Part 32
Lara kira melepaskan Arya segampang mengucapkan kata-kata, namun ternyata dia salah besar. Efek hancurnya tidak sesederhana yang dia bayangkan, mengingat untuk kali pertama dia merasakan sakit hati; bagian dadanya serasa sesak dan tenggorokannya tercekat hebat seolah-olah ada batu tajam yang menyumbat di sana.
Lara baru sadar, ternyata patah hati karena cinta bisa seluar biasa ini. Apalagi jika konteksnya diperparah dengan pengorbanan cinta, rasanya bisa dua kali lipat damage-nya.
"Dulu, gue nggak ngerti kenapa bokap bisa depresi parah karena menahan cinta. Tapi setelah insiden tadi, gue jadi tau kalo patah hati ternyata rasanya anjim banget." Lara memulai setelah Nando selesai memesan ramen untuknya. Cowok itu benar-benar menjadi abang yang baik karena dia berinisiatif membawa adik tirinya mampir ke suatu tempat terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Martha tentu tidak diharapkan tahu di saat dia dan Lara baru saja berdamai. Lagi pula, cewek itu langsung setuju ketika Nando mengajaknya makan sesuatu.
Sekali lagi, Surya turut menemani di antara mereka seakan ingin menjadi pendengar setia atas keluh kesah Lara. Bisa jadi, itu adalah wujud empatinya setelah tahu semua kebenaran termasuk cobaan hidup yang dihadapi Lara, tidak terkecuali Wardana bersaudara. Entah bagaimana caranya karena ketika Surya sadar, ketiganya telah mengisi sebagian besar ruang di hatinya sehingga dia merasa tidak bisa mengabaikan mereka.
Gitu-gitu, Surya tipikal cowok setia. Meski dari luar dia setipe dengan Lara yang senang lirak-lirik sana-sini, percayalah itu hanya sebagai wujud distraksinya.
Buktinya? Dia senasib dengan Nando yang tetap setia pada cinta pertama. Kalaupun ada bedanya, cowok itu lebih ekspresif dan bergaul dengan banyak cewek sehingga terkesan tidak serius, meski dia tidak se-ekstrem Lara yang bergonta-ganti pasangan layaknya anak sultan yang senang menggonta-ganti mobil sesuai perubahan suasana hati.
Lebih tepatnya, tahap pendekatan Surya hanya sebatas baperin cewek-cewek jomblo, tetapi memilih kabur ketika para pejomblo menuntut komitmennya. Itulah sebabnya, mengapa Surya disebut sebagai cowok nakal yang sebelas dua belas dengan Lara alias tidak berakhlak, meski jatuhnya lebih estetik karena visual mereka termaafkan.
Lagi-lagi, inilah definisi hakiki dari keberuntungan memiliki visual yang sulit ditolak.
"Kalo gue bilang ini karma, lo bakal sakit hati, nggak?" tanya Surya dengan nada penuh kehati-hatian. Posisi duduknya berhadapan dengan Lara sedangkan Nando duduk di sebelah cewek itu. Berhubung karakter posesifnya mendominasi, jelas dia tidak akan mengizinkan cinta pertamanya duduk bersebelahan dengan cowok lain, apalagi yang modelannya seperti Surya.
"Nggak." Lara menjawab enteng sambil menyeringai lebar, kesannya malah bangga.
"Oke, gue lanjutin kalimat gue lagi. Syukurin sih, ini jadi karma buat lo. Tinggal tunggu waktu aja perasaan lo diobok-obok sama Arya yang pamerin pacar barunya. Ahhh, perasaan gue jadi enakan setelah menistakan lo. Gimana, ya? Arya tuh mewakili harapan gue, tau nggak—–HEI!!! HEI!!! AW—–SAKIT! IT HURTS, LARA SCARLETTA!"
Karena Lara sudah habis kesabaran dan dia menggunakan wadah tisu untuk memukul puncak kepala Surya berkali-kali.
Bagaimana dengan Nando? Dia senang-senang saja. Ekspresinya malah mengharapkan Surya dipukul sampai babak belur.
"Perasaan gue mungkin bakal diobok-obok seperti lo bilang, tapi gue akan bertahan sampai akhir." Lara berujar setelah mengembuskan napas panjang dan menunjukkan ekspresi songongnya kembali, sementara tiga mangkuk ramen pesanan mereka tiba, lengkap dengan aneka topping. Asap berlomba-lomba mengepul dan menari di atasnya, membuat pandangan seketika mengabur karenanya.
"Emang bisa?" Surya bertanya. Kali ini tidak ada nada mengejek lagi karena dia tidak mau mengambil risiko pukulan pada puncak kepalanya dialihtugaskan oleh Nando. Gitu-gitu dia masih sesayang itu sama kepalanya.
Alih-alih menjawab, Lara mengambil mangkuk kecil berisi potongan cabai hijau yang berperan sebagai topping untuk ramennya. Lantas, dia mengambil sendok dan menyiduknya penuh untuk dimasukkan ke dalam mulutnya sendiri. Dengan kata lain, Lara memakan cabai hijaunya begitu saja.
Aksinya tentu dipelototin oleh duo Nando-Surya dengan tatapan tidak percaya. Cabai tersebut tidak hanya berwujud potongan-potongan kecil, tetapi biji di dalamnya juga turut serta alias tidak dibuang. Masalahnya, Lara juga mengonsumsi biji tersebut tanpa hambatan.
Jika orang normal akan bereaksi kepedasan dengan seluruh wajah memerah, berbeda halnya dengan Lara. Meski level kepedasan cabai hijau lebih rendah daripada cabai yang lain, tetap saja yang namanya cabai pasti terasa pedas apalagi jika dimakan mentah-mentah seperti itu.
"Ra, nggak pedes nih?" tanya Surya, mau tidak mau kepo.
Lara menggeleng santai. "Nggak banget. Ini sih bukan cabe namanya, tapi daun bawang."
"Masa sih?" Surya bertanya lagi, mulai tergoda untuk memastikan tetapi dia masih ragu. "Ck. Lo pasti boong, kan? Gue nggak akan ketipu."
"Terserah. Gue nggak nyuruh lo nyobain kok, gue cuma lagi pengen makan pedas tapi rasanya bener-bener payah. Harusnya gue minta cabe merah tadi," sahut Lara cuek, lagi-lagi menyendokkan sesendok penuh cabai hijau dan memakannya dengan enteng.
Surya semakin kepo, kentara sekali dari tatapannya yang polos. Nando lain lagi, dia seakan mempunyai asumsi sendiri dalam pikirannya tetapi dia memilih untuk tidak merespons seakan menunggu momen yang tepat untuk mengeluarkan argumen.
Lantas, Surya akhirnya menyerah dengan rasa ingin tahunya. Dia mengikuti jejak Lara, tetapi ekspresinya berubah horor setelah mencicipi cabai tersebut. Seluruh wajahnya seketika memerah dan dia melompat-lompat heboh seperti cacing kepanasan.
Untungnya, Nando berbaik hati untuk memberinya segelas air meski tatapannya bermakna bego-kok-dipelihara.
Saat itulah, Lara baru menunjukkan ekspresi bagaimana seharusnya kepedasan. Dengan napas terengah-engah, dia menatap Surya dengan tatapan penuh kemenangan.
"Ini bukti gue bisa bertahan sampai akhir, Surya. Jadi, lo udah percaya belum sama gue?" tanya Lara setelah lebih stabil dan menenggak setengah gelas air.
"Per-ca-ya." Surya mengatakannya dengan susah payah selagi berusaha mengendalikan dirinya. "Ya ampun... l-lo—–ohok-ohok! He-hebat banget, sih!"
"Dan lo sepolos itu untuk percaya. Surya... Surya... ckckckck...."
"Lo yang nggak normal, Ra! Mana ada sih orang yang bisa makan cabe sesantai itu." Surya berujar lagi setelah meneguk air yang entah ke berapa kalinya.
"Ada. Gue." Lara menjawab santai. Dia kini fokus mengaduk ramennya seakan adegan makan cabai tadi tidak pernah eksis. "Lagian gue udah kebal juga sih makan cabe."
"Lo lampiasin emosi lo pake cabe juga?" tanya Nando setelah sedari tadi tidak mengeluarkan suara. Nadanya kalem, tetapi kentara sekali kalau pertanyaannya bermakna interogasi.
"'Juga'?" ulang Lara. "Apa pertanyaannya bersumber dari lo sendiri? Lo makan cabe juga saat frustasi?"
Secara tidak terduga, Nando menyunggingkan seringainya. "Kayaknya bener ya yang dikatain orang-orang. Makan cabe selalu jadi pelampiasan kalo lagi nggak keruan."
Lantas setelah mengatakan semua itu, seakan ingin menunjukkan kebenaran atas pernyataannya, Nando ikut menyendokkan cabai hijau. Tidak tanggung-tanggung, dia bahkan menghabiskannya hingga tak bersisa.
Surya lagi-lagi memasang ekspresi horor seolah-olah dia yang memakannya sementara Lara menatap Nando dengan kagum.
"As expected from my beloved brother!" puji Lara bersungguh-sungguh sembari mengacungkan kedua jempol, lalu memperhatikan tangannya sendiri. "Sayang banget jempol cuma ada dua. Pokoknya, Nando is the best!"
"Better seeing your happy face, Ra. Jadi, jangan sedih lagi." Nando merespons setelah mengembuskan napas yang luar biasa panjangnya. "Walau di satu sisi gue seneng karena lo sepeduli itu sama adek gue, tapi gue juga peduli banget sama lo. Gue nggak tau harus gimana di antara kalian. Kalo gue milih perjuangin lo, gue akan disebut sebagai abang durhaka dan sebaliknya kalo gue belain adek gue, gue nggak bisa cuek sama lo.
"Bagi gue, lo dan Nadya sama pentingnya," lanjut Nando tepat ketika Lara membuka mulutnya untuk menyela. "Gue nggak mau kalian berdua sedih."
"Kalo gue sama Nadya sama-sama jatuh di laut, lo bakalan nyelamatin siapa?" tanya Lara dengan tatapan jenaka. "Nggak munafik, lo akan nolongin Nadya dan itu keputusan yang normal. Kenapa? Karena gue bukan saudara kandung lo, Do. Jadi, stop mencampuradukkan romance sama family. Ini bukan drama episode, soalnya."
"Kalo gitu biarin Nando nyelamatin lo dan gue yang akan nyelamatin Nadya," kata Surya setelah menghabiskan makanan dalam mulutnya secara tidak terduga. "Masalah beres, kan?"
"Heh, ancaman gue masih berlaku, ya! Lo nggak boleh baperin adek gue!" hardik Nando sementara Lara terang-terangan meledek Surya.
"Apa salahnya gue, coba?" tanya Surya membela diri. "Gue cuma nolongin adek lo, bukannya ajak kawin—–ya elah! Lagian, ini kan perumpamaan! Ya kali kita semua tiba-tiba di tengah samudra trus tenggelam?"
Nando berdeham lalu berkata, "Iya juga, ya." Namun, baru berselang beberapa detik ketika cowok itu menghempaskan sendoknya di atas meja dan menghardik, "Tapi lo emang punya rencana baperin adek gue, kan? Umpamanya abis selamatin Nadya, lo pasti mau ngasih napas buatan, kan? Ngaku nggak lo—–HEH! APA-APAAN LO? WAJAH LO KENAPA MERAH GITU???"
Nando ngegas saat rona semerah saga tiba-tiba saja menjalari wajah Surya, membuatnya refleks kelabakan.
"Sialan, kenapa salfok sama bibir dari tadi—–NGGAK, NANDO!!! DENGERIN GUE DULU, GUE NGGAK ADA PERASAAN APA-APA SAMA NADYA—–HEI!!! PLIS-PLIS-PLIS JANGAN PUKUL KEPALA GUE—–AWWWW!!!"
Bagaimana dengan Lara? Dia senang-senang saja. Ekspresinya malah mengharapkan Surya dipukul sampai babak belur.
Bersambung
Nando dan Surya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top