Part 7

Di antara semua mata pelajaran, Lara paling frustasi sama Biologi. Bisa jadi selain penyampaian materinya yang satu arah, guru yang mengajar biasanya adalah tipe yang membosankan; berkacamata tebal, sebagian rambutnya terkikis—–umumnya pada bagian depan, dan suara 'dongeng'-nya yang khas. Ditambah lagi, pelajaran Biologi kerapkali ditempatkan pada sesi pertengahan atau akhir pelajaran, di saat jiwa semangat para siswa mulai menurun.

Pak Samuel tipikal guru pasif, tidak seperti Bu Naura atau guru lainnya yang menuntut perhatian dan feedback dari muridnya. Beliau seakan robot yang disetel hanya untuk menyampaikan materi dan tidak pernah protes kalau ada siswa yang ketiduran di kelas atau asyik dalam dunianya sendiri.

Bagi Lara ini bagus, jadi dia bisa tidur sepuasnya dan tidak perlu cemas kalau ketahuan. Bukannya takut diceramahi, dia hanya tidak suka kalau namanya dipanggil dengan suara keras karena cewek itu lebih peduli pada kesehatan jantungnya.

Siapa sangka, keselamatan jantungnya kini berada dalam genggaman Arya, teman sebangkunya yang ternyata minus akhlak.

Lara sudah terlelap selama kurang lebih seperempat jam ketika Arya tiba-tiba saja memukul lengannya dengan penggaris besi hingga menimbulkan bunyi nyaring, berhasil memacu detak jantungnya hingga terbangun.

Saking kagetnya, Lara latah sampai berteriak. "AMPUN—–EH COPOT, EH—–IYA, AKU BANGUN! AKU BANGUN SEKARANG!"

Suasana segera berganti menjadi nuansa komedi. Tawa Surya yang paling keras berhasil mengalahkan derai tawa murid lainnya sementara Pak Samuel menatap anak didiknya dengan tatapan mencela. Meskipun demikian, beliau melanjutkan ceramahnya lagi setelah suasana kembali tenang.

Arya sementara itu, sempat mengeluarkan suara seperti dengusan tetapi hanya berlangsung selama sepersekian detik seakan-akan dia sedang bersin.

Lara memberi tatapan penuh celaan pada Arya. Sebelah tangannya menempel ke jantungnya dengan belaian kasih sayang lalu menyindir, "Mungkin lo lupa kali ya, walau muka gue seimut kucing tapi nyawa gue cuman satu!"

"Kalo nggak mau serius, nggak usah sekolah aja! Biar bisa ikutan lomba rebahan, mungkin kamu bisa jadi juaranya," balas Arya. Seperti biasa belajar selalu menjadi prioritasnya, sehingga dia tidak pernah menatap Lara lama-lama setiap berbicara.

"Kalo lombanya beneran ada, gue pengen banget ikutan. Iya juga ya, bisa jadi peluang bisnis tuh," seloroh Lara, meski nada sindirannya masih mengental.

Arya duluan yang mencari perkara, tetapi dia juga yang diam pada akhirnya. Lara mulai gabut lagi, tetapi dia tahu kalau teman sebangkunya tidak akan bisa menjadi penawar kebosanannya. Itulah sebabnya, cewek itu memilih tidur lagi. Dengan memangku bagian bawah wajahnya dengan pulpen yang ditegakkan, Lara memejamkan matanya.

Dan Arya lagi-lagi mengganggunya. Cowok itu menggunakan penggarisnya, lantas menjatuhkan pulpen tersebut hingga kepala Lara jatuh begitu saja ke atas meja. Bunyi debum susulan segera membuktikan seberapa besar rasa sakit pada dagunya.

"Awww!" Lara mengeluh, rambut panjangnya menutup sebagian besar wajahnya. Arya lagi-lagi mengeluarkan suara seperti dengusan antara menertawainya atau mengejeknya—–Lara tidak tahu. Yang jelas, dia hampir saja mencari perhitungan pada Arya namun sebelum berhasil, ekor matanya menangkap sesuatu.

Sepasang netra milik Nadya sedang tertuju pada Arya. Sikapnya mungkin tidak kentara karena dia bisa melakukannya ketika mengajak Surya berbicara, mengingat sisi wajahnya berhadapan langsung ke bangku Arya saat dia menoleh ke samping.

Dan Lara segera mengerti arti tatapan itu.

Udah gue duga, Nadya Wardana. Lo bucinnya Arya. Wahhhhhh... nggak nyangka ya lo suka sama cowok modelan dia.

Trus, gue harus ngapain? Kasih tau Arya nggak yaaaaaaa? Atau... jadi miss cupid-nya mereka? Atau... bikin Nadya cemburu?

Lara mengalihkan atensinya ke Arya. Alisnya mengernyit, tampak berpikir opsi mana yang akan dia pilih. Lantas tidak berselang lama, bibirnya menarik senyum seringai.

"Jangan lihat-lihat saya terus. Saya nggak suka."

Seringai Lara semakin tercetak dalam. "Kalo gue nggak mau?"

"Ya terserah. Tapi kamu yang tanggung konsekuensinya. Selalu ada bayaran untuk semua tindakan. Sama seperti usaha saya. Saya mau dapetin sertifikat itu, jadi saya harus memaksa kamu untuk fokus. Jadi jangan ge-er."

"Kalo gue nggak mau?" tanya Lara lagi, kali ini dia tampak bersenang-senang dengan situasi ini. Cewek itu sesekali memperhatikan Nadya dari ekor matanya dan dia segera tahu kalau saudari tirinya sedang memperhatikan mereka.

Lara sengaja, tentu saja. Ternyata rasanya menyenangkan, lebih seru daripada menghilangkan kegabutan dengan rebahan.

Lara hebat dalam memanas-manasi, karena dia menangkupkan sisi wajah dengan telapak tangannya dan menatap Arya intens. Tidak lupa dia memiringkan tubuhnya, berniat untuk berbisik pada cowok itu, tetapi juga tersirat modus.

"Coba aja satu semester ini, setelah itu kamu bebas semerdeka kamu. Saya hanya perlu sertifikatnya."

"Nggak gampang, Bro. Udah gue bilang, nilai gue yang paling rendah."

"Dan udah saya bilang, nilai saya paling tinggi. Jadi kalo bukan saya, siapa lagi? Saya ditugaskan khusus oleh Bu Naura, jadi saya nggak bisa nolak."

"Wow, mulia sekali." Lara memuji dengan sepenuh hati. "Tapi masih ada satu hambatan lagi. Lo mau tau?"

Arya tidak berkomentar, dia bahkan masih menolak untuk membalas tatapan Lara seakan dia berada dalam bahaya jika menatapnya langsung.

"Ck. Diem lagi. Nggak heran lo selalu sendiri. Kelamaan jomblo itu nggak enak loh. Lo bakal ketagihan kalo udah nyobain sensasi berpacaran. Percaya sama gue."

"..."

"Arya."

"..."

"Ish!!! Mulai lagi!"

"Apa?"

"Selain nilai gue paling rendah, ada satu hambatan lagi buat lo."

Arya akhirnya mengalihkan atensinya. Lebih tepatnya dia sepolos itu hingga menanggapinya dengan serius. "Apa itu? Lamban dalam menyerap materi? Itu kurang lebih sama konteksnya menurut saya."

"Bukan."

"Jadi?"

"Gue cantik, jadi takutnya lo bakal jatuh cinta kalo kelamaan interaksi sama gue. HAHAHAHAHA—–Ups!"

Tawa Lara terdengar sampai ke telinga Surya dan dia segera terbakar emosi cemburu setelah memastikan kedekatannya dengan Arya lewat lirikannya.

"Ck. Tau gini gue rajin-rajin belajar biar bisa sebangku sama Lara trus gue yang bakal ngegantiin posisi cowok culun itu!"

"Kalo gitu lo harus serius mulai dari sekarang, biar bisa ngegantiin posisi Arya," saran Nadya, ikut mengalihkan atensinya ke duo Lara dan Arya.

"Gue benci belajar. Lebih enak pacaran," keluh Surya.

"Gue bantuin. Walau nggak instan, tapi gue yakin lama-lama lo pasti terbiasa. Gue bakal nyiapin catatan ringkas juga buat lo supaya belajarnya lebih gampang. Gimana?"

"Ahhhhh... kalo lo baik gini, gue jadi lupa lo adiknya Nando. Ck. Ternyata bener ya, nggak semua buah jatuh jauh dari pohonnya. Ada juga yang deket."

"Salah, Surya. Kalo maknanya untuk mengungkapkan gue beda dari Kak Nando, seharusnya ungkapannya jadi; 'Nggak semua buah jatuh di dekat pohon. Ada yang menggelinding jauh ternyata'. Tapi ini cuma filosofi aja, ya."

"Whatever. Gue malah nggak ngerti filosofi tuh apa."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top