

Dia ini siapaku? Kenapa tak pernah menghargaiku? Apapun yang kulakukan selalu salah. Dan yang benar adalah apa yang ia rencanakan. Dan berkilah, 'ini demi kebaikanmu'.

Baik dari mananya?

Di sini aku tidak baik-baik saja.

Aku terkekang.

Hingga suatu hari, aku bertemu Ica. Hitam-manis, mungil dan hangat. Setahun dibawahku. Kedatangannya memberiku rasa baru. Aku nyaman dengannya, sejenak masalahku seakan terangkat. Terbius oleh senyum hangat yang mengajakku untuk hidup penuh semangat.

Aku baru sadar, sejak ia hadir, aku lebih sering tersenyum. Wajahku yang pias kini mulai menampakan warnanya. Mataku kembali memancarkan binarnya. Karenanya, aku menjadi berharap hidup lebih lama lagi.

Bahkan aku lupa akan 'dia', seorang yang mengaku sebagai sahabatku.

Kami sering berbagi cerita, saling melontarkan candaan, hingga larut malam.

Bersamanya, aku nyaman.

Ica peka, selalu mengerti apa yang kumau. Tak pernah memaksa apa yang tak ku kehendaki. Semua berada di tanganku. Dia hanya akan mengutarakan pendapat ketika aku kebingungan. Hanya pendapat, bukan kalimat desakan.

Aku suka caranya memahamiku.

Di dekatnya aku mendapat hak hidupku sendiri.

Sayang, persahabatan kami menemui kendala. Saat 'Dia' telah kembali dari perjalan bisnisnya ke Negeri Sakura. Aku tak bisa kemana-mana. Hanya mendekap di dalam kamar pengap seorang diri.

Pergi ke sanggar hanya sebagai alasan untuk bertemu Ica, karena semenjak 'Dia' kembali, hak hidupku juga kembali dirampas. Pulang-pergi harus berada dalam pengawasannya. Semua aktivitas harus berada dalam pantauannya.

Untungnya Ica adalah salah-satu penghuni sanggar. Kami bertemu di sana untuk menghibur anak-anak. Membacakan dongeng.

Hingga seminggu lalu, 'dia' datang ke sanggar tepat waktu, dan aku masih asyik bercengkrama dengan Ica. Derai tawa tak terelakan.

Tiba-tiba saja, tanganku ditarik olehnya, di seret untuk mengikuti langkah kakinya yang panjang. Pergelangan tanganku perih , sungguh. Aku heran, ukuran tanganku bahkan lebih besar darinya, tetapi mengapa tenanganya tiga kali lebih besar dariku.

Aku berkali-kali mencoba melepaskan diri, tetapi dia malah semakin mencengkramku. Oh, sial! Tanganku sepertinya akan putus!

Penderitaan masih terus berlanjut. Sesampainya di rumah, dia menjambak rambutku, memaksaku untuk menatap wajahnya yang memerah menahan amarah.

Ada apa dengannya? Mata itu, seperti bukan dirinya. Sepertinya aku harus membawa dia ke Majelis Dzikir untuk di ruqyah. Karena aku yakin, dia kerasukan setan Jepang.

Oh, tidak. Tolong!

Rambutku akan putus dari kulitnya. Ah, ini sakit sekali. Gunduli saja aku! Daripada harus diperlakukan seperti ini!

Argh

Dia berkomat-kamit di depan wajahku. Tanpa melepas genggamannya.

"Siapa dia?"

"Teman?"

"Beraninya kau memiliki teman selain aku!"

"Tak cukupkah aku sebagai sahabatmu?"

"Apa maumu?"

"Jawab aku brengsek!"

Aku hanya diam tergugu.

Tetapi tindakanku salah, dia semakin murka.

Lantas menyeretku ke dalam kamar pengap dengan pencahayaan minim ini.

Hanya cahaya bulan yang menemani malamku.

Cukup!

Aku tak sanggup lagi.

Aku akan pergi.

Teruntuk Bunda yang ada di Surga

Aku belum ingin menyusulmu

Aku menulisnya hanya untuk memberitahu nasib anakmu setelah kau tinggal pergi.

15 Januari 2019

....

Dia meremas kertas yang berada dalam genggaman. Surat itu, dia temukan di kamar belakang tanpa pencahayaan yang memadai itu. Ini sebenarnya bukan kamar, tetapi gudang yang hanya di pakai untuk menyimpan barang-barang yang jarang digunakan. Dan sudah tak terpakai. Seperti kertas yang ia temukan, bermotif kartun burung pemarah di atasnya. Dia ingat betul, bahwa buku tersebut, dulu ia gunakan saat Sekolah Menengah Atas, untuk pelajaran Biologi.

Di dalam ruangan ini, tak ada siapa-siapa. Dia ingat betul, tadi malam ia mengunci ruangan tersebut dengan rapat. Tetapi mengapa penghuninya bisa raib tanpa jejak?

Rahangnya mengeras ketika mengingat isi surat tersebut. Seburuk itukah dia dimatanya?

Justru dia sudah berbaik hati, mengajak gadis itu untuk tinggal bersamanya ketika ibunya meninggal. Ayahnya bahkan lari, dan tidak mau mengajak anaknya untuk tinggal bersama.

Lihatlah dirinya, bukan siapa-siapa. Hanya memiliki status sahabat, tanpa terikat hubungan darah. Tetapi mau menampungnya.

"Sialan! Kemana kau berengsek!"

Langkah lebarnya membawanya ke luar rumah setelah mengambil kunci mobil. Memasuki mobil kesayangannya, dan melajukannya seperti sedang kesetananan. Tangannya mencengkram kemudi hingga buku-buku jarinya memutih. Napas memburu pertanda emosinya tak stabil.

Dia tahu, kemana harus pergi. Pasti, gadis itu pergi ke rumah seorang yang ia anggap 'teman'-nya itu.

Setelah menciduk mereka seminggu lalu, dia telah mencari tahu tentang Ica. Dia memiliki jaringan yang luas, tak sulit baginya mendapat informasi seperti ini.

Sampailah ia di depan sebuah rumah minimalis bercat orange. Setelah memarkirkan mobilnya, ia keluar dengan tergesa. Melangkah terburu-buru menuju pintu. Lantas mengepalkan tinju dan menggedornya tak tahu malu.

"Keluar kau, berengsek!"

Pintu kayu tersebut bergemuruh, membuat suasana menjadi rusuh.

Akhirnya yang ditunggu terjadi, pintu itu terbuka. Dengan pemiliknya yang setengah murka. "Apa-apaan, sih? Berisik tau!"

Duaghh

Tanpa tendeng aling-aling Dia melayangkan kepalan tangan kanannya pada seorang di hadapannya. Sang korban meringis, ketika sudut bibirnya sedikit sobek.

"HEII!! DATANG-DATANG MALAH BIKIN RUSUH! APA MAUMU? SIAPA KAMU? ADA MASALAH APA DENGANKU?" Si korban murka. Dia berteriak sambil sesekali meringis. Wajahnya merah mendidih. Tak suka dengan seorang yang datang bertamu tanpa sopan santun di hadapannya tersebut.

"Dimana Dapinah?" tanya Sang Pelaku dengan masih mengepalkan tangan kanannya. Napasnya masih naik turun.

Yang ditanya terperangah, "Bukannya kau yang selalu bersamanya? Bukannya kau yang mengaku sahabatnya? Harusnya kau tahu dimana dia!"

"Berengsek! Jangan banyak bacot kamu! Katakan dia dimana sekarang! Atau aku geledah rumahmu!"

Ica mendengkus, "Pantas saja, Dapinah nyaman denganku. Ternyata mulutmu tak pernah bersekolah. Padahal kudengar kau Sarjana Manajemen, kan? Mengapa mulutmu lebih buruk dari sampah? Dapinah lari karena mulut kasarmu, kan? Siapapun yang berada di posisinya, pasti takkan nyaman bersahabat dengan setan sepertimu!"

Wajahnya semakin memerah mendengar ucapan Ica, sepertinya darahnya sudah naik hingga ke ubun-ubun. Tangannya makin mengepal hingga rasanya kuku-kuku itu menancap hingga ke dagingnya.

Tanpa aba-aba dia menerobos masuk ke dalam rumah Ica. Menelusuri setiap ruangan. Mengobrak-abriknya, hingga membuat barang-barangnya pecah. Semua telah dia periksa, tetapi nihil. Dapinah tak ada dimanapun.

"Sudah puas membuat rumahku seperti kapal pecah?" Ica menggeram melihat situasi rumahnya yang sudah tak karuan. Bisa-bisanya orang dihadapannya membuat barang-barang dirumahnya rusak tak bersisa.

"Dimana kau sembunyikan Dapinah, berengsek!" Ica menyemburkan napas, lelah. Makhluk di depannya ini sudah mengeceknya sendiri di dalam rumahnya dan tidak menemukan yang ia cari. Tetapi mengapa masih bertanya.

"Demi Tuhan. Aku tak menyembunyikannya!"

Tanpa berkata apapun, Dia keluar. Meninggalkan rumah Ica yang porak poranda. Dan pemiliknya yang menggeram murka.

Memasuki mobilnya kembali, dan mengatur napasnya yang masih terus memburu. Lantas melajukan mobilnya seperti orang kesetanan.

Kemana lagi harus Dia harus menacari sahabatnya tersebut?

Mobilnya sampai di jalan lintas Provinsi. Dia tak menyadari bisa mengendarai mobilnya hingga sejauh itu. Dengan emosi yang terus meuap-luap, dia menikung beberapa truk dan bus yang menghalangi laju mobilnya. Terus seperti itu, hingga ia akan menyalip sebuah truk gandeng, dari arah berlawanan datang sebuah minibus yang seperti sedang kerasukan. Melaju tanpa tahu batasan, seperti dirinya. Hingga kecelakaanpun tak terelakan.

Mobilnya dihimpit oleh badan truk gandeng dan minibus.

...

Ruangan itu sunyi, hanya ada suara kadiograf yang menjadi pengiringnya. Sang penghuni tengah tertidur pulas -koma. Selang inpus sudah beberapa kali diganti, tetapi sang pemilik enggan untuk tersadar. Deru napasnya masih dibantu oleh sebuah masker oksigen. Beberapa bagian tubuhnya dililit perban untuk menutupi bekas luka pasca tragedy itu.

Suara pintu derderit memecah keheningan, seorang gadis berjilbab hitam datang berkunjung sambil menentang bunga mawar merah dan tas selempang kecil yang melingkar dari pundak kirinya.

"Hai, apa kabar? Masih betah di sana? Tidak merindukanku? Padahal kata Ica seminggu lalu kau datang ke rumahnya mencari-cariku?"

"Sekarang, aku di sini, bukalah matamu! Sebelum aku pergi lagi!"

Dapinah menghela napas, seperti percuma berbicara dengan orang koma. Walaupun ia tahu, orang dihadapannya pasti mendengar suaranya. Tetapi selama beberapa hari ini, tak ada respon dari orang yang tengah tertidur tersebut. Dapinah tetap bersabar, menunggu orang dihadapannya membuka mata.

"Ya, sudah, aku akan membacakan surat Yaa Siin untukmu saja."

Iapun membuka tas selempangnya, mengeluarkan buku Yaa Siin kecil pemberian dari ibunya. Perlahan, iapun mulai terhanyut dalam bacaannya.

Baru lima ayat, ia mengalihkan atensinya pada jari telunjuk yang berada di hadapannya. Tangan itu tergeletak lemah, namun jari telunjuknya bergerak pelan. Timbul kerutan di dahinya melihat kejadian itu. Apakah sebuah tanda-tanda kehidupan?

Kedua sudut bibirnya terangkat, akhirnya yang ia tunggu sadar juga. Dengan tangan bergetar, dia keluar ruangan memanggil dokter atau perawat untuk memastikan keadaannya.

...

Dokter sudah selesai melakukan pengecekan, kini waktunya ia memasuki ruangan. Senyum tak luntur dari bibirnya. Bahagia, sahabat yang ia sayangi telah kembali.

Meraih gagang pintu dengan tangan bergetar, menggesernya pelan dan ia masuk ke dalam ruangan tersebut. Dilihatnya, seorang yang tadi tergolek lemah kini tengah menatap langit-langit ruangan. Netra hitam tajamnya redup, pertanda belum ada semangat untuk melanjutkan hidup.

"Hai, bagaimana perasaanmu?" Orang itu menoleh setelah Dapinah menyapanya. Dia hanya menatap datar tanpa ekspresi. Bingung, harus memberi ekspresi seperti apa. Padahal sebenarnya dia senang dapat bertemu seseorang yang ia cari hingga ia tak sadarkan diri.

"Aku kembali. Dan aku berjanji takkan pergi lagi."

Masih diam.

"Asal kau harus berjanji...," Dia merespon dengan kedipan beberapa kali pertanda menyuruhnya untuk melanjutkan bicara, " kau jangan mengekangku, okey?"

Dengan ragu, dia mengangguk pelan. Lantas mengalihkan atensinya pada langit-langit kamar.

Dapinah tersenyum penuh kemenangan.

...

Dapinah memasuk sebuahi ruangan, di sana terdapat seorang dokter berwajah Oriental ber-name tag dr. Tan. Dilihatnya, dokter tersebut tengah sibuk membaca-baca sebuah kertas, mungkin itu riwayat kesehatan pasien-nya.

"Permisi, Dok!" Dokter itu mendongkak dan menatap seseorang menyapanya tersebut. sebuah senyum terbit tatkala matany bertemu tatap dengan gadis berjilbab hitam yang tengah menatap padanya.

"Kau Dapinah?" Gadis itu mengangguk. Dokter itupun mempersilakannya duduk kursi di hadapannya.

"Jadi, kau siapanya pasien bernama Nadia?" Pertanyaan itu terlontar, ketika sang dokter melihat lawan bicaranya telah nyaman duduk di kursinya. Dapinah menghela napas sebelum menjawab, "Aku sahabat dekatnya, sangat dekat."

Dokter itu mengangguk, lantas membuka rekam medis milik Nadia. Dokter itu menghela napas sebelum menyampaikan apa yang hendak ia utarakan, "Sebelumnya saya minta maaf..." tanpa sadar Dapinah menahan napasnya menunggu kelanjutan kalimat sang dokter, ini pasti bukan kabar baik, itu terlihat dari air mukanya -pikirnya. "Saya memiliki kabar buruk mengenai pasien."

Dapinah diam menunggu kelanjutan dari Sang Dokter.

"Pasien mengalami kelumpuhan."

"Dia tidak bisa lagi berjalan."

Hatinya bagai diremas mendengar kabar tersebut. Tiba-tiba Dapinah menunduk, setetes air mata turun tanpa permisi dari kedua pelupuk matanya. Lantas tetesan yang lain mendesak ikut meluncur.

Dapinah terisak, dadanya sesak. Ya Tuhan, mengapa sahabatnya mengalami hal seperti ini? apakah ini adalah balasan terhadap apa yang ia perbuat selama ini?

"Saya turut berduka atas apa yang menimpa sahabat anda," ucap dokter itu sambil menepuk pundak Dapinah, memberi ketegaran.

"Saya yakin, selalu ada hikmah disetiap kejadian."

Dapinah mendongkak, menatap sang dokter yang tengah tersenyum hangat. Dapinah mencoba menerka-nerka maksud apa maksud yang tersirat dari ucapan dokter tersebut.

Diam beberapa lama, akhirnya senyumnya kembali terbit. Dengan cepat ia menghapus jejak-jejak air mata dengan punggung tangannya. Lantas ia bangkit dari duduknya, mengucapkan terimakasih kepada pria dewasa di hadapannya. Menghirup napas sedalam-dalamnya untuk bertemu sahabatnya yang masih tergolek di ranjang pesakitan.

'Selalu ada hikmah di setiap kejadian.'

...

Dapinah mendorong kursi roda miliki Nadia dengan pelan. Jika terlalu kencang, takut sang pemilik merasa tak nyaman. Kini mereka tengah berjalan-jalan mengelilingi Rumah Sakit. Dokter bilang, Nadia butuh penyegaran, jangan dibiarkan di kamar terus, takut bosan.

"Bagaimana perasaanmu?"tanya Dapinah ketika mereka sudah sampai di Taman Rumah Sakit. Kini Dapinah tengah duduk di sebuah kursi panjang, sedangkan Nadia berada di sampingnya -dikursi roda.

"Asal kau ada di sisiku, aku akan selalu baik-baik saja." Dapinah tersenyum menanggapi pernyataan sahabatnya tersebut.

"Kan sudah kubilang, aku takkan pergi, jika kau tidak mengekang." Nadia mendengkus.

"Tenang saja. Aku takkan mengekangmu. Lihat saja, kini aku tak mampu berjalan." Nadia menunduk menatap kedua kakinya yang terkulai lemas di atas kursi roda.

"Selalu ada hikmah di setiap kejadian!" Dapinah tersenyum sedangkan Nadia menghela napas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top