Part 33
Semua orang minimal mempunyai satu fobia, tidak terkecuali Nadya Wardana.
Testophobia atau ketakutan berlebihan saat ujian, yang muncul bersamaan dengan rasa cemas dan panik yang sulit dikendalikan. Selama ini, Nadya selalu bisa mengatasinya dengan baik mengingat jenis ketakutan yang dia hadapi tidak separah fobia lain yang mengharuskannya mengonsumsi obat penenang atau menjalani psikoterapi.
Namun kali ini, kadar kecemasan Nadya bertambah dua kali lipat. Pasalnya, hari ini adalah penentuan nasibnya sebagai kandidat pertukaran pelajar dengan melakukan serangkaian tes demi sertifikat bahasa asing. Kemampuan bahasa Inggris Nadya tentu lebih dari layak untuk lolos, tetapi kecemasan berlebihan otomatis membuatnya insecure dan tidak percaya diri.
Saking berlebihannya, Nadya mengalami gejala fisik untuk pertama kali; kondisi tubuhnya serasa tidak sehat, lemah, dan kepalanya juga pusing. Alhasil, wajahnya luar biasa pucat dan berkeringat dingin.
Meskipun demikian, Nadya tetap memaksakan diri ke sekolah. Pikirnya, akan terkesan konyol dan bodoh jika semua persiapan dan tekad yang telah diusahakannya menjadi sia-sia hanya karena fobia tersebut. Lagi pula, istirahat bisa dilakukan belakangan setelah pulang nanti.
Namun, sekuat-kuatnya Nadya berusaha bertahan, fisiknya secara bertahap mengalami penurunan. Cewek itu hampir saja roboh di percabangan koridor menuju kelas ketika Lara tiba di saat yang tepat dan berhasil menyelamatkannya dari sasaran empuk marmer keras nan dingin.
Secara kebetulan, Lara barusan meminta izin ke toilet ketika waktu mendekati jam istirahat pertama. Sengaja sebenarnya, mungkin dia berharap bisa menjadi pengunjung pertama di kantin nantinya. Lantas, tepat pada saat itulah dia melihat Nadya yang berjalan dari ujung koridor dan langkahnya yang sempoyongan membuat cewek itu segera mendekati saudari tirinya.
"Nadya, lo kenapa?"
"Gue baik-baik aja." Nadya terdengar meracau dan suaranya lemah. Lebih tepatnya, dia terlihat hampir pingsan.
"Gue anter lo ke UKS, ya? Lo nggak sehat."
Tawaran dari Lara seolah-olah menjadi vonis dokter pada pasien yang memiliki tumor pada otaknya, karena tiba-tiba saja Nadya seperti mendapatkan kekuatan untuk menepis sentuhan cewek itu. "Nggak! Gue baik-baik aja."
"Nadya—–"
"Gue udah bilang, gue baik-baik aja!" Nadya memotong tegas. Sekilas, sorot tatapannya mirip Nando ketika sedang dalam mode posesif. Aksi tersebut tentu membuat kicep Lara karena untuk pertama kalinya dia melihat Nadya berekspresi seperti itu; terlihat mengerikan dengan sorot tatapan tajam dan menusuk. "Gue harus ikut ujiannya hari ini, plis jangan larang gue."
"Ujiannya masih lama, Nad. Lo kan bisa istirahat dulu." Lara mulai mengerti mengapa Nadya berlaku seperti itu. Tentu saja ujian ini sangat penting baginya, mengingat usaha keras dan persiapannya selama beberapa hari terakhir yang tidak pernah main-main. "Gue denger, satu jam sebelum pulang sekolah, kan?"
"Gue masih mau baca kisi-kisi untuk ujiannya, Ra." Nadya mulai melunak sedikit karena sempat mengira kalau Lara akan melarangnya ikut ujian. "Plis... jangan kasih tau Kak Nando juga, ya? Gue harus optimal untuk ujian kali ini."
"Soal Nando, lo tenang aja. Justru yang terpenting sekarang, kesehatan lo harus optimal. Kalo lo nggak fit, fokus lo jadi turun. Gue anter ke UKS, ya—–tuh, udah jam istirahat juga. Artinya jelas, lo harus istirahat. Oke?"
Bel istirahat pertama telah berdering, sementara ratusan siswa beserta beberapa guru keluar setelah sebelumnya terdengar debam heboh tanda pintu kelas dibuka dari dalam. Kebanyakan tidak peduli dengan eksistensi duo Lara-Nadya, tetapi tidak sedikit pula yang tertarik untuk menonton. Masalahnya, Lara terlihat seperti sedang menarik paksa tangan Nadya dan cewek itu sudah telanjur memasang ekspresi tidak setuju.
Semua mengira ada perselisihan di antara keduanya. Bukannya tanpa alasan, sejak kabar putusnya Lara-Arya yang dibarengi dengan kabar Nadya-Arya mengikuti program pertukaran pelajar, otomatis semua curiga kalau ada sesuatu di antara ketiganya.
Itulah sebabnya dalam sekejap, semua berkumpul dan mengitari duo saudari tiri. Namanya juga kerumunan, tentu lebih suka memuaskan rasa kepo daripada rasa lapar.
Felicia Anggita juga tidak mau ketinggalan. Meski dia sebenarnya sudah kapok dengan hukuman Bu Naura, tetap saja dia tidak ingin melewatkan momen ini.
"Nad, dengerin gue. Walau lo nutupin dari Nando, dia juga bakal tau dari mereka kalo lo masih keras kepala," kata Lara jengah sembari mengendikkan dagunya asal ke kerumunan yang semakin ramai.
"Kalo gue masuk UKS, gue malah takut didiskualifikasi," balas Nadya, berusaha melepaskan tangannya sendiri. "Gue udah minum obat kok, Ra. Gue yakin udah mendingan."
"Nad—–"
"Plis, Ra! Gue nggak mau menyia-nyiakan kesempatan yang lo kasih ke gue. Kesempatan itu mungkin nggak akan pernah datang lagi dan gue nggak akan maafin diri gue sendiri kalo sampai ujiannya gagal!" Nadya sekali lagi memotong kata-kata Lara. Kadar kecemasannya lantas menjadi-jadi sehingga ketika dia merasa terjepit, dia hanya bisa mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya padahal banyak pasang mata sedang menyaksikan mereka berdua.
"Lo bego apa bodoh sih, Nadya?" tanya Lara jengah, akhirnya habis kesabaran. Keduanya tidak sadar kalau sedari tadi ada eksistensi Arya dan Surya di antara kerumunan, bahkan Nando juga hadir meski dia datang dari jurusan yang berbeda. "Apa hidup-mati lo hanya tergantung pada ujian itu—–"
"Iya!" potong Nadya, lagi-lagi berhasil membuat Lara terkesiap. Dalam sekali sentakan, Nadya berhasil menarik tangannya sendiri. "Lo nggak mungkin ngerti, Ra, makanya lo bisa ngomong enteng kayak gini!"
"Nad—–"
"Gue nggak mau lepasin apa yang udah dalam genggaman gue, Lara. Lo mungkin bisa menahan itu semua dan gue berterima kasih. Itulah sebabnya gue nggak mau menyia-nyiakan usaha lo, karena kesannya jadi main-main dan gue nggak mau itu terjadi."
Semua kata-kata Nadya berubah menjadi datar dan dingin, tetapi bukan itu yang membuat Lara bergeming. Melihat bagaimana tekad kuatnya mempertahankan kesempatan yang sudah datang padanya serta keseriusannya pada Arya Sergio Utama, Lara seperti tertampar oleh rasa penyesalannya sendiri.
Dan seolah-olah semesta ingin memperparah rasa penyesalannya, Arya masuk ke dalam kerumunan untuk menghampiri Lara dan Nadya. Bisik-bisik heboh menjadi backsound mereka dan lantas berubah menjadi jejeritan dramatis ketika Arya menarik pergelangan tangan Nadya, bukannya Lara.
Seperti ada ribuan jarum menusuk ulu hati Lara, menghadiahinya rasa sakit tiada tara saat melihat cowok yang disukainya menarik tangan gadis lain, saat cowok yang disukainya memberi perhatian pada gadis lain, dan saat cowok yang disukainya sudah tidak peduli padanya.
Lagi-lagi, Arya satu-satunya yang berhasil membuat Lara merasakan patah hati dan terluka meski tidak berdarah.
Bahkan, terluka karena sayatan pisau tidak ada apa-apanya ketimbang rasa sakit dari dalam. Mengapa? Karena luka batin yang dirasakan Lara adalah pencampuran dari amarah, sedih, sesal, kecewa, terluka, frustasi, bahkan hampir depresi.
Arya, kamu hebat sekali bisa membuat aku merasakan semua rasa yang nggak pernah aku rasain seumur hidup.
"Syukurin sih, ini jadi karma buat lo. Tinggal tunggu waktu aja perasaan lo diobok-obok sama Arya yang pamerin pacar barunya. Ahhh, perasaan gue jadi enakan setelah menistakan lo. Gimana, ya? Arya tuh mewakili harapan gue...."
Bener kata Surya, kamu mengobok-obok perasaan aku dengan teganya. Mau nangis rasanya....
Nadya tentu tidak menyangka kalau tangannya yang ditarik, bukannya Lara. Perasaannya seketika menghangat dan ajaibnya, segala kecemasan yang sedari tadi melingkupinya serasa menguap bahkan habis tak bersisa.
Arya tidak bersuara, tetapi rahangnya mengeras dan ada kilatan murka dari matanya—–Nadya bisa melihat itu. Sedangkan Lara, cewek itu terlihat seperti mengalami sejenis mental breakdown tetapi untungnya seperti yang bisa diduga, Nando menjadi penyelamat Lara. Dalam diam, cowok itu menyorot intens bermakna kekecewaan yang kentara pada Arya.
Nando duluan yang menarik Lara dan mengajaknya keluar dari kerumunan, mengabaikan semua orang terutama duo Arya-Nadya.
Lara sudah menangis hingga menundukkan kepalanya sedalam mungkin, tetapi arti tangisannya juga bermakna rasa terima kasih karena Nando satu-satunya yang menolongnya. Setidaknya, harga dirinya yang diinjak-injak berhasil diselamatkan.
*****
Ruang UKS kosong ketika Arya membimbing Nadya masuk. Atmosfer canggung masih melingkupi mereka selagi keduanya melangkah lebih dalam hingga sampai di kasur dengan tirai yang belum disingkap.
Tanpa bisa dicegah, Arya lantas teringat akan memorinya bersama Lara. Lagi dan lagi, seakan ingin mempermainkan perasaannya. Hatinya berdenyut sakit selagi kekecewaan menguasai, membuat tenggorokannya serasa tercekat meski dia memaksakan diri untuk menelan salivanya.
Dari insiden barusan, Arya sudah mengetahui apa yang menjadi sebab Lara memutus hubungan mereka secara sepihak. Meski kesimpulannya berarti Lara masih mempunyai perasaan yang sama dengannya, tetap saja cowok itu tidak bisa berbohong kalau dia baik-baik saja.
Alih-alih bahagia, dia merasa kecewa.
"Arya, lo baik-baik aja?" tanya Nadya karena dia melihat kedua netra Arya memerah.
"..."
"Lo pasti udah denger semuanya. Maaf y—–"
"Gue bukan bola yang bisa dioper sana-sini. Gue juga bukan robot yang bisa kalian atur sesuka kalian."
"Arya—–"
"Perasaan nggak bisa dipaksakan, Nadya. Juga... perasaan nggak bisa ditahan."
Lantas setelah mengatakan semua itu, Arya berbalik dan sedang bersiap untuk meninggalkan ruang UKS, tetapi Nadya menarik ujung lengan seragamnya. "Arya."
Wajah Nadya sudah basah tatkala dia mendongakkan kepala untuk menatap langsung ke arah Arya meski cowok itu sudah membelakanginya. "Arya... maafin gue. Maaf karena semuanya udah terjadi kayak gini. Maaf karena gue udah mengambil kesempatan yang Lara kasih ke gue. Maaf karena... karena g-gue udah lancang suka sama l-lo. Gue tau gue salah."
Tangisan Nadya berubah menjadi sesenggukan hingga dia sulit berbicara. Meskipun demikian, dari genggaman pada ujung seragam Arya yang semakin menguat, kentara sekali kalau Nadya sedang berputus asa. "Tapi... tapi g-gue nggak bisa mundur lagi."
Arya memutar tubuh lagi, tetapi dia melakukan itu untuk melepas genggaman Nadya pada ujung seragamnya sebelum melanjutkan langkah tanpa menoleh lagi. Cowok itu bersikap seakan menulikan pendengarannya pada tangisan Nadya yang semakin keras.
Terkesan berengsek—–memang, tetapi pada kenyataannya Arya juga sedang terluka dan dia ingin menenangkan pikirannya terlebih dahulu.
Namun siapa sangka, ada tangan lain yang menghalangi langkah Arya tepat ketika dia sampai di ambang pintu UKS.
Pemilik tangan itu adalah Surya Giordano.
"Arya, kalo gue yang minta tolong sama lo. Apa itu mungkin?"
Kernyitan di alis Arya semakin tercetak dalam ketika dia menatap Surya datar.
"Oke, gue ralat. Gimana kalo negosiasi? Gue yakin orang sepinter lo nggak mungkin cuek kalo soal hitung-menghitung. Tambahannya gue yakin, lo bakal seneng sama tawaran gue."
"Negosiasi?"
"Yoi. Lebih tepatnya, hmm... apa, ya? Kayak win-win solution?" Surya menunjukkan seringainya. Meski terlihat menyebalkan, visualnya justru semakin optimal.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top