Part 38

Masa enam bulan memang tidak singkat, makanya Lara kaget sendiri ketika tahu-tahu dia mendengar kabar kalau Nadya sedang dalam perjalanan pulang menuju tanah air.

Sejak Lara menikmati rutinitas barunya dalam dunia belajar dan dekat dengan sepasang pelajar asal Sydney, dia tidak lagi menghitung berapa lama waktu yang sudah terlewat.

Lantas, apakah dia sudah melupakan Arya? Tentu tidak. Itulah sebabnya, reaksi yang selanjutnya muncul dalam pikiran saat menyadari masa enam bulan telah selesai, Lara segera memikirkan apa yang harus dia lakukan jika bertemu dengan mantan terakhirnya nanti.

Mantan terakhir. Benar, karena Lara memang sudah tidak berpacaran dengan siapa-siapa lagi setelah Arya. Semua pejomblo yang kegirangan pasca mendengar kabar terakhir Lara-Arya, harus menelan bulat-bulat rasa kekecewaan tatkala mendapati kalau hobi Lara tidak lagi sama seperti yang sudah-sudah. Pergaulannya memang masih sama, tetapi dia seakan membangun tembok antara dirinya dengan para cowok yang berusaha mengklaim Lara sebagai milik mereka.

Fakta ini tentu menggemparkan SMA Berdikari di kala itu. Ada yang sesenang hingga ingin menggelar pesta tiga hari tiga malam, ada yang lagi-lagi mengalami sindrom patah hati lokal, dan ada pula yang biasa-biasa saja dengan fakta ini seakan sudah bisa menduganya.

Rupanya Surya juga mengalami perubahan yang signifikan. Mereka bilang, cowok itu sepertinya kecipratan saliva Lara karena terlalu lama bergaul dengannya. Selain prestasinya naik secara bertahap, dia juga tidak lagi baperin cewek-cewek random seperti kebiasaannya dulu.

Entahlah, apakah ini definisi dari pencapaian titik jenuh? Katanya, ada saatnya manusia akan sampai pada tahap ini; merasa bosan, kemudian akan dihadapkan pada pilihan untuk bertahan atau meninggalkan.

Dalam konteks ini, duo Lara dan Surya rupanya telah memilih untuk meninggalkan kebiasaan lama mereka.

Keputusan tersebut tentu memberikan pengaruh positif pada teman-temannya di sekolah, bahkan sampai menjadi murid idaman di antara para guru, terutama Bu Naura. Siapa sangka, mereka diberi janji oleh sang Wali Kelas untuk mendapatkan Sertifikat Berprestasi berkat perjuangan mereka.

"Ra, lo nggak siap-siap?" tanya Nando sembari memakai jaket bombernya, terlihat sekali kalau dia telah bersiap untuk keluar rumah.

Martha juga menatap anak perempuannya dengan tatapan bertanya.

"Aku nggak ikut, ya." Lara menjawab singkat, berhasil menaikkan sebelah alis Nando.

"Loh, tumben? Waktu itu lo bilang nggak sabar—–"

"Udah malem juga, Do. Gue ngantuk." Lara memotong dan menguap selebar-lebarnya padahal dia sedang berbohong.

Gitu-gitu jika dia ikut Martha dan Nando menjemput Nadya, kemungkinan besar dia akan bertemu dengan Arya.

Gimana ya, rasanya canggung saja dan... clueless.

Ternyata kayak gini ya rasanya setelah putus dari mantan tapi masih punya rasa. Ahhhh... dulu gue hebat banget bersikap biasa aja kayak temen sama mantan-mantan gue. Lah, sekarang? Mau menghilang aja rasanya.

Beruntung keputusan Lara tepat karena dia syok dengan perubahan Nadya satu jam kemudian. Sebenarnya saudari tirinya masih sama saja seperti dulu, hanya saja penampilannya sudah berubah. Rambutnya sudah panjang hingga ke punggung dan dia tidak lagi menyandang karakter introver jika ditilik dari pembawaannya.

Jika dulu Nadya lebih suka menundukkan kepala ke bawah setiap berhadapan dengan lawan bicaranya, kali ini dia menatap langsung tanpa sedikit pun merasa canggung.

Hal pertama yang dipikirkan Lara sekarang adalah; bagaimana dengan perubahan Arya?

"Welcome back, Sister." Lara memeluk Nadya erat hingga mengajaknya bergoyang random ke kiri-kanan berkali-kali sebelum melepas dan memandangnya sepanjang lengan. "Makin cantik aja, ya."

"Kamu juga, Ra. Aku kangen." Nadya tersenyum lebar hingga matanya melengkung indah. "Aku nggak sabar mau masuk sekolah lagi."

"Okay before you go back, let me tell you something." Nando tiba-tiba menarik Nadya untuk berbicara berdua. "Privately."

"Ck. Makin hari makin posesif aja lo," celetuk Lara, tetapi dia tidak merasa mau kepo. Maka, dia memilih untuk kembali ke kamarnya sekaligus memikirkan apa yang harus dia lakukan besok.

Rasanya mau absen aja. Boleh nggak, ya? Gitu-gitu gue nggak pernah absen saking rajinnya. Eh, tapi nggak bisa dong. Gue sama Surya kan kebagian sertifikat besok pagi.

Tunggu, gue hampir lupa. Apa jangan-jangan... PENERIMAAN SERTIFIKATNYA BARENG ARYA? Lah, kan mereka harus seminar buat menyampaikan pengalaman mereka selama di Sydney!

Astagaaaa... ASTAGA!!! Ada cara buat melumpuhkan ingatan, nggak?

*****

Arya juga mengalami perubahan yang serupa. Jika dulu dia selalu mengabaikan tatapan orang-orang, kali ini dia mau menanggapi sapaan yang tertuju padanya sekaligus memberi senyuman sebagai bonus.

Dari sini, tentu bisa diprediksi bagaimana reaksi cewek-cewek yang senyumannya dibalas oleh cowok super tampan seperti Arya. Dalam sekejap, terdengar pekikan histeris sebagai backsound-nya selagi dia melangkah menuju kelas XI MIPA-3.

Arya secara refleks mengedarkan pandangan dan dia tersenyum setelah mengenali tas selempang milik Lara meski letaknya di belakang bangku Surya yang dulu. Lantas, dia meletakkan tas miliknya di bangku barisan belakang dan segera keluar kelas.

Tentu saja, dia mau mencari Lara.

Arya sudah menunggu selama setengah tahun, jadi dia tidak ingin menunda-nunda lagi. Lagi pula, cowok itu sudah kangen berat pada Lara.

Kemudian seakan bisa meramal di mana keberadaan Lara, Arya langsung bertolak menuju perpustakaan. Benar saja, cewek yang dicarinya memang berada di sana.

Arya segera menyelinap di rak lain supaya tidak ketahuan. Lara sepertinya sedang mencari referensi, ditilik dari bagaimana dia menelusuri buku-buku yang tersusun rapi dengan jemarinya dan mengeluarkan beberapa untuk mengecek isinya secara acak.

Arya mengintip dari balik celah di antara rak dan hampir saja mau mengagetkan Lara, tetapi tidak jadi ketika ekor matanya menangkap sosok orang lain yang berada di sisi cewek itu.

Dia... ternyata adalah pelajar asing yang belum kembali ke asalnya. Lantas, mengapa dia masih belum kembali?

"The truth is... Aku nggak mau balik ke Sydney." Siswa itu berkata pada Lara, membuat cewek itu menghentikan aktivitasnya dari menyortir buku yang dia cari.

"Udah seharusnya kamu balik, William. Memangnya kamu nggak bakalan dikasih sanksi?"

"Sanksi? You mean, witness?"

"No, I mean punishment. You should go back to your place or else you will get punishment."

"Oh." Arya bisa melihat seberapa lebar senyuman William hingga menunjukkan sepasang lesung pipinya. "I got it. Punishment."

Dari senyuman itu, Arya tidak akan heran jika visualnya populer di antara kaum hawa.

"Don't worry, Lara. Chloe bisa bantu aku untuk berbicara dengan Principal. Aku... tetap akan pulang, tetapi aku masih mau ngomong sama kamu."

"Ya ampun." Lara tertawa lebar. "Apa gunanya medsos, I mean—–we've already exchanged our phone number and follow Instagram. Kita tetap bisa kontak-kontakan, kok."

"Okay, I know... but wait, listen, sejujurnya aku baru merasakannya baru-baru ini dan aku rasa aku mau melakukan sesuatu. Hmm, I mean... sebelum aku benar-benar pulang."

Arya sudah tahu ke mana arah pembicaraan William. Dia jelas mempunyai perasaan pada Lara. Namun, respons cewek itu selanjutnya segera menghalanginya untuk masuk di antara mereka.

Lebih tepatnya, membuat Arya sukses mematung di tempatnya berdiri.

"I know what you want to say." Lara menjawab santai seakan William sedang mengajaknya bercanda, padahal cowok itu sempat menunjukkan kegugupannya.

"You know? How come?"

"Oh, come on. Kita udah ngenal selama enam bulan, jadi nggak mungkin aku nggak tau. Lagian, kamu udah tau dulunya aku gimana."

"So?"

"So what?" Lara balik bertanya. "Apa bedanya, William? Kamu toh tetap harus balik, kan?"

"Aku harus tau, Lara. Karena kalo benar—–if our feelings are that same, I will make my own decision. Aku mau perjuangin kamu."

"Caranya?" Terdengar dengusan antara menertawakan atau menganggap enteng, Arya tidak tahu. Yang jelas, Lara seakan menantang William untuk membuktikan kalau apa yang diusahakan cowok itu sia-sia saja. "We can't make it, William. I think going back to Sydney is the best decision."

"No, I can. We can. Kalau kamu setuju, setelah aku menyelesaikan tahun terakhir, aku akan lanjut sekolah di Indonesia."

"Hah?" Sepertinya praduga Lara salah besar karena dia sempat mengira kalau tekad William tidak akan sebesar itu.

"So, please say 'yes'."

"ARYA, KENAPA LO MASIH DI SINI?" teriak seseorang tiba-tiba, hingga mengagetkan yang dipanggil termasuk duo Lara-William. Keduanya begitu kaget, apalagi setelah mereka sadar kalau ternyata posisi Arya berdiri tidak jauh dari mereka. Lebih tepatnya, di hadapan mereka yang dibatasi oleh rak buku.

Dari sini, Lara bisa melihat bagaimana sorot tatapan Arya yang persis seperti enam bulan lalu, ketika dia mendekati kerumunan dan menarik tangan Nadya, alih-alih miliknya.

Lagi-lagi, perasaan familier itu timbul alias dejavu.

Meski terhalang oleh rak buku, Lara masih bisa melihat wajah Arya secara keseluruhan. Sama seperti Nadya, parasnya juga masih sama. Hanya saja, gaya rambutnya berpengaruh besar dalam menyempurnakan penampilannya karena dia menaikkan surai bagian depan, memamerkan jidatnya.

Ya ampun Aryaaaaaaa, makin badass aja sih kamu....

Lantas, pelaku yang berteriak tadi—–Surya, segera mendatangi Arya dan menariknya menjauh. Sepertinya dia sengaja melakukannya karena cowok itu menyeringai secara diam-diam.

Kalo gue harus lolos uji kelayakan Nando buat dapetin Nadya, lo juga wajib diuji. Anggap aja simulasi, Ra. Muehehehe....

Bersambung

Bonus

Perubahan Nadya Wardana sepulang dari Sydney.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top