Part 2

Keesokan dan tiga hari selanjutnya, Rinjani memilih menjauh dari Yonea. Biasanya selalu bersama kini berjalan masing-masing. Ke kantin sendiri-sendiri. Pulang tidak bareng. Jarang ngobrol. Sebisa mungkin Rinjani menghindar. Setiap hari juga, sahabatnya itu bertanya perubahan sikapnya seolah semesta akan segera runtuh. Hingga Rinjani tak tahan dan di hari kelima ia meledakkan semua.

Air mata Rinjani mengenang saat membuka topik obrolan. Ia tidak perlu khawatir meledakkan emosi di sekolah sebab sudah jam pulang dan hanya mereka berdua di kelas. "Apa maksud tulisanmu ini?"

Yonea mengambil lipatan koran yang dilempar Rinjani ke meja. Kertasnya lecek karena diremas, ada robekan dari atas sampai seperdua ke bawah yang tampaknya dibatalkan. Karena disambung kembali dengan selotip. "Oh. Cerpen ini. Kamu senang membacanya? Ini kejutan yang aku maksud tempo hari dan—"

"Dan apa? Honornya lumayan?"

"Kok kamu jadi sinis gini, Jani?" tanya Yonea bingung.

"Ternyata memang benar. Kamu sengaja menulis cerpen ini. Memakai namaku sebagai tokoh utama, menceritakan kehidupanku yang nanar, menjadikan kamu sosok sahabat baik hati dan keluargaku yang jarang pulang tanpa memikirkan anaknya. Mama dan Papa memang bukan orangtua terbaik di dunia. Selalu absen di hidupku. Tapi mereka punya alasan. Kamu enggak berhak menilai mereka, Ne!"

"Apa sih yang kamu bicarakan? Omonganmu melantur."

"Kamu menulis tentangku supaya dapat honor, kan? Yang kamu pikirkan memang cuma dirimu sendiri. Sekarang kamu sudah dapat apa yang kamu inginkan. Semoga kamu puas," kata Rinjani tajam.

"Jaga bicaramu. Jangan sembarangan. Aku melakukan ini untuk membantu. Jani, gak ada lagi yang bisa kulakukan sebagai sahabatmu selain ini. Keluargamu tak terjangkau untuk diajak bicara. Tulisan adalah satu-satunya jalan keluar supaya mereka tahu."

"Jangan katakan itu lagi! Kamu sudah menuliskan hal tersebut di cerpen, lengkap dengan narasinya. Kamu memang bikin aku malu."

"Sungguh, aku gak bermaksud berbuat seperti itu."

"Tapi memang seperti itu maksudmu. Sudahlah, aku enggak mau bahas lagi," ujar Rinjani kecewa sambil mencangklongkan tas ke kedua bahu dan bersiap beranjak keluar kelas.

"Jani, jangan kayak anak kecil. Kamu memang emosional dan itu yang sering mengaburkan logikamu."

Rinjani geram mendengar itu. Tapi tubuhnya sudah terlalu lelah untuk sekadar membicarakannya lagi. Ia tetap beranjak pulang tanpa merespons perkataan Yonea. Baru kali ini ia merasakan energinya terserap habis. Jika membahas perihal keluarga, ia memang merasa sedih, jengkel, marah dan kecewa. Beragam emosi semakin bergejolak saat seseorang berani menuliskan tentang itu ke sebuah tulisan. Hal yang tak pernah dilakukannya.

Tapi di lain sisi, Rinjani mengakui bahwa tulisan Yonea sangat bermuatan emosional sekaligus provokatif. Seluruh perasaannya tercurahkan habis hingga melegakan. Pilihan kalimat yang digunakannya sangat cerdas. Mengakhirinya dengan tak terduga tapi dengan alur logis.

Namun menuliskan hal tersebut ke media massa. Menggunakan nama asli Rinjani. Membongkar kecacatan keluarganya yang menjadikan rumah seakan pondok penginapan sementara. Hal itu merupakan sebuah kekeliruan. Hanya membuat Rinjani malu, minder bergaul dan bahkan teman-temannya akan mengetahuinya kalau membaca cerpen itu. Mama dan Papanya akan tersindir dan memerahinya jika tahu. Bahkan semua orang bisa membaca cerpen tersebut.

Dengan memikirkannya saja membuat perut Rinjani melilit. Dadanya sesak. Air matanya yang sudah kering, mulai bermuara lagi di pipinya. Tanpa mengaca, Rinjani yakin penampilannya tidak sedap dipandang. Rambut pendeknya acak-acakan, poninya basah oleh keringat, mata sembab dan pipi memerah. Rinjani membersit ingus.

Ini masalah paling terkrusial selama bersahabat dengan Yonea. Latar belakang pertengkaran yang Rinjani tidak bisa bayangkan ujungnya. Hari selanjutnya, Yonea mencoba menjelaskan tapi entah kenapa Rinjani tak sanggup mendengar sepatah kata pun darinya. Karena terlalu sering tak diacuhkan, cewek itu juga menjaga jarak. Hingga hari-hari terlewati tanpa saling bicara.

***

Di hari Senin, Rinjani segera bergegas ke dapur untuk membuat sarapan sebelum berangkat sekolah. Tapi betapa terkejutnya ketika mendengar denting sendok beradu gelas keramik. Harum teh jasmine bercampur aroma kopi hitam pekat. Ia yakin ini bukan mimpi. Meski akhirnya ia mematung juga ketika sampai di dapur.

"Selamat pagi, Sayang." Sapaan hangat Mama dan Papa kompak berharmoni.

Di meja, cangkir berisi kopi hitam dan satunya lagi cangkir berisi teh berasap tipis. Diletakkan persis di hadapan mereka satu per satu. Ada juga segelas susu dan roti isi selai coklat yang terhidang di sisi meja lainnya, siap disantap.

Mama duduk dengan punggung menyandar pada kepala kursi. Wajahnya segar dan bersemangat. Sedangkan Papa menyeruput kopi perlahan.

"Sayang, kamu belum sarapan, kan? Mama udah bikin sarapan," ujar Mama lembut. Suaranya merasuk hingga ke sukma Rinjani.

"Rotinya tidak habis sendiri jika dilihatin," celutuk Papa ceria.

Jika ini mimpi, Rinjani berharap tak dibangunkan saja. Ia berjalan perlahan sambil mengawasi kedua orangtuanya. Tidak ada tanda-tanda ketergesa-gesaan. Semuanya tampak santai dan rileks. Keramahan mengisi setiap sudut ruang.

"Mama sama Papa enggak berangkat kerja?" tanya Rinjani keheranan.

"Nanti Papa berangkat kerja sesudah mengantar kamu ke sekolah," kata Papa.

Mama tersenyum. "Jani Sayang, Mama dan Papa sudah baca cerpen di koran hasil tulisan Yonea. Sangat persuasif hingga menampar kami. Ia pandai mengolah kata. Penyebutan nama aslimu, beberapa kejadian beserta tahunnya membuat kami seakan terlibat langsung.Ya, cerpennya berdasarkan kisah nyatamu. Awalnya kami tersindir. Tapi kami sudah bicara dengan Yonea di rumahnya."

"Yonea sudah jelaskan maksud dan tujuan tulisannya. Ia hanya ingin kami terlalu sibuk agar kamu tidak kebingungan menghadapi masa remaja hingga dewasa seorang diri," kata Papa melanjutkan. "Mama menangis saat itu. Papa mengerti. Kami terlalu asik dengan pekerjaan sampai lupa kebahagiaanmu."

Rinjani tercengang. Ia pikir orangtuanya akan meradang atau tersindir jika membaca cerpen itu. Tapi dugaannya salah. Mama dan Papa bergantian menjelaskan. Runut, tenang dan empatik. Tidak ada amarah di setiap perkataannya. Mereka mengakuinya kesalahannya. Tapi lebih dari itu, mereka ingin menjadikan Rinjani prioritas seperti seharusnya.

Mendengar ucapan orangtuanya, Rinjani memeluk mereka. Ia tak mampu menahan air mata yang tak terbendung. "Jani, sayang Mama dan Papa," bisik Rinjani di tengah pelukannya.

Menit berikutnya Mama dan Papa melonggarkan pelukan. Rinjani tersenyum mengerti. Mama mengusap kepala Rinjani perlahan. "Yonea juga cerita kalau kalian berantem karena hal ini. Betapa besar pertaruhan yang sudah dilakukannya. Mama mengerti kemarahanmu. Tapi di balik cerpen Yonea, ada makna tersirat yang layak dipetik. Salah satunya, orangtua merupakan ujung tombak pengembangan kepribadian anaknya. Oh, iya, ia bahkan memberikan honor menulis itu ke Mama. Katanya, itu hakmu. Ia minta maaf karena lancang menuliskan tentangmu tanpa izin. Maksudnya untuk kejutan malah berantem."

"Ia memang sahabat terbaikmu," ujar Papa sambil tersenyum.

"Sekarang kamu sarapan sampai selesai. Lalu, berangkat ke sekolah. Kembalikan honornya ke Yonea. Tapi paling utama, perbaiki hubungan persahabatan kalian. Ia yang sering jadi penolongmu saat tersesat."

Rinjani mengangguk. Dalam hati, ia sudah merencanakan cara berbaikan dengan Yonea. Ia beruntung memiliki sahabat sebaik Yonea. Cerpennya benar-benar berisi kejutan. Kejutan yang memperbaiki hubungannya dengan orangtua.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top