Part 36

Fakta kepergian-masa-enam-bulan dua pelajar berprestasi ternyata memberikan dampak yang cukup besar pada kelas XI MIPA-3. Pasalnya, selain kelas berubah menjadi dua kali lebih sunyi karena tidak bisa menjawab pertanyaan random dari guru, tidak ada yang se-telaten duo Arya dan Nadya dalam memperhatikan pelajaran di kelas. Mata pelajaran Matematika tentu dikecualikan, mengingat aura killer Bu Naura yang tidak akan pernah lekang dimakan oleh waktu.

Jika ada yang harus dipuji, mungkin hanya Lara satu-satunya yang mengalami perkembangan yang signifikan dalam nilai akademiknya. Malahan, kini dia yang beralih peran menjadi tutor Surya meski dia harus ekstra sabar kalau mengajarinya.

Namanya juga siswa berperingkat tertinggi dari belakang, mengajari Surya Giordano tanpa dibarengi emosi adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin.

"Sumpah, gue kira gue yang paling bego waktu mulai serius belajar. Ternyata lo yang paling parah." Lara menghempaskan napas yang entah ke berapa kalinya, termasuk sederet hujatan yang lolos dari pita suaranya. "Gue jadi ngerti ternyata jadi guru itu nggak gampang."

Alih-alih tersinggung, Surya malah tertawa bangga. "Hidup itu nggak ada yang gampang, Ra. Bayi yang mau jalan aja harus merangkak dulu, kan?"

"Ada kok yang gampang."

"Apa?" tanya Surya dan dia langsung misuh-misuh setelah mendengar jawaban Lara.

"Pedekate sama cowok."

"Udah basi, Ra. Lo kan udah tobat sekarang." Surya meledek dan dia misuh-misuh lagi ketika mendengar respons Lara yang sepertinya disetel untuk membuatnya sebal.

"Lo juga basi. Udah pensiun baperin anak orang sejak jadi bucinnya Nadya, kan?"

Surya mau mengomel, tetapi tidak jadi karena apa yang dikatakan Lara benar adanya.

Sepertinya, inilah definisi dari pencerminan diri. Alih-alih menyerang, faktanya malah berbalik alias menampar secara abstrak.

Sekarang adalah pelajaran Biologi, sehingga Lara memilih untuk mengajari Surya mengingat masa ulangan harian beruntun telah tiba. Jika ingin meningkatkan nilainya, dia tentu harus menabung belajar apalagi mereka akan menghadapi Penilaian Tengah Semester dalam waktu dekat ini.

Jujur saja, Lara malah senang. Bukannya tanpa alasan, sejak dia mengalami patah hati yang jelas tidak akan bisa disembuhkan dengan cara instan, pada akhirnya cewek itu berhasil menggunakan metode distraksi. Jika dulu bergonta-ganti pacar adalah pengalihan Lara atas 'penghiburan' pada lukanya, kali ini dia belajar dengan giat supaya pikirannya tidak melantur ke mana-mana.

Karena tanpa permisi, bayangan Arya selalu saja memenuhi pikirannya setiap Lara mageran. Dengan memaksakan diri untuk fokus pada teori dan rumus, bisa dikatakan distraksi tersebut benar-benar efektif.

Alhasil, nilai Lara semakin meningkat pesat dan prestasinya banyak dipuji oleh teman-temannya, termasuk para guru. Bahkan Naura sering menghadiahinya senyuman meski kesannya jadi sedikit horor.

"Ck, melamun lagi." Surya menyeletuk, memaksa Lara kembali ke dunia nyata.

"Lo sih, bukannya serius." Lara malah menuduh.

"Kok salahin gue?" protes Surya. "Eh tapi, seru juga ya program pertukaran pelajar. Sekolah kita jadi kedatangan pelajar bule, otomatis pamor sekolah kita jadi makin naik dong."

Tatapan Surya beralih ke meja yang sebelumnya adalah tempat duduknya bersama Nadya. Sejak sepasang pelajar bule menjadi bagian dari kelas XI MIPA-3 selama enam bulan ke depan, Naura segera mengatur mereka untuk duduk di bangku Surya-Nadya yang lebih strategis ketimbang bangku Arya-Lara. Selain memberi respek agar tidak terkesan mengabaikan, mereka juga perlu dijadikan pusat perhatian agar tidak luput dari perhatian pihak berwewenang yang memonitor SMA Berdikari.

Namanya juga sekolah swasta, tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mengungguli sekolahnya.

"Bener. Lumayanlah, dulu gue sempat mau pindah ke SMA Bernard, tapi sekarang jadi makin yakin sama SMA Berdikari. Kalo kata bahasa Korea, pujiannya itu Jjang!"

Lara menunjukkan kedua jempolnya dengan tatapan bangga. Jjang memang berarti hebat.

"Yoi. Tapi kasian banget sih yang duduk di deket bule."

"Kenapa? Karena insecure sama kulit mereka?"

"Bukan."

"Trus?"

"Nggak tau mau ngomong apa. Walau bahasa Inggris gue nggak malu-maluin, tetep aja kalo berhadapan sama bule pasti auto mati gaya, sumpah."

"Nggak sulit kali kalo mau ngajak bersosialisasi. Mau bukti?" tantang Lara.

"Wuissss! Mau pamer, nih?"

Lara mengangguk penuh semangat. "Lo lupa ya, gue ini kan selebritisnya SMA Berdikari. Eh tapi, siapa sih nama mereka?"

"Ya lo nanyain dong, sekalian kenalan." Surya menjawab enteng. "Mumpung lagi pelajaran Pak Samuel yang nggak bakal peduli meski lo mau kayang di depan dia."

Lara tergelak. "Relate. Oke, noted. Tapi tunggu dulu, kalo gue menang, lo harus penuhi satu permintaan gue."

"Deal!" jawab Surya, tanpa berpikir. Dalam hatinya, dia yakin sekali kalau Lara tidak akan mungkin bisa mengajak duo bule itu berkomunikasi. Gimana ya, cowok itu bisa menilai dari bahasa tubuh keduanya sejak awal. Orang bule umumnya mungkin memberi kesan ramah dan bersahabat, tetapi terkhusus mereka, ekspektasinya tidak semulus itu.

Pada awal kedatangan mereka, kentara sekali betapa kakunya sewaktu memperkenalkan diri yang lantas mengingatkan Surya pada Arya yang irit berbicara dan cenderung tidak suka bersosialisasi. Begitu pula siswi di sebelahnya, yang juga memperkenalkan diri secara singkat tanpa senyum.

Sebenarnya bisa jadi ini hanya penilaian subjektif Surya semata, mengingat pelajar asing itu baru beradaptasi selama tiga hari. Lagi pula, belum ada satu siswa pun yang mengajak keduanya bergaul kecuali mengatakan beberapa hal penting seperti menerjemahkan apa yang disampaikan oleh guru.

Surya sudah berencana akan menertawai Lara sepuasnya jika dia gagal. Hitung-hitung sebagai balas dendam karena telah memaksanya belajar.

Tidak tanggung-tanggung, Lara memanggil salah satu siswa yang duduknya tepat di belakang pelajar bule, lantas memberinya isyarat untuk bertukar tempat duduk.

"Berasa lagi dalam misi penyelamatan aja," celetuk Surya, berusaha untuk tidak menertawakan Lara meski kesannya jadi gagal karena ada dengusan geli yang terdengar setelahnya.

Lara melirik Surya sekilas, tetapi siapa sangka dia malah menunjukkan seringai tengilnya yang khas. "Lo udah deal sama gue, loh. Rencananya kalo gue menang, tambahan belajar kita jadi nambah dua kali lipat."

"APA? HEI, LARA!!! LO—–"

Terlambat, karena Lara sudah menukar posisi duduknya dengan Stevi, si penghuni bangku di belakang pelajar bule.

"Emang dasar sinting ya, dia! Apa iya arwah Arya masuk ke badannya Lara? Nggak mungkin, kan?" tanya Surya bermonolog sebal, tetapi dia tersenyum manis pada Stevi yang menggantikan Lara. "Eh, Stevi. Kayaknya lebih nyaman duduk sama lo, deh."

Stevi si cewek berkacamata segiempat membalas senyumannya sebelum berkata, "Lara nitip pesan, suruh lo nyusul."

Senyuman Surya menghilang seakan tersengat arus listrik. "Ngapain? Gue nggak bilang mau ikutan kenalan."

"Lara ngancam bakal lapor ke Bu Naura—–" Sama seperti senyuman Surya yang menghilang kurang dari sedetik barusan, cowok itu juga melesat cepat untuk menyusul Lara seperti bayangan.

Ternyata mengancam Surya memang segampang membalikkan telapak tangan.

Ketika Surya berhasil duduk di sebelah Lara, rupanya cewek itu sudah bertukar obrolan ringan dengan siswa yang ber-name tag William Calum dan siswi bernama Chloe Sena.

Meski pengucapan Lara tidak sehebat dan semulus native speaker, caranya berinteraksi jelas tidak seburuk itu hingga Surya kaget sendiri ketika melihat bagaimana respons duo bule di hadapannya.

"Ra, lo dari tadi ngomong apa sih ke mereka? Nggak sampai semenit loh gue pindah ke sini." Surya mengerutkan alisnya hingga menciptakan gelombang yang estetik pada keningnya.

"Berarti gue berhasil, kan? Jangan lupa, satu jam sepulang sekolah mulai hari ini."

"Ra, sadarkan gue. Lo nggak bertukar jiwa sama Arya, kan?" tanya Surya dengan tatapan horor. "Makin ke sini lo makin mengerikan, sumpah."

"Maunya gitu, biar gue bisa tau dia lagi ngapain sekarang." Lara tiba-tiba baper, sementara sepasang pelajar asal Sydney tampak berusaha mencerna kata-katanya. "Oh, we just talked about random things. Hope you enjoy staying here, William and Chloe."

"Oh yeah. Very excited to know you. You are so friendly and warm-hearted." William tersenyum hingga menunjukkan sepasang lesung pipinya yang menggemaskan.

"Sebenarnya kita semua dapat berbicara Bahasa—–sedikit, hanya... hmm, just don't know how to... hmm, mengajak untuk mengobrol." Chloe menanggapi dan kelihatan sekali dia berusaha berbicara bahasa Indonesia. Aksen bulenya benar-benar mendominasi sehingga Surya perlu fokus supaya bisa mengerti.

"Ya ampun, gue kira kalian sama sekali buta sama bahasa lokal," ujar Surya sambil tersenyum manis pada Chloe.

"Buta?" tanya Chloe tidak mengerti. "Apakah... hmm, sorry. Siapa yang buta?"

"Ck. Kalo ngomong itu pake bahasa baku, Surya." Lara protes dan melayangkan tatapan datarnya, tetapi langsung sumringah ketika William mengajaknya berbicara.

"Bahasa baku kayak gimana, sih? Istilah 'buta' kan bahasa Indonesia juga," kilah Surya. Dia lantas mengalihkan atensinya pada Chloe. "Buta is blind, right?"

Lara memutar bola matanya dengan jengah sementara Chloe mengangguk penuh semangat dan William tampak menunjukkan ketertarikan yang kentara pada Lara.

"Lara, will you stay here? I mean, I think it will be fun if you sit around so I can ask whenever I have questions."

"Benar. Walau kita... kita sudah belajar Bahasa, but your English is that good. I think it will be easy for us to communicate each other," timpal Chloe.

Reaksi semua teman-teman di kelas XI MIPA-3 terutama bangku barisan belakang tentu kagum pada Lara yang tahu-tahu berinisiatif mengajak pelajar asing untuk berinteraksi dan membawa pengaruh positif dalam kelas. Siapa sangka, Pak Samuel turut mengacungkan jempolnya sekilas pada Lara di saat-saat terakhir pelajaran Biologi.

"Kalo Pak Samuel sampai ngasih jempol ke lo, bisa-bisa nggak lama lagi lo menyandang predikat berkelakuan baik, deh." Surya menyeletuk di sela-sela kehebohan para siswa lain yang tergerak untuk ikut berkenalan dengan duo William dan Chloe. "Gue jadi penasaran gimana reaksi Arya setelah lihat perubahan lo."

"Nggak usah mancing. Gue lagi dalam proses mem-format ulang memori dalam otak gue," bisik Lara supaya kata-katanya tidak didengar yang lain. "Lo juga harus nyerah soal Nadya. Gue tau lo sebucin itu sama dia, jadi bisa dibilang kita berada dalam kapal yang sama."

"Ck, kalo dulu gue bakal senyam-senyum kayak orang gila kalo denger lo ngomong kita di kapal yang sama," keluh Surya. "Tapi sekarang...."

"Kasian banget. Tau nggak, Sur? Kondisi lo gini malah jauh lebih menyedihkan daripada zaman lo ngebucinin gue."

"Ah, masa?"

"Ya iya. Cintanya Nadya kan udah disambut, jadi lo nggak akan punya kesempatan lagi soalnya Nadya itu tipikal setia."

"Lah trus?" Surya makin tidak paham, tetapi mendadak emosi setelah mendengar jawaban Lara.

"Ya iya dong. Kalo zamannya gue, lo masih bisa TTM-an trus deket-deket sama gue. Ibarat kata, lo masih bisa melampiaskan rasa sayang-sayangan ke gue. Bener apa bener?"

Jadilah selama beberapa menit, Surya misuh-misuh lagi yang lantas berubah menjadi baper sendiri karena tiba-tiba merindukan Nadya Wardana.

"Enam bulan serasa enam tahun, Nad. Gue kangen sama lo, sumpah."

Surya menghela napas super panjang sebelum menelungkupkan kepala ke dalam lipatan lengannya. Siapa sangka dia senasib dengan Lara yang juga membuang pandangannya ke luar jendela lantas mengembuskan napas super berat.

Efeknya kerasa lebih lama daripada waktu gue terjebak enam bulan belajar sama lo, Arya. Tapi... walau lo udah balik setelah lewat enam bulan, apa hubungan kita masih bisa diperbaiki?

Ck. Kayaknya sama mustahilnya dengan kemungkinan Nadya memilih Surya.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top