Special Part • From That Moment On
Priority - HJ, N, SW The Boyz
Look at me
The standard of perfection in my world changes because of you
The day I ran into you as if it was a coincidence
I left my mind behind in case you knew We have the same expression on each other from the moment I first saw you
One day, you're gonna be there, and time is gonna push me
Up there in my heart, it's already full of you
***
Nama gue Arya. Arya Sergio Utama. Sepanjang eksistensi hidup gue—–jika perhitungannya dimulai sejak masuk sekolah, gue nggak pernah mengandalkan orang lain. Ibarat kata, gue menciptakan dunia sendiri tanpa ada niatan untuk mengundang siapa pun masuk.
Bukannya sombong, tapi gue sempat didiagnosa mengidap autisme meski tergolong ringan sewaktu gue berumur tiga tahun. Mama pernah cerita, gue selalu ditemukan bersembunyi di dalam lemari baju lantas berbicara sendiri. Terdengar horor—–memang, tetapi begitulah kenyataannya. Kondisi fisik gue sempurna dan nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Bisa dibilang, tumbuh kembang gue nggak pernah mengecewakan kecuali fakta yang satu ini.
Bahkan sejak kecil, gue sudah diprediksi mempunyai kapasitas otak yang cerdas. Bisa jadi itulah yang menjadi pemicu Mama untuk menyembuhkan gue karena bagi beliau, sayang saja jika gue pintar tetapi tidak mampu berinteraksi dengan yang lain.
Mama mengerahkan semua kemampuan yang beliau bisa buat menyembuhkan gue; mulai dari menjalani berbagai macam terapis hingga pengobatan medis lainnya. Tidak tanggung-tanggung, Mama bahkan pernah membawa gue ke luar negeri. Katanya, untuk memastikan saja jika terapi yang gue jalani selama ini benar-benar efektif dan tidak ada miskomunikasi.
Mama nggak pernah sekali pun mengeluh berapa total biaya perawatannya, padahal waktu itu kondisi keuangan keluarga gue pas-pasan dan gue bukan satu-satunya tanggungan mereka. Gue mempunyai satu kakak perempuan yang saat itu menginjak kelas tiga SD.
Hidup memang nggak ada yang gampang, tapi gue bersyukur mempunyai orang tua yang sayang sama gue dan Kak Miya. Walau sederhana, kebersamaan kami sempurna. Mungkin saja, berkat itu, gue semakin termotivasi untuk menjadi anak yang rajin dan berkelakuan baik supaya bisa membanggakan kedua orang tua gue.
Namun, gue nggak segencar itu untuk mengajak teman-teman sebaya gue bersosialisasi meski gue sudah dinyatakan mampu berkomunikasi dua arah. Entahlah, gue merasa gue lebih suka berteman dengan buku-buku tebal daripada ngerumpi. Rasanya hanya gue satu-satunya yang mempunyai akses ke dalam dunia gue, seperti yang gue jelaskan di awal-awal.
Prioritas gue cuman dua; keluarga dan buku. Gue nggak pernah peduli dengan yang dikatakan orang-orang meski ekstremnya sampai ada yang bilang kalau gue nggak normal, nggak pernah sekali pun dekat sama cewek, atau hidup gue semonoton itu.
Benar. Hidup gue memang stagnan dan tidak menarik, tetapi bukan berarti gue nggak bahagia. Gue rasa kita nggak bisa mengukur kebahagiaan hanya dari seberapa banyak pacar yang lo punya atau se-barbar apa lo sama orang. Gue nyaman dengan hidup gue yang seperti ini, jadi gue membayangkan jika saja gue mempunyai kemampuan bertukar jiwa, gue yakin siapa pun akan setuju dengan pernyataan gue tadi.
Pokoknya gue bahagia dengan cara gue sendiri, titik.
Bahkan moto hidup gue nggak berubah sewaktu mengetahui ada cewek populer yang sekelas sama gue di tahun pertama SMP. Gue akui dia memang cantik, tapi gue nggak pernah tahu namanya dan gue juga nggak berminat untuk tahu.
Bagi gue, dia sama saja kayak yang lain. Kalaupun ada yang berbeda, untungnya dia tidak termasuk jajaran cewek-cewek random yang selalu mengekori ke manapun gue pergi lewat tatapan mata.
Gue bukan sok kepedean atau belagu, tetapi banyak yang kagum dengan visual gue. Selain tinggi, gue tampan. Gue juga murid teladan dan dedikasi gue dalam pelajaran sepertinya memberikan nilai tambah bagi mereka. Ya, gue akui juga sih karena setiap gue mematut diri di depan cermin, biasanya gue auto menatap lama-lama sampai terkadang lupa waktu.
Ah, mungkin ini definisi terlalu nyaman dengan diri sendiri.
Oh ya, kembali ke topik. Barusan gue sudah bilang gue nggak pernah berinteraksi sama cewek cantik itu, kan? Kalau begitu, bagaimana dengan interaksi yang sebenarnya? Apakah ada?
Memang ada. Gue masih ingat persisnya gue berhadapan sama dia dan tatapan kami saling bertemu untuk pertama kalinya.
Someone said, first impression is important. Katanya, kesan pertama itu bisa menjadi tolok ukur untuk menilai seperti apa dia dalam persepsi kita.
Berdasarkan penelitian yang pernah gue baca, kesan pertama terjadi dalam 20 detik pertama saat bertemu. Dalam durasi tersebut, 55 persen mendapatkan kesan dari penampilan, 38 persen dari nada berbicara, dan 7 persen dari kata-kata yang digunakan.
Herannya, gue mengimplementasikan semua itu pada detik pertama. Tanpa aba-aba sebelumnya, padahal gue nggak pernah mau menatap orang asing lebih dari sepuluh detik.
Entahlah, apakah karena wajahnya memang secantik itu? Walau gue anti sosial, gue nggak semunafik hingga menolak untuk melihat sesuatu yang indah dipandang mata. Gue normal, tentu saja. Maka dari itu, gue langsung menarik kesimpulan kalau apa yang gue lakukan adalah sesuatu yang wajar.
Nyatanya, gue nggak sadar kala itu menjadi awal mula perubahan urutan prioritas gue.
Saat itu sudah lewat seminggu awal ajaran baru di tahun pertama SMP. Gue masih ingat kejadiannya karena pagi itu hujan. Gue turun dari bus bersama penumpang lain yang mayoritas mengomel karena hujan turun secara mendadak dan mengeluh karena tidak membawa persiapan.
Berbeda dengan gue tentunya. Hidup gue selalu terstruktur sehingga menyiapkan payung sebelum hujan bukanlah sesuatu yang membuat gue lalai hingga lupa.
Sebagai informasi tambahan, jarak dari halte bus menuju SMP Mandiri cukup jauh dan seragam sudah pasti basah secepat apa pun mereka berlari. Gue menertawakan mereka dalam hati sembari mengeluarkan payung andalan gue dari dalam tas. Ukurannya cukup besar, jadi seragam gue sudah pasti terselamatkan seperti yang sudah-sudah.
Gue sengaja menunggu sampai halte sepi, karena gue nggak suka keramaian. Lagi pula, bel masuk masih lama berdering sehingga gue nggak perlu buru-buru.
Saat itu gue nggak sadar kalau ada seseorang yang masih berada di halte. Dia beranjak dari bangku panjang, lantas berjalan melewati gue dengan santai.
Tanpa payung atau menggunakan tasnya sebagai pelindung kepala, dia—–si cewek, berjalan begitu saja seakan-akan hujan bukanlah sesuatu yang perlu dihindari.
Seketika gue dilema, pun hati nurani gue diuji; apa gue harus mengabaikannya? Payung gue besar, seharusnya gue bisa berbagi dengannya meski gue—–mungkin—–harus mengorbankan lengan gue diguyur hujan. Lantas, apakah gue akan setega itu jika memilih tidak berbagi payung? Masa iya gue berjalan begitu saja?
Keputusan menjadi final ketika gue benar-benar mendekatinya dan memiringkan payung supaya kepalanya terlindungi. Beruntung gue nggak mikir lama-lama karena seragamnya belum kepalang basah.
Atensinya secara otomatis diarahkan ketika menyadari eksistensi gue di sisinya. Saat itulah, gue rasa, dia memberi kesan pertama yang unik dengan caranya sendiri. Wajah dan rambutnya sudah basah, tetapi ada sesuatu yang membuat gue penasaran hingga menatapnya lama.
Bagian putih pada matanya memerah. Gue tahu informasi tentang iritasi mata yang kerapkali terjadi karena hujan dan gue juga pernah mengalaminya, tetapi gue yakin situasinya berbeda dengan penjabaran gue tadi.
Mengapa? Karena gue menangkap sorotan matanya yang sarat akan misteri, seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Lagi pula setelah gue ingat-ingat kembali, dia adalah si cewek populer yang sekelas sama gue. Setahu gue dia tipikal cewek yang easy going, karena dia selalu menjadi pusat perhatian di manapun dia berada.
Apakah... apakah dia menangis? Gue nggak bisa sembarangan menyimpulkan karena sebagian wajahnya juga basah oleh air hujan. Oleh karenanya, gue jadi mati gaya karena nggak tahu mau ngomong apa.
Saking bingungnya, gue sampai nggak sadar kalau acara tatap-tatapan ini telah berlangsung lebih dari dua puluh detik, yang ternyata menjadi rekor pertama sepanjang sejarah gue menatap orang lain, apalagi cewek. Mata gue lantas beralih ke nama yang tersemat pada seragamnya.
Lara Scarletta.
Lagi-lagi, gue melakukan hal yang belum pernah gue lakuin sebelumnya; kepoin nama.
Dipikir-pikir, lucu juga. Kenapa gue jadi kepo dengan namanya? Apakah keingintahuan gue sesederhana setelah mengira dia menangis?
"Makasih, ya." Lara mengucapkan itu pada gue, membuat atensi gue kembali padanya. Dia melanjutkan langkahnya, begitu pula dengan gue. Suasana hening tetap setia menemani hingga kami sampai di gerbang sekolah.
Gue kira, Lara diam saja karena gue nggak berinisiatif mengajaknya berbicara. Wajar saja, karena—–sejauh yang gue baca—–cewek biasanya lebih suka kalau cowok yang memulai percakapan terlebih dahulu.
Jujur, gue nggak tahu mau ngomong apa dan gue juga nggak berminat mau ngajak bicara. Lagi pula, gue nggak pernah punya pengalaman sebelumnya, jadi gue rasa diam adalah solusi yang tepat.
Lara mengucapkan terima kasih lagi dan dia berjalan duluan saat kami sampai di mulut koridor. Gue malah bersyukur dia bersikap demikian karena gue nggak tahu harus bagaimana jika dia sok dekat sama gue hanya karena berbagi payung.
Realita yang jauh dari drama, bukan?
Tetapi memang begitulah yang terjadi. Semuanya lantas berjalan normal seperti biasa, bahkan gue hampir melupakan namanya saking lamanya tidak berinteraksi kecuali gue diatur sekelompok gegara tugas sekolah. Meskipun demikian, gue jadi terbiasa mendengar suara cemprengnya dan dia tidak membuat gue merasa terganggu.
Entahlah, apakah karena momen yang durasinya lebih dari dua puluh detik itu? Atau... apakah karena mata merahnya yang memberikan kesan ambigu?
Gue nggak pernah tahu jawabannya dan sekali lagi, gue memilih untuk mengabaikan semua itu.
Lantas suatu kali ketika kami berada di tahun kedua SMP, ada musibah yang terjadi padanya. Gue dengar dari teman-teman yang bertanya langsung, orang tuanya bercerai karena eksistensi orang ketiga. Responsnya benar-benar di luar dugaan dan jujur gue salut sama dia yang masih bisa ceria di balik kesedihannya.
Gue tahu dia berusaha tegar dan gue rasa semua temannya juga sependapat dengan gue. Hanya saja, melihat bagaimana dia begitu hebat dalam berlapang dada, gue rasa pikirannya memang sedewasa itu.
Gue memang hampir lupa dengan namanya, jadi gue cukup kaget sewaktu gue menyuarakan namanya dalam hati gue.
Lara Scarletta.
Gue jadi tahu mengapa ekspresinya seperti itu di bawah payung bersama gue setahun yang lalu. Bisa jadi, matanya memang memerah karena menangis.
Kemudian, gue menyaksikan dia menangis di sudut kelas, tepatnya di dekat meja guru sewaktu pelajaran Olahraga. Tangisannya terdengar begitu menyayat hati sekaligus memilukan. Gue hampir saja tergerak untuk mendekatinya persis insiden payung setahun yang lalu, tetapi tidak jadi karena gue yakin dia tidak ingin ketahuan oleh siapa pun. Gue sendiri juga nggak yakin apakah gue bisa menjadi pendengar yang baik sebab gue belum pernah menghibur orang lain.
Maka dari itu, satu-satunya yang bisa gue lakukan adalah menutup pintu dan jendela yang menghadap koridor secara diam-diam. Gue hampir sampai ke pintu depan kelas untuk menutupnya ketika ekor mata gue melihat tubuh Lara yang mulai oleng ke belakang dan untungnya gue berhasil menangkapnya tepat waktu sebelum dia menjadi sasaran empuk lantai marmer yang dingin nan keras.
Gue yakin dia sempat melihat wajah gue sebelum akhirnya tidak sadarkan diri.
Gue mulai celingak-celinguk tidak jelas, tentu panik karena belum pernah menangani orang pingsan sebelumnya. Pikiran gue sempat buntu selama beberapa saat sebelum akhirnya gue mendapat ide untuk menggendongnya ke ruang UKS.
Ahh... kenapa bisa gue lupa soal ruang UKS?
Dengan sigap gue membopong Lara keluar kelas. Gue merasa awkward banget menggendong dia kayak gini. Entahlah, tiba-tiba saja gue jadi merasa aneh bin nyata. Tahu, kan? Ibarat anak burung yang baru pertama kali mencoba sensasi terbang benaran untuk pertama kali dalam hidupnya, gue juga merasa kayak gitu; kaku, bingung, juga ada sensasi geregetnya. Beruntung sepanjang perjalanan gue nggak bertemu siapa pun, mengingat sekarang masih pelajaran Olahraga jadi gue nggak perlu jelasin atau setidaknya dikepoin sama teman-teman yang lain.
Jujur saja semenjak kejadian itu, gue sadar kalau gue bukanlah Arya yang dulu lagi. Gue sadar akan konsekuensi apa yang gue hadapi setelah memberikan sejumput perhatian pada seorang Lara Scarletta. Dan gue juga sadar kalau ternyata perhatian tersebut bermakna jika gue sudah menggusur perubahan urutan prioritas dalam hidup gue.
Itu berarti jelas; cewek itu telah menjadi bagian yang cukup penting dalam hidup gue.
Senang? Marah? Kecewa? Takut? Entahlah, gue juga bingung apa tepatnya respons gue. Yang pasti, awalnya yang gue kira gue sudah sinting karena menjadi pribadi yang berbeda, kini hanya bisa pasrah saja. Maksud gue, gue rasa gue nggak menyesal dengan apa yang terjadi pada gue.
Karena jujur saja setelah melihat bagaimana Lara berjuang dalam menghadapi cobaan hidup dan selalu memasang topeng untuk menyenangkan semua orang, gue rasa dia layak mendapat perhatian gue secara diam-diam sebagai reward-nya.
Lara memilih untuk menyembunyikan masalah pribadinya dan menjadi moodbooster untuk orang lain, gue rasa itu adalah tindakan yang sangat mulia. Dia rela menderita sendirian dan tidak ingin menyeret orang lain untuk ikut bersedih bila berada di sisinya.
Lara, gue benar-benar kagum sama lo. Pantas saja, lo disukai oleh banyak orang.
You deserve to love and be loved.
Itulah sebabnya, gue nggak pernah merasa cemburu setiap Lara menggandeng pasangan yang bahkan berbeda-beda setiap harinya. Gue tahu kebiasaan itu adalah sebuah distraksi, lagian... gue tipikal yang lebih senang melihat orang yang gue cintai merasa bahagia.
Bukankah itu definisi nyata dari mencintai seseorang dengan tulus? Bukan dari seberapa besar rasa cinta lo hingga memaksanya berada di sisi lo, tetapi dari seberapa besar rasa cinta lo hingga memberinya kebahagiaan meski bukan lo yang berada di sisinya.
Lagi pula, gue tahu perjalanan cinta gue sama Lara masih panjang. Umur kami masih sangat belia dan dengan sifat introver yang gue miliki, jujur gue malah lebih senang memberinya perhatian dari balik layar yang tidak akan pernah dia ketahui siapa pelakunya.
Gue menyukai Lara dengan cara gue sendiri dan gue bahagia, titik.
Namun, gue bisa menjadi manusia egois juga ternyata. Setelah Lara tahu gue manito-nya dan bersikap agresif untuk menjadi pacar gue, kenapa gue bisa sesenang ini? Kenapa nggak kepikiran dari dulu, coba? Kenapa gue nggak pernah kepikiran buat perjuangin dia?
"Aku jadi agak nyesel, kenapa nggak dari dulu ya aku deket sama kamu?"
Benar. Gue baru menyadarinya sewaktu Lara mengajukan pertanyaan tersebut di hari pertama kami berpacaran, tepatnya lewat balkon apartemen masing-masing. Pertanyaan itu juga sukses menampar gue secara abstrak.
Lantas, gue berpikir lagi. Jika saja saat itu gue mengungkapkan semuanya sedari awal, apakah jalan cerita kami akan berbeda? Apakah Lara yang sekarang akan berbeda dengan yang dulu?
Gue nggak kunjung mengetahui jawabannya, tetapi satu hal yang pasti adalah gue sangat bahagia berada di sisi Lara. Melihat bagaimana dia tersenyum dengan mata yang berbinar karena gue, melihat bagaimana dia bersemangat untuk belajar karena gue, dan melihat bagaimana arti tatapannya yang gue tahu karena dia mempunyai perasaan yang sama dengan gue.
Saat itu gue sadar sepenuhnya kalau Lara Scarletta adalah segalanya bagi gue. Sehingga, hanya dia satu-satunya yang memiliki akses untuk masuk ke dalam dunia pribadi gue.
Dunia Arya Sergio Utama.
Itulah sebabnya rasa sakit gue nggak tertahankan sewaktu Lara mengambil keputusan untuk berpisah secara sepihak, apa lagi setelah gue tahu alasan yang sebenarnya. Gue tahu gue agak kejam karena sempat memanfaatkan Nadya untuk membuatnya sakit hati, tetapi gue juga nggak bisa menutupi rasa kekecewaan gue.
Gue bukan menyalahkan keputusannya, hanya saja gue merasa terluka karena gue jadi mengerti akan satu hal penting dari semua itu.
Mungkin gue bukan prioritas dia sama seperti gue menganggapnya sepenting itu.
Rasanya seperti mau melempar barang saking kecewanya, tetapi gue tahu nggak ada gunanya. Maka, gue mendukung rencana Surya setelah mendengar win-win solution-nya. Lara mungkin memang perlu disadarkan, apa yang terjadi jika gue ikut melepaskannya? Apa yang terjadi jika gue benar-benar mengabaikannya? Dan apa yang terjadi jika gue mengikuti apa kemauannya?
Juga... apa yang akan terjadi sama gue? Apakah gue masih bisa menganggapnya sepenting itu setelah semuanya?
Ternyata... gue akui sampai kapan pun, posisi Lara Scarletta tidak berubah.
Dia masih berada dalam daftar prioritas gue.
Efek hancur yang gue rasakan benar-benar tidak tertahankan, nyatanya dua kali terasa lebih sakit daripada fakta dia memilih putus saat gue melihat matanya memerah di batas terminal keberangkatan jurusan internasional. Melihat dia menangis seperti itu, gue benar-benar menyesal.
Seharusnya gue nggak perlu membalas dendam, seharusnya gue memohon sama dia untuk memperjuangkan perasaan kami, dan seharusnya gue memintanya untuk menunggu gue supaya ikatan itu tetap ada.
Itu berjuta kali lebih baik daripada membuatnya mengira kalau gue benar-benar mengabaikannya.
Maka dari itu, satu-satunya yang bisa gue lakukan adalah memperlihatkan secara nyata seberapa besar kesedihan gue, berharap dia tahu bahwa di balik mata memerah gue, tersimpan rasa frustasi karena harus berpisah dengannya. Gue rasa dia bisa mengerti karena matanya juga menunjukkan kesamaan, ekspresi di wajah kami bahkan persis sama.
🎵We have the same expression on each other from the moment I first saw you
One day, you're gonna be there, and time is gonna push me
Up there in my heart, it's already full of you
If you're the one who loves me more than me,
If it's our priority,
Don't hesitate, just smile
So we can get closer
It's not the first love, but the endless love.
If only you and I could do it
I don't want anything else
You're more important than me.🎵
*****
Author's Note
Buat yang udah sampai part ini, terima kasih banyak. Makasih karena udah suka sama cerita ini. Makasih karena udah nge-push aku buat up cerita, makasih nggak capek bilang next ke komentar bawah. Jika seharusnya aku kesal karena diburu-buruin, entah kenapa aku nggak ngerasa gitu. Bukannya ini artinya kalian excited sama ceritanya, kan? Hehehe....
Makasih juga buat kapal-kapalan yang kalian dukung. Apalagi, sampai ada yang suka sama visualnya. Sedari awal aku nulis cerita, aku memang suka pake visual. Memang, banyak yang masih kontra. Tapi percayalah, aku tetap melakukan survei dulu kok dan aku juga nggak mengabaikan kewajiban untuk memasukkan deskripsi tambahan ke narasi karena aku tahu banyak di antara kalian yang bacanya offline. Hehehe....
Ngomong-ngomong, kalo suka sama ceritanya, dikasih vote dong atau ngasih jejak biar aku makin semangat, hehehe....
Oh ya, untuk lagu spesialnya, coba didenger ya. Bagus banget, nambah inspirasi aku. Walau nggak mewakili semua liriknya, tapi lagu Priority ini memberikan inspirasi (yang aku lampirkan di part ini). Recommended deh pokoknya. Aku juga terinspirasi dari lagu Fox yang dinyanyikan oleh Joy Red Velvet (yang aku jadikan backsound di teaser cerita). Hehehe....
Akhir kata, mau sampaikan juga kalau cerita ini udah mau tamat. Hehehe, setelah ini aku bakal fokus ke trilogy aku. Yang masih belum baca, mampir ya ke I'm Down For You. Ceritanya juga menarik banget, makanya sampai rencana mau buat spin-off, hehehe.... Seperti biasa, unsur romance-comedy-sad komplit dalam satu cerita, dijamin kamu bakal auto baca marathon. Cerita lain juga nggak kalah seru. Udah tamat semua loh, ayo masukin ke list library kalian. Kalo masih ragu, coba deh kepo-kepoan ke sorotan ig aku @yunitachearrish, di situ semua lengkap kumpulan review pembaca yang udah baca cerita aku.
Happy reading, ya.
YunitaChearrish
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top